Rame-rame buat Pram

Poster art for an exhibition at the Blora Creative Space as part of Festival Blora 'SEABAD Pram', 6 February 2025

Sebuah festival untuk menghormati penulis di kampung halamannya menawarkan beberapa kejutan

Taufiq Hanafi

Read English version

Dari Bandung saya tiba di Blora dini hari tepat pada ulang tahun Pram. Perjalanan ini bukan kebetulan; saya menyengaja karena ingin turut serta dalam Festival Blora 'Seabad Pramoedya' yang digelar di kota kelahirannya itu. Sebagaimana kita semua mengenalnya, Pram bukan sekadar penulis kelas dunia, ia adalah putra terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia. Saya tiba dengan harapan besar. Ingin menjumpai Pram. Tentu saja bukan dalam raga. Tapi, dalam ruh yang tetap menyala-radikal dan tak henti melawan.

Pagi itu, Blora terasa semarak. Megah dan hidup, seolah-olah sejarah dan kenangan berkumpul di setiap sudut kota. Festival dibuka di Pendopo Kabupaten, sebuah tempat yang sakral, tapi pagi itu dijejali pidato-pidato kaku, tanpa rasa. Dua di antaranya membekas dalam ingatan. Satu dari Bupati, satu lagi dari Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia sekaligus tokoh politik yang tengah naik daun.

Sang Bupati, seperti lazimnya para pembesar di negeri ini, menyampaikan pidato yang mudah sekali ditebak. Kalimat-kalimatnya aman seolah-olah disusun untuk tidak mengusik siapapun. Ia menyebut bahwa Blora semestinya tak hanya sekali ini saja merayakan Pram, melainkan menjadikannya sebagai bagian tetap dalam kalender kebudayaan.

Lalu, Fadli. Sebelumnya, penting untuk dikemukakan di sini bahwa ia adalah teman ideologis sekaligus keponakan Taufiq Ismail. Taufiq adalah salah satu penyair yang paling keras bersilang jalan dengan Pram. Taufiq dan Pram tidak hanya sebatas berbeda pandangan. Mereka adalah dua kutub yang saling menegasikan, saling menolak, bahkan pada titik-titik tertentu, saling menenggelamkan. Terakhir kali saya berjumpa dengan Taufiq adalah di Leiden saat ia meluncurkan bunga rampai puisinya yang baru saja dialihbahasakan ke dalam bahasa Belanda: Stof op Stof. Di acara itu, hadir pula, tentu saja, beberapa kawan ideologis Pram yang menetap di Belanda—salah satunya Asahan Aidit. Sebetulnya, mereka tidak menyengaja tinggal di Belanda, melainkan orang-orang yang, langsung maupun tak langsung, terbuang dari tanah air karena ulah Taufiq dan kawan-kawan. Saya sempat mencuri pandang ke arah Taufiq. Wajahnya tampak dingin. Seolah kenangan masa lalu belum sepenuhnya luruh, seolah ia masih menyimpan ketidaksukaan pada mereka yang berbeda kutub.

Fadli Zon mengajak publik untuk kembali membaca karya-karya Pram / penulis

Semula menduga isi pidato Fadli pada pagi hari di Pendopo Kabupaten itu takkan jauh dari bayang-bayang ketidaksukaan ideologis yang pamannya selama ini simpan. Saya berprasangka buruk. Saya mengira Fadli akan menegaskan kembali jurang yang terentang sejak lama antara dua kubu pemikiran. Tapi, saya keliru. Pidatonya tenang, meski pantun pembukanya konyol. Dengan suara nyaris bersahaja a la Manikebu, ia menganjurkan publik untuk membaca karya-karya Pram.

Ia menyebut satu per satu judul novel Pram seakan hendak menunjukkan bahwa ia benar-benar pernah begitu dalam menyelaminya. 'Saya membacanya sejak SMA,' ujarnya. Dan saya, yang sarat curiga, dilanda heran. Bagaimana bisa seseorang yang berdiri di sisi yang secara terang-terangan menolak segala yang diperjuangkan Pram pada pagi itu terdengar seperti hendak menjadi juru bicara warisan pemikiran Pram?

 Fadli Zon dan Bupati Blora naik kereta kuda menuju Blora Creative Space (BCS) / penulis

Kecurigaan saya bukan tanpa dasar. Pada tahun 2009, Fadli menyunting sebuah buku bertajuk Setelah Politik Bukan Panglima: Polemik Hadiah Magasaysay bagi Pramoedya Ananta Toer. Buku tersebut diterbitkan oleh Institute for Policy Studies—lembaga yang didirikan dan kemudian dipimpin Fadli sendiri. Isi buku itu semacam gugatan terbuka terhadap penghargaan yang diterima Pram dan seluruh warisan intelektual dan estetikanya.

Buku itu melukis Pram sebagai tiran kebudayaan di era Sukarno. Seseorang yang membungkam kebebasan berkesenian dengan dalih ideologi. Ia menyasar penulis, dramawan, sineas, pelukis dan musisi yang tak tunduk pada garis komunisme. Syahdan, Pram disebut mendukung pelarangan dan pembakaran buku di Jakarta dan Surabaya, dan kerap mencemarkan nama para seniman serta meneror mereka yang berbeda pandangan lewat sayap kebudayaan PKI, LEKRA.

Pram, dalam buku itu, adalah penjelmaan sensor, filter ideologis, dan represi terhadap penerbit independen. Tak kalah keras, buku itu juga menuduh Yayasan Ramon Magasaysay menutup mata terhadap dosa-dosa Pram. Dan penting untuk dicatat, salah satu kontributor buku itu adalah, tak lain dan tak bukan, Taufiq Ismail sendiri.

Jadi, ya, mendengar Fadli, keponakan Taufiq, dengan tenang mengajak bangsa ini untuk membaca Pram, dan bahkan mengkampanyekan nilai-nilai yang diperjuangkan Pram, terasa sungguh ganjil. Seolah ada yang bergeser, entah keyakinannya, atau sekadar strategi politik yang tengah dimainkan. Tapi pagi itu, saya memilih menangguhkan penghakiman.

Selepas pidato-pidato itu, para pembesar meninggalkan Pendopo Kabupaten dengan menumpang kereta kuda berhias. Fadli dan Bupati duduk bersama di atas kereta yang ditarik seekor kuda putih - tak sepenuhnya putih. Entah mengapa, saat menyaksikan kereta melaju pelan, saya langsung teringat pada Insinyur Maurits Mellema dari Bumi Manusia (1980). Seorang tokoh feodal yang merusak tatanan Wonokromo. Terlalu mirip. Terlalu janggal. Seolah fiksi dan kenyataan sedang bercampur di tanah Blora pagi itu.

Yang mereka tuju adalah Blora Creative Space (BCS) yang terletak di kawasan Mlangsen. Dulunya, bangunan itu dikenal sebagai Gedung Nasional Indonesia. Gedung tua yang disulap menjadi sesuatu yang kekinian. Demi kepentingan seremoni, ia didandani terburu-buru. Cat masih segar, dinding tampak dipoles tak rata. Dan ruang-ruang dibentuk menjadi galeri pameran seni rupa dan patung. Seperti rumah yang dibersihkan tergesa-gesa menjelang tamu datang.

Fadli, tentu saja, diboyong ke sana untuk meresmikannya. Saya pun turut masuk, meski hanya sebentar. Lebih karena ingin tahu, bukan karena antusiasme yang sama.

Di dalam BCS, saya melihat Dolorosa Sinaga. Seperti biasa, lantang dan revolusioner. Ia tampak berbincang dengan Fadli. Namun, meski Dolorosa ada di sana, ruangan itu tampak tidak hidup. Dan tidak menawarkan banyak ruang untuk bergerak. Bukan karena sempit, tapi karena hambar. Mereka yang hadir lebih sibuk menyalami pejabat ketimbang berdiri hening di depan karya seni yang terpajang. Sebagian patung-patung berdiri berjajar begitu saja di luar ruangan.

Saya pun cepat-cepat pergi. Hati saya tak tinggal di sana.

Dari BCS, saya memesan Gojek menuju Perpustakaan PATABA, sebuah perpustakaan kecil yang menempati rumah masa kecil Pram di Jetis, Blora. Rumah itu cukup lapang, dengan halaman depan yang luas. Kini, rumah itu dihuni oleh adik bungsu Pram, Mbah Soes, dan istrinya, Budhe Suratiyem.

Perpustakaan PATABA di Jetis, Blora, rapuh / penulis

Siang itu, PATABA tak tertulari kemeriahan. Tak ada panggung, tak ada pameran, tak ada gegap gempita. Keramaian yang ada hanya ditawarkan oleh tiga ekor kambing yang menghalangi pintu depan perpustakaan. Di teras, kotoran mereka terserak. Budhe Suratiyem menyambut saya dengan senyum tulus dan suara lembut. Kambing-kambing itu penting—'Tanpa kambing itu, bagaimana kami bisa makan?' ujarnya.

Kambing-kambing itu adalah tulang punggung PATABA. Penopang rumah ingatan ini. Tapi, saban kali ada kabar pejabat hendak datang, hewan-hewan itu digiring menjauh. Seolah-olah keberadaan mereka adalah noda yang harus disembunyikan.

Kambing-kambing di pintu masuk Perpustakaan PATABA / penulis

Begitu saya melangkah masuk, hati saya digenggam risau. PATABA seperti tubuh tua yang pelan-pelan menyerah pada waktu. Dinding ruang depan belah, nyaris rebah. Jamur hitam tumbuh leluasa, menyelimuti lantai ruang penyimpanan buku. Karya-karya Pram, juga buku-buku tentangnya, rusak digerogoti rayap, lembap, dan dan musim yang tak bersahabat. Sebagian lainnya hilang begitu saja. Entah karena abai atau mungkin dicuri. Budhe Suratiyem menyebut salinan asli Cerita dari Blora sempat dipinjam oleh seorang pejabat kabupaten yang kemudian memutuskan untuk lupa mengembalikan.

Saat saya tanyakan tentang festival megah di pusat kota, Budhe hanya tersenyum tipis. Rupanya bahkan Mbah Soes tak diberi kabar jelas soal acara itu. Inilah mengapa ia lalu memutuskan untuk pergi ke Tulungagung dan merayakan seabad Pram di sana bersama para pecintanya. Ketidakhadiran Mbah Soes dan Budhe Suratiyem di Pendopo Kabupaten, oleh sebab itu, bukanlah kebetulan. PATABA berdiri sendiri. Terpisah. Terabaikan.

Dinding retak, buku rusak, penuh jamur dan rayap / penulis

Menjelang sore, PATABA tampak menua dalam diam. Ia tidak berdiri tegak dengan kebanggaan, melainkan menunduk perlahan seolah bersiap pamit. Anggaran yang konon telah dialokasikan untuk perbaikan raib entah kemana. 'Jumlahnya besar,' kata Budhe lirih.

Saya tak ingin menjejali catatan ini hanya dengan kegetiran. Sebab di hari itu, ada juga cahaya yang menyelinap.

Mural yang dibuat Pangestumu, seniman Yogya, menyalakan harapan. Pram dibikinnya tersenyum lebar, rokok mengepul di tangan. Dadanya dihiasi bintang merah, berlatar merah darah. Tegas. Revolusioner. Tanpa kompromi. Dan, tentu saja, mural ini bukan bagian dari pameran di BCS.

Kilau lainnya datang dari pemaparan Dhianita Kusuma Pertiwi yang jernih. Ia berbicara dengan ketenangan yang menggugah, menekankan pentingnya menghidupkan kembali Pram. Bukan sekadar nama besar dalam sejarah sastra, melainkan sebagai warisan intelektual dan nilai-nilai kemanusiaan yang tak lekang. Ia mengajak generasi muda, yang mulai berjarak dari gagasan Pram, untuk kembali mendekat, membaca Pram, dan menjadikannya fondasi berpikir, berkarya, dan melawan.

Remco Raben, dalam ceramahnya, menyelam jauh ke dasar dialektika dalam karya-karya Pram. Sementara, Muhidin M. Dahlan meneroka jejak politik dan sastra Pram, perlawanan yang tiada henti, dan relevansi yang tak pernah pudar.

Namun sayang, sesi tanya jawab yang semestinya menjadi ruang dialog justru absen. Remco bicara, tapi tak ada kesempatan buat hadirin untuk bertanya maupun menggugat atau menyanggah. Sesi Muhidin pun diburu-buru karena keharusan shalat Jumat, setelah sebelumnya jadwal Muhidin dibuat molor oleh kekakuan teknis. Padahal, sesi-sesi merekalah yang justru bisa menjaga semangat Pram—dalam perdebatan, dalam pertanyaan, dalam keberanian untuk tidak sepakat.

Seperti film adaptasi Bumi Manusia (2019) garapan Hanung Bramantyo yang juga diputar dalam festival ini, semuanya terasa tergesa-gesa, dibuat dengan setengah hati.

Akhirnya, Festival Blora lebih menyerupai rame-rame belaka. Riuh di permukaan. Ia tampak tidak seperti penghormatan, melainkan pengingkaran. Pram yang ingin saya jumpai tidak hadir di sana, rumahnya saja hancur, naskahnya lapuk, gagasan-gagasannya dikaburkan oleh dia yang dahulu paling getol menyangkalnya.

Pun Kali Lusi. Unsur penting yang senantiasa hadir di banyak karya Pram dan melambangkan keterikatannya dengan lanskap realisme sosialis Blora ini nyaris tak punya peran. Padahal kali itu adalah saksi dari kelahiran kesadaran seorang Pram. Lalu, janji lama untuk mengubah nama satu ruas jalan dengan nama Pramoedya Ananta Toer urung mewujud. Konon, terhalang alasan klise—warga menolak karena tak mau repot mengganti alamat di KTP. Padahal, jalan itu, Jalan Sumbawa, adalah jalan yang kerap dilalui Pram kecil, tempat ia memulai menafsir dunia.

Dan Fadli? Sekian bulan selepas festival, ia kini tengah memimpin proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Sebuah proyek negara yang, meskipun mendapat restu kekuasaan, menuai kritik luas. Amnesty International menyebutnya sebagai proyek pengaburan sejarah karena memilah-milah episode dan menutupi luka-luka akibat kekerasan negara. Pram, yang tubuh dan hidupnya pernah dirajam oleh negara, kini berisiko disingkirkan sekali lagi.

Dengan demikian, ajakan Fadli di Pendopo Blora di pagi itu, untuk membaca Pram, merayakannya, dan menyebarkan pikirannya, barangkali tak lebih dari omon-omon belaka.

Tapi, mungkin memang Pram tak seharusnya ada di sana. Ia tak pernah cocok dengan sejarah yang disusun negara. Ia adalah suara dari lorong gelap yang menolak diatur terang kekuasaan. Ia lebih nyaman di tepian, mengamati, menulis, mencatat, dan melawan.

Saya pun mulai percaya, andai Pram hadir di Blora pada hari ulang tahunnya itu, ia sendiri yang akan menyebut semua ini sebagai rame-rame belaka. Dan saya teringat akan surat balasan Pram terhadap surat terbuka konyol Goenawan Mohammad pada April 2000. Dalam balasannya itu, ia menutup, 'Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Basa-basi tak lagi menghibur saya.'

Taufiq Hanifi (hanafi.taufiq@gmail.com) menulis tentang politik budaya, produksi pengetahuan, dan kekerasan negara. Ia meraih gelar doktor dari Universitas Leiden dan pengalaman pascadoktoral di KITLV dan Universitas Ibrani Yerusalem.

Inside Indonesia 160: Apr-Jun 2025