Apr 19, 2024 Last Updated 1:12 AM, Apr 19, 2024

Politik pengetahuan pascareformasi

Published: May 11, 2023

Benjamin Hegarty & Annisa R. Beta

English version

Paradigma keterbukaan dan transparansi merupakan inti dari reformasi di Indonesia. Komponen utama dari proses demokrasi adalah penelitian dan pendidikan. Universitas memainkan peran penting dalam melakukan penelitian dan mendidik mahasiswa untuk berkontribusi dalam debat publik. Seperti yang ditunjukkan oleh setiap kontributor Inside Indonesia edisi ini, prinsip-prinsip ini telah tergerus oleh liberalisasi sektor penelitian di satu pihak dan peningkatan tendensi kontrol dan sensor di pihak lain. Tren membatasi kebebasan akademik yang makin meluas ini sangat memprihatinkan, begitu pula keasyikan berkutat dengan standar internasional dan metrik seragam yang dikembangkan untuk disiplin-disiplin, dibanding penilaian kualitas yang kontekstual dan berbasis disiplin. Erosi penelitian dan pengajaran sebagai barang publik yang menyeluruh ini telah memunculkan model-model penelitian dan pendidikan.

Salah satu tantangan yang dihadapi para cendekia dan juga mereka yang mempelajari Indonesia adalah meningkatnya pelembagaan pedoman etika penelitian dan peluang pendanaan melalui pengembangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tantangan yang terkait dengan BRIN dihadapi oleh para peneliti Indonesia dan asing. BRIN kini menjadi satu-satunya lembaga riset nasional Indonesia, yang mengawasi fungsi pendanaan riset, pengelolaan lembaga riset, dan perizinan kerja sama dan riset asing di Indonesia. Walaupun skala BRIN memberikan dukungan institusional yang disambut baik untuk penelitian di Indonesia, penyempitan penelitian menjadi fokus-fokus khusus yang terkait dengan kepentingan nasional dapat menghambat selidik kritis dan membatasi kebebasan intelektual.

Jangkauan BRIN dalam mengubah penelitian menjadi alat negara sangat memprihatinkan mengingat iklim politik saat ini di Indonesia, di mana suara-suara yang berbeda pendapat sering dibungkam. Seiring dengan diperkenalkannya kembali batasan dalam meneliti topik sensitif (meskipun karena alasan etika, bukan keamanan), model BRIN dapat secara tidak langsung mengarah kepada penyempitan topik penelitian serta bentuk kolaborasi yang tidak etis dan berkualitas rendah. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menimbulkan ancaman terhadap ekspresi akademik dengan diberlakukannya batasan hukum pada komunikasi daring. UU ini telah digunakan untuk membungkam cendekia yang mengkritik pemerintah atau lembaga berpengaruh lainnya, termasuk Saiful Mahdi, kontributor edisi ini. Penting untuk dicatat bahwa UU ITE tidak hanya membungkam kebebasan akademik tetapi juga merusak kredibilitas dan legitimasi pengetahuan yang dihasilkan di bawah pembatasan tersebut.

/ Benjamin Hegarty

Ancaman lain terhadap penelitian dan pengajaran di Indonesia datang dari persyaratan birokrasi yang memberatkan dan ketidakpastian kondisi kerja. Keluarnya Peraturan Menteri (Permenpan dan RB) No. 1/2023 tentang Reformasi Administrasi dan Reformasi Birokrasi baru-baru ini telah menambah lapis-lapis birokrasi ke dalam proses akreditasi akademik di universitas-universitas Indonesia yang sudah memberatkan sejak awal. Sulistyowati Irianto, seorang antropolog hukum, dengan tepat mengatakan bahwa hal ini hanya akan mengubah ‘dosen menjadi birokrat.’ Meskipun hal ini tidak semata terjadi di Indonesia dan bagian dari tren global terhadap budaya audit, tren ini bisa jadi gambaran suram akan masa depan pengajaran dan penelitian Indonesia.

Produksi dan penyebaran pengetahuan di Indonesia tidaklah netral, melainkan dibentuk oleh konteks politik dan ekonominya. Untuk menghadirkan lanskap penelitian yang lebih etis, setara, dan adil, penting bagi kita untuk secara aktif menantang pembatasan yang dipaksakan oleh institusi dan infrastruktur dan untuk menciptakan paradigma dan platform alternatif. Pada saat kepentingan korporat dan kontrol negara atas penelitian dan pendidikan semakin merebak, masyarakat Indonesia menanggapi tantangan terhadap penelitian terbuka dengan berbagai cara. Edisi ini menyoroti bentuk-bentuk produksi pengetahuan alternatif yang dinamis untuk universitas tradisional dan juga tanggapan kritis terhadap ancaman bagi otonomi para peneliti Indonesia.

Etnografi terbuka sebagai model alternatif untuk produksi pengetahuan

Di Asia, para aktivis dan cendekiawan kerap mengkritisi kerangka dominan yang mengatur tata cara pendidikan dan penelitian, yang dilatarbelakangi sejarah penjajahan, imperialisme, dan Perang Dingin. Di Indonesia, kampus-kampus telah lama berfungsi sebagai kawah candradimuka untuk menghubungkan isu keseharian dengan aspirasi politik. Berangkat dari sejarah yang unik ini, serta kontribusi masyarakat sipil terkini bagi bentuk-bentuk penelitian dan pendidikan di luar kendali negara, kami telah mengembangkan paradigma pengetahuan alternatif yang kami sebut ‘etnografi terbuka.’

Etnografi terbuka adalah sebuah konsep yang berusaha menjawab tantangan ketidaksetaraan struktural yang mempengaruhi lanskap penelitian di Indonesia. Di sini, ‘terbuka’ tidak mengacu pada dikotomi terbuka atau tertutup, melainkan mengacu kepada keterbukaan sementara dan yang tergantung konteks, di mana kita dapat menelaah ulang etika produksi pengetahuan. Kerangka ini, yang dikembangkan dari dalam konteks Indonesia, menawarkan lensa kritis bagi etika penelitian di semua aspek produksi dan berbagi pengetahuan. Suara mana yang ditinggikan ketika suara yang lain dibungkam? Bagaimana peneliti Indonesia berkontribusi dalam debat global, jika ‘global’ dipersepsikan secara sempit sebagai forum Eropa-Amerika (dan terkadang Australia)? Dengan cara apa kita menghindari reproduksi bentuk-bentuk historis penelitian yang hanya menempatkan orang Indonesia sebagai asisten peneliti asing?’ Etnografi secara historis merupakan metode yang berkelindan dengan antropologi, yang melibatkan partisipasi peneliti dalam praktik budaya keseharian untuk memperoleh ‘pengetahuan orang dalam,’ tetapi etnografi terbuka menantang asimetri tersebut di semua infrastruktur penelitian.

Jaringan Etnografi Terbuka seminar di Universitas Atma Jaya, 27 April 2023 / Benjamin Hegarty

Solusi institusional untuk mengatasi perbedaan, yang lahir dari warisan kolonial dan sistem kapitalis, memasukkan di dalamnya perpindahan ke publikasi berakses terbuka (berbayar) dan desakan untuk menulis bersama. Skema izin penelitian luar negeri BRIN mensyaratkan partisipasi mitra Indonesia dalam proses penelitian. Namun, intervensi institusional ini hanya menyentuh masalah di permukaan. Konsep etnografi terbuka kami dan jaringannya, Jaringan Etnografi Terbuka, melangkah lebih jauh, mencari contoh untuk menyela model pengetahuan yang eksploitatif dan kapitalis serta mempertanyakan bagaimana penelitian itu sendiri dapat melanggengkan ketimpangan.

Kritik umum yang muncul dari humaniora bersikukuh, dan memang tepat, pada bentuk-bentuk posisionalitas yang menempatkan peneliti sebagai sebuah jalan untuk merontokkan bentuk produksi pengetahuan kolonial dan berbasis gender. Dengan memperluas intervensi penting ini, etnografi terbuka bergerak di luar fokus akan individu peneliti dan identitas mereka, bahkan lebih jauh memikirkan hubungan antarfokus tersebut: antara peneliti, subyek-subyek mereka, dan publik yang terlibat dalam penelitian. Termasuk dalam hal ini adalah pengajuan pertanyaan fundamental dan meluas tentang tujuan dan audiens penelitian, serta bagaimana data dikumpulkan dan diteorikan. Dengan mengambil pendekatan produksi pengetahuan yang lebih komprehensif, etnografi terbuka menantang para peneliti untuk berpikir di luar akses dan representasi dan untuk mengkaji secara kritis dinamika kekuasaan yang berperan dalam proses penelitian.

Etnografi terbuka menawarkan kerangka epistemologis alternatif yang mendorong para ilmuwan untuk secara kritis mengkaji medan ekonomi riset global yang timpang dan posisi Indonesia di dalamnya. Hal ini krusial mengingat bahwa ilmuwan Indonesia telah lama dirugikan karena ini: karena kendala bahasa, kurangnya dukungan penelitian, dan pendapatan yang minim. Dengan mendorong lanskap penelitian yang lebih setara, etnografi terbuka menawarkan alternatif dari struktur produksi pengetahuan dominan yang melanggengkan ketimpangan. Ia mendorong para ilmuwan untuk berpikir di luar pakem dan mengadopsi pendekatan-pendekatan penelitian yang lebih inovatif demi menantang status quo.

Edisi ini

Pada edisi ini, kita melihat etnografi terbuka sebagai sebuah model dengan mengundang para peneliti dan aktivis untuk mengkaji secara kritis bagaimana infrastruktur pengetahuan dapat berkontribusi pada hak etis dan inklusif atas pengetahuan di seluruh Indonesia.

Artikel dari Saiful Mahdi dan Ben K.C. Laksana mengajak kita memperhatikan penyempitan ruang kerja intelektual kritis di universitas-universitas Indonesia, di mana neoliberalisasi dan kerawanan mengancam kebebasan akademik. Tren ini serupa dengan tren di belahan dunia lain. Tulisan mereka mengajak para akademisi dan pekerja pengetahuan untuk bertindak dan membentuk serikat dan kelompok untuk melindungi hak atas pengetahuan dari kepentingan yang murni komersial.

Dalam penggambaran transformasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (RISTEK) Indonesia baru-baru ini menjadi BRIN dan pengalamannya sendiri tentang lembaga-lembaga ini sebagai studi kasus, Nicholas Long menulis bahwa upaya model baru ini untuk memaksakan keseragaman dalam kolaborasi penelitian yang berdasarkan ilmu eksakta mengabaikan esensi kolaborasi yang lebih ad hoc, kreatif, dan memiliki keterlibatan tinggi dengan universitas-universitas yang lebih kecil.

Aryo Danusiri mengungkapkan caranya menanamkan penelitian etnografinya dalam pengajarannya, di mana ia meminta mahasiswa untuk melihat budaya sebagai sebuah bentuk teknologi. Berangkat dari kerja lapangannya di Papua dan Aceh, Danusiri menyoroti pentingnya keterlibatan secara kritis dengan pengetahuan yang dihasilkan dengan cara-cara alternatif – termasuk bentuk-bentuk pengetahuan ulayat – untuk menyeimbangkan dengan pembangunan atau sains yang dipimpin negara.

Sidhi Vhisatya merefleksikan pentingnya konsep ‘ruang aman’ dengan secara eksplisit menggunakan konsep terbuka, yaitu inspirasi jaringan kami sendiri. Sidhi memperkenalkan protokol pengarsipan berbasis komunitas dari Arsip Queer Indonesia, sebuah arsip digital yang bergantung pada individu yang menyumbangkan materi pribadinya. Deskripsi Vhisatya tentang bagaimana arsip komunitas memungkinkan para queer mengelola hak akses ke materi mereka sendiri menggarisbawahi kompleksitas dalam menciptakan ruang yang aman dan inklusif bagi komunitas yang terpinggirkan.

Dengan berbagi proses penelitian yang dilalui PCC bersama para penyintas kekerasan daring berbasis gender, Eni Puji Utami dari PurpleCode Collective menulis tentang metodologi dan etnografi feminis. Artikel Utami merefleksikan bagaimana metode etnografi menghadirkan ketidakpastian sekaligus peluang bagi peneliti dan penyintas. Ia percaya bahwa dengan merangkul ketidakpastian ini dan menerapkan prinsip-prinsip feminis, para peneliti dan penyintas dapat tetap berkomitmen pada keterbukaan dan perubahan.

Terakhir, refleksi Zara Aisyah Fauziah berdasarkan pengalamannya sebagai transpuan dari komunitas Sanggar Swara menyoroti perspektif penting dari sudut pandang ‘peserta penelitian.’ Seperti yang Zara ungkapkan, seringkali anggota komunitas transpuan didekati oleh peneliti dengan cara yang tidak menempatkan mereka sebagai kolaborator yang setara. Partisipasi mereka dalam penelitian dilihat sebagai transaksi atau sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan. Artikel Zara menjelaskan bagaimana peneliti non-trans harus mendekati mereka sebagai kolaborator dalam proses penelitian, dan menunjukkan perlunya peluang yang lebih besar bagi transpuan untuk dapat melakukan penelitian tentang komunitas mereka sendiri.

Secara keseluruhan, artikel-artikel ini menekankan pentingnya keterlibatan kritis dan tindakan kolektif dalam memastikan produksi pengetahuan yang setara dan inklusif di Indonesia.

Dua puluh lima tahun setelah reformasi, sangat penting bagi para peneliti untuk bergerak melampaui paradigma dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk menciptakan lanskap penelitian yang etis, setara, dan adil. Kami berharap edisi ini berkontribusi pada diskusi berkelanjutan tentang bagaimana infrastruktur pengetahuan dapat berperan penting dalam mewujudkan hak inklusif atas pengetahuan, dengan etnografi terbuka sebagai salah satu modelnya. Dengan secara aktif menantang struktur yang ada dan menciptakan paradigma alternatif, kita dapat mulai mengatasi menjawab tantangan ketidaksetaraan historis dan kontemporer yang telah lama meracuni sektor penelitian di Indonesia dan bergerak menuju masa depan yang lebih setara dan etis untuk penelitian di dalam dan di luar universitas.

Benjamin Hegarty (benjamin.hegarty@unimelb.edu.au) adalah Senior Research Associate in Global Health di Kirby Institute, UNSW, dan Honorary Fellow, Asia Institute, Universitas Melbourne. Annisa R. Beta (annisa.beta@unimelb.edu.au) adalah Australian Research Council Discovery Early Career Researcher Award (DECRA) fellow (2023-2025) dan dosen di Universitas Melbourne. 

Inside Indonesia 151: Jan-Mar 2023

Latest Articles

Book review: Uncovering Suharto's Cold War

Apr 19, 2024 - VIRDIKA RIZKY UTAMA

Film review: Inheriting collective memories through 'Eksil'

Apr 12, 2024 - WAHYUDI AKMALIAH

A documentary embraced by TikTokers is changing how young people understand Indonesia’s past

Indonesians call for climate action through music

Apr 11, 2024 - JULIA WINTERFLOOD

Self-education and lived experience of the impacts of climate change, are driving a grassroots environmental movement

Book review: Clive of Indonesia

Apr 05, 2024 - DUNCAN GRAHAM

The Jokowi-Luhut alliance

Apr 04, 2024 - JEREMY MULHOLLAND

A business alliance forged in 2008 between Joko Widodo and Luhut Pandjaitan formed the basis for a major axis in his presidency

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.