Lahirnya Bacaan Bumi

Terilhami gagasan positif, 17 pengarang berani berharap akan masa depan ekologis di Indonesia

Di China, 80 persen penanggap tahun lalu menjawab Ya ketika ditanya apakah mereka ingin negara mereka mengganti batu bara, minyak, dan gas dengan energi terbarukan, seperti tenaga angin atau matahari. Di Australia, hanya 68 persen yang menjawab Ya, dan di AS, 53 persen. Banyak data survei perbandingan lainnya menunjukkan hal yang sama: penduduk di negara-negara belahan Selatan lebih sadar akan seriusnya krisis iklim dibandingkan dengan mereka di negara-negara Utara yang kaya. Negara (semi-)miskin seperti China, India, Kenya, atau Bolivia juga lebih siap untuk berkorban demi membiayai transisi tersebut.

Mungkin orang miskin sudah terbiasa menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan, meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak bersalah. (Hal ini juga menunjukkan betapa kelirulah anggapan bahwa negara miskin terlalu sibuk memerangi kemiskinan untuk peduli lingkungan). Sementara itu, orang kaya diduga begitu terperangkap dalam gaya hidup konsumtif sehingga mereka dengan mudah tertipu oleh lobi bahan bakar fosil. Orang Amerika adalah juara dunia dalam penyangkalan perubahan iklim.

Anehnya, sikap masyarakat Indonesia lebih mirip dengan sikap di Amerika Serikat daripada di China. Pada tahun 2010, hanya 33 persen warga Indonesia yang ‘bersedia membayar harga lebih tinggi untuk mengatasi perubahan iklim global’. Di China, angka tersebut mencapai 88 persen. Bahkan di Amerika Serikat, angkanya lebih tinggi: 41 persen. Benar, sejak saat itu, orang Indonesia merasa semakin khawatir tentang dampak perubahan iklim terhadap generasi mendatang – kini lebih khawatir daripada orang Australia. Tetapi mereka tetap memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi bahwa pemerintah telah mengendalikan situasi, padahal itu tidak benar. Mengapa? Apakah ini disebabkan oleh Amerikanisasi budaya Indonesia yang bermula dari era Orde Baru? Atau apakah ini akibat propaganda ekstraktif oleh elit neoliberal pengekspor batu bara?

Bacaan Bumi

Bagaimanapun, ada banyak ruang untuk pencerahan diri, dan di sinilah Bacaan Bumi berperan. Cerita proyek ini bermula dari Departemen Sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pada bulan Agustus 2023, mereka mengumpulkan mahasiswa dan aktivis dari seluruh negeri untuk summer school sejarah lingkungan pertama mereka. Saya ada di sana dan melihat betapa termotivasinya para intelektual muda ini untuk melakukan hal positif.

Filsuf Islam ‘hijau’ Budhy Munawar-Rachman, di kafe Filosofi Kopi (yang dinamai sesuai film).

Saya juga menyadari bahwa mereka hanya sedikit familiar dengan apa yang disebut ‘humaniora lingkungan hidup’ (environmental humanities). Seperti mahasiswa humaniora dan ilmu sosial di mana pun, mereka dibesarkan dengan keyakinan bahwa hanya insinyur dan ilmuwan atmosfer yang memahami krisis iklim. Mereka merasa kurang percaya diri – mereka ‘hanyalah’ sejarawan.

Namun, saat kita membahas berbagai topik dalam humaniora lingkungan, kesadaran mulai muncul. Ini adalah krisis manusia, bukan krisis teknis! Kita tahu sesuatu tentang manusia yang tidak diketahui oleh para insinyur. Setidaknya di Eropa, semua transformasi besar peradaban di masa lalu – Renaisans, Pencerahan, Gerakan Romantisme – berasal dari humaniora, bukan dari kaum teknis. Setidaknya kita memiliki keberanian untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan serius, sementara insinyur lebih suka menandatangani kontrak dan langsung mulai menghitung.

Filsuf ekofeminis Ruth Indiah Rahayu, yang menulis dua kali di Bacaan Bumi.

Sebuah rencana muncul. Mari kita tulis serangkaian bab pendek untuk mahasiswa humaniora dan ilmu sosial Indonesia yang tertarik mengembangkan keterampilan untuk berpikir ekologis. Fokusnya akan pada ide-ide baru yang positif, bukan pada masalah teknis. Saya akan menulis bab-bab yang memperkenalkan literatur internasional tentang berbagai topik; teman-teman Indonesia akan menulis esai provokatif tentang apa arti topik tersebut bagi orang Indonesia secara khusus. Beberapa teman ini sudah saya kenal selama bertahun-tahun – beberapa di antaranya mengikuti summer school 2023 – sementara yang lain sama sekali baru bagi saya.

Selama bulan itu, saat berkeliling mengunjungi berbagai universitas di Jawa, saya terus bertemu dengan orang-orang yang memiliki ide yang sama.

  • Mahasiswa sejarah di Malang ternyata juga memiliki minat yang kuat terhadap lingkungan.
  • Ada diskusi kelompok besar namun agak sembunyi-sembunyi tentang Ekososialisme di sebuah kafe dadakan di hutan di luar Semarang.
  • Partai Hijau Indonesia memiliki lingkaran aktivis yang sangat berkomitmen di Jakarta, meskipun mereka terlalu kecil untuk berpartisipasi dalam pemilu nasional.
  • Tahun berikutnya, saya mengenal lingkaran ekonom di Bandung, lalu di Yogyakarta. Mereka adalah ilmuwan sosial lebih daripada pegiat humaniora, tetapi bagi saya pengenalan ini adalah hal baru. Kami membahas Degrowth dan Ekonomi Ekologis. Sebagian di antaranya bersikap skeptis secara sopan, sementara yang lain terbuka terhadap ide-ide yang tidak muncul dalam buku teks standar mereka.
  • Di sebuah kafe elegan di Jakarta bernama Filosofi Kopi, saya bertemu kembali dengan seseorang sejak sekian tahun kurang kontak, dan mengetahui bahwa dia kini menjadi seorang Ekofeminis yang sangat teguh dengan gelar S3 bidang filsafat.
  • Dia pada gilirannya memperkenalkan saya pada seorang rekan filsuf yang tergabung dalam jaringan aktivis lingkungan radikal Islam. Sebagai orang sekuler dari Australia, saya terkejut mengetahui betapa berkomitmennya tokoh-tokoh dari sayap kiri Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Salah satunya – orang lain lagi - mengajak saya ke lokasi tambang emas Australia yang direncanakan di Trenggalek, Jawa Timur, dan kami akhirnya membuat edisi khusus Inside Indonesia bersama tentang pertambangan.
Ekonom Aloysius Gunadi Brata, yang berbicara tentang Degrowth dalam seminar di Universitas Atmajaya Yogyakarta.
  • Kembali ke Universitas Gadjah Mada, saya berkenalan dengan Fakultas Filsafat dan terkesan dengan ide-ide radikal yang mereka kembangkan.
  • Setelah singgah kembali ke Malang, saya mencari pakar psikologi, bidang lain yang sama sekali tidak saya ketahui, dan menemukannya di Universitas Muhammadiyah. Kami membicarakan mengapa generasi muda sepertinya tak merasa cemas tentang krisis iklim. Salah satu dari mereka menyalahkan pemimpin agamanya sendiri, yang semuanya terlibat dalam bisnis dan enggan membangunkan protes yang sedang tidur.
  • Di Universitas Brawijaya, di kota Malang yang sama, saya bertemu dengan sekelompok orang di sekitar calon rektor universitas. Kami mengadakan lokakarya dadakan tentang pendidikan berjiwa ekologis, yang pada suatu saat berteriak ‘Universitas Ekologis!’, dengan tinju teracung ke udara. Luar biasa.
  • Setelah pulang ke Australia, saya masih belum menemukan siapa pun, di universitas mana pun, yang berani menyerukan penghentian total bisnis ekspor batu bara yang besar. Kemudian seseorang memperkenalkan saya kepada kelompok anti-pertambangan Indonesia bernama Jatam. Bagi mereka pesan ini merupakan inti dari perjuangan mereka.

Secara perlahan, sebuah jaringan mulai terbentuk dari orang-orang yang sebelumnya tidak saling kenal – sekat di antara fakultas dan universitas di Indonesia memang tinggi – namun mereka ternyata memiliki banyak kesamaan ketika memikirkan Ibu Bumi.

Bab-bab mulai bermunculan di internet – dipublikasikan secara sukarela oleh Inside Indonesia di bawah kepemimpinan Jemma Purdey. Jika suatu saat menjadi buku, katanya padaku, dia ingin Inside Indonesia menjadi co-publisher. Pembaca di Indonesia ada yang bercerita mereka mencetak salinannya dan memberikannya kepada mahasiswa untuk dibaca. Yang lain mempelajarinya di rumah.

Sejarahwan lingkungan Ronal Ridhoi dari Malang, di summer school sejarah lingkungan 2023.

Andreas Haryono adalah pemimpin redaksi di Yayasan Obor Indonesia, penerbit akademik terkemuka di negara ini. Kami sudah kenal baik melalui berbagai proyek buku. Sebagai seorang intelektual sejati, dia dan saya telah banyak berdiskusi mengenai respons manusia terhadap krisis iklim. Ketika dia melihat jaringan baru ini lahir, ia langsung memberikan dukungan penuh. Berkat dia beserta Ibu Kartini dan seluruh tim Obor, Bacaan Bumi kini akan segera terbit sebagai buku yang bisa Anda pegang di tangan – diterbitkan bersama majalah Inside Indonesia.

Andre Haryono dan saya akan keliling Indonesia pada bulan November dan Desember, bertemu dengan semua penulis buku ini, serta dengan para mahasiswa di kampus-kampus mereka. Kami akan membahas berbagai topik dalam buku ini – mulai dari Ekopsikologi hingga Ekososialisme, dari Ekonomi Ekologis hingga Deep Ecology, dari Degrowth hingga Binatang yang bermoral, dari Ekofeminisme hingga Panpsikisme. Jadwalnya tercantum di bawah ini.

Silakan datang! Kami ingin Anda menjadi bagian dari diskusi ini. Bersama-sama, kita dapat mendidik diri kita sendiri tentang hal-hal positif yang menanti kita di masa depan ekologis, dan kita dapat membantu membuka hati dan pikiran di seluruh negeri ini terhadap ‘pemikiran ekologis.’

Gerry van Klinken (gvanklinken@gmail.com) adalah anggota dewan redaksi Inside Indonesia dan editor buku Bacaan Bumi: pemikiran ekologis untuk Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2025). Jadwal peluncuran buku tersedia di sini. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Gerry melalui WhatsApp +31 621-480-539, atau Andre Haryono melalui WhatsApp +62 812-8881-1157. (Edisi bahasa Inggris buku ini, yang hanya berisi esai-esai Gerry dan berjudul Earth Readings, diharapkan terbit awal 2026).