Pertambangan

/JATIM

Lebih besar, lebih kotor, dan menindas: pertambangan paling merusak di bumi sedang mengincar Indonesia

Gerry van Klinken dan David Efendi

Read English Version

Logam merupakan sumber daya yang tidak terbarukan. Cadangannya semakin sulit ditemukan; tambang dengan kadar tinggi telah habis. Namun, masyarakat modern— terutama di negara-negara Global Utara—menuntut peningkatan jumlahnya sepanjang waktu. Harga emas yang tinggi lalu mendorong pembukaan tambang-tambang baru, padahal hanya 10 persen dari emas yang telah ditambang digunakan untuk tujuan fungsional (yaitu tidak untuk perhiasan atau cadangan devisa). Transisi energi membutuhkan penambangan berbagai jenis logam baru. Turbin angin, telepon pintar, dan kendaraan listrik memerlukan material yang mengandung nikel serta 'rare earths' (Logam Tanah Jarang). Penambangan logam-logam ini menghasilkan limbah sangat beracun dan membentuk permukaan bumi yang tandus dan gersang seperti wajah permukaan bulan.

Tambang logam terakhir di bumi adalah deposit berkadar rendah— lebih besar tapi lebih kotor. Sebagian besar cadangan berada di kawasan Selatan, tempat sejarah imperialisme telah meninggalkan warisan kotor berupa pemerintahan otoriter dan korup. Jurnalis investigatif asal Kanada, Christopher Pollon, dalam bukunya Pitfall (2023) tentang industri pertambangan global, menyebut tempat-tempat ini sebagai 'sacrifice zone' (zona pengorbanan)— bumi belahan tertentu dihancurkan demi mengakumulasi keuntungan yang dinikmati orang di daerah/negara lain di belahan bumi lain. Konsekuensi yang tidak dapat dihindari adalah konflik. Ia memprediksi, 'hambatan terbesar dalam pasokan logam di dekade-dekade mendatang adalah konflik yang berkaitan dengan krisis lingkungan, sosial, dan tata kelola pemerintahan.'

Edisi raksasa Inside Indonesia ini menyoroti berbagai 'hambatan besar' ini dalam sektor pertambangan logam di Indonesia. Isu ini tengah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. David Efendi membuka dengan seruan penuh semangat kepada organisasi-organisasi keagamaan terbesar di Indonesia untuk tidak terkooptasi oleh pemerintah dalam arena business as usual pertambangan. Menurutnya, pemerintah yang tidak sanggup menanggung dosa ekosida sendirian mencoba menarik masyarakat sipil kritis dengan menawarkan konsesi tambang batu bara di banyak lokasi.

Tambang emas terbuka yang dulu hanya berada di wilayah 'terpencil' seperti Papua (Freeport), kini juga mulai menjarah pulau Jawa yang terpadat penduduknya. Konsorsium oligarki Indonesia telah membongkar tambang pertama di Tumpang Pitu, Jawa Timur. Foto-foto yang disertakan dalam artikel Wahyu Eka Styawan menggambarkan tingkat kerusakan serta kekuatan perlawanan masyarakat meski harus menghadapi represi. Tambang serupa telah lama direncanakan di wilayah lain di Jawa Timur namun belum terealisasi oleh perusahaan tambang asal Australia, Far East Gold (FEG). Hanya sekadar rumor tentang gelagat menambang emas di Trenggalek sudah cukup untuk menggerakkan masyarakat menuntut hak mereka untuk hidup di lingkungan yang indah dan subur. Yayum Kumai menelusuri sejarah dan tokoh kunci dalam perjuangan berbasis warga tersebut. Jhe Mukti, yang kecintaannya terhadap kegiatan penelusuran gua membawanya pada gerakan protes, menceritakan pengalaman emosional saat berinteraksi langsung dengan bentang alam yang menakjubkan itu. Gerry van Klinken menyajikan ikhtisar singkat mengenai Far East Gold, salah satu dari sedikit perusahaan tambang Australia yang masih beroperasi di Indonesia.

Empat artikel selanjutnya membahas penambangan nikel laterit. Sebagian besar masyarakat di Utara tidak menyadari parahnya kerusakan yang ditimbulkan pertambangan tersebut di wilayah tropis. Mahesti Hasanah dan Gerry van Klinken menggambarkan 'zona pengorbanan' yang kini tengah terbentuk di wilayah di Sulawesi yang dulunya hijau dan tenang. Arus uang dari pertambangan juga mengubah lanskap politik lokal, tulis Jiahui Zeng. Masyarakat berharap dapat merasakan manfaat dari aktivitas ekstraksi ini, namun sebagian besar keuntungan bisnis ini mengalir ke Jakarta dan Tiongkok. Mario Yosryandi Sara menerangkan mengapa tidak berlebihan bila penambangan nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, disebut 'ekosida.'

Keterlibatan Australia dulunya jauh lebih besar, sebagaimana diceritakan oleh Lian Sinclair. Kini, Australia dan Indonesia sama-sama terlibat dalam penyediaan nikel dan rare earth (Logam Tanah Jarang) untuk keperluan transisi energi di Utara. Ia mengajukan pertanyaan: mungkinkah kedua negara tersebut bekerja sama? Dalam artikel lain, Gerry van Klinken mengulas buku Lian Sinclair perihal gerakan rakyat melawan pertambangan di Indonesia.

Terakhir, cendekiawan muda sekaligus vokalis punk, Fathun Karib, mengorkestrasi semua artikel dalam edisi khusus ini ke dalam satu payung besar tulisannya: kapitalisme dan imperialisme menciptakan kawasan-kawasan ekstraktif yang bahkan menyerang tubuh manusia. Ketika masyarakat menyadari bahwa hal ini berdampak bagi semua orang, maka mungkin akan lahir politik alternatif dari bawah yang berpihak pada kehidupan dan kelestarian, bukan pada kerusakan. Tiga lirik lagu pun disertakan dan memperkuat makna refleksi ini.

Kami berharap edisi ini membantu pembaca di Selatan untuk melihat keterkaitan antara memburuknya kehidupan demokrasi dan ekonomi ekstraktif. Pertambangan menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan, menumbuhsuburkan korupsi, dan menindas gerakan lingkungan. Kami juga berharap para pembaca di Utara akan terbantu untuk mengajukan pertanyaan: Dari mana sebenarnya barang-barang yang dikonsumsi berasal? Apakah layak untuk terus diproduksi jika harus dibayar dengan kerusakan sosial dan lingkungan?

Gerry van Klinken (gvanklinken@gmail.com) adalah anggota dewan redaksi Inside Indonesia. David Efendi (defendi83@gmail.com) adalah dosen ilmu pemerintahan dan politik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Inside Indonesia 159: Jan-Mar 2025