Memotret seksualitas di Indonesia

Published: Feb 24, 2020
Versi Bh Inggris

Sharyn Graham Davies & Irwan Hidayana

Pada dasawarsa terakhir, Indonesia mengalami perubahan besar terkait seksualitas. Tahun 2008 UU Anti Pornografi disahkan, Tahun 2016 terjadi ‘krisis LGBT’ yang terlihat melalui pernyataan-pernyataan homofobik dan transfobik dari tokoh-tokoh masyarakat dan politik. Tahun 2017, Mahkamah Konstitusi menolak petisi untuk mengkriminalisasi semua bentuk hubungan seks di luar perkawinan dengan suara 5 banding 4. Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tertunda. Sebelum edisi ini terbit, gerakan untuk mengkriminalisasi hubungan seks di luar perkawinan muncul lagi melalui RKUHP yang sedang dibahas di DPR namun ditunda pengesahannya. Tahun 2019, Jakarta pertama kali memiliki rumah sakit yang terakreditasi Syariah di mana kesehatan seksual tidak mungkin menjadi prioritas. Tambahan lagi, sejumlah lembaga pemerintah menolak merekrut calon pegawai negeri sipil yang dianggap memiliki orientasi dan perilaku seksual ‘menyimpang’.

Mencermati semua perubahan yang mengkawatirkan ini, sudah saatnya bertanya bagaimana masyarakat Indonesia merespon meningkatnya pemidanaan seksual dalam kehidupan sehari-hari.

Kami terdorong untuk membuat edisi khusus ini setelah menerjemahkan buku Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia. Penerjemahan buku tersebut membawa kami bertanya seberapa jauh perubahan terjadi sejak 2015. Sebagai contoh, dalam Pendahuluan buku edisi Inggris kami optimis tentang kemajuan Indonesia untuk mengakui hak-hak semua warganya tanpa melihat seksualitasnya. Tidak ada istilah LGBT dalam buku tersebut, namun dalam waktu singkat akronim ini menyebar hampir seluruh Indonesia dengan konotasi negatif.

Adalah sebuah kekecewaan ketika buku ini memprediksi masa depan yang positif bagi minoritas seksual, dan juga bagi semua warga Indonesia, namun belum terwujud.

Kami merencanakan membuat buku kedua tentang seksualitas di Indonesia, tetapi kami menginginkan sesuatu yang lebih cepat agar dapat menangkap perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Akhirnya kami putuskan untuk membuat edisi khusus Inside Indonesia yang menyediakan ruang untuk mendiskusikan perubahan mengenai seksualitas tetapi juga tempat untuk peneliti-peneliti muda yang mengkaji seksualitas di Indonesia. Ucapan terima kasih kepada Linda Bennett untuk dukungannya sejak awal.

Dalam edisi khusus ini ada 19 artikel yang membahas beragam aspek seksualitas di Indonesia. Semua artikel dibuat oleh penulis Indonesia (penulis utama atau penulis pendamping) kecuali 2 artikel dan kami bersemangat untuk membuat edisi khusus dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Para penulis tersebar secara global: Indonesia, Australia, Selandia Baru, Swedia, Jerman, Perancis, Belanda, Kanada, Amerika Serikat dan Inggris.

Kami berterima kasih kepada para penerjemah. Semua penulis menerjemahkan artikel yang ditulisnya, dengan pengecualian 3 artikel yang diterjemahkan oleh Irwan Hidayana.

Terima kasih yang tak terhingga kepada Jemma Purdey dan Tim Fitzgerald. Tim membaca, menyunting dan memfinalkan 19 artikel dan Jemma memberikan masukan yang berharga, mengunggah semua artikel, termasuk tautan dan gambar. Sebuah pekerjaan yang menyita waktu.

Kumpulan artikel ini dapat dikategorikan kedalam empat tema: budaya popular, LGBT, HIV dan seksualitas.

Budaya populer dan seksualitas

Artikel pertama yang luar biasa ditulis oleh akademisi/seniman/aktivis Patresia Kirnandita. Dalam tulisannya ia memperlihatkan bagaimana kombinasi seni dan aktivisme mendorong wacana seksualitas perempuan di Instagram. Dengan merefleksikan sembilan gambar seni erotik yang ia posting di Instagram (@kirnantresia) bersama karya seniman/aktivis lainnya, membaca dan melihat tulisan ini menjadi dramatis. Ia menunjukkan bagaimana perempuan mendorong batas-batas apa yang dapat diterima tentang seksualitas perempuan dalam masyarakat Indonesia masa kini.

Mengangkat tema pemberdayaan seksual perempuan dan media sosial, Monika Winarnita, Nasya Bahfen, Gavin Height, Joanne Byrne dan Adriana Rahajeng Mintarsih menulis tentang gerakan ‘#MeToo Indonesia’. Dengan sejumlah pilihan gambar, mereka memperlihatkan para feminis memaksimalkan Gerakan #MeToo dan menggunakan media sosial untuk menginisiasi kegiatan luring (offline). Para penulis menyoroti kampanye House of the Unsilenced yang mempertemukan penyintas kekerasan seksual dan seniman untuk menciptakan karya-karya baru tentang kehidupan penyintas. Artikel ini menampilkan ketangguhan perempuan Indonesia.

Teguh Wijaya membahas dunia ‘budaya pop Queer’ yang menakjubkan. Dengan tema utamanya idola Korea dan komik boy’s love Jepang, Teguh memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk budaya popular ini membantu sebagian orang Indonesia menemukan tempat baru untuk ekspresi queer. Ia juga menelusuri kemungkinan interaksi dalam dunia maya yang mengguncang patriarki dalam dunia nyata. Di bagian artikel, penulis berharap bahwa queerness dapat merasuki moralitas konservatif dan membawa Indonesia ke arah yang lebih progresif dalam seksualitas.

Hip-hop adalah budaya popular yang diangkat oleh Diana Teresa Pakasi. Ia berpendapat bahwa hip-hop seharusnya melawan, bukan memperkuat, masalah kekerasan seksual di Papua Barat. Diana menulis tentang penampilan hip-hop dalam kaitannya dengan tingginya angka kekerasan seksual di Papua Barat. Ia mengungkapkan sekalipun hip-hop memberikan ruang untuk laki-laki muda mengekspresikan maskulinitas, kebanyakan lagu hip-hop yang mereka ciptakan memperkuat gagasan kekerasan seksual terhadap perempuan dapat diterima.

LGBT

Kelompok artikel selanjutnya bertemakan LGBT dengan fokus pada sulitnya menjadi LGBT dalam masyarakat Indonesia masa kini. Dalam Ujaran Kebencian di Media Daring, Dina Listiorini memperlihatkan antara tahun 2016 dan 2018, ujaran kebencian anti LGBT meningkat pesat dalam media daring disertai dengan liputan isu-isu LGBT yang lebih luas – pertanda adanya perdebatan yang intens.

Tulisan Made Diah Pitaloka Negara Puteri dan Firdhan Aria Wijaya mengulas efek buruk dari ujaran kebencian pada komunitas LGBT Indonesia. Dalam ‘Mobilisasi rasa takut’ mereka menghimbau masyarakat Indonesia untuk menerima dan menghormati LGBT sebagai bagian dari keragaman bangsa.

Dengan meningkatnya ujaran kebencian, tidaklah mengherankan bila banyak LGBT yang ingin pindah ke luar negeri. Wisnu Adihartono, dalam artikel ‘Kebebasan pada komunitas gay di Paris’ mengisahkan cerita laki-laki gay Indonesia yang pindah ke Perancis untuk memperoleh kehidupan gay yang lebih terbuka.

Artikel selanjutnya ditulis di Swedia. Jeanne Nilsson dan Kei Nilsson menceritakan kisah sebagai lesbian di Indonesia, dari perspektif orang dalam dan orang luar. Kei yang lahir dan besar di Indonesia – sekarang tinggal di Swedia – merefleksikan pengalaman sebagai lesbian yang melihat dari dalam ke luar. Pasangannya, Jeanne, seorang Swedia, mengutarakan pandangannya tentang isu-isu queer dengan melihat Indonesia dari luar. Dalam artikel ‘Kekuatiran tentang queer’, keduanya berpendapat citra nasional Indonesia mengecualikan banyak orang, dalam kontradiksi yang jelas dengan undang-undang dan prinsip-prinsipnya, khususnya Bhinneka Tunggal Ika. 

Untuk mendorong Indonesia melibatkan semua sektor masyarakat dalam kerja keadilan sosial, Diego Garcia Rodriguez memperlihatkan sejumlah besar aktivis bekerja sama untuk mempromosikan toleransi terhadap LGBT. Dalam ‘Sekutu-sekutu di Jawa’ ia memperlihatkan aktivis hak-hak LGBT dan sekutunya berhasil menggunakan agama untuk mempromosikan hak-hak LGBT. Tulisan ini memberikan wawasan tentang cara yang potensial untuk menyerasikan agama dan seksualitas.

Menutup bagian ini adalah sebuah perspektif yang menarik dari Irmia Fitriyah dalam artikel berjudul ‘Nitis, pengalaman hidup waria’. Transpuan (atau transgender perempuan) juga istilah yang sering digunakan. Irmia memperlihatkan bahwa seseorang tidak menjadi waria begitu saja, tetapi ia perlu dibimbing dan ‘dijadikan’ oleh waria senior.

HIV

Dalam lingkungan yang cenderung memidanakan seksualitas tidaklah mengherankan bila prevalensi HIV terus meningkat di Indonesia. Tahun 1998, ketika Indonesia mengalami reformasi demokrasi, prevalensi HIV di kalangan laki-laki muda yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) relatif rendah, namum sekarang diperkirakan hingga 50 persen. Persekusi seksual tidak menghentikan aktivitas seksual, malah menambah penderitaan. Empat artikel dalam edisi khusus ini mengeksplorasi situasi HIV terkini.

Najmah, Sharyn Graham Davies dan Sari Andajani mengulas meningkatnya prevalensi HIV di kalangan ibu-ibu. Dalam ‘Ibu rumah tangga dan HIV’, para penulis mendorong masyarakat untuk memahami kompleksitas status istri dan ibu rumah tangga dan bukan sebagai individu yang tidak mungkin tertular HIV.

Salah satu kesulitan untuk mengajak orang turut dalam pencegahan HIV adalah pendidikan HIV dianggap membosankan dan kurang tepat. Dinar Lubis, Sari Andajani dan Cath Conn dalam tulisan ‘Memerangi HIV dengan menggunakan internet’ mengungkapkan bahwa taktik pencegahan HIV masih kurang tepat bagi LSL muda. Mereka berpendapat bahwa untuk mencegah penularan HIV, para praktisi kesehatan perlu mengembangkan dan menyebarkan informasi yang tepat bagi audiensi yang menjadi sasarannya.

Untuk mengembangkan alat pendidikan yang baik, mengurangi stigma adalah strategi penting dalam pencegahan HIV. Azalia Muchransyah dalam ‘Stigma menghambat kemajuan penanggulangan HIV’ menyatakan bahwa meskipun kesadaran HIV membaik, stigma membuat tes HIV tidak nyaman dan pengobatan tidak menarik. Berbagi pengalamannya bekerja dengan ODHA di penjara, dan pengalamannya menjalani tes HIV wajib ketika mengurus dokumen pernikahan, tulisan ini memberikan sumbangan penting.

Benjamin Hegarty dan Sandeep Nanwani dalam ‘Pemberi harapan’ menulis tentang pengobatan dan perawatan HIV bagi LSL. Mereka menunjukkan, dengan empati, bahwa mengikutsertakan komunitas yang lebih luas, khususnya petugas penjangkau, adalah kunci dalam memberikan perawatan HIV bagi LSL. Mereka menyimpulkan bahwa respon kreatif untuk perawatan HIV tidak dengan hukuman dan pembalasan, tetapi mendukung secara aktif para ODHA. 

Seksualitas

Bagian akhir edisi khusus ini menelisik seksualitas secara luas dengan tema pengawasan dan malu. Nelly Martin Anatias bertanya mengapa dalam perselingkuhan perempuan yang disalahkan sementara laki-laki bebas. Dalam artikelnya ‘Pelakor dan Instagram’, Nelly menggunakan posting Instagram untuk mengkaji isu ini. Ia memperlihatkan bahwa pelakor selalu bersalah dalam perselingkuhan sementara suami dianggap tidak berdosa. Malu dan salah terutama lekat pada perempuan.

Narasi tentang malu terasa kuat di Aceh di mana ketidakpatutan seksual dapat menjadi fatal. Dalam tulisannya yang kuat, ‘Menonton malu dan penghukuman’, Joni Lariat menunjukkan bagaimana citra hukuman Syariah merupakan strategi kunci dalam kontrol sosial di Aceh. Pencambukan di muka umum yang difoto dan disebarkan melalui media sosial membuat reintegrasi sosial pelaku hamper tidak mungkin dilakukan.

Ferdiansyah Thajib mengulas topik keyakinan dan seksualitas dalam tulisan ‘Meng-queer-kan kesalehan’. Ia mengungkapkan bahwa tidak adalah pemahaman tunggal tentang kesalehan moral bagi queer Muslim. Bagi queer Muslim Indonesia, konflik batin seputar seksualitas dan gender mempengaruhi pembentukan, pendobrakan dan perbaikan kesalehan individu dan komunal. Ia berpendapat pemahaman yang fleksibel tentang kesalehan queer dapat dan harus digunakan untuk mempersatukan Indonesia.

Tekanan yang dibebankan pada perempuan terkait seksualitas, mendorong sejumlah perempuan untuk pindah ke luar negeri yang memberikan kebebasan seksual. Tapi Alexandra Llyod memperlihatkan dalam ’Pengawasan seksual di luar negeri’, meski jarak dapat memberikan kebebasan seksual bagi perempuan Indonesia, kekawatiran akan penghakiman tetap dirasakan. Melalui pengalaman seksual perempuan Indonesia di Melbourne, Australia, ia mengungkapkan ketakutan perempuan dicap sebagai pelacur memperlihatkan jangkauan global dari pengawasan seksual.

Artikel terakhir oleh Jurnisih dan Andi Cipta Asmawaty mencoba menghentikan pelecehan seksual di tempat kerja. Keduanya memperlihatkan kegagalan untuk mengatasi pelecehan seksual memiliki efek yang merugikan perempuan pekerja. Mereka mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.

Sembilan belas artikel ini merupakan kontribusi penting bagi pengetahuan mutakhir tentang seksualitas di Indonesia. Kami berharap semua tulisan berguna dan memberikan inspirasi untuk kajian seksualitas ke depan. Kami menyadari bahwa peraturan ijin penelitian yang baru akan menyulitkan bagi mereka yang ingin mengkaji isu-isu sensitive seperti seksualitas, khususnya seksualitas non-perkawinan. Hal yang juga sulit diprediksi adalah isu LGBT di masa depan.

Ketika tantangan untuk mengadvokasi toleransi seksual dan gender di Indonesia semakin banyak, namun kontribusi dalam edisi khusus ini merupakan pertanda bahwa banyak sarjana dan aktivis yang berkomitmen untuk bekerja bagi keadilan dan kesetaraan seksual.

Sharyn Graham Davies (sharyn.davies@aut.ac.nz) meneliti tentang gender dan seksualitas di Indonesia, menulis tentang pengaturan dan pengawasan seksual, serta isu-isu yang berdampak pada komunitas LGBT. Irwan Hidayana (irwan@ui.ac.id) adalah pengajar pada Universitas Indonesia, meneliti dan menulis tentang gender dan seksualitas di Indonesia.