Akar-akar psikologis krisis iklim
Yang berbahaya adalah, semakin luas kekacauan iklim, semakin ganaslah kekuatan-kekuatan sosial dan budaya yang akan menciptakan syarat-syarat bagi merajalelanya semangat anti-kehidupan ini.
(Hoggett 2023)
Gerry van Klinken
Pada tahun 2023 planet kita melewati garis merah kenaikan suhu 1,5oC. Kurang dari 10 tahun sebelumnya, seluruh dunia sepakat di Paris bahwa garis ini seyogyanya jangan dilewati. Apakah setiap media di dunia lantas secara besar-besaran memberitakan gagalnya kesepakatan Paris ini? Apakah koran dan TV penuh dengan peliputan yang bertanya mengapa kegagalan ini bisa terjadi? Bertanya siapa yang bertanggung-jawab atas kegagalan ini, apa hubungannya dengan bencana-bencana alam yang selama ini mengkhawatirkan pemirsa berita dunia, apa yang harus berubah untuk menghindari musibah lebih buruk lagi? Tidak juga. Berita hancurnya garis merah 1,5oC ini tenggelam di tengah kabar lain yang dirasakan lebih penting. Nada pemberitaan tentang perubahan iklimpun tidak berubah dari nada sebelumnya. Kolom-kolom di majalah berita tetap memancarkan optimisme munafik, tidak menerima kenyataan, berpura-pura bahwa kita masih dapat mengendalikan kenaikan suhu tanpa banyak perubahan yang berarti. Bahkan pemerintah Britania Raya pas saat pengumuman hancurnya batas kenaikan suhu 1,5oC itu memutuskan untuk mengurangi pendanaan transisi energi yang sebelumnya dijanjikan. Di Indonesia pun, dan di negeri saya Australia, berita ini sama-sama tidak banyak diperhatikan.
Apakah sikap acuh tidak acuh terhadap sebuah perkembangan yang seharusnya menghentakkan dunia mencerminkan aspek psikologi sosial kita manusia? Itulah pertanyaan utama dalam bab ini. Asumsi selama ini adalah bahwa manusia bersifat rasional. Apabila disodorkan kebenaran yang terbukti secara ilmiah, ia pasti menyesuaikan tingkahnya agar tidak melanggar kenyataan dan mengundang bencana. Asumsi itulah menggerakkan ilmuwan selama ini. Mereka sudah berpuluh-puluh tahun menyampaikan kalkulasi mereka bahwa pembakaran bahan bakar fosil akan menyebabkan suhu bumi meningkat, dan bahwa itu merupakan ancaman bagi keberlanjutan kehidupan nyaman di bumi. Lalu mereka menantikan keputusan politik yang sesuai dengan kenyataan itu, yaitu mengurangi lalu menghentikan pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas alam. Ternyata asumsi para ilmuwan sangat naif. Para politisi memilih untuk hampir tidak berbuat apa-apa. Mengapa?
Kaum psikolog menjawab: Kami tidak kaget kalau manusia ternyata tidak rasional. Kami bisa menjelaskan mengapa kaum penyusun kebijakan yang bersikap positivistik dan kognitif dengan gampang ditipu oleh kaum politikus yang mampu memanipulasi emosi publik. Memang jalan menuju hati pemilih adalah jalan emosional, bukanlah jalan konsep intelektual. Tingkah manusia biasanya didorong kekuatan psikologis yang jauh lebih mendalam daripada rasionalitas.
Pengetahuan tentang psikologi manusia memiliki implikasi politik yang amat penting. Pada saat dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra pada tahun 1950, filsuf Bertrand Russell berkata: 'Kebanyakan diskusi tentang politik dewasa ini… tidak cukup memperhitungkan psikologi.' Psikolog termasyur Carl Jung beberapa tahun kemudian bertutur dalam sebuah wawancara:
Kita butuh lebih banyak psikologi. Kita butuh lebih banyak pemahaman tentang kodrat manusia, sebab sumber bahaya nyata satu-satunya adalah manusia sendiri. Dialah bahaya terbesar, dan kita sayang sekali tidak menyadarinya.
Psikologi iklim adalah cabang baru dalam disiplin psikologi. Di Britania Raya sejak 2011 terdapat persatuan khusus bernama Climate Psychology Alliance (CPA); sebuah perkumpulan internasional sejenis memiliki anggota di berbagai negara. Sally Weintrobe adalah peneliti senior di dalam CPA, dan bab ini menyimak hasil penelitiannya, yang berdasarkan pengamatannya di Eropa. Titik awal Sally Weintrobe ternyata sederhana tetapi radikal. Dalam bukunya mengenai akar-akar psikologis krisis iklim (Weintrobe 2021), ia menjelajahi sikap psikologis modern yang ia sebut Uncare, Ketidakpedulian. Weintrobe berkesimpulan bahwa sikap itu berawal dengan pandangan kultural bahwa manusia modern merupakan pengecualian terhadap hukum-hukum alam:
Buku ini berargumen bahwa Exceptionalism (Kepengecualian), yaitu sebuah pola pikir yang kaku, sangat besar sumbangannya bagi krisis iklim. Orang yang terperangkap dalam pola pikir ini menggambarkan diri sebagai Pengecualian. Mereka secara tidak benar merasakan diri berhak untuk:
- Memandang diri secara sangat ideal;
- Memiliki apa saja yang ia inginkan (karena ia adalah ideal);
- Dan ia tak perlu memerhatikan batas-batas moral maupun praktis karena ia merasa diri mampu “menata-ulang” kenyataan secara mahakuasa.
Bab ini membahas penelitian psikologis terbaru mengenai proses-proses mental manusia di seputar krisis iklim global. Kebanyakannya dijalankan di belahan dunia Utara. Dan itu tepat. Memang Utaralah yang memicu krisis iklim yang sekarang mengancam keberlanjutan seluruh kehidupan di bumi. Tetapi emisi gas rumah-kaca besar dewasa ini ditemukan juga di belahan Selatan. Indonesia ranking 4 di dunia dalam hal emisi, antara lain karena pembabatan hutan. Indonesia bersaing dengan Australia untuk menjadi pengekspor batubara terbesar di dunia, sementara batubara adalah bahan bakar fosil yang paling parah dalam hal emisi CO2.
Bagaimanapun, apakah di Utara atau di Selatan, himbauan Bertrand Russell dan Carl Jung perlu didengar – psikologi iklim itu penting. Pertanyaan apakah penelitian yang sama bila dijalankan di Asia Tenggara akan memberikan gambaran yang mirip atau justru sangat berbeda akan saya serahkan kepada pembaca yang lebih ahli (lihat bagian paling bawah).
Setelah pengantar di atas memposisikan permasalahannya dalam konteks sosial, sisa bab ini akan mendalami beberapa temuan kunci dari tulisan pakar psikologi iklim. Bagian pertama di bawah memperkenalkan bidang psikologi iklim, termasuk dua istilah yang perlu diketahui, yaitu 'adaptif' dan 'maladaptif'. Kedua bagian berikut (kedua dan ketiga) dua-duanya berusaha menjawab pertanyaan kunci ini: Mengapa ketidakpedulian terhadap nasib bumi begitu tersebar luas? Masing-masing memberikan jawaban yang berbeda. Yang satu dari Weintrobe (diperkenalkan di atas) menekankan aspek kultural, yaitu bahwa orang dibesarkan dalam sebuah budaya hegemonik yang membuatnya merasa tak perlu peduli dengan soal iklim. Yang satu lagi dari Paul Hoggett mencari jawabannya secara lebih mendalam di alam bawah sadar (subconscious). Selanjutnya, bagian terakhir akan menelusuri beberapa kaidah psikologis yang dapat membantu orang membangun sikap psikologis yang lebih positif terhadap krisis iklim.
Psikologi iklim
Krisis yang mengancam keberlangsungan kehidupan di muka bumi memicu banyak macam perasaan di hati manusia, yang semuanya amat kuat. Orang yang secara langsung terkena bencana yang disebabkan krisis iklim, seperti gelombang kepanasan, kebakaran hutan atau banjir, merasakan trauma. Orang yang mengalami dampak secara tidak langsung, misalnya melalui pembicaraan atau pemberitaan tentang krisis iklim, dapat merasa kehilangan; ada yang merasa berdosa, cemas, malu atau putus-asa. Ada juga gejala psikososial lain, yang diciptakan dalam kondisi krisis iklim yang bersifat kronis seperti konflik fisik disebabkan kemarau panjang, migrasi massal disebabkan banjir yang tak henti-henti, atau persepsi bahwa orang tertentu lebih dibebani kesusahan daripada orang lain (Doherty and Clayton 2011). Dalam survei demi survei, di seluruh dunia, dibuktikan bahwa kecemasan iklim adalah penyimpangan psikologis nyata. Ia paling kuat di antara anak muda, kaum perempuan, dan di antara orang berpendidikan (Fagan and Huang 2019). Dalam survei 77 negara, 60 persen responden Indonesia mengaku lebih prihatin tentang perubahan iklim daripada tahun lalu. Itu termasuk tinggi. Di Australia, angkanya hanya 51 persen. Keprihatinan orang Indonesia rasanya juga lebih intens daripada yang di Australia (UNDP 2024: 24-25).
Seluruh skala perasaan semacam ini menyakitkan jiwa dan sulit diobati (Andrews and Hoggett 2019, Hoggett 2019). Manusia cenderung berusaha memeranginya dengan berbagai macam pembelaan emosional, yang semua dimaksud untuk mengurangi rasa sakitnya. Ada tanggapan emosional yang secara sehat membantu kita untuk menghadapi situasi krisis iklim. Tanggapan semacam ini disebut adaptif. Tanggapan lain justru menghalangi penyesuaian dan lebih merupakan tanggapan menghindar. Yang ini disebut maladaptif, karena tidak membantu kita untuk menyesuaikan diri secara sehat.
Salah satu tanggapan maladaptif adalah pembantahan. Orang membantah bahwa apa yang sedang terjadi merupakan sebuah krisis, apalagi krisis yang diciptakan manusia. Orang lain berusaha membela diri secara emosional dengan memutarbalikkan fakta. Lain lagi pura-pura acuh tak acuh, alias masa bodoh. Psikologi iklim berusaha memahami bagaimana perasaan maladaptif sejenis terungkap di dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial, dan dari mana asalnya. Barangkali ada pemikiran atau asumsi kultural yang mendalam, yang mendasari tanggapan maladaptif ini. Asumsi kultural ini perlu diselidiki.
Sebaliknya, ketangguhan emosional (emotional resilience) adalah tanggapan yang bersifat adaptif. Orang yang tangguh secara emosional mengakui kebenaran ilmiah dan berusaha menyesuaikan diri kepadanya. Kaum psikolog sedang menguji-coba sejumlah pendekatan, yang semuanya dimaksud untuk memperkuat ketangguhan emosional. Kaidah-kaidah psikologis ini ditarik dari berbagai bidang pengetahuan yang berbeda-beda, dan akan disinggung secara singkat di bawah.
Spesialis psikologi iklim ingin menyebarkan pengetahuan tentang cara memperkuat ketangguhan emosional juga kepada kalangan di luar psikologi. Siapa saja yang aktif di bidang kebijakan iklim seyogyanya memanfaatkannya untuk ikut mempersiapkan masyarakat agar menghadapi masa depan secara lebih dewasa.
Harus diakui, sikap maladaptif lebih mendominasi lanskap psikologis-sosial di kebanyakan negara di dunia. Dan itu perlu diselidiki. Tidak ada maksud berkata bahwa masyarakat umum lebih tak peduli terhadap lingkungan hidup daripada penguasa pemerintahan atau pimpinan perusahaan global, seolah-olah elit berkehendak baik tetapi terbelenggu oleh kekurangan nalar masyarakat. Kebalikannya lebih benar! Tetapi para elit hanya dapat bertingkah merusak bumi selama kebanyakan orang mendukung mereka. Naratif dominan yang disuarakan kaum elit dipercayai kebanyakan orang, sehingga masyarakat tampak mendukung juga ketidakpedulian ekologis pimpinan mereka. Hegemoni elit tak mungkin dibangun tanpa persetujuan dari orang kebanyakan. Dan persetujuan itulah yang mau dibicarakan di sini.
Contoh baik persetujuan publik terhadap tingkah elit yang merusak diambil dari sektor ekspor batubara. Indonesia menjadi pengekspor terbesar di dunia, meskipun batubara sangat merusak iklim. Mengapa? Ternyata para pemimpin merasa target pengurangan pembakaran karbon yang sesuai dengan Paris “lebih bersifat simbolis,” sehingga tak perlu banyak dirisaukan. Mereka merasakan 'tekanan politis rendah dan dengan risiko sangat kecil kehilangan popularitas karena tak menangani wilayah kebijakan ini' (Ordonez et al. 2022: 291-2). Australia, pengekspor batubara terbesar kedua di dunia, tak banyak berbeda. Peneliti dalam jilid yang sama menyimpulkan: '[E]kspor batubara (dan gas) hingga kini bertumbuh tanpa halangan yang berarti di bidang kebijakan, meskipun eskpor tersebut bertanggungjawab atas emisi gas rumah kaca serta pemanasan global yang masif' (Christoff 2022: 252-3).
Ada korelasi yang memprihatinkan antara minimnya tekanan populer demi lingkungan hidup dengan tren politik global. Di banyak negara belakangan ini, pemilih bahkan mendaulatkan pemimpin yang otoriter dan tidak peduli lingkungan. Dari Trump hingga Duterte, Bolsonaro hingga Erdoğan, Putin hingga Modi atau Xi, pemimpin populis ini memobilisasi kemarahan terhadap kekejaman pasar global yang neoliberal, tanpa benar-benar meniadakan kebijakan neoliberal itu sendiri. Pemimpin populis ini sekaligus sering mengumandangkan semacam 'nasionalisme sumber daya alam' (resource nationalism), di mana alam dan bangsa dijadikan satu. Lingkungan hidup fisik dan biologis dikait-kaitkan dengan identitas nasional, yaitu dengan masa depan bangsa serta kemakmuran nasional. Rezim populis-otoritarian semacam itu cenderung menyabotase proposal aturan baru yang melindungi lingkungan, dan menyobek aturan yang sedang berlaku, dengan alasan aturan itu akan melemah negaranya (McCarthy 2019).
Kedua bagian yang berikut mencari tahu mengapa reaksi psikologis orang terhadap krisis iklim begitu kebanyakan bersifat maladaptif.
Ideologi
Mengapa mayoritas masyarakat di kebanyakan negara tidak cukup peduli pada nasib bumi? Mengapa orang tidak memprotes dan memaksa pemerintahnya untuk mengubah haluan? Psikolog iklim menekankan bahwa emosi itu bukan hanya gejala individual. Emosi adalah gejala sosial, yang dapat dibangkitkan secara sengaja dengan cara tertentu. Salah satu jawaban pada pertanyaan di atas diberikan oleh Sally Weintrobe, psikolog Inggeris yang tadi sudah diperkenalkan (Weintrobe 2021). Ia memfokus kepada perasaan maladaptif yang ia sebut Ketidakpedulian (Uncare). Ia mengaitkan tersebar-luasnya perasaan Ketidakpedulian ini, terutama di Barat, dengan upaya ideologis yang dijalankan oleh pemerintahan kanan sejak tahun 1980an.
Weintrobe bertutur bahwa di dalam jiwa setiap insan selalu terdapat pergumulan antara rasa peduli dan tidak peduli. Dalam kondisi normal, meskipun kadang tergoda untuk tidak peduli, orang cenderung tetap peduli dengan sesama yang sedang tidak enak, termasuk sesama non-manusia seperti binatang atau pohon. Tetapi sejak kira-kira 50 tahun yang lalu di dunia Barat (bukunya memang dialamatkan kepada Britania Raya dan Amerika Utara) muncullah sebuah ideologi yang justru membenarkan ketidakpedulian.
Neoliberalisme mula-mula dirumuskan oleh beberapa ekonom Amerika pada tahun 1940an dan 1950an. Amerika telah memenangkan Perang Dunia 2. Ia sedang berkuasa atas aturan main ekonomis hampir di seluruh dunia. Sistem keuangan internasional yang disebut lembaga-lembaga Bretton Woods menetapkan dolar AS sebagai mata uang kunci. Amerika menentukan pimpinan lembaga baru Dana Moneter Internasional (IMF).
Ideolog neoliberal yang paling utama bernama Friedrich Hayek (1899-1992). Menjelang akhir Perang Dunia 2 ia mengembangkan pemikiran bahwa peran pemerintah untuk menjaga ketidakadilan ekonomis – yang ia sebut 'kolektivisme' – adalah penghambat utama dalam kehidupan ekonomis yang ideal. Ia tolak bukan hanya kolektivisime Uni Soviet melainkan setiap upaya sebuah pemerintah untuk ikut campur dalam roda-roda perekonomian. Kolektivisme, dalam definisi dia, adalah 'segala jenis perencanaan yang dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita pembagian apa saja.' Kebijakan yang dimotori oleh pertimbangan etis pasti merusak roda-roda ekonomi, demikian nalarnya. Daripada etika kepedulian dikejawantahkan dalam bentuk pemerintahan, ia menganjurkan persaingan digerakkan oleh kepentingan diri secara perseorangan. Cita-cita Hayek: kebebasan mutlak bagi setiap individu (dan setiap perusahaan) untuk mencari keuntungan sendiri.
Hingga tahun 1980an, Hayek dipandang sebagai pemikir ekstrim kanan. Seorang pemimpin kiri Inggeris bernama Michael Foot menyebutnya 'profesor yang edan.' Sistem keuangan Bretton Woods pun belum dikuasai secara penuh oleh penganut ideologinya. Tetapi dengan terpilihnya Margaret Thatcher sebagai perdana menteri di Britania Raya (1979) dan Ronald Reagan sebagai president Amerika Serikat (1981) – dua-duanya dari sayap kanan spektrum politis - maka penganut ideologi neoliberal mulai ditempatkan dalam posisi-posisi penting.
Pemimpin baru juga dibantu oleh ideolog neoliberal lain, seorang ekonom Amerika bernama James M. Buchanan (1919-2013). Buchanan mengidentikkan pemerintahan jenis apa saja dengan sumber korupsi. Ia menganjurkan orang agar jangan berharap kepada pemerintahan untuk melindungi mereka, melainkan agar berharap hanya kepada 'pasar bebas.' Dan memang anjurannya efektif. Kepercayaan publik terhadap pemerintahan anjlok sebagai akibat ideologi neoliberal disebar-luaskan melalui media massa di dunia Barat. Sally Weintrobe menulis:
Sebuah ideologi yang bersikeras bahwa orang harus bertindak hanya atas dasar kepentingan diri merongrong secara fundamental kepercayaan orang bahkan di dalam dirinya sendiri; merongrong juga kepercayaannya pada orang lain dan pada lembaga-lembaga sosial. Ideologi semacam ini mempromosikan rasa sinis, acuh-tak-acuh, dan putus asa.
Dengan demikian, manusia neoliberal menata-ulang jiwanya. Ia menjadikan diri sebagai pengecualian terhadap pola interaksi sosial normal yang mengandalkan saling percaya dan solidaritas antara manusia dengan lingkungannya.
Pemimpin politik mulai menggambarkan diri sebagai pahlawan yang dapat bertindak semaunya tanpa halangan. Seorang pembantu utama President George W. Bush berkata: 'Kami adalah kekaisaran. Kami menciptakan kenyataan, dan komunitas yang berakar dalam kenyataan itu tinggal mempelajari apa yang kami perbuat.' Perdana Menteri Britania Raya Boris Johnson menyamakan diri dengan Incredible Hulk. Diktator Brasil Bolsonaro berkelakar (tetapi serius): 'Orang dulu memanggil saya Kapten Gergaji Mesin, kini saya menjadi Nero, yang membuat Amazon terbakar.' Kalimat konyol itu ia ucapkan setelah kebakaran hutan yang amat merusak di Amazon pada tahun 2019.
Perasaan benci (Ressentiment)
Jawaban lain pada pertanyaan 'Mengapa reaksi psikologis orang kebanyakan terhadap krisis iklim begitu bersifat maladaptif?' diberikan oleh psikolog Inggeris lain bernama Paul Hoggett. Daripada menemukannya di dalam ideologi pemimpin kanan yang mencuci-otak warga masyarakat, ia menemukannya dalam lapisan psikis yang lebih mendalam. Ia menarik perhatian kepada sebuah perasaan sangat negatif – bahkan 'beracun'! - yang tidak sengaja dibangkitkan, tetapi yang tetap bersifat sosial sehingga menghinggapi banyak sekali orang (Hoggett 2023). Ia membuka tulisannya sebagai berikut:
Unsur kepercayaan modernitas yang mendasar adalah: tidak ada masalah tanpa penyelesaian. Selama 100 tahun terakhir ini, asumsi ini beberapa kali diuji dan terbukti tidak mencukupi. Salah satu saat sejenis adalah krisis-krisis politis dan ekonomis yang sulit dikendalikan pada tahun-tahun antara Perang Dunia 1 (1914-1918) dan Perang Dunia 2 (1939-1945). Dewasa ini kita menghadapi situasi yang mirip dengan periode itu. Zaman kita dicirikan krisis-krisis ekologis dan ekonomis yang rupanya tidak memiliki penyelesaian yang jelas. Pada saat ketidakpastian yang amat besar, sebuah wabah perasaan-perasaan publik yang beracun dapat dilepas, yang menyediakan dukungan emosional bagi pergerakan politis seperti populisme, otoritarianisme, dan totalitarianisme.
Proyek Kepengecualian neoliberal yang disketsa oleh Sally Weintrobe merupakan bagian dari peradaban modern. Peradaban ini terbentuk pada abad ke-19. Ia memuncak pada abad ke-20 dalam berbagai ideologi, neoliberalisme salah satu di antaranya. Semua ideologi ini menempatkan manusia sebagai pengecualian. Manusia dikatakan mampu menguasai alam. Ia tidak memerlukan alam di luar sistem ideal ini untuk tetap survive. Meskipun utopia yang dinanti-nantikan belum kelihatan secara penuh, ideologi tersebut menegaskan bahwa utopia tersebut sudah hampir di tangan, asal kita bersedia sedikit lagi berkorban untuknya. Di mana Neoliberalisme lahir setelah Perang Dunia 2, Nazisme a la Hitler dan Komunisme a la Stalin lahir sebelumnya. Di balik ideologi-ideologi politik tersebut terdapat sebuah mitologi yang juga lahir pada abad ke-19. Mitologi ini menyebut diri Kemajuan (Progress), dan ia menjadi ciri khas peradaban modern. Sigmund Freud pernah menulis tentang peradaban modern ini sebagai berikut (dikutip dalam (Rust 2008)):
Tugas utama bagi peradaban, alasan sesungguhnya mengapa peradaban berada, adalah agar melindungi kita dari alam. Kita semua tahu bahwa dalam banyak hal peradaban sudah mampu melakukan hal ini secara cukup baik, dan jelas sekali di masa depan peradaban akan melakukannya secara lebih baik lagi. Tetapi tak seorangpun menipu diri dengan pemikiran bahwa alam telah ditaklukkan; dan hanya sedikit yang berani berharap bahwa suatu saat alam akan takluk kepada manusia secara keseluruhannya. Ada unsur alam yang sepertinya mencemoohkan segala pengendalian manusia; bumi yang gempa dan sobek dan yang mengubur seluruh kehidupan manusia beserta karyanya; air, yang membanjiri dan menenggelamkan segala sesuatu dengan penuh kekacauan; badai, yang menghancurkan segala sesuatu di hadapannya dengan angin ributnya…. Dengan kekuatan-kekuatan ini alam bangkit dan memberontak terhadap kita, secara agung, kejam dan tak terelakkan; alam mengingatkan kita sekali lagi akan kelemahan dan ketidakberdayaan kita, yang sempat kita bayangkan telah kita usir lewat karya peradaban.
Harapan yang dibangkitkan oleh peradaban modern serta ideologinya, yaitu harapan bahwa manusia akan menaklukkan alam, kini rasanya menipis. Bab-bab lain dalam buku ini telah berulangkali menggambarkan bencana-bencana ekologis yang menimpa bumi kita. Bencana itu dilambangkan secara paling tajam dalam istilah 'batas-batas bumi' (planetary boundaries) (Rockström et al. 2023, Rockström et al. 2009). Hampir semua batas tersebut kini telah dilanggar oleh tingkah manusia. Dan yang lebih menyakitkan lagi, ideologi-ideologi modern, yang membimbing kehidupan sosial kebanyakan manusia selama ini, tidak mampu menawarkan penyelesaiannya. Untuk pertama kali, rasanya, manusia berada di ambang perubahan radikal yang dipaksakan oleh alam, tanpa memiliki kemampuan untuk membuka jalan keluarnya. Dalam situasi di mana manusia merasa dirinya tidak berdaya, kata Paul Hoggett, emosi-emosi yang paling berbahaya bisa bermunculan. Ketika orang secara kolektif mulai merasa keberadaannya terancam, mereka dapat bereaksi dengan emosi negatif. Mereka menjadi takut dan sekaligus menakutkan. Perasaan semacam ini dapat melahirkan gejala sosial seperti panik, pengkambinghitaman, dan demam perang. Persis perasaan yang menjurus kepada dukungan buat diktator populis.
Paul Hoggett menulis bahwa perasaan defensif sekaligus agresif tersebut memiliki nama: 'ressentiment.' Istilah Perancis ini pertama kali dimanfaatkan oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900), pemikir Jerman abad ke-19. Ia menggunakannya untuk menggambarkan rasa marah dan iri dalam hati orang yang tak mampu mencernakan kekecewaan dalam kehidupan sehari-hari. Di mana orang yang kuat akan menerima kekecewaan secara ksatria, sebagai hal yang harus diterima, justru orang lemah yang tidak henti-henti mengeluh. Orang lemah, tulis Nietzsche, 'mengungguli orang lain dalam mencari dalih yang dibuat-buat bagi penderitaannya… Mereka menikmati kecurigaan dan membanggakan diri atas luka-luka imajiner serta hinaan kecil… Mereka menggaruk lagi luka-luka yang paling kuno.' Beban psikologis bagi orang yang mengidap ressentiment lebih berat daripada penderitaan fisiknya sendiri. Ia suka merawat emosi ressentimentnya, tak ingin melepasnya.
Pada tahun 1912, filsuf Jerman Max Scheler menulis sebuah buku berjudul Ressentiment, yang ingin menertibkan konsep ini yang oleh Nietzsche hanya disebut secara singkat. Scheler mengembangkan konsepnya demikian rupa sehingga kemudian menjadi menarik bagi ahli yang mempelajari bangkitnya gerakan Nazi di Jerman pada tahun 1920an. Bagi Scheler, pertama, emosi ressentiment bukan hanya sebuah kondisi yang menimpa orang secara perorangan, melainkan gejala psikososial. Ada golongan tertentu yang lebih cenderung merasakannya, karena mereka tidak kuat menahan apa saja yang membuat mereka menderita.
Dari sejumlah golongan yang ia sebutkan, yang paling menarik bagi ahli selanjutnya adalah borjuis kecil (petite bourgeosie), yaitu kaum petani dan pedagang kecil di dalam kelas menengah ke bawah. Lama kelamaan golongan ini terpinggir oleh borjuis besar yang menguasai perusahaan sukses. Yang kecil merasa memiliki hak politis yang sama dengan yang besar, tetapi mereka tak kuasa untuk mempertahankan hak tersebut. Pada saat yang sama, mereka tidak berani mengungkapkan perasaannya keluar. Justru penekanan emosi sehingga tidak keluar itulah yang melahirkan ressentiment. Hasilnya adalah rasa iri kepada yang lebih kuat, dan sekaligus keinginan untuk tunduk kepada orang lebih kuat itu dan melayani mereka. Pas pada saat ekonomi Jerman ambruk setelah kalah dalam Perang Dunia 1, nasib ekonomis golongan borjuis kecil termasuk tragis. Dari merekalah muncul dukungan paling kuat buat kaum Nazi.
Ciri lain dari ressentiment, menurut Max Scheler, adalah tidak adanya sasaran yang jelas. Ressentiment adalah emosi tanpa objek. Justru karena objek pengaduannya ditekan, maka pengidap ressentiment 'tidak tahu apa yang membuatnya takut atau yang membuatnya merasa tak mampu,' tulis Scheler. Ia merasa dikorbankan tetapi tidak jelas oleh siapa. Justru perasaan marah-marah tidak menentu itu, rasa iri itu, ia belokkan ke dalam, di mana ressentiment menjadi racun dalam jiwanya.
Sebuah emosi mendalam tetapi tanpa objek yang jelas mudah sekali dimanipulasi oleh tokoh di luar. Hitler meyakinkan pengidap ressentiment bahwa kaum Yahudilah adalah sumber penderitaannya. Kemarahan publik dikompori dan diarahkan kepada minoritas kecil sebagai kambing hitam. Kaum Yahudi mengalami genosida yang memusnahkan 6 juta orang.
Donald Trump adalah orang mahapintar dalam memobilisasi perasaan ressentiment dan mengarahkannya kepada kambing hitam seperti pendatang Mexico atau orang berkulit hitam. Yang paling banyak merespon kepada Trump adalah kaum laki-laki kulit putih di daerah pabrik baja dan pertambangan batubara yang sekarat. Pada tahun 1950an mereka masih dielu-elukan sebagai pahlawan industri berat Amerika, tetapi di bawah rezim neoliberal mulai 1970an nasib ekonomis mereka menurun. Tentu saja Donald Trump tidak menawarkan penyelesaian nyata bagi mereka. Tetapi kegagalan itu justru sesuai dengan ciri khas ressentiment. Paul Hoggett menerangkannya sebagai berikut:
'Orang yang tak berdaya tetapi penuh kebencian menaklukkan diri kepada penguasa yang ia benci sambil menekan perasaannya, dan pada saat yang sama ia mencari orang lain yang dapat disakiti pada gilirannya, dan dengan demikian ia mereproduksi hubungan asimetris, meskipun secara cemberut.'
Kekhawatirannya, jelas, adalah bahwa krisis iklim ke depan dapat saja memicu gelombang baru ressentiment di antara orang yang merasakan kemakmurannya terancam. Jelas bukan sesuatu yang diharapkan, juga bukan sesuatu yang dapat diprediksi secara pasti, namun sesuatu yang perlu diperhatikan. Protes-protes petani di banyak negara di Uni Eropa mulai pada tahun 2023 terkait secara sangat jelas dengan upaya pemerintahan Eropa untuk mengurangi dampak ekologis dari praktek-praktek pertanian intensif yang semakin merusak lingkungan hidup. Protes tersebut mengancam tindakan nyata untuk memerangi krisis iklim ke depan.
Terapi
Bagian terakhir bab ini akan meninjau beberapa cara yang dapat melahirkan sikap psikologis yang lebih sehat, yaitu sikap yang oleh psikologi iklim disebut adaptif (lihat atas). Cara-cara itu sebenarnya menjurus kepada budaya baru. Dalam krisis ekologis yang saat ini kita hadapi, tantangan manusia yang paling pokok sedang bergeser dari upaya menaklukkan alam kepada upaya memahami hubungan manusia di tengah alam.
Selain menyoroti ressentiment sebagai sebuah emosi, Max Scheler juga sempat menulis banyak tentang cara mengobati hati manusia yang terperangkap di dalam emosi itu (McCune 2014). Ciri khas modernitas adalah bahwa manusia lupa tempatnya di dalam alam. 'Etos industrialisme,' menurut Scheler, adalah obsesi dengan penguasaan teknologis terhadap alam. Tatanan nilai industrial memisahkan manusia dari alam, mengisi hatinya dengan khayalan, dan akhirnya menciptakan ressentiment dalam jiwa subjeknya.
Sebuah etos, kata Scheler, mengungkapkan cara memandang dunia, pilihan nilai, yang ada dalam benak setiap insan. 'Etos' yang dianut seseorang atau sebuah budaya menyingkap 'tatanan hati' atau 'ordo amoris' orang atau budaya itu, yaitu, tatanan yang mengungkapkan apa yang dicintai dan apa yang dibenci. Scheler menulis:
'Tidak peduli apakah saya meneliti intisari keberadaan seseorang, intisari sebuah zaman historis, sebuah keluarga, sebuah bangsa, sebuah negara, atau kelompok sosio-historis manapun, saya akan tahu dan mengerti orang atau kelompok itu secara paling mendalam ketika saya melihat dengan jelas sistem penilaian dan pilihan nilai mereka yang konkrit.'
Cinta memungkinkan manusia untuk melihat tatanan nilai yang lebih komprehensif. Kebencian, sebaliknya, menghalangi kemampuan manusia untuk memahami kenyataan. Ordo amoris, menurut Scheler, tersembunyi di dalam alam sendiri dan dapat diketahui oleh manusia yang membuka hatinya. Etos industrialisme hanya mengejar nilai rendah seperti kegunaan dan kenyamanan fisik. Daripada itu, ordo amoris yang terdapat dalam alam menjurus kepada nilai-nilai yang jauh lebih tinggi. Skala nilai itu memang dimulai dengan yang rendah seperti kegunaan dan kenyamanan jasmani. Tetapi ia lalu melangkah naik kepada nilai hidup yang terdapat di dalam tubuh organik (yaitu perbedaan antara tubuh mulia atau tidak); lantas naik lagi kepada nilai estetis (indah atau jelek); dan naik sekali lagi kepada nilai keadilan (benar dan salah secara moral), nilai epistemologis (benar dan salah secara filsafati), dan akhirnya kepada nilai sakral (perasaan bahagia atau putus-asa). 'Maka ordo amoris adalah inti daripada tatanan dunia dipandang sebagai tatanan ilahi,' tulis Scheler. Pada masa tua Scheler memang meninggalkan kepercayaan Katolik masa mudanya (yang pada gilirannya pernah ia rangkul ketika ia meninggalkan agama Yahudinya). Scheler yang tua merangkul kepercayaan Timur bernuansa Buddhisme, dan panteisme a la Spinoza (lihat bab mengenai Filsafat Ekologi Dalam).
Scheler adalah seorang filsuf antropologis. Praktisi psikologi iklim modern juga banyak menyebut filsafat, di samping sumber inspirasi lain. Jo Hamilton dalam (Hoggett 2019: 160) mendaftarkan sejumlah kaidah-kaidah psikologis yang sedang diuji-coba di Barat. Semuanya berusaha untuk membangun ketangguhan emosional, yaitu sikap psikologis yang adaptif yang mampu menghadapi perubahan lingkungan hidup tanpa jatuh ke dalam ressentiment. Menurut Hamilton:
[Kaidah-kaidah ini] ditarik dari sejumlah 'leluhur', termasuk psikologi Barat, filsafat serta praktek rohani Timur, praktek sosial pribumi asli serta adat kebijaksanaan mereka. Di antaranya adalah karya ilmiah menyangkut rasa duka cita (grief), teori-teori psikoanalisis dan bekerja dengan kelompok, ekopsikologi, pendekatan berdasarkan iman religius seperti Buddhisme, mencari hubungan emosional dengan alam, ekologi dalam, teori-teori serta praktek feminisme, teori-teori sistem, serta praktek-praktek tradisional.
Dalam kata pengantar buku yang sama, Paul Hoggett pun (2019: 8) mengaku pendekatannya banyak meminjam dari bidang di luar disiplin psikologi:
Pemahaman psikologis kita yang paling kaya ternyata digali dari sastra, filsafat, agama-agama sedunia dan psikoterapi. Dari sumber semacam ini kita melihat secara sekilas sedikit dari kerumitan dan misteri yang kita namakan manusia. Emosi-emosi kasar yang sering mendominasi pemikiran dan tingkah kita; konflik-konflik internal dan suara-suara yang saling bertentangan yang mencirikan kehidupan dalam kita semua dan yang memberikan warna tertentu kepada pemahaman diri kita; dampak dari kekuatan-kekuatan luar yang sangat kuat pada cara bagaimana kita berpikir dan berperasaan tentang diri kita sendiri.
Khusus untuk perasaan ressentiment, yang merupakan sebuah emosi mendalam yang sulit ditangani, Hoggett menganjurkan sebuah pendekatan psikologi yang ia sebut 'mentalisasi' (Andrews and Hoggett 2019: 156). Perasaan seperti kecemasan dan depresi secara tipikal bekerja di bawah permukaan kesadaran. Karena itu, apabila kita merasa cemas maka perhatian kita lari ke sana ke mari tanpa tujuan yang jelas. Perasaan ini tidak bersifat intelektual melainkan lebih merupakan gejala jasmani. Ressentiment adalah juga sebuah emosi yang terkubur dalam, tanpa sasaran yang jelas.
Untuk mengobatinya, menurut Hoggett, orang dianjurkan untuk berusaha membuat emosi itu terlihat, yaitu mengangkatnya kepada permukaan kesadaran. Apabila sudah keluar, maka akan lebih mudah membicarakannya bersama, mencernakannya, dan mungkin mentransformasinya menjadi sesuatu yang lebih positif. Emosi yang terkubur akan keluar hanya dalam suasana sosial yang mendukung, seperti kelompok sahabat atau percakapan terapi. Praktek kesenian dapat menyediakan suasana seperti itu, demikian juga lingkaran sastra, atau adat istiadat komunal. Barangkali pendekatan yang paling efektif adalah yang paling tua dan sederhana, yaitu sebuah percakapan antara dua orang di mana yang satu betul-betul mendengarkan yang lain tanpa mengguruinya.
Nadine Andrews dan Paul Hoggett secara tepat menutup bab mereka dengan mengingatkan akan sebuah prinsip dasar psikologi iklim (2019: 168):
Kita masing-masing berakar di dalam sebuah pandangan dunia kultural yang tertular penyakit secara fundamental, dan hal itu mempengaruhi kita semua. Mengakui konflik-konflik dan dilema yang kita semua hadapi sebagai makhluk etis di dalam masyarakat modern memungkinkan kita untuk memahami sesuatu tentang apa maknanya menjadi manusia.
Catatan metodologis
Di dalam penelitiannya Sally Weintrobe dan kawan-kawan mengambil posisi yang jelas dalam dua perdebatan klasik di bidang psikologi.
- Pertama, mereka menolak positivisme yang dari dulu beranggapan bahwa psikologi harus 'bebas nilai' (Breen and Darlaston‐Jones 2010). Daripada itu, menurut mereka, psikologi harus menyumbang pengetahuannya untuk sungguh-sungguh memahami akar-akar masalah manusiawi yang sangat rumit. Dan psikologi harus bisa menawarkan penyelesaian bagi masalah tersebut yang bermakna dan berkelanjutan. Mau tidak mau, ini berarti memegang sejumlah nilai-nilai manusiawi secara eksplisit.
- Kedua, mereka menolak pendekatan yang mengutamakan modifikasi perilaku individu (behaviour modification) untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup (Reynolds 2010). Daripada diajak mengubah perilakunya sesuai program yang ditentukan dari atas, tujuan keberlanjutan lebih mungkin akan tercapai bila orang mengungkapkan nilai-nilai yang intrinsik pada identitas dirinya, seperti persahabatan atau pengembangan diri.
Untuk penelitian lebih jauh
- Kecemasan orang biasa tentang krisis iklim terukur cukup tinggi di Indonesia (Fagan and Huang 2019). Pew Research Center meminta tanggapan peserta sebuah survei multi-nasional terhadap pernyataan ini: 'Perubahan iklim merupakan ancaman besar terhadap negeri kami.' Dari peserta Indonesia yang berpendidikan, 68% menyetujuinya; untuk yang kurang berpendidikan, angka itu 50%. Bandingkan Amerika Serikat (masing-masing 62% dan 56%), Australia (70% dan 54%), dan Filipina (75% dan 53%). Namun, tekanan publik untuk memerangi krisis iklim dengan (misalnya) menghentikan ekspor batubara di Indonesia rasanya rendah. Apakah itu menunjukkan adanya jurang antara kecemasan pribadi dan emosi sosial dalam kehidupan politik? Kalau ya, bagaimana jurang itu dapat dijelaskan?
- Korban langsung dari bencana lingkungan yang terkait dengan iklim (seperti kebakaran hutan atau banjir) biasanya mengalami trauma. Jalankan sebuah studi kasus trauma itu, dengan memerhatikan mediator dan moderator seperti dalam makalah (Doherty and Clayton 2011). Jalankan sebuah studi kasus trauma itu, dengan memerhatikan mediator dan moderator seperti dalam makalah Doherty dan Clayton.
- Tulislah sebuah makalah tentang psikologi iklim di Selatan (Indonesia) untuk di-sharing dengan psikolog Utara seperti Sally Weintrobe dan Paul Hoggett.
Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.
[Modifikasi terakhir: 02/04/2025]
Acuan
Andrews, Nadine, and Paul Hoggett. 2019. 'Facing up to ecological crisis: a psychosocial perspective from climate psychology.' In Facing up to climate reality: honesty, disaster and hope, edited by John Foster. London: London Publishing Partnership.
Breen, Lauren J., and Dawn Darlaston‐Jones. 2010. 'Moving beyond the enduring dominance of positivism in psychological research: Implications for psychology in Australia.' Australian Psychologist 45 (1):67-76.
Christoff, Peter. 2022. 'Mining a fractured landscape: the political economy of coal in Australia.' In The political economy of coal: obstacles to clean energy transitions, edited by Michael Jakob and Jan C. Steckel, 233-257. London: Routledge.
Doherty, Thomas J., and Susan Clayton. 2011. 'The psychological impacts of global climate change.' American Psychologist 66 (4):265–276.
Fagan, Moira, and Christine Huang. 2019. A look at how people around the world view climate change. Pew Research Center.
Hoggett, Paul, ed. 2019. Climate psychology: on indifference to disaster, Studies in the psychosocial. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan/ Springer Nature Switzerland AG.
Hoggett, Paul. 2023. 'Reactionary states of mind as the Holocene ends.' Psychoanalytic Inquiry 43 (2):119-129. doi: 10.1080/07351690.2023.2163149.
McCarthy, James. 2019. 'Authoritarianism, populism, and the environment: comparative experiences, insights, and perspectives.' Annals of the American Association of Geographers 109 (2):301-313. doi: 10.1080/24694452.2018.1554393.
McCune, Timothy J. 2014. 'The solidarity of life: Max Scheler on modernity and harmony with nature.' Ethics and the Environment 19 (1):49-71.
Ordonez, Jose Antonio, Michael Jakob, Jan C. Steckel, and Anna Fünfgeld. 2022. 'Coal, power and coal-powered politics in Indonesia.' In The political economy of coal: obstacles to clean energy transitions, edited by Michael Jakob and Jan C. Steckel, 281-299. London: Routledge.
Reynolds, Lucy. 2010. 'The sum of the parts: Can we really reduce carbon emissions through individual behaviour change?' Perspectives in Public Health 130 (1):41-46.
Rockström, Johan, Joyeeta Gupta, Dahe Qin, Steven J. Lade, Jesse F. Abrams, Lauren S. Andersen, David I. Armstrong McKay, Xuemei Bai, Govindasamy Bala, Stuart E. Bunn, Daniel Ciobanu, Fabrice DeClerck, Kristie Ebi, Lauren Gifford, Christopher Gordon, Syezlin Hasan, Norichika Kanie, Timothy M. Lenton, Sina Loriani, Diana M. Liverman, Awaz Mohamed, Nebojsa Nakicenovic, David Obura, Daniel Ospina, Klaudia Prodani, Crelis Rammelt, Boris Sakschewski, Joeri Scholtens, Ben Stewart-Koster, Thejna Tharammal, Detlef van Vuuren, Peter H. Verburg, Ricarda Winkelmann, Caroline Zimm, Elena M. Bennett, Stefan Bringezu, Wendy Broadgate, Pamela A. Green, Lei Huang, Lisa Jacobson, Christopher Ndehedehe, Simona Pedde, Juan Rocha, Marten Scheffer, Lena Schulte-Uebbing, Wim de Vries, Cunde Xiao, Chi Xu, Xinwu Xu, Noelia Zafra-Calvo, and Xin Zhang. 2023. 'Safe and just Earth system boundaries.' Nature 619 (7968):102-111. doi: 10.1038/s41586-023-06083-8.
Rockström, Johan, W. L. Steffen, Kevin Noone, Åsa Persson, F. Stuart Chapin III, Eric Lambin, Timothy M. Lenton, Marten Scheffer, Carl Folke, Hans Joachim Schellnhuber, Björn Nykvist, Cynthia A. de Wit, Terry Hughes, Sander van der Leeuw, Henning Rodhe, Sverker Sörlin, Peter K. Snyder, Robert Costanza, Uno Svedin, Malin Falkenmark, Louise Karlberg, Robert W. Corell, Victoria J. Fabry, James Hansen, Brian Walker, Diana Liverman, Katherine Richardson, Paul Crutzen, and Jonathan Foley. 2009. 'Planetary boundaries: exploring the safe operating space for humanity.' Ecology and Society 14 (2).
Rust, Mary-Jayne. 2008. 'Climate on the couch: unconscious processes in relation to our environmental crisis.' Psychotherapy and Politics International 6 (3):157–170.
UNDP. 2024. People´s Climate Vote 2024: Results. New York: UNDP.
Weintrobe, Sally. 2021. Psychological roots of the climate crisis: Neoliberal exceptionalism & the culture of uncare: Bloomsbury Academic.