Sepatu Boot Tua

First there is the people, Dili/ Vannessa Hearman

Puisi dalam tiga bahasa

Puisi ini berfokus pada sepatu boot tua yang bisa diinterpretasikan sebagai figur pejuang lama yang memiliki peran monumental dalam perjuangan Timor-Leste. Ini adalah sebuah alegori politik yang meminjam simbol sepasang sepatu boot tua, pejuang lama yang kini berubah menjadi penanda ambisi kekuasaan yang korup. Kata boot juga memiliki dua makna: boot sebagai sepatu dan bo’ot dalam Bahasa Tetum yang berarti besar. Terlebih, analogi ini diarahkan kepada para Maun Bo’ot atau Big Brothers di Timor-Leste yang terkenal dengan kuasanya yang besar karena perjuangan masa lalu mereka.

Puisi metaforik ini mempertanyakan, masihkah langkah sang pembebas seirama dengan rakyat, atau hanya berputar di halaman kekuasaan yang tertutup? Puisi ini juga mengisahkan bagaimana wangi kemerdekaan bisa saja diganti dengan kekuasaan tirani, bahkan dari mereka yang dulu dielu-elukan sebagai pahlawan.

Sepatu Boot Tua 

Di sudut rumah,

sepatu boot tua berdiri kaku,

kulitnya mulai terkelupas,

namun tapaknya masih berat menghentak tanah.

 

Ia pernah mengarungi lumpur perjuangan,

mengusir angin asing dari tanah ini,

jejaknya di batu-batu karang,

pada penderitaan,

adalah kisah yang tak bisa dihapus hujan.

 

Saat ini obat kuat ilegal itu

terus memberinya polesan nafsu,

untuk bisa membayar utang-utang birahinya.

 

Bau kulitnya kini bercampur

dengan debu istana.

 

Setiap langkahnya

mulai mengeluarkan bau kediktatoran,

 

Bersamanya adalah barisan

orang-orang yang hanya bisa jawab, "siap Pak!"

 

Kawan-kawannya mulai bertanya,

"Apakah boot tua itu masih berjalan bersama rakyat,

atau kini hanya berputar-putar di halaman kekuasaan?"

 

Di bawah sinar lampu,

kilau lamanya redup,

namun bayang-bayangnya panjang,

menutupi harapan bangsa yang seharusnya

menerima cahaya pagi.

 

Sepatu boot tua itu…

Mulai menginjak mawar yang tumbuh dari luka,

 

Hentakan pengusiran terus terjadi,

Dari undang-undang dasar sampai sistem hukum pun diinjaki tanpa peduli.

 

Di tanah pembebasan ini

aroma merdeka telah diganti,

Bau keringat kekuasaan lalim terus menjerat.

 

Botas Tuan

Iha sikun uma-hun,

Botas tuan hamrik metin,

Nia kulit nokle dadaun,

Maibe nia sola sei todan bainhira sama rai.

 

Nia hakat iha tahu-ten luta nian,

Duni sai anin-fuik hosi rai ida ne’e,

Ain-fatin marka duni iha ahu-ruin,

Iha terus laran,

Memoria ida ne’e udan-ben sei la fase.

 

Oras ne’e aimoruk droga illegal ne’e

kontinua fo ba nia dezeizu,

pelumenus hodi selu debe sexual ninian.

 

Ninia kulit kahur ona

ho foer poder Palasiu nian,

 

Iha hakat ida-idak

nia husik perfume ditadura nian,

Iha nia sorin

Ema lubuk forma liña no bele hatan deit “Prontu, Maun!”

 

Ninia kamarada sira hahu husu,

“Botas tuan ne’e sei la’o hamutuk ho povo,

ka nia haleu deit iha dadulas poder nian?

 

Iha nabilan lakan lampiña nian,

roman tuan lakon dadaun,

maibe nia lalatak naruk,

satan netik esperansa nasaun nian

hodi simu naroman dader.

 

Botas tuan ne’e…

Sama belar aifunan rozas ne’ebe moris hosi kanek,

 

Duni ema ses hosi nia moris,

Lei inan ba sistema legal nian sama tiha ba rai.

 

Iha rai libertadu ida ne’e,

morin liberdade nian truka tiha ona,

ho Iis kosar poder opresor nian metin ba bebeik.

 

Arte Moris Free Art School, Dili /Vannessa Hearman
Old Boots  

In the corner of the house,

old boots stand stiff,

their leather starting to peel,

yet their soles still pound the earth heavily.

 

They once waded through the mud of struggle,

driving foreign winds from this land,

their footprints on jagged rocks,

in times of suffering,

are stories no rain can wash away.

 

Now, that illegal drugs

keeps up the lust,

just to fulfil sexual desire

The scent of leather now mingles

with the dust of the palace

 

Every step

begins to exude the stench of dictatorship,

 

With them stands a row

of people who can only answer, “Ready, Sir!”

 

His old comrades begin to ask,

“Do those old boots still walk with the people,

or now just circle endlessly in the courtyard of power?”

 

Beneath the lamplight,

their old shine fades,

yet their shadow stretches long,

covering the nation’s hope

that should be receiving the morning light.

 

Those old boots…

have begun trampling the roses that grew from wounds,

 

The stomp of expulsion continues,

From the constitution to the legal system is stepped on without care.

 

In this land of liberation,

the scent of freedom has been replaced,

the sweat-stink of tyrannical power tightening its grip.

 

The author of this poem, long-time East Timorese activist Ato Lekinawa Costa, deploys the term 'old boot' as a political allegory. The word boot has a double meaning. In Tetum, boot means big. Maun Boot is a phrase meaning 'Big Brother' and is commonly used to refer to veterans in Timor-Leste’s struggle for independence. The poem questions whether these liberators still stand alongside the people, or whether they now only circulate in closed corridors of power. It is a critique of how some former heroes have traded the pursuit of freedom for the pursuit of power. 

Ato Lekinawa Costa is a poet and activist.

Inside Indonesia 162: Oct-Dec 2025