Merawat ingatan, menguatkan narasi tanding, membangun solidaritas
Andreas Iswinarto
Proses demokratisasi yang terjadi pasca turunnya Suharto dari tampuk kekuasaan juga berlangsung di ruang sejarah. Turunnya Suharto menandai satu periode kebebasan dan pembebasan dari tafsir tunggal dan absolut dari kebenaran sejarah resmi versi Orde Baru. Satu diantaranya yang terpenting adalah gugatan terhadap narasi tunggal peristiwa G30S (Gerakan 30 September) yang menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalangnya kudeta. Narasi manipulative merupakan dalih bagi militer, khususnya Angkatan Darat dan Suharto, untuk melakukan genosida politik atau pembinasan terhadap orang-orang PKI dan kelompok kiri termasuk juga pendukung Sukarno.
Genosida politik merupakan kejahatan serius dan luar biasa yang selama ini digelapkan dari ingatan dan sejarah bangsa oleh otoritas negara. Oleh karena itu pada tahun 2016, saya memutuskan untuk mendirikan Perpustakaan Online Genosida 1965-1966 (POG 1965-1966) untuk mendokumentasikan segala ragam literatur terkait peristiwa genosida politik 1965-1966 sebagai bagian dari upaya membesarkan ruang demokratisasi sekaligus upaya pengungkapan kebenaran sejarah.
Arus balik sejarah Indonesia
Komunitas penyintas 1965 sudah lama melakukan upaya-upaya pendokumentasian sejarah 1965. Pasca reformasi 1998, para penyintas 1965 Sulami Dodjoprawiro, Hasan Raid, Pramoedya Ananta Toer, menginisiasi pendirian Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 1965) pada 19 April 1999. Tidak lama setelah itu, di berbagai daerah juga didirikan cabang-cabang YPKP 1965. YPKP 1965 juga meluncurkan edisi perdana buletin organisasi Soera Kita pada bulan Nopember 1999 dan membuar gebrakan dengan melakukan penggalian kuburan massal di Hutan Ndempes Desa Situkup, Kaliwiro Wonosobo, Jawa Tengah pada 16-18 November 2000.
Sementara itu, pada tahun 2000 sekelompok aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh Imam Aziz mendirikan Syarikat Indonesia. Syarikat Indonesia berupaya membangun rekonsialiasi antara para eks tapol 1965 dan pelaku kekerasan di tingkat akar rumput. Rekonsiliasi yang mendalam bukan sekedar saling memaafkan dan bersalam-salaman, namun rekonsiliasi yang ditegakkan diatas upaya pengungkapan kebenaran.
Di tahun yang sama, sekelompok sejarawan dan aktivis meluncurkan proyek sejarah lisan dengan mewawancarai ratusan korban peristiwa 1965-1966 di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Inisiatif ini kemudian di lembagakan dalam wadah bernama Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) pada tahun 2003. Wawancara lisan itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam buku Tahun Yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 (2004).
Walaupun upaya-upaya pengungkapan kebenaran dan diseminasi narasi tanding terhadap sejarah resmi terus berlipat ganda, inisiatif-inisiatif ini tetap berhadapan dengan resiko dan di bawah tekanan represi baik dari kalangan aparat negara maupun dari kalangan ormas-ormas tertentu yang aksi-aksi represifnya dibiarkan oleh negara. Isu-isu kebangkitan komunis, Komunis Gaya Baru, dan sebagainya, tetap digunakan untuk menstigma dan menakut-nakuti masyarakat serta menjadi cara ampuh untuk mempersekusi inisiatif-inisiatif pengungkapan sejarah. Hal ini didukung dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia yang masih berlaku, dan produk hukum turunannya yang masih sangat efektif dijadikan propaganda anti-komunis melawan siapapun yang dianggap kritis atau oposan terhadap pemerintah.
Belakangan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan juga melakukan upaya sistematis dan terlembaga untuk menulis ulang sejarah dalam kacamata yang menguntungkan penguasa dan meninggikan mereka yang tangannya berlumuran darah di masa lalu, termasuk periode genosida 1965.
Perpustakaan Online Genosida 1965-1966
Ketika saya mulai memikirkan dan membangun POG 1965-1966, literatur tentang peristiwa 1965-1966 dengan berbagai bentuknya sudah sangat melimpah, baik yang tersedia secara luring maupun daring. Literatur-literatur tersebut telah cukup komprehensif dan luas untuk memberikan gambaran yang jelas tentang kejahatan serius dan luar biasa yang menjadi bagian dari sejarah negeri ini. Namun, memang masih banyak aspek yang belum terungkap, banyak hal yang belum dikaji dan didalami. Mayoritas saksi sejarah telah meninggal, cakupan pembunuhan meluas hampir di seluruh pelosok negeri dengan dinamika masing-masing, sementara arsip-arsip negara masih banyak yang disembunyikan.
Koleksi Netherlands Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV)—koleksi perpustakaan terbesar di dunia tentang Indonesia—di Leiden dapat dijadikan salah satu indikator pesatnya pertumbuhan literatur mengenai kekerasan 1965-1966. Pada tahun 2013, Gerry van Klinken dalam presentasinya berjudul “An Indonesian Debate: Some ‘Landmines’ in the KITLV Archives” menyebutkan terdapat 1.939 koleksi dari seluruh dunia yang merujuk pada komunisme di Indonesia dan kekerasan 1965. Dari jumlah tersebut, 1.370 berasal dari Indonesia dan 766 di antaranya diterbitkan setelah era Suharto. Literatur ini mencakup otobiografi, novel, buku, film, rekaman suara, artikel majalah dan koran, serta dokumenter televisi (lihat Eickhoff, van Klinken & Robinson, 2017: 456).
Terkait memoar, biografi, dan otobiografi para penyintas 1965, baik yang berada di eksil maupun eks tapol di Indonesia, POG 1965-1966 mencatat setidaknya telah diterbitkan 97 buku. Belum lagi jika dihitung buku antologi kesaksian para penyintas, video wawancara, film dokumenter, dan berbagai artikel dari penulis serta jurnalis yang mengangkat memoar atau riwayat hidup singkat para penyintas 1965. Selain itu, tersedia pula arsip wawancara sejarah lisan dari para penyintas 1965 yang belum dipublikasikan.
Apa yang kemudian dilakukan POG 1965-1966 adalah menghimpun segala bentuk literatur yang tersedia secara daring. Tentu saya tidak menyimpan ribuan buku, disertasi, tesis, makalah ilmiah, artikel opini, berita, dan bahan literasi lainnya, melainkan hanya memberikan petunjuk arah dengan menghimpun serta menghubungkan pembaca dengan tautan publikasi daring yang tersebar di dunia maya.
Banyak di antaranya adalah buku-buku penting yang tidak tersedia secara daring, sehingga saya mengakalinya dengan mendokumentasikan semua resensi, rekaman video diskusi buku, hingga liputan media. Untuk 97 memoar yang saya sebutkan sebelumnya, saya mengantisipasinya dengan menghimpun berbagai literatur yang membahas kisah para penyintas tersebut. POG 1965-1966 memang berencana menyusun bibliografi beranotasi dari buku-buku yang telah diterbitkan, baik berupa memoar, biografi/otobiografi, maupun kajian ilmiah. Selain itu, situs ini adalah satu-satunya yang menghimpun dokumentasi ratusan karya rupa dari puluhan seniman Indonesia terkait. Saya juga melengkapi situs dengan koleksi film/video serta karya seni lainnya.

Tidak kalah penting, untuk memperkaya pemahaman kami, kami juga memperluas kajian dengan pengalaman-pengalaman kejahatan kemanusiaan dan genosida di berbagai negara, serta kejahatan kemanusiaan lain sepanjang rezim otoriter dan fasis Orde Baru Suharto dan penerusnya.
Saya juga beranggapan bahwa memahami peristiwa genosida 1965-1966 tidak akan lengkap dan komprehensif tanpa memahami dinamika perkembangan sejarah Indonesia, khususnya sejarah gerakan kiri Indonesia yang selama ini dihilangkan dan dimanipulasi oleh rezim sejarah resmi atau penguasa. Karenanya, perpustakaan daring ini juga mencakup tema tersebut.
Merawat ingatan
Meskipun terjadi arus balik dalam reformasi di bidang supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), penghapusan Dwi Fungsi ABRI (TNI/Polri), penegakan hak asasi manusia (HAM), serta pelaksanaan otonomi daerah, proses demokratisasi sejarah tetap bertahan.
Di tengah kondisi yang serba terbatas, demokratisasi sejarah Indonesia tetap dapat berlangsung relatif tanpa hambatan berarti, terutama di era digital saat ini yang memungkinkan proses liberasi informasi melalui kemunculan media baru. Media baru ini membuka ruang bebas untuk membangun narasi tanding, membentuk ingatan kolektif, dan menciptakan budaya interaktif yang melampaui batas ruang dan waktu.
Bersamaan dengan itu, muncul generasi baru yang tumbuh dalam atmosfer kosmopolitan, lebih terbuka, dan terbebas dari ketakutan masa lalu. Namun, perlu disadari bahwa media baru juga menjadi wadah bagi kelompok reaksioner, anti-komunis, dan pembela “sejarah versi negara” warisan Orde Baru. Meski sejarah resmi masih dominan dan kejahatan masa lalu kerap diingkari, kekuatannya perlahan melemah.
POG 1965-1966 lahir dari momentum era digital, bersamaan dengan meningkatnya akses publik terhadap berbagai bacaan yang tidak lagi terbatas pada koleksi fisik di perpustakaan konvensional. Namun demikian, tantangan terbesar adalah bagaimana menarik minat generasi muda untuk peduli pada sejarah bangsanya—sejarah yang secara sadar atau tidak turut menentukan masa kini dan masa depan. Sementara itu, sistem pendidikan formal masih terkekang oleh kurikulum yang mengacu pada narasi sejarah resmi yang manipulatif.
POG 1965-1966 mengusung keragaman sumber dan format literatur sebagai kekuatan utama. Keragaman ini bertujuan membuka sebanyak mungkin pintu akses bagi publik. Misalnya, minat baca yang rendah dapat dijembatani melalui bentuk ekspresi lain seperti lukisan, musik, novel, podcast, diskusi, artikel jurnalistik, film, foto feature, atau tulisan populer yang menyampaikan kisah pribadi dan ingatan keluarga secara lebih intim.
Dari sisi produksi pengetahuan, sumber-sumber ini berasal dari berbagai kalangan: penyintas (lintas tiga generasi), akademisi, penulis, tokoh agama, aktivis, seniman, jurnalis, hingga narasi warga biasa. POG 1965-1966 menekankan pentingnya menggabungkan narasi tanding berbasis kajian arsip dan ilmiah (sejarah makro), dengan kesaksian dan ingatan pribadi para penyintas (sejarah mikro) yang menyentuh.
Dari sisi pendekatan keilmuan, POG 1965-1966 merupakan ruang perjumpaan kajian interdisipliner dan multidisipliner, mencakup kajian genosida komparatif, keadilan transisi, memori dan pewarisan, sejarah, politik, antropologi, psikologi, gender, budaya, hingga hukum.
Pada akhirnya, POG 1965-1966 berharap dapat berkontribusi dalam membangun dan memperkuat budaya kritis dan kesadaran sejarah, merawat ingatan kolektif, memperluas jangkauan narasi tanding, serta menumbuhkan solidaritas yang lahir dari pengetahuan, pemahaman, simpati, dan empati.
Andreas Iswinarto adalah pengelola Perpustakaan Online Genosida 1965-1966 sejak 1916, anggota Perhimpunan IPT 1965 serta aktif di komunitas diskusi Beranda Rakyat Garuda.