Pendahuluan
Tahun 2024, Bumi telah melewati batas kenaikan suhu 1,50C, yang belum lama disepakati oleh seluruh dunia di Paris tidak boleh dilewati. Namun, media massa terkesan tidak terlalu mempedulikannya. Dari manakah lahirnya sikap acuh terhadap nasib Ibu Bumi? Edisi Bacaan Bumi ini mengeksplorasi cabang psikologi yang baru: Eko-Psikologi.
Ahmad Sulaiman, psikolog di Malang, menyamakan relasi manusia dengan alam dengan hubungan penindas-tertindas. Setelah mendalami buku termasyur Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, ia lalu menerapkannya kepada dunia alamiah. Sebagaimana kaum industrialis menindas orang miskin, demikian pula umat manusia menindas alam, tanpa memikirkan akibatnya. Persis seperti seorang penindas kapitalis, tulisnya, “Manusia melihat kerusakan alam sebagai kerugian atas manusia itu sendiri, bukan kerugian atas alam.”
Gerry van Klinken menerangkan karya sejumlah ahli eko-psikologi dari Climate Psychology Alliance, di Britania Raya. Kata mereka, ideologi neoliberal di dunia Utara meyakinkan manusia bahwa 'tidak peduli' – pada apapun dan siapapun – boleh dianggap normal; bahwa manusia berteknologi merupakan pengecualian terhadap hukum-hukum alam. Ketika Bumi akhirnya membalas kecongkakan itu, kita menjadi marah alih-alih menyesuaikan perilaku.
Eko-psikologi juga menawarkan sejumlah kaidah untuk membangun kembali relasi manusia dengan alam secara lebih positif.
Simaklah Bacaan Bumi edisi ini! Kirimlah tanggapan ke editor@insideindonesia.org.
Gerry van Klinken (Editor, Bacaan Bumi)