Pendahuluan
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tahun 2024 berkata, batu bara tetap menjadi sumber energi utama karena ‘murah dan kompetitif’. Edisi Bacaan Bumi ini bertanya: apa artinya ‘murah’ apabila barang murah ternyata mematikan? Apakah tidak ada yang miring dengan ilmu ‘ekonomi’ di mana racun harus diperdagangkan karena ‘murah’?
Melky Nahar, koordinator program Jaringan Advokasi Tambang/ JATAM, menerangkan bahwa harga batu bara sebenarnya paling mahal. ‘Di balik setiap ton batu bara yang diekspor atau dibakar, tersimpan ongkos sosial dan ekologis yang tidak tercatat dalam laporan keuangan korporasi,’ tulisnya. Ongkos itu tak sulit dilihat. Orang desa tanpa dasi melihatnya tiap hari. Tetapi Dirut PT Kaltim Prima Coal – dan menteri, dan presiden - tidak.
Gerry van Klinken memperkenalkan ilmu ekonomi baru: ‘Ekonomi ekologis.’ Alam dipahami sebagai keseluruhan. Kegiatan ekonomis, bagiannya, tidak diukur dengan dolar, melainkan dengan ton massa dan joule energi.
Unsur kuncinya: ‘metabolisme sosial.’ Metabolisme adalah pertukaran materi keluar-masuk sebuah tubuh agar dapat bertahan hidup. Sebuah masyarakat pun agar hidup harus ‘memakan’ sumberdaya dan ‘mengeluarkan’ polusi. Dipandang begini, masalahnya jelas: jumlah barang yang dimakan dan dikeluarkan terlalu banyak! Harus dikurangi. Mulai dengan batu bara.
Simaklah Bacaan Bumi edisi ini! Kirimlah tanggapan ke editor@insideindonesia.org.
Gerry van Klinken (Editor, Bacaan Bumi)