Segala sesuatu berpikir
Gerry van Klinken
Maka ketahuilah bahwa segala sesuatu memiliki kebijaksanaan dan memiliki sebagian dari pemikiran.
(Empedokles [filsuf Yunani kuno], Fragmen 110, dikutip dalam Skrbina 2017: 336)
Karir saya yang pertama adalah di bidang geofisika. Habis kuliah (Klinken 1977), saya bekerja bagi perusahaan pertambangan di Australia, mencari cadangan bijih jauh di bawah permukaan bumi. Untuk mengetahui isi lapisan geologis yang tertimbun pada kedalaman ratusan meter, kami melakukan pengukuran sangat peka terhadap variabel fisikawi seperti medan gravitasi atau magnetik, aliran listrik, atau getaran bunyi yang melintasi bumi di bawah kaki kami.
Saya sering berkemah sendirian atau dengan beberapa rekan di wilayah gersang dan terpencil di pedalaman. Pohon, padang gurun, kanguru, burung. Pada malam hari yang sunyi, ribuan bintang berkedip di langit yang hitam. Saya mencintai alam. Seorang rekan bernama Kamal suka memeluk pohon pada siang hari sambil menunggu peralatan kami bekerja sendiri. Barangkali tak beda dengan semua orang yang mencintai alam, saya merasakan alam bicara pada saya. Paling tidak saya suka mempercayainya. Tetapi apakah benar, alam bicara pada manusia? Secara puitis, ya. Pada waktu luang, saya kadang membaca puisi di mana alam jelas berbicara (seperti juga dalam lukisan Caspar David Friedrich di atas). Saya mengagumi karya William Wordsworth (1770 – 1850), penyair Inggeris yang ikut melahirkan Gerakan Romantisisme di Inggeris dan Jerman. Salah satu syair yang paling terkenal, The Prelude, dibuka dengan kata-kata ini:
Oh there is blessing in this gentle breeze,
A visitant that while it fans my cheek
Doth seem half-conscious of the joy it brings
From the green fields, and from yon azure sky.
Yang dapat diterjemahkan (maaf, bahasa saya yang kaku)
Ah ada berkat dalam angin sepoi-sepoi,
Tamu yang sementara mengipasi pipiku
Rasanya setengah sadar akan sukacita yang ia bawakan
Dari padang rumput hijau sana, dan dari langit yang biru.
Saya lama merenungkan apakah kata-kata Wordsworth dan para seniman Romantis lain dapat diterima secara harfiah. Apakah benar, alam memiliki kesadaran (biarpun hanya ‘setengah sadar’) yang memungkinkan saya berkomunikasi dengannya? Ataukah kata-kata ini hanya dapat dibaca secara puitis, sekedar kiasan? Akhirnya saya simpulkan yang kedua adalah benar. Saya boleh bermimpi yang manis, tetapi dalam kenyataan fisik tidak ada ‘kesadaran’ di alam selain kesadaran saya sendiri. Alasannya saya ketahui dari ilmu fisika yang saya pelajari dan yang saya praktekkan tiap hari. Yang ada, adalah atom, yang memiliki massa, muatan, putaran (spin) dan kuantum. Tidak ada bukti sama sekali bahwa yang dapat saya namakan kesadaran terdapat di dalam angin; tidak ada sukacita terkandung dalam ladang hijau maupun di langit yang biru selain sukacita pada diri saya sambil merenungkannya.
Saya merasa kecewa, karena dunia nyata ternyata lebih miskin daripada imajinasi saya. Namun saya rela menerima bahwa tidak ada makna manusiawi di dalam alam selain di dalam benak saya sendiri. Alasannya, karena ilmu alam yang begitu berwibawa dalam peradaban kita mengajarkannya demikian. Saya - kita manusia - adalah sendirian di alam semesta yang tak terhingga luas.
Kini, hampir setengah abad setelah saat yang signifikan itu, saya dihadapkan kembali dengan persoalan yang sama. Pemicunya adalah pembacaan baru tentang ekologi dan humaniora. Bacaan-bacaan tersebut memaksa saya untuk menarik kesimpulan yang sama sekali berbeda. Dan pemutarbalikan intelektual itu terjadi bukan melalui puisi! Yang membuat saya berubah pikiran adalah filsafat modern yang amat logis, banyak ditulis oleh pemikir yang dekat dengan ilmu alam.
Proses pemikiran ulang saya dimulai dengan ditemukannya buku filsuf Amerika David Skrbina berjudul Panpsychism in the West (Panpsikisme di dunia Barat) (2017). Oleh Stanford Encyclopedia of Philosophy, mantan matematikawan ini disebut pemikir terkemuka di bidang panpsikisme. Sisa bab ini kebanyakannya mengulas tuturan Skrbina, di sana-sini dilengkapi kutipan dari sejumlah pemikir lain. Bagian penutup akan mengupas beberapa konsekwensi etis dari pemikiran panpsikis, konsekwensi mana memang bertolak belakang secara radikal dengan laku manusia modern di tengah lingkungan hidup.
Apa itu panpsikisme?
Masalah kesadaran (consciousness, kadang disebut mind = budi) sudah menjadi tantangan bagi para filsuf sejak ribuan tahun. Bagaimana hubungannya antara tubuh yang ‘fisik’ dan budi yang tampak ‘non-fisik’? Ini disebut masalah budi-tubuh (mind-body problem). Para filsuf yang menganut panpsikisme memecahkan masalahnya dengan berkata bahwa ‘segala sesuatu memiliki budi atau memiliki ciri yang mirip dengan budi’ (Skrbina 2017: 2).
Istilah Panpsikisme memang terdengar kurang elok, tetapi rupanya sulit dihindari. Akarnya adalah paduan dari kata Yunani kuno ‘pan’ – yaitu ‘seluruh’, dan ‘psike’ yang berarti ‘jiwa’ atau ‘budi’. Yaitu: Budi terdapat di seluruh alam. Istilah yang aneh mungkin membuat orang merasa bahwa konsepnya sangat khusus dan eksotis, tetapi kebalikannya adalah benar. Konsep di balik istilah itu memiliki sejarah yang panjang. Skrbina (2017: 2) menulis:
[Panpsikisme] adalah konsep kuno, yang dapat ditemukan pada saat-saat paling awal baik dalam peradaban Timur maupun Barat. Bahkan sampai pada titik kira-kira seratus tahun yang lalu, panpsikisme adalah sudut pandang yang terhormat dan yang dianut secara luas. Seringkali orang waktu itu beranggapan bahwa konsep ini sudah sangat jelas dan tidak perlu dibela. Namun, dengan lahirnya filsafat yang analitis, yang linguistik, dan yang anti-metafisis pada awal abad ke-20, maka panpsikisme terdorong ke pinggir kancah wacana intelektual. Sampai sekarang, banyak filsuf yang ortodok akan membicarakannya dengan nada menyindir. Tetapi selama beberapa dasawarsa terakhir, konsep ini mengalami semacam kehidupan kembali, baik di dalam lingkaran analitis yang biasa maupun di luarnya.
Pengetahuan kita tentang tubuh, termasuk otak, kini sudah maju sekali. Tetapi pengetahuan tentang budi nyaris tidak berkembang sejak lama sekali. Budi memang sulit diteliti. Pemikiran dan perasaan berlangsung di dalam, sebagai proses intrinsik, dan tidak bisa diamati secara langsung dari luar. Berbeda dengan ciri ekstrinsik seperti massa, yang dapat diukur, kesadaran hanya dapat diketahui dari pengalaman diri kita sendiri. Saya yakin sayalah sadar, tetapi saya tak dapat membuktikan bahwa Andalah sadar. Dulu ada aliran psikologi disebut behaviorisme yang sama sekali tidak percaya adanya kesadaran, juga tidak di dalam manusia. Yang ada adalah respon kimia terhadap rangsangan hormon. Kini, hampir semua ahli psikologi percaya pada kesadaran. Bila seseorang berkata kepadanya, Saya adalah insan sadar, mereka percaya. Mereka sama sekali tidak mengalami kesulitan membayangkan bahwa salah satu ciri inheren dari otak manusia adalah kesadaran.
Bagaimanapun, sebuah diskusi filsafati mengenai kesadaran harus dimulai dengan definisi ‘budi’. Masih terlalu banyak pihak yang memusuhi panpsikisme dengan sindiran bahwa konsepnya berarti ‘batu memiliki budi.’ Bukan begitulah paham panpsikisme. Tidak ada kursi yang dapat berpikir, atau batu yang dapat berbicara dalam panpsikisme. Yang ada, adalah dugaan bahwa ‘semacam’ pikiran, kesadaran, atau perasaan, sesederhana apapun, terdapat di mana-mana. Kaum panpsikis juga enggan menggunakan istilah ‘jiwa’, karena istilah itu lebih santer dikaitkan dengan agama daripada filsafat. Panpsikisme adalah konsep alamiah, bukan konsep teologis.
Skrbina (2017: 12) mendaftarkan sejumlah istilah yang semuanya berhubungan dengan kesadaran. Kata-kata ‘kesadaran’, ‘pemikiran’, ‘perasaan’, dan ‘pengalaman’ semua menandakan semacam kesadaran, tetapi tidak semuanya mengandung makna yang persis sama. Ia lalu menyusunnya dalam sebuah hirarki, hingga dikaitkan dengan berbagai jenis insan, mulai dari manusia sampai dengan benda non-organik. Sebagian besar hirarki ini akan disetujui semua orang, tanpa perdebatan mendalam.
- Sebagian dari kata-kata ini jelas hanya tepat bila dikaitkan dengan manusia beserta beberapa primata lain seperti simpanse: kesadaran diri, dan kognisi. Hanya kita manusia (dan simpanse dkk) yang sadar bahwa kita sadar. Dan hanya kita yang memiliki pengetahuan.
- Sebagian lain dapat dikaitkan baik dengan manusia maupun dengan binatang di luar ordo Primata: kesadaran (consciousness), dan pemikiran. Seekor binatang tidak sadar bahwa ia sadar, namun ia tetap memiliki perasaan bahwa ia berada. Perasaan itu dapat disebut ‘kesadaran’. Ia juga bisa menyusun rencana ke depan, dan kemampuan itu disebut ‘pemikiran’.
- Seluruh insan hidup, baik binatang maupun tanaman, diyakini memiliki atribut mental lain. Perasaan salah satunya, juga sensibilitas, yaitu kemampuan untuk berperasaan (beda dengan kemampuan untuk berpikir).
- Seluruh hal, baik yang organik maupun yang non-organik, dalam pemikiran para filsuf panpsikis, memiliki atribut mental yang dapat diberi istilah tersendiri. Yang paling penting di antaranya: pengalaman (‘experience’). Setiap insan ‘mengalami’ keberadaannya. Rasa lapar adalah pengalaman; nikmat persetubuhan adalah pengalaman. ‘Pengalaman’ itu dekat sekali dengan sistem fisik seperti otak, tetapi tidak identik dengan fungsi otak.
Klaim terakhir inilah, tentu saja, adalah klaim panpsikisme yang paling dicurigai oleh filsuf yang menolak panpsikisme. Di mana semua orang pasti setuju bahwa kita manusia memiliki setiap atribut dalam skala hirarkis ini, keistimewaan posisi panpsikisme adalah keyakinannya bahwa atribut mental tertentu dapat dikaitkan dengan seluruh hal. Bagian ‘pan’ dalam panpsikisme itu sungguh dipegang teguh. Mengapa penganut panpsikisme begitu serius memegangnya? Dari sekian banyak argumen yang membuat mereka yakin masalah budi-tubuh tak dapat dipecahkan tanpa bagian ‘pan’ itu, di bawah ini saya soroti dua.
Dualisme ditolak, monisme dirangkul
Yang pertama, dan yang paling mendasar, adalah argumen kaum panpsikis yang menolak adanya budi dan materi sebagai dua hal yang terpisah. Padahal justru keterpisahan itu sudah menjadi tradisi lama dalam budaya Barat. Agama Kristen yang tradisional telah mengajarkan bahwa dunia rohani dan dunia jasmani adalah dua hal yang berbeda secara prinsipiil. (Agama Yahudi dan Islam yang tradisional juga demikian.) Tuhan adalah roh yang tidak berbadan, menurut kaum teolog. Dalam kepercayaan populer, arwah orang mati keluar dari tubuh lalu beterbangan sendiri sebagai zat tak berbadan. Malaikat atau makhluk sejenis menjaga kita, setan menggoda kita tanpa berbadan, surga adalah tempat yang dihuni oleh roh tidak berbadan. Menurut takhayul yang tersebar luas, hantu adalah roh tak berbadan. Sebaliknya, segala sesuatu yang kelihatan dan dapat disentuh terbuat dari materi yang mati, alias tidak berjiwa. Ahli fisika mempelajari hukum-hukumnya. Demikianlah keyakinan kebanyakan orang tentang budi dan materi sebagai zat yang terpisah.
Justru pemisahan yang tajam antara ranah rohani dengan ranah jasmani inilah oleh kaum filsuf dianggap sangat problematis. Mereka menamakannya dualisme, yakni adanya dua ‘zat’ yang berbeda yang mendasari alam semesta. Apabila dualisme benar, maka efektifnya ada dua alam – yang satu jasmani, satu lagi rohani. Masing-masing dengan hukumnya sendiri – yang satu hukum alamiah, satu lagi hukum supranatural. Apakah pemisahan semacam itu dapat dibayangkan secara logis? Bagaimana kedua alam tersebut akan berinteraksi? Sesuai hukum yang mana, yang alamiah atau yang supranatural? Kebanyakan filsuf tidak bisa membayangkannya. Karena itu mereka menolak dualisme. Menurut mereka, di alam ini ada hanya satu ‘zat’, yang dikuasai hanya satu hukum. Tidak ada pengecualian pada hukum alam itu. Tidak ada mukjizat dari dunia supranatural.
Mayoritas orang modern sebenarnya menerima tidak adanya mukjizat supranatural. Namun, hantu dualisme tetap berkeliaran. Filsuf panpsikis asal Australia Freya Mathews (2003: 26) menerangkan masalahnya sebagai berikut:
Pada dewasa ini, sedikit sekali filsuf di Barat yang mempercayai dualisme sejauh hal itu menyangkut budi. Yaitu sedikit sekali yang membayangkan budi berada sama sekali di luar materi dan tidak terpaut dengannya. Jumlah ilmuwan alam yang mempercayai dualisme semacam itu lebih sedikit lagi. Meskipun demikian, kebanyakan filsuf, dan kebanyakan ilmuwan beserta orang modern di jalan, justru tetap mempertahankan keyakinan dualistik sejauh menyangkut materi, di mana keberadaan materi sama sekalilah lepas dari budi, dan di mana materi itu bersifat kosong ke dalam, alias sama sekali tidak memiliki atribut yang terkait dengan mentalitas.
Dualisme sejauh menyangkut materi itu dulu merupakan keyakinan saya pribadi juga, seperti yang saya akui di atas. Dan itu jelas tidak menyelesaikan masalah, sebab di situ tidak ada tempat untuk kesadaran. Yang lalu menjadi tantangan filsafati adalah: Bagaimana kita dapat mengembangkan sebuah konsep dunia yang monis, yang tidak lagi dualis? Dan untuk itu, kita harus menata ulang pandangan kita terhadap dunia nyata secara radikal. ‘Zat’ yang mendasari alam semesta harus mengandung baik aspek material maupun aspek mental di dalamnya. Setiap hal material mesti ada aspek mental di dalamnya; setiap hal mental/ spiritual/ rohani ada aspek material.
Filsuf (dan ilmuwan saraf) asal Australia, David Chalmers (2003), menggarisbawahi bahwa budi-tubuh adalah masalah fundamental yang hanya akan terpecahkan apabila kita bersedia membongkar secara radikal wawasan kita yang sedianya dianggap ‘normal’. Ia membuka tulisannya secara tajam sebagai berikut:
Kesadaran tidak gampang masuk ke dalam konsep kita tentang dunia alamiah. Di dalam konsep tentang alam yang paling umum, maka dunia alamiah adalah dunia fisik. Tetapi dalam konsep tentang kesadaran yang paling umum, tidak mudah dipahami bagaimana hal itu dapat menjadi bagian dari dunia fisik. Jadi rupanya kita dapat menemukan tempat bagi kesadaran dalam tatanan alamiah hanya lewat salah satu dari dua jalan: atau kita harus menata ulang konsep kita tentang kesadaran, atau menata ulang konsep tentang alam.
Soal sejarah evolusi
Argumen panpsikis yang lain ada kaitan dengan sejarah evolusi. Pertanyaan yang dihadapi oleh orang yang tidak menerima panpsikisme adalah: Di manakah letaknya batasan evolusioner antara makhluk berkesadaran dan yang tidak berkesadaran? Mereka bersedia mengakui keberadaan aspek mental di dalam manusia, juga di dalam binatang tertentu - terutama yang lebih ‘tinggi’ seperti mamalia. Tetapi mereka tak dapat membayangkannya di dalam tanaman, apalagi dalam barang non-organik. Namun, bila diminta menunjuk persis di mana batasnya, ternyata tidak mudah menentukan spesies mana yang berbudi, mana yang tidak. Charles Darwin pernah menulis artikel tentang ‘daya ingat’ seekor cacing tanah! Kesulitan konseptual menentukan batas bawah aspek mental dalam Rantai Keberadaan adalah pertanda buruk pertama bagi mereka yang skeptis terhadap panpsikisme.
Dan kesulitan tersebut tidak berhenti di situ saja. Mamalia adalah produk evolusi yang relatif baru dalam sejarah alam semesta: kira-kira 300-an juta tahun yang lalu. Sementara alam semesta sendiri diperkirakan lahir 13.787 juta tahun lalu. Maka mereka – orang skeptis tersebut - harus berkesimpulan bahwa ‘budi’ muncul dari kondisi ‘tidak ada budi’ pada saat tertentu. Kesimpulan ini dinamakan emergentism (diterjemahkan Pemunculan, barangkali). Selama milyaran tahun, tidak ada aspek mental dalam alam semesta. Lalu tiba-tiba ada.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kaum panpsikis merasa yakin penganut emergentism tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Apakah mungkin, tiba-tiba, di suatu tempat, ada satu saja makhluk yang lahir yang memiliki budi, di mana orang tuanya tidak memiliki budi sama sekali? Peristiwa sejenis harus dinamakan mukjizat. Dan ‘mukjizat alamiah’ ini tidak hanya sekali mesti terjadi dalam paham emergentism, melainkan berulangkali, pada spesies yang berbeda-beda dan tidak saling berhubungan. Sebab bukan hanya satu spesies binatang saja yang memiliki budi. Apabila benar tidak ada mukjizat – dan kaum panpsikis yakin benar tidak ada mukjizat – maka emergentism harus dicap mustahil.
Daripada itu, simpullah kaum panpsikis, aspek mental sudah ada di alam sejak saat pertama di Big Bang. Fisikawan dan filsuf Inggeris William Kingdon Clifford (1845–1879) pada abad ke-19 merumuskannya sebagai berikut (Skrbina 2017: 174). Semakin kita meniti rantai makhluk hidup dari yang paling kompleks turun kepada yang paling sederhana, maka:
Mustahillah seseorang dapat menunjuk pada titik mana persis dia menemukan ‘tidak adanya budi’… Bahkan di dalam makhluk yang paling rendah, bahkan di dalam Amoeba… tetap ada sesuatu, yang bagi kita begitu sederhana sehingga tak dapat dibayangkan kesederhanaannya, yang pada dasarnya memiliki ciri yang sama dengan kesadaran kita, meskipun tanpa kompleksitas yang sama. [Lagipula] kita tidak dapat berhenti pada materi organik, [melainkan] harus mengandaikan, agar mempertahankan kontinuitas di dalam keyakinan kita, bahwa di samping tiap pergerakan materi, baik organik maupun nonorganik, akan ada sebuah fakta yang menyerupai fakta mental di dalam diri kita.
Sejumlah filsuf modern
Skrbina (2017: 333) meramalkan bahwa panpsikisme bisa saja memicu revolusi dalam pengetahuan manusia: ‘Kita bisa saja mendekati suatu saat di dalam sejarah di mana asumsi-asumsi mendasar terhadap dunia tiba-tiba berubah. Perubahan semacam itu pernah terjadi sebelumnya.’ Di sini kita menjumpai beberapa filsuf modern yang telah merangkul paham panpsikisme. Yang paling mencolok barangkali adalah Galen Strawson, filsuf Inggeris yang lahir 1952. Ayahnya juga seorang filsuf terkenal, P. F. Strawson. Galen Strawson mengkhususkan diri pada persoalan budi-tubuh. Menurut dia, paham panpsikis adalah satu-satunya kemungkinan yang dapat dibenarkan secara filsafati. Orang cuma tidak bersedia merangkulnya, karena enggan melepaskan cara pikir yang sudah terbiasa. Tepatnya, mereka enggan melepaskan istilah yang mengkontraskan hal ‘mental’ dengan hal ‘fisik.’ Strawson menulis (2015: 203):
Terdapat keengganan yang luar biasa untuk melepaskan istilah lama ‘mental’ lawan ‘fisik’ dan untuk merangkul sebagai gantinya istilah baru ‘mental’ lawan ‘non-mental’, atau istilah ‘pengalaman’ lawan ‘non-pengalaman’. Padahal yang terakhir inilah yang secara paling tepat menerangkan apa yang dibutuhkan. Banyak orang menganggap bahwa istilah lama itu tidak berbahaya. Hanya sedikit yang tidak ditipu oleh istilah lama ini. Banyak orang secara konsekuen menggunakan kata ‘fisik’ apabila mereka ingin berkata ‘fisik yang non-mental.’ Tetapi istilah itu langsung, dari titik awal, membangun kerangka pemikiran yang salah. Dugaan saya, mereka yang tidak pernah tertipu oleh istilah ini merupakan bagian dari sebuah minoritas kecil.
Bagi Strawson, tidak diragukan lagi, panpsikisme adalah satu-satunya paham yang sesuai dengan kenyataan (Strawson 2008: 58) (tekanan dari saya):
… [P]anpsikisme bukanlah salah satu bentuk fisikalisme yang realistis atau fisikalisme nyata, melainkan satu-satunya bentuk yang mungkin, dan, karena itu, satu-satunya bentuk yang mungkin dari fisikalisme macam apapun.
Ia mengaku dia sendiri butuh waktu yang lama untuk sampai pada kesimpulan ini (Strawson 2015: 203).
Saya butuh waktu lama. Seseorang melangkah maju bila dia dapat melihat bahwa panpsikisme adalah sejenis naturalisme [yaitu, paham bahwa segala sesuatu bersifat alamiah, tanpa campuran supranatural].
Akhirnya ia mencapai gambaran tentang alam yang cukup sederhana, di mana aspek mental (atau ‘pengalaman’) sudah menjadi bagian dari dunia fisik dari awal (Strawson 2008: 73):
Pada suatu ketika, terdapatlah materi yang agak tidak terorganisir, yang cirinya ada baik yang bersifat pengalaman maupun non-pengalaman. Materi tersebut kemudian menata diri hingga mengambil bentuk yang semakin kompleks, baik dalam hal pengalaman maupun non-pengalaman, lewat banyak proses yang berbeda-beda di antaranya evolusi yaitu seleksi alam. Dan sebagaimana bentuk-bentuk non-pengalaman (yaitu tubuh makhluk hidup) mengalami perluasan secara spektakuler, demikian pula bentuk-bentuk pengalaman mengalami perluasan dan penyempurnaan yang spektakuler. Inti daripada pengalaman, mungkin sekali, adalah salah satu bentuk elektromagnetisme (atau semua bentuk elektromagnetisme); di mana elektromagnetisme merupakan (salah satu) ungkapan dari sebuah kekuatan yang dicirikan pengalaman, lepas dari ciri-ciri lainnya. (Sayang sekali, saya tak dapat membayangkan program penelitian untuk membuktikannya.)
Rupanya program penataan-ulang intelektual yang digambarkan David Chalmers di atas kini mulai jelas. Bukan konsep kesadaran yang harus ditata-ulang, melainkan konsep tentang alam. Mirip dengan Strawson, mirip pula dengan Clifford, dan sejumlah pemikir lain yang semuanya dibicarakan oleh Skrbina, Chalmers (2003) merumuskannya sebagai berikut:
Kita sudah terbiasa beranggapan bahwa dunia ini memiliki ciri-ciri yang fundamental: di bidang fisika, ciri seperti ruang-waktu, massa, dan muatan listrik, dianggap fundamental dan tidak dapat diterangkan lebih jauh. Apabila argumen-argumen yang menentang materialisme itu benar adanya, maka senarai ciri-ciri fisika di atas tidak menghabiskan ciri-ciri fundamental dari dunia: kita harus memperluas daftar ciri-ciri dunia yang fundamental… Jadi kita dapat menduga bahwa ada semacam prinsip-prinsip dasar – hukum psikofisika – yang mengaitkan ciri-ciri fisik dengan ciri-ciri fenomenal [yaitu ciri mental dalam bahasa Chalmers]. Mirip dengan hukum fundamental seperti relativitas atau mekanika kuantum, hukum-hukum psikofisika tidak dapat diturunkan dari prinsip-prinsip yang lebih mendasar lagi, melainkan harus diterima sebagai kenyataan primitif.
Apabila benara secara abstrak, bagaimana panpsikisme dalam alam harus dibayangkan secara konkrit? Ada berbagai kemungkinan yang telah diusulkan oleh peneliti panpsikisme. Kebanyakan di antaranya menduga ciri-ciri psikofisika tersebut terikat dengan materi pada tingkat paling kecil. Arthur Eddington (1882 – 1944) adalah seorang astronom. Ia yang pertama menerka secara tepat bahwa cahaya matahari berasal dari fusi nuklir yang mengalihkan hidrogen menjadi helium. Ia juga seorang filsuf yang sangat tertarik dengan panpsikisme. Ia menganjurkan para fisikawan agar mengaitkan pengukurannya terhadap berbagai variabel fisik di dunia dengan pemikiran:
Pemikiran adalah salah satu fakta dunia ini yang tidak terbantahkan lagi… Demikianlah sebuah dunia yang minta diselidiki. Fisikawan memakai peralatannya dan memulai penjelajahan yang sistematis. Ia hanya dapat menemukan sejumlah atom dan elektron dan berbagai medan kekuatan yang tertata di dalam ruang dan waktu, rupanya mirip dengan tatanan barang non-organik. Ia bisa saja melacak ciri-ciri fisik yang lain, energi, suhu, entropi. Tidak satupun ciri ini sama dengan pemikiran… Tetapi kemudian kita menyadari bahwa ilmu alam tidak dapat berkata apa-apa mengenai sifat intrinsik dari atom. Atom yang fisikal, sama dengan semua benda dalam ilmu fisika, adalah sebuah daftar pembacaan alat laboratorium. Daftar ini terkait dengan sebuah latar belakang yang tidak diketahui. Mengapa tidak mengaitkannya dengan sesuatu yang bersifat spiritual, di mana ciri mencolok adalah pemikiran? Tampak agak tolol apabila kita lebih memilih mengaitkannya dengan sesuatu yang menurut kita bersifat ‘konkrit’ tetapi yang tidak cocok dengan pemikiran, hingga akhirnya kita bertanya-tanya dari manakah datangnya pemikiran.
Adalah alinea dari Eddington ini yang meyakinkan Strawson akan kebenaran panpsikisme – terutama sindiran tentang strategi ilmiah yang dikatakannya ‘tolol’.
Dewasa ini ada sejumlah saran penelitian yang menelusuri kemungkinan bahwa unsur pemikiran tersebut ada hubungan dengan getaran pada skala ruang dan waktu yang amat kecil. Ahli medis Amerika Stuart Hameroff bekerjasama dengan matematikawan Roger Penrose untuk mengusulkan bahwa getaran pada Skala Planck, yaitu ukuran ruang amat amat kecil, dapat melahirkan gejala psikofisika yang mereka sebut ‘kwalitas pengalaman yang awal-sadar’ (proto-conscious experiential qualities - (Skrbina 2009: Bab 5)). Apabila kemudian digabung menjadi molekul, dan digabung lagi menjadi saraf, getaran Skala Planck tersebut mungkin dapat menghasilkan gejala psikis yang disebut Gelombang Gamma. Gelombang Gamma diamati dalam proses kesadaran, atau lebih tepat dalam proses diturunkannya kesadaran pada saat pembiusan.
Belakangan, gejala getaran dan resonansi secara lebih umum menjadi medan penelitian yang aktif. Salah satu harapan para peneliti adalah bahwa mereka dapat mengaitkan kesadaran dengan materi secara luas, di seluruh alam (Strogatz 2003).
Filsuf Australia Freya Mathews (2021 [1991], 2003) juga mengaku diri seorang penganut panpsikisme. Getaran dan resonansi juga memainkan peran dalam pikirannya. Namun, berbeda dengan Hameroff dan Penrose, yang memulai usahanya dari skala paling kecil (Skala Planck), Mathews memulainya dari skala paling besar, yaitu dengan alam semesta sebagai sebuah kesatuan kosmologis. Ruang tidak mencukupi untuk menjelaskan konsepnya secara memuaskan di sini. Pembaca dianjurkan untuk menyimak karyanya, yang memang dituangkan ke dalam bahasa yang mudah difahami. Ia cenderung menolak pemikiran skala mikro dari peneliti lain. Ia tak yakin satuan-satuan mikro yang menunjukkan gejala ‘awal-sadar’ itu dapat digabung menjadi satuan yang lebih besar dan lebih sadar. Soal Penggabungan ini (Combination Problem) memang diakui sebagai tantangan yang berarti di bidang panpsikisme. Maka kini terdapat dua aliran dalam komunitas kecil penganut panpsikisme: mereka seperti Chalmers yang membangun dunia panpsikis dari yang kecil sampai ke yang besar (mirip dengan fisika biasa); dan mereka seperti Mathews yang menurunkannya dari yang besar (skala kosmos) sampai ke yang kecil, seperti manusia atau tanaman.
Bagaimana ia membayangkan kosmos pada skala paling besar dapat memiliki kesadaran di dalam dirinya? Freya Mathews menolak konsep bahwa ruang angkasa di antara rasi bintang adalah ‘kosong’, sebagaimana dilukiskan dalam pemikiran fisika Isaac Newton. Daripada itu, adalah Ruang sendiri yang mendasari seluruh keberadaan. Termasuk kekuatan gravitasi. Dalam teori Relativitas Umum dari Einstein, gravitasi bukanlah kekuatan tersendiri melainkan gejala ruang. Mathews tidak berhenti dengan gravitasi. Dalam sebuah perluasan dari teori relativitas yang disebut Geometrodynamics, bukan hanya gravitasi tetapi seluruh gejala fisik lahir dari Ruang. (William Kingdon Clifford, yang dikutip di atas, adalah peletak awal teori ini, sejumlah dasawarsa sebelum Einstein.) Ruang, atau lebih tepat ruang-waktu, adalah satu-satunya ‘zat’ yang mendasari seluruh kenyataan, baik material maupun mental. Ini adalah pandangan monis yang menawarkan penyelesaian bagi masalah dualisme antara roh dan materi yang telah sekian lama menghantui dunia filsafati.
Dalam sistem pemikiran ini, tidak ada ‘individu’ yang berdiri sendiri – atom, benda, hewan, manusia, atau apa saja yang terbuat dari materi. Yang ada, yaitu setiap benda material terbuat atas ‘pusaran’ kecil dalam ruang-waktu. Dengan demikian tiap benda/ insan/ makhluk tetap menjadi bagian dari sebuah keseluruhan: setiap individu berhubungan satu dengan yang lain melalui ruang-waktu yang mendasari seluruhnya. Justru hubungan-hubungan itulah yang menentukan perilaku, daripada hati makhluk masing-masing. Perilaku yang paling fundamental adalah ‘keinginan’ untuk tetap hidup dan berkembang. Keinginan itupun berasal bukan dari individu itu sendiri melainkan dari kosmos. Semua ciri insan-insan itu – baik ciri yang material maupun ciri yang mental - didapatkannya dari ‘zat’ monistik yaitu ruang-waktu. Ruang-waktu yang mengisi seluruh kosmos, dalam pemikiran Mathews, bukanlah hanya sebuah matriks 4-D (x-y-z-t) untuk menentukan lokasi bagi sesuatu benda pada saat tertentu. Kosmos sendiri merupakan sebuah ‘Diri’ (Self) yang lalu melahirkan sekian banyak ‘diri’ yang lebih kecil termasuk manusia. Setiap ‘diri’ itu ingin mempertahankan keberadaannya sendiri; sekaligus setiap ‘diri’ itu tergantung pada ‘diri’ yang lain. Dari situlah muncul sebuah etika di mana masing-masing ‘diri’ berinteraksi dengan yang lain hingga menjadi sebuah kesatuan yang besar dan penuh kehidupan. Interaksi yang lebih dicirikan kerjasama daripada persaingan ini memang diamati di antara hewan (lihatlah bab mengenai Binatang), dan merupakan pengamatan fundamental dalam Teori Sistem Umum (General Systems Theory).
Dengan demikian, ‘etika’ yang menganjurkan tiap insan untuk saling bekerjasama demi kebaikan semua – yaitu sebuah etika yang dalam bab lain buku ini kita sebutkan etika ekologis – menjadi bagian dari keberadaan seluruh kosmos. Etika tidak lahir dari hati nurani sejumlah kecil insan yang cerdas seperti manusia saja, juga tidak diajarkan oleh Tuhan yang berada di luar alam, melainkan merupakan prinsip dasar dari alam itu sendiri. Etika adalah prinsip metafisis, yaitu terkait dengan ciri dasar kenyataan, bukan hanya ajaran moral yang berdiri sendiri.
Lebih daripada panggilan etis yang kering, Mathews bahkan mengakarkan etika dalam perasaan sukacita dan cinta yang terdapat dalam seluruh kosmos. Judul bukunya yang terkenal di antara penganut panpsikisme, For Love of Matter (‘Demi Cinta pada Materi’) (Mathews 2003) mencerminkan keyakinan bahwa kesuburan yang ditemukan dalam alam lahir dari semacam cinta yang tersebar luas. Insan-insan merasakan diri terkait satu dengan yang lain melalui semacam asmara kosmik yang mewarnai setiap ekosistem di alam semesta. Dekat sekali dengan pesan Wordsworth dalam syairnya yang mengawali bab ini.
Untuk penelitian lebih jauh
- Dalam kelompok kecil, tontonlah filsuf panpsikis Galen Strawson membela pandangannya dalam video 9-menit ini. Simaklah video yang lebih singkat lagi: yang ini dan yang ini dari David Skrbina, dan yang tiga ini dari pemikir lain (Rupert Sheldrake, Philip Goff, Avshalom Elitzur). Apakah Anda tergoda berubah pikiran?
- Tanaman Pintar? Tontonlah video YouTube ini: 'Are plants conscious? | Stefano Mancuso | TEDxGranVíaSalon‘ (atau video sejenis mengenai topik ini, jumlahnya cukup banyak). Daftarkanlah sejumlah ciri „kepekaan’ tanaman. Menurut anda, apakah tanaman memang pintar?
- Pilihlah salah seorang dari penganut panpsikisme yang dibahas oleh Skrbina (2017). Susunlah biografinya selengkap mungkin, dengan menempatkan pemikirannya dalam konteks ilmu alam dan filsafat modern.
- Bandingkanlah pemikiran panpsikisme Eropa yang diperkenalkan dalam bab ini dengan pemikiran sejenis dalam budaya Asia. Sumber yang penting: bab-bab Jaison A. Manjaly, Graham Parkes, dan Freya Mathews dalam (Skrbina 2009).
- Di atas, etika ekologis dikaitkan dengan panpsikisme kosmik versi Freya Mathews. Gunakanlah buku Skrbina untuk merumuskan etika ekologis yang ditemukan dalam tulisan sejumlah penganut panpsikisme versi ‘mikro’ (yang di atas dikaitkan dengan nama David Chalmers). (Dugaan saya, David Skrbina sendiri termasuk di antaranya).
Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.
[Modifikasi terakhir: 07/02/2025]
Acuan
Chalmers, David J. 2003. ‘Consciousness and its place in nature.’ In Blackwell Guide to Philosophy of Mind, edited by S. Stich and T. Warfield. Blackwell.
Klinken, Geert Arend van. 1977. ‘Geophysical studies on the Wentworth Trough, Western New South Wales.’ M.Sc. (Hons.), School of Earth Sciences, Macquarie University.
Mathews, Freya. 2003. For love of matter: a contemporary panpsychism. Albany: SUNY Press.
Mathews, Freya. 2021 [1991]. The ecological self. London: Routledge.
Skrbina, David, ed. 2009. Mind that abides: panpsychism in the new millennium, Advances in consciousness research. Amsterdam: John Benjamins.
Skrbina, David. 2017. Panpsychism in the West. rev ed. Cambridge, MA: MIT Press.
Strawson, Galen. 2008. ‘Realistic monism: why physicalism entails panpsychism.’ In Real materialism: and other essays, edited by Galen Strawson. Oxford Scholarship Online.
Strawson, Galen. 2015. ‘Real materialism (with new postscript).’ In Consciousness in the physical world: perspectives on Russellian monism, edited by Torin Alter and Yujin Nagasawa, 161-208. Oxford University Press.
Strogatz, Steven H. 2003. Sync: how order emerges from chaos in the universe, nature, and daily life. New York: Hyperion.
Download dan baca pdf artikel ini