Kesempatan terakhir untuk sejarah dan seruan untuk bantuan
Annie Pohlman
Edisi khusus Inside Indonesia ini memperingati ulang tahun ke-60 dimulainya genosida 1965–1966, ketika diperkirakan setengah juta laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibunuh karena dukungan nyata maupun yang dianggap mereka berikan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Kontributor edisi khusus ini merupakan anggota tim internasional yang bekerja sama untuk merekam kesaksian dan arsip para penyintas serta saksi mata genosida sebelum terlambat. Para penyintas termuda pada tahun 1965 masih berusia anak-anak; kini hanya tersisa beberapa tahun untuk mendokumentasikan kisah hidup mereka. Tim ini, yang dikenal sebagai Indonesia Trauma Testimony Project (ITTP), bertujuan untuk melestarikan materi kesaksian ini secara permanen, sebagai catatan abadi dari bab kelam sejarah Indonesia dan dunia.
Materi yang ingin dilestarikan ITTP adalah kumpulan kesaksian dan dokumentasi yang dikumpulkan komunitas penyintas setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998—disimpan oleh para penjaga yang menua, sering kali secara rahasia—dan kini menghadapi risiko hilang yang sangat tinggi, dengan beberapa koleksi penting sudah hancur (akibat kerusakan lingkungan dan pemeliharaan yang buruk, bahkan ada yang dihancurkan oleh anggota keluarga yang terlalu takut untuk menyimpannya). Tanpa intervensi, sebagian besar materi yang masih tersisa ini akan hilang dalam dekade mendatang.
Proyek yang mendesak ini melibatkan kerja sama peneliti Indonesia dan internasional, tujuh tim lapangan regional yang tersebar di seluruh Indonesia, tim transkripsi, tim arsiparis, dewan penasihat, serta dukungan dari lebih dari 20 kelompok penyintas dan LSM hak asasi manusia. Artikel-artikel dalam edisi khusus ini, kami harap, akan memberikan pembaca wawasan mengenai suka duka kerja ITTP; tujuan kami dengan edisi khusus ini adalah untuk menjelaskan cara kerja proyek, menyoroti beberapa temuan, dan menampilkan hasil kerja tim peneliti kami yang luar biasa dan berdedikasi. Detail spesifik mengenai lokasi dan aktivitas sengaja tidak dimasukkan demi menjaga keselamatan dan keamanan para pekerja selama proyek berlangsung.
Pentingnya melestarikan Ingatan 1965
Tiga artikel pertama dalam edisi khusus ini menjelaskan kebutuhan mendesak untuk melestarikan kesaksian para penyintas dan saksi mata genosida 1965. Edisi ini dibuka dengan kontribusi peneliti utama ITTP yang berbasis di Indonesia, Sri Lestari Wahyuningroem. Ia menjelaskan bahwa melestarikan arsip pengalaman para penyintas merupakan bentuk perlawanan terhadap penindasan negara yang terus berlangsung dan penghapusan sejarah. Arsip-arsip ini menjaga kebenaran, memperkuat suara-suara yang dibungkam, dan menegakkan martabat para korban. Mereka menyediakan bukti untuk akuntabilitas, dapat mendukung upaya keadilan di masa depan, dan memastikan ingatan kolektif tetap hidup meski ada penyangkalan dan represi yang terus berlangsung. Namun, seperti yang juga dijelaskan Wahyuningroem, ada tantangan signifikan dalam melestarikan arsip terkait genosida 1965. Organisasi penyintas dan kelompok masyarakat sipil telah lama mendokumentasikan kesaksian dan materi korban, tetapi kondisi penyimpanan yang buruk, sensitivitas politik, dan keterbatasan sumber daya mengancam keberlanjutan catatan penting ini.
Para peneliti yang direkrut ITTP untuk melaksanakan pekerjaan pelestarian arsip yang terancam ini semua memiliki sejarah panjang keterlibatan dengan komunitas penyintas 1965. Banyak di antaranya, seperti Andreas Iswinarto, memiliki latar belakang kuat dalam melakukan penelitian dan mendokumentasikan pembantaian massal. Iswinarto sendiri telah menyusun apa yang seharusnya dianggap sebagai koleksi materi terkait 1965 paling komprehensif hingga saat ini: Perpustakaan Online Genosida 1965–1966 (POG 1965–1966). Seperti yang ia jelaskan, POG 1965–1966 menantang sejarah resmi Indonesia dengan melestarikan kesaksian penyintas, literatur, dan karya seni terkait pembantaian tersebut. Perpustakaan ini memperkuat narasi tandingan, mendokumentasikan sejarah kaum kiri yang dihapus, dengan tujuan membangun solidaritas dengan komunitas penyintas. Menurut Iswinarto, perpustakaan daring ini bertujuan menghubungkan orang-orang dengan informasi di era digital, khususnya memberdayakan generasi muda untuk berpikir kritis terhadap masa lalu dan menolak propaganda serta penghapusan sejarah oleh negara.
Artikel Saskia Wieringa memberikan konteks lebih luas terkait pekerjaan ITTP, yaitu penyangkalan genosida 1965 yang terus berlangsung. Dalam pembahasannya, Wieringa menelaah berbagai strategi yang digunakan oleh rezim-rezim berturut-turut sejak 1965 untuk menolak genosida tersebut. Ia menyoroti bukti yang mendukung keterlibatan dan pengetahuan sebelumnya Suharto atas tindakan Gerakan 30 September, distorsi militer terhadap peristiwa kudeta yang diduga terjadi, serta propaganda yang mendemonisasi korban. Ia menekankan bagaimana berbagai strategi penyangkalan ini menciptakan infrastruktur impunitas yang bertahan lama, yang memperpetuasi keheningan, distorsi sejarah, dan mendukung pelanggaran militer yang terus berlangsung.
Mengumpulkan cerita tentang 1965
Lima artikel berikutnya merupakan kontribusi dari para peneliti lapangan ITTP. Artikel-artikel ini membahas proses pengumpulan arsip yang terancam punah dan wawancara dengan penyintas serta saksi mata genosida 1965, sekaligus beberapa temuan mereka. Artikel karya Bimo Bagas Basworo menyoroti pekerjaan yang dilakukan oleh salah satu tim lapangan regional di Jawa. Ia memulai dengan rencana pemerintah saat ini untuk menulis ulang sejarah, yang menimbulkan kekhawatiran akan penghapusan sejarah dan penganiayaan baru di kalangan komunitas penyintas, serta motivasi rekan-rekannya dalam terlibat dengan ITTP. Beberapa rekan kerjanya berasal dari keluarga yang sangat terdampak kekerasan massal 1965, sementara yang lain tertarik pada pekerjaan ini karena minat mereka terhadap hak asasi manusia. Meski menghadapi tantangan dalam mendokumentasikan kisah kekerasan yang mengerikan, seluruh anggota tim peneliti lapangan regional menekankan pentingnya melestarikan ingatan para penyintas dan melibatkan generasi muda dalam mengenang genosida tersebut.
Artikel karya Martha Bire menyoroti pekerjaan tim regional lainnya, dengan fokus pada inisiatif berbasis masyarakat di Nusa Tenggara Timur untuk melestarikan kesaksian dan membangun monumen untuk memperingati genosida 1965. Bire, seperti banyak peneliti lapangan ITTP, telah lama terlibat dalam inisiatif yang dipimpin komunitas untuk meneliti 1965 dan mendorong rekonsiliasi. Bagi Bire, upaya-upaya ini merupakan bagian dari pengembangan “sejarah dari bawah” mengenai kekerasan massal, sekaligus komitmen pribadi terhadap kebenaran dan bentuk teologi yang berakar pada keadilan sosial.
Selama delapan belas bulan terakhir, para peneliti lapangan telah menemukan wawasan baru mengenai dinamika kekerasan massal. Dalam artikelnya, Quadi Azam menyoroti beberapa temuan dari pekerjaan timnya di Sumatra. Berdasarkan wawancara dengan para penyintas yang sudah lanjut usia, Azam membahas temuan baru terkait kerja paksa: bagaimana tanah disita dari pendukung PKI dan para tahanan dipaksa bekerja di berbagai perkebunan dan lokasi kerja lainnya. Temuan ini mengungkapkan rincian baru mengenai kerja paksa di perkebunan, kondisi keras di lokasi penahanan, kematian akibat kelaparan, kehilangan tanah secara sistemik, serta trauma berkepanjangan yang dialami para penyintas.
Petugas proyek dan peneliti lapangan ITTP, Sekar Ayu, menyoroti kisah hidup salah satu peserta ITTP, Ibu Manismar, seorang aktivis seumur hidup dari Sumatra. Manismar, salah satu dari puluhan ribu perempuan yang menjadi sasaran karena keterlibatannya dalam organisasi perempuan progresif Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), menjalani 12 tahun penjara selama pembersihan anti-komunis, sambil merawat putrinya yang masih bayi di penjara. Disiksa dan menjadi janda, ia selamat dari trauma luar biasa. Kini di usia senja, Manismar tetap berkomitmen untuk menjaga ingatan akan rekan-rekannya yang hilang dan melanjutkan aktivisme sosial berbasis akar rumput meski menghadapi tekanan negara.
Karya terakhir dalam edisi khusus ini adalah esai fotografi oleh seniman sekaligus peneliti lapangan Rangga Purbaya. Berjudul Penyintas Yang Senyap, esai ini menampilkan foto-foto yang ditemukan secara kebetulan di sebuah kios pinggir jalan, yang diyakini merupakan korban genosida 1965–1966. Karya Purbaya berupaya memberikan wajah bagi banyak korban pembantaian massal yang tidak dikenal dan tidak bernama.
Ajakan untuk memberikan bantuan dan bergabung sebagai relawan
Untuk saat ini, ITTP berfokus pada pengumpulan dan pelestarian materi yang bisa kami akses di Indonesia; kami hanya akan berhenti ketika dana kami habis (kemungkinan akhir 2026). Namun, pekerjaan ITTP harus terus berlanjut, karena masih banyak materi terkait 1965 yang perlu dilestarikan. Untuk alasan ini, ITTP meminta dukungan Anda untuk putaran pengumpulan berikutnya, yang akan dimulai pada akhir 2026.
Jika Anda memiliki materi terkait genosida 1965–1966—terutama kesaksian atau materi langsung lainnya—kami ingin Anda menyumbangkan salinan digital dari materi tersebut ke arsip ITTP. Harap dipahami bahwa dokumentasi dan deskripsi materi secara cermat diperlukan sebelum dapat ditambahkan ke arsip. Sebisa mungkin, kami perlu mengetahui asal-usul artefak kesaksian—dari mana asalnya? Siapa yang membuatnya? Kapan dan mengapa dibuat? Protokol pengarsipan proyek ini memungkinkan anonimitas sumber, jika diminta. Jika Anda tertarik, silakan hubungi proyek untuk informasi lebih lanjut: ittp@anu.edu.au.
ITTP juga membuka kesempatan menjadi relawan! Jika Anda bersedia menyumbangkan waktu, kami akan merekrut relawan mulai akhir 2026 untuk membantu tugas-tugas pengarsipan lanjutan ini. Sejarawan, pustakawan, arsiparis, atau siapa pun yang bersedia menyumbangkan waktunya, kami mengundang Anda! Jika tertarik, silakan hubungi proyek:
Annie Pohlman mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Queensland di Brisbane, Australia. Dia koordinator dari Indonesia Trauma Testimony Project (ITTP).