Di sini surga

/Thomas Fuhrmann CC

Menyusuri gua mengajarkan untuk mencintai perbukitan di Trenggalek, dan membenci rencana tambang emas

Jhe Mukti (diwawancarai Gerry van Klinken)

Read English Version

Selain untuk mendapatkan pengetahuan baru, berada di kedalaman gua karst rasanya sekaligus healing. Seringnya saya jadi leader, yang jalan duluan. Yang lain mengukur dan menggambar. Saya membuka jalur. Melihat jalan yang akan dipetakan: bagaimana kondisinya, kapan harus berhenti, kapan harus kembali. Hal ini tentunya karena kondisi di sini tidak ideal untuk manusia. Dalam lorong gelap, perasaan was-was pasti ada. Ngeri pasti ada, ketakutan pasti ada. Saya kira ini semacam perjalanan spiritual. Membayangkan saat kita mati dan di kubur, apakah seperti ini rasanya berada dalam perut bumi?

Dalam kondisi basah, kita merasakan aroma tanah lembab dan aroma guano kelelawar. Ada momentum kami sengaja mematikan semua cahaya, diam. Kami ingin merasakan berada dalam kegelapan abadi, semacam pengalaman spiritual, merasakan kedamaian. Tidak terganggu oleh suara luar. Yang kami dengar hanya tetesan air, gemericik aliran sungai bawah tanah, hembusan nafas kita sendiri, decitan dan kepakan sayap kelelawar. Bagi kami yang suka susur gua, ini adalah semacam romantisme, yang membuat kami selalu ingin kembali dan merasakan pengalaman itu lagi.

Karst

Kabupaten Trenggalek memiliki dua formasi karst yang tersusun oleh batugamping yaitu Formasi Wonosari yang didominasi oleh batugamping terumbu yaitu batugamping yang tersusun oleh fosil binatang laut bercangkang, sedang batugamping Formasi Campurdarat tersusun oleh batugamping hablur yaitu batugamping yang telah terubah karena pengaruh tekanan. Proses karstifikasi batugamping di Kabupaten Trenggalek, telah membentuk kenampakan eksokarst seperti lapies, dolina, lembah kering dan bukit karst dan endokarst seperti gua dan sungai bawah tanah.

Karst sendiri termasuk salah satu sumber daya alam non-hayati yang tidak dapat diperbaharui karena proses pelarutan serta pembentukannya membutuhkan waktu ribuan tahun bahkan jutaan tahun. Kondisi geologis, geomorfologis, dan hidrologis ekosistem karst menjadikan ekosistem karst memiliki keterbatasan yang berbeda dengan kawasan lainnya. Keterbatasan yang menonjol di ekosistem karst adalah kondisi solum tanah yang tipis dan kelangkaan air permukaan. Tipisnya solum tanah dan keterbatasan air permukaan di ekosistem karst merupakan pembatas permanen bagi kehidupan di atasnya, baik habitat flora maupun fauna yang tinggal di dalamnya. Tidak semua jenis tumbuhan dan komoditas tanaman pertanian dapat tumbuh dengan baik pada ekosistem karst. Keterbatasan inilah yang menjadikan ekosistem karst memiliki daya dukung yang rendah terhadap kehidupan biota. Hal ini menyebabkan ekosistem karst sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Gangguan yang terjadi di dalamnya akan menyebabkan kerusakan yang lebih cepat dan akan meningkatkan ancaman kepunahan biota yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kawasan ekosistem lainnya. Jika telah mengalami kerusakan, kegiatan pemulihan menjadi lebih sulit dilakukan baik secara alami maupun dengan konsep penanaman dengan menghutankan kembali.

Selain itu, dalam kaitannya dengan hidrogeologi, terdapat keterkaitan erat antara kawasan karst dan kawasan non-karst. Hal ini dikarenakan air yang ada di kawasan karst dapat berasal dari kawasan non-karst yang berupa kawasan imbuhan air (recharge area). Sehingga dalam hal ini, kawasan non-karst tersebut menjadi bagian dari kawasan ekosistem karst yang perlu untuk dilindungi. Jika kawasan imbuhan air tersebut tidak dilindungi dan mengalami perubahan, maka daya serap infiltrasi air akan berkurang, dan menyebabkan terjadinya kekeringan pada kawasan karst.

Pada tahun 2022 kami membuat program percontohan kolaborasi penataan karst dan pengelolaaan sumberdaya air untuk masyarakat Trenggalek di desa Terbis, kecamatan Panggul. Tentu saja kegiatan awal yang dilakukan bersama masyarakat adalah melakukan pendataan. Kami ingin tahu apakah ada kolam air besar di dalam gua yang kami data. Selama proses itu kami belum menemukan kolam. Kami baru masuk sejauh 500-an meter dan lorong sepertinya masih panjang. Rupanya baru kali ini ada manusia masuk sedemikian dalam. Informasi yang kami dengar, masyarakat lokal pernah masuk, tapi hanya dekat permukaan. Kami masuk mulai jam 7 pagi dan baru keluar jam 4 sore. Sambil jelajah secara hati-hati, kami mengukur, membuat deskripsi gua dan menghitung debit air yang ada. Kami memang membatasi waktu penyusuran, karena malam harinya kami harus memaparkan temuan kami kepada masyarakat di balai desa.

Gua yang kami susuri ini memiliki makna mistikal bagi masyarakat lokal. Masyarakat desa ini mempercayai bahwa jika menemukan sidat di sekitar sumber air atau di dalam gua kemudian diburu atau diambil untuk dimakan, maka keluarganya akan ada yang sakit atau bahkan akan mati. Waktu penyusuran gua, kami pun mendapati ada sidat yang berenang menghindari kami. Lokasinya pun tidak jauh dari permukaan gua. Sidat, semacam belut, termasuk ikan katadramus, yaitu ikan yang hidup di air tawar saat masih muda, tetapi bermigrasi ke laut untuk berkembang biak. Kecamatan Panggul adalah salah satu dari 3 kecamatan pesisir di Trenggalek, bagi kami menjadi wajar jika banyak sidat yang naik sampai masuk ke wilayah gua itu. Bagi kami, mitos itu bagus, karena mereka akan melindungi sungai sendiri. Mungkin itu upaya masyarakat menjaga kelestarian, supaya tidak merusak kondisi lingkungan.

Saya mulai ikut memetakan gua dengan teman-teman setelah kembali ke Trenggalek tahun 2014. Tentu saja ini didorong oleh keinginan untuk kembali mengenali kawasan sebelum memulai laku bertani. Bagaimana kondisi tanahnya, airnya dan ekosistemnya. Trenggalek adalah tempat para leluhur Bapakku. Ya, tanah air yang menumbuhkan hidupku sejak orang tuaku berpisah ketika aku masih kecil. Ibuku berasal dari Kutai, sepertinya mereka bertemu di pedalaman hulu Sungai Belayan, Kutai Kartanagara, Kalimantan Timur. Gen perpaduan Jawa dengan Kutai.

Saya banyak berpindah-pindah tempat, setelah bapak menikah lagi dengan orang Panggul, tiga tahun kami tinggal di Jakarta sebelum kembali lagi ke Trenggalek, kemudian melanjutkan Sekolah Teknik Menengah di Madiun dan melanjutkan kuliah teknik elektro ke Malang. Selepas kuliah saya ditawari kerja di penerbitan buku, saya ditempatkan setahun di Pos Ternate, Maluku Utara, dan dua tahun di Cabang Manado, Sulawesi Utara. Setelah menikah dengan perempuan dari Malang tak lama kemudian saya pamit dari Manado dan kembali ke Malang.

Di Malang saya memulai bertani, menyewa tanah untuk menanam jagung dan ubi jalar. Hampir setiap tahun harga sewa tanah naik dan ini menjadi beban biaya yang sangat besar untuk melanjutkan produksi. Beberapa jenis produk pertanian diteliti untuk menyeimbangkan ongkos produksi dan hasil yang diperoleh, namun tetap saja biaya sewa lahan menggerus lebih dari 35 % pendapatan yang dihasilkan. Ada beberapa tawaran untuk mengembangkan ubi jalar dengan pengusaha Korea yang memiliki HGU di Kalimantan, saya menolaknya. Kemudian datang lagi tawaran untuk pengembangan budidaya singkong di Malaysia, setelah riset varietas selesai, saya lebih memilih untuk kembali saja ke Trenggalek.

Saat itu saya dengar bahwa Trenggalek akan menjadi pusat produksi Tapioka, bahkan Pemerintah Trenggalek telah menawarkan lahan seluas 18.000 hektar untuk mendukung produksinya. Dan jauh sebelum itu bahkan saya juga mendengar bahwa di Pacitan juga akan ada pabrik bio-etanol dari singkong. Saya berfikir, kenapa saya tidak mencoba memaksimalkan lahan milik keluarga saja? Bisa berkarya di daerah sendiri, yang juga memiliki sejarah kuat tentang singkong dan gaplek. Karena wilayah ini mayoritas kawasan karst, meneliti soal air, struktur tanah, sosial masyarakat dan potensinya menjadi hal penting untuk dilakukan. Diskusi-diskusi dengan berbagai komunitas dibangun hingga terjadi koalisi kecil yang berdedikasi untuk menyelamatkan tanah dan air serta menghubungkan kehidupan dengan alam.

Tambang

Dalam proses itu, saya mendatangi berbagai pihak untuk memastikan informasi yang ada. Saya mendatangi bagian ekonomi Bappedalitbang Pemkab Trenggalek untuk memastikan perihal rencana pabrik tapioka, ternyata rencana investasi tersebut gagal. Yang di Pacitan pun tidak berjalan. Karena sudah memutuskan untuk kembali, saya tetap melakukan pendataan potensi yang dimiliki daerah ini. Potensi pertanian dan perikanannya sangat baik, kendala terbesar yang dihadapi adalah soal distribusi.

Ruang-ruang diskusi dan belajar tetap kami buat. Kami membuat kelas-kelas tematik di desa. Pemateri kami datangkan dari berbagai kalangan, baik praktisi ataupun akademisi. Saat itu kami mengundang pula pemateri dari Walhi Jawa Timur. Mereka membuka data dan menyampaikan tentang WIUP seluas 30.000 hektar di kabupatan Trenggalek. WIUP adalah wilayah izin usaha pertambangan. Kami tentu saja kaget. Hampir tak ada informasi di ruangan publik soal ini. Tetapi melalui upaya pendataan gua, kami mendapatkan kesempatan berkenalan dengan Kementrian Lingkungan Hidup, Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial. Sehingga mereka bersedia membuat program inventarisasi ekosistem karst kabupaten Trenggalek pada 2017. Kami pun dilibatkan dari awal hingga akhir. Pada proses itu, kami belajar banyak tentang tata kelola pemerintahan dan mengetahui beberapa data dan informasi penting yang tidak dipublish oleh pemerintah daerah.

Kami akhirnya mengetahui bahwa, pada tahun 2017, bupati yang baru mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada. Di situ saya lihat ada pengurangan wilayah kawasan lindung karst yang semula 10.684 hektar. Ternyata tersisa hanya 3.485 hektar, jadi ada 7.199 hektar dihilangkan. Saya overlay dengan data yang kami punya, banyak yang dihilangkan ternyata berlokasi di WIUP tadi. Maka muncul kecurigaan kami: ini ada kepentingan pertambangan dalam perubahan wilayah RTRW di Trenggalek. Saya menulis tentang itu tahun 2020 di media situs Nggalek.co. Di situ mulai ramai. Saya konsolidasi soal wilayah karst tadi dengan teman-teman di lapangan.

Perlawanan

Desas-desus rencana pertambangan sudah beredar 20 tahun, dan kebanyakan orang menolaknya. Masyarakat di sini banyak yang merantau. Banyak yang pernah bekerja di wilayah pertambangan. Mereka punya pengalaman visual di Kalimantan, Sumatra, dan tempat lain. Mereka pernah lihat dengan mata sendiri lubang raksasa. Mereka tidak mau lubang seperti itu di Trenggalek.

Masyarakat desa melihat alat-alat drill core sedang melakukan eksplorasi sejak 2005. Truk-truk melintas di jalan sempit di perbukitan Trenggalek, mencari target. Hingga akhirnya pada tahun 2013 truk drill core masuk kampung mereka sendiri – Sumberbening. Masyarakat lokal demo. Melarang eksplorasi di kampung mereka. Alat ditahan.

Maka bupati saat itu membuat surat keputusan pemberhentian sementara eksplorasi di Trenggalek pada tahun 2014 (tetapi perusahaan diberikan ganti waktu 2 tahun, yang sekiranya izin usaha pertambangan – IUP - eksplorasi itu berakhir di 2016, sehingga usaha WIUP jalan sampai akhir 2018). Saat pilbup tahun 2015, masyarakat bikin ‘kontrak politik’ dengan semua calon waktu itu, untuk tidak ada pertambangan emas di wilayah Trenggalek. Terutama desa Sumberbening dan Dukuh (Watulimo) menolak keras – termasuk ibu-ibu yang ikut. Jadi bupati dengan wakil bupati yang terpilih berkomitmen untuk tidak mengizinkan selama masyarakat menolak.

Pada tahun 2016 kewenangan soal tambang dipindahkan ke provinsi. Dalam hal itu, ternyata bupati Trenggalek yang baru mengeluarkan izin lingkungan tahun 2016 itu juga. Izin itu diperlukan oleh persahaan tambang untuk mengurus Amdal. Lalu 2017 menyusul perubahaan RTRW yang sudah banyak kita bicarakan dengan berbagai pihak. Pada tahun 2018 bupati Trenggalek digandeng oleh calon gubernur, hingga 2019 ia naik menjadi wakil gubernur Jatim. Tahun 2019 itu, izin operasi produksi dikeluarkan oleh provinsi.

Begitu kronologi persoalan tambang ini di Trenggalek. Informasi dan data tentang keluarnya IUP Operasi Produksi itu kami ketahui baru pada awal 2021, setelah Aliansi Rakyat Trenggalek terbentuk. Dokumen-dokumen dan informasi terkait hal ini tidak pernah diumumkan, kami mencari sendiri. Sejak saat itu, Aliansi Rakyat Trenggalek menjadi wadah dari 25 organisasi lokal dan nasional untuk melawan ancaman pertambangan emas di Trenggalek.

Bupati yang sekarang adalah wakil dari bupati yang mengeluarkan izin lingkungan. Dia dulu juga turut menjadi ‘humas’ perusahaan. Keliling berdialog dengan masyarakat yang menolak adanya pertambangan. Dia juga sempat mendatangi desa Dukuh yang solid menolak. Masyarakat desa ini pernah demo kepada Pemerintah Desa yang menerima pengeboran. Mereka resah karena beberapa rumah warga ada yang retak saat operasional pengambilan sampel mineral. Setelah demontrasi di desa, mereka bergerak ke Kantor Bupati dan DPRD. Sehingga akhirnya kegiatan pengeboran itu diberhentikan sementara oleh DPRD.

Setelah beberapa kali desakan dan argumentasi Aliansi, bupati yang sekarang turut menyatakan penolakannya terhadap tambang tersebut. Momentum ini ditangkap oleh Aliansi untuk mendapat dukungan yang lebih luas lagi dengan membuat petisi online di situs change.org. Tandatangan yang terkumpul mencapai 23.000 lebih. Beberapa kali kami meminta bupati bersurat ke pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk pencabutan IUP tersebut (sebab sejak 2020 kewenangan perizinan usaha pertambangan mineral logam berpindah ke pemerintah pusat, Kementerian ESDM). Surat permohonan pencabutan pun telah dikirim, namun hingga saat ini surat itu tidak ditanggapi oleh Kementrian ESDM.

Sebagai bupati, ia telah berusaha melawan sesuai wewenang yang ia miliki. Tetapi apakah cukup, melihat kepentingan besar di provinsi, di Jakarta, di luar negeri? Apalagi saat ini sahamnya telah dikuasai oleh Far East Gold, perusahaan yang baru saja listing dibursa Australia pada 2021.

Surga

Saya terkadang khawatir sendiri membayangkan jika kegiatan pertambangan ini terlaksana. Saya sudah terlanjur tahu kondisi geologis Trenggalek: banyak patahan, wilayah dataran di utara dan selatan dipisahkan oleh perbukitan yang menjadi sasaran tambang. Bagaimana jadinya dengan gua-gua yang pernah dijelajahi? Sumber-sumber air primer yang telah digunakan oleh masyarakat? Justru wilayah perbukitan itu adalah aset daerah, terutama soal air. PDAM menggunakan sumber-sumber air dari kawasan ini.

Masyarakat Trenggalek mayoritas menghuni wilayah perbukitan, pemerintah pusat tidak tahu ini. Bahkan dalam pertemuan resmi, pejabat Kementerian ESDM mengira jika wilayah ini tak berpenghuni, nganggur, ‘daripada nganggur, lebih baik dimanfaatkan (dengan tambang)’ katanya. Belum lagi soal banyaknya patahan, bukankah ketika digali sedikit, blasting sedikit saja akan banyak wilayah yang rontok?

Apalagi banyak gua-gua di bawah tanah yang belum dipetakan. Kalau dilakukan pengeboman, apa efeknya? Ini yang tidak diketahui banyak orang. Ini yang juga saya khawatirkan. Saya punya saudara yang tinggal di wilayah-wilayah ini. Kita memikirkan nasib bersama. Ini perlu dijaga dan ditata bersama dengan baik. Itu membuat kami merasa miris.

Wilayah karst rentan sekali, karena tak bisa dipulihkan kalau ekosistem rusak. Kelelawar manfaatnya ada buat pertanian. Durian berbuah berkat kelelawar. Kelelawar mengendalikan hama wareng yang menyerang padi. Dari mulut gua tiap sore mereka keluar, mencapai radius 3-5km, tergantung besar kecilnya tubuh dia.

Setelah apa yang awal menarik bagi saya untuk pulang ke Trenggalek dan nyatanya semua itu tidak ada, sempat saya berdiskusi dengan keluarga. Namun Ibu sambung saya, bilang: ‘Ngapain sih kerja jauh-jauh? Di sini ‘aja loh, di sini surga.’ OK, saya tetap pulang ke Trenggalek. Saya kira Trenggalek akan kaya dengan apa yang ada di lanskapnya, daripada kaya dengan membongkar apa yang ada di perut bumi.

Saya kira Trenggalek bisa sejahtera dengan lanskap – kalau tidak diganggu dan dirusakkan semua. Sudah sangat cukup. Trenggalek jangan terlalu over-eksploitasi, sebab eksploitasi yang berlebihan menghasilkan kemiskinan. Ekstraksi menyebabkan pemiskinan secara sistematis. Masyarakat miskin, ekologis juga miskin. Kita harus tahu kecukupan. Nanti tak ada lagi untuk dieksploitasi.

Jhe Mukti (muktisatiti@gmail.com) hidup di tanahnya di kabupaten Trenggalek. Gerry van Klinken adalah anggota dewan redaksi Inside Indonesia, dan tinggal di Brisbane.

Inside Indonesia 159: Jan-Mar 2025