Esai foto: Mengenal sejarah yang berlapis-lapis di Remexio

Salah satu ‘Toko Cina Timor’ /penulis

Di Remexio, sebuah sub-distrik di selatan ibu kota Dili, berbagai peninggalan 

mengingatkan pengunjung tentang arus sejarah yang tetap mempengaruhi Timor-Leste hingga saat ini.

Berkendara kurang lebih sejam ke arah selatan Dili, dengan mendaki jalanan berliku, kita kemudian akan mencapai jalanan menurun ke arah tenggara dan tiba di Remexio, sebuah sub-distrik (posto administrativo), município Aileu. Terletak di tengah sebuah lembah yang sejuk, di Remexio tersisa jejak-jejak kolonial Portugis dan 24 tahun pendudukan Indonesia. Mayoritas penduduk Remexio berprofesi sebagai petani dan berasal dari kelompok etnolinguistik Lolein dan sebagian Mambae, yang berakar dari rumpun Austronesia.

Setelah Revolusi Bunga tahun 1974, hampir semua penduduk Remexio menjadi pendukung partai pro-kemerdekaan Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente, Front Revolusioner untuk Timor-Timur Merdeka), sedangkan dua atau tiga keluarga dari kalangan mestiço pemilik lahan pertanian, kakao, kopi dan benih buah-buahan, serta keluarga dari liurai atau raja lokal memilih mendukung UDT (União Democrática Timorense, Uni Demokratik Timor). Akibatnya terjadi perubahan sosial, di mana rakyat Remexio bergerak menentang kekuasaan liurai atau pemimpin daerah yang dianggap sewenang-wenang. Mereka melakukan aksi penolakan terhadap pajak perorangan untuk lelaki dewasa dan praktek kerja paksa bagi kepentingan liurai yang adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan kolonial Portugis selama ratusan tahun.

Revolusi pun menyulut sudut-sudut Remexio. Mobilisasi masa diadakan, di mana Presiden ASDT (Associação Social Democrata Timorense, Asosiasi Sosial Demokrat Timor) yang berubah menjadi Fretilin, Francisco Xavier do Amaral, berorasi dan menyerukan perlawanan terhadap kekuasaan lama. Pada akhirnya, para penguasa tersebut, termasuk liurai dan keluarganya, pejabat kolonial, beberapa keluarga mestiço hingga dua atau tiga keluarga Cina-Timor yang menguasai dua toko kelontong dan perdagangan lokal, melarikan diri ke Dili, kemudian sebagian mengungsi ke Portugal dan Australia.

Setelah Indonesia menyerbu tanggal 7 Desember 1975, penduduk Dili berlindung di Remexio sebagai salah satu titik pengungsian pertama mereka. Letaknya di lembah yang terlindungi oleh pegunungan yang memanjang, menyebabkan Fretilin memilih mendirikan basis perlawanan Sector Centro Norte (sektor Tengah-Utara) disini.

Di Remexio pula konflik dalam Fretilin memuncak antara tahun 1975-76. Orang-orang yang dicurigai melakukan kontak dengan musuh, melanggar disiplin, maupun yang dianggap ‘reaksioner’ ditahan, disiksa dan dibunuh. Di antaranya terdapat pula para kader Fretilin, yang setelah serangan gencar dari operasi militer Indonesia, memandang perang dari perspektif militer dan beranggapan bahwa penduduk sipil adalah beban, sehingga mereka dianjurkan untuk menyerahkan diri ke kota-kota yang dikuasai musuh. Perbedaan pandangan tentang strategi menghadapi Indonesia menjadi salah satu akar dari timbulnya konflik internal. 

Pada tahun 1978, ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) berhasil merebut Remexio setelah pertempuran berbulan-bulan antara pasukan Fretilin, Falintil (Angkatan Bersenjata Pembebasan Nasional Timor-Leste) dan Batalyon 410 dari Blora (Jawa Tengah). Beberapa bangunan kemudian dijadikan barak militer dan polisi sekaligus tempat interogasi.

Memasuki tahun 1978-79, Remexio berubah menjadi pusat penahanan bagi para penduduk yang menyerah setelah basis perlawanan Fretilin jatuh. Di sebelah timur Remexio, berjarak 12 kilometer, terletak pusat penahanan Aikurus. Di kedua lokasi tersebut, ABRI melarang penduduk sipil keluar dari kamp penahanan untuk mencari makanan. Kesaksian para penyintas, menyebutkan penduduk dengan kondisi gizi buruk setelah melarikan diri dari operasi militer berbulan-bulan, dipaksa mengkonsumsi jagung serta ikan kering busuk yang dibagikan ABRI. Juga, tidak ada fasilitas dasar yang memadai; penduduk dipaksa tinggal di gubuk-gubuk darurat dengan sanitasi buruk dan tanpa layanan kesehatan dasar; bersama dengan kurangnya makanan, pada puncaknya, sekitar lima orang atau lebih meninggal dalam sehari. Beberapa dikuburkan ala kadarnya berbalut kulit pohon ai-samtuku (pohon sengon, paraserianthes falcataria).

Mengunjungi Remexio hari ini, kita menemukan sedikit bangunan kolonial bergaya Mediterania, selain dua atau tiga bangunan bekas toko Cina yang masih berdiri kokoh, meskipun agak terbengkalai, ditempati penduduk lokal.

Bekas kantor administrasi Posto Remexio di zaman Portugis; pada masa Indonesia digunakan sebagai Koramil /Komando Rayon Militer
Awal kemerdekaan Timor-Leste, sempat menjadi kantor polisi. Saat ini direhabilitasi untuk ditempati beberapa petugas polisi /penulis

Kita juga akan menemukan sebuah bangunan yang dulu ditempati keluarga liurai, namun setelah Revolusi Bunga tahun 1975, dan awal periode kemerdekaan tahun 2000an, dialihkan sebagai Sede (Sekretariat) da Fretilin, sebelum ditempati kembali oleh salah satu kerabat dari keluarga liurai.

Sede da Fretilin /penulis

Sesudah Timor-Leste merdeka, masyarakat setempat juga mendirikan monumen Renal (Reabilitação Nacional) di Remexio untuk mengenang para korban konflik internal.

Monumen Renal (Reabilitação Nacional) /penulis

Untuk mengenang mereka yang mati kelaparan sesudah masuknya Indonesia, salib-salib didirikan di atas perbukitan mengelilingi Remexio.

Cruz boot (salib besar), Remexio /penulis

Di perbukitan Talbela yang strategis, kita menemukan reruntuhan bangunan Portugis yang selama 24 tahun menjadi markas bagi ABRI dari bermacam kesatuan. Lokasinya di ketinggian, memungkinkan ABRI mengawasi gerakan Fretilin dari segala arah. Talbela, hari ini, dipenuhi berbagai tetumbuhan liar. Kita harus berjalan kaki menanjak untuk menemukan sisa-sisa gedung tua tersebut.

Reruntuhan di Talbela /penulis
Ukiran yang mungkin merujuk pada Batalyon 744 ABRI /penulis
Reruntuhan di Talbela /penulis
Selongsong peluru berserakan di Talbela /penulis
Sisa-sisa ukiran nama-nama kesatuan-kesatuan ABRI /penulis
Sisa-sisa ukiran nama-nama kesatuan-kesatuan ABRI /penulis

Tidak ada papan penanda bahwa bangunan itu dulunya adalah simbol pendudukan militer, tapi para penduduk Remexio masih tetap mengingatnya. Di puncak, kita menemukan parit-parit perlindungan dan selongsong peluru berserakan, serta nama-nama kesatuan militer yang diukir di tembok-tembok. Sisa-sisa tersebut, seakan-akan bercerita, bahwa para tentara penyerbu yang menempati bangunan tersebut, telah kalah dan terusir.

Rogério Sávio Ma’averu adalah peneliti sejarah dan mahasiswa S2 Jurusan Pendidikan di Universidade Nacional Timor Lorosa’e, Dili, bekerja sama dengan Universitas Federal Santa Catarina (Brasil).

Inside Indonesia 162: Oct-Dec 2025