Latar belakang perusahaan pertambangan kecil asal Australia dengan nama berbau kolonial
Gerry van Klinken
Far East Gold (FEG) adalah salah satu dari sedikit perusahaan pertambangan Australia yang masih beroperasi di Indonesia. Perusahaan ini beroperasi di dua lokasi di Australia – keduanya di Queensland – dan empat titik di Indonesia. Diperkenalkan di pasar saham pada Maret 2022, harga sahamnya mengalami penurunan di tahun 2025, karena tidak ada tambang yang benar-benar menghasilkan. Firma audit KPMG pada pertengahan 2024 menyatakan terdapat ‘ketidakpastian material yang dapat memicu keraguan akan kemampuan perusahaan untuk terus beroperasi sebagai entitas yang berkelanjutan’ (halaman 73 dari laporan tahunan FEG, 30 Juni 2024). Namun, perusahaan ini terus mengeksplorasi prospeknya sambil mencari mitra yang memiliki sumber daya besar. Pada akhir 2024, anak perusahaan dari perusahaan besar China, Inner Mongolia Xingye Silver and Tin Mining, menginvestasikan beberapa juta dolar, sebagian besar dengan syarat FEG mendapatkan izin untuk maju.
Berbagai pengumuman pasar saham perusahaan ini bernafaskan semangat terbesar terkait sebuah prospek besar di Papua yang disebut Proyek Idenburg (mungkin melanjutkan penamaan bau kolonial). Terletak di pegunungan 100 km sebelah selatan Jayapura, tambang emas di Kabupaten Keerom sudah dikenal oleh penambang artisanal sejak akhir 1990-an. Bupati Keerom mengumumkan adanya deposit besar pada tahun 2006, mengatakan bahwa dia sedang mencari investor yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan untuk daerah tersebut. Ia juga berjanji: ia akan melakukan segala cara untuk mencegah kerusakan yang terjadi di Freeport. ‘Kami tidak ingin masyarakat menjadi korban penambang seperti yang terjadi di Mimika [kota Freeport],’ katanya.
Aset FEG lainnya yang dianggap sebagai ‘aset bernilai tinggi’ ada di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Prospek di beberapa lokasi yang menjanjikan dalam area konsesi yang luas telah diselidiki dengan cukup detail (lihat peta di sini). Perusahaan ini membeli aset tersebut dari pemilik sebelumnya. Salah satu pemilik sebelumnya adalah perusahaan Australia ARC Exploration, yang sering disebut dalam buku Lian Sinclair tentang perlawanan anti-pertambangan di Indonesia. FEG berkilah, protes terhadap pertambangan di Trenggalek itu dialamatkan kepada pemilik sebelumnya. CEO perusahaan tersebut mengatakan kepada pers pada tahun 2022: ‘Sayangnya, perusahaan sebelumnya bermasalah dengan masyarakat lokal yang terganggu sebelum salah satu mitra usaha patungan mengambil alih dan juga tidak melakukan pekerjaan dengan baik.’ Ia mengklaim bahwa masalah ini sekarang sudah ‘dibersihkan.’ Dua artikel oleh Yayum Kumai dan Jhe Mukti dalam edisi ini membahas klaim ini dari sudut pandang masyarakat Trenggalek, yang bertolak belakang dengan klaim FEG di atas.
Pada tahun 2025, FEG berencana untuk memulai pengeboran di Kabupaten Trenggalek - dua lubang di Desa Sumber Bening (juga dieja Sumberbening), dua di Dusun Singgahan (Desa Sawahan, Kecamatan Watulimo), dan tidak kurang dari 14 di Dusun Buluroto (Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kampak). Seperti yang disebutkan dalam rencana sebelumnya, yang terakhir ini mungkin akan diperluas ke Dusun Sentul, yang terletak di sebelah Buluroto tetapi bagian dari Desa Karangrejo dalam kecamatan yang sama.
Karena membutuhkan dana untuk mengembangkan asetnya, FEG bekerja sama dengan Eurasian Resources Group untuk eksploitasi pegunungan Trenggalek. Perusahaan mitra ini dimiliki oleh tiga oligark Kazakhstan dan Republik Kazakhstan. Perusahaan ini dikeluarkan dari pasar saham pada tahun 2013 ketika harga sahamnya jatuh di tengah penyelidikan oleh Kantor Penipuan Serius Inggris Raya (The UK Serious Fraud Office). Perusahaan ini memiliki pengalaman dalam bisnis pertambangan di negara-negara Global Selatan: memiliki aset di Republik Demokratik Kongo (DRC), Zambia, Zimbabwe, Afrika Selatan, Mozambik, dan Mali.
Prospek FEG lainnya berada di dekat Wonogiri di Jawa Tengah (deposit berkelas rendah yang hanya menguntungkan dengan harga emas yang tinggi), dan di Kabupaten Woyla di barat Aceh, dekat kota Meulaboh. Seperti semua aset FEG di Indonesia, keduanya telah dimiliki oleh perusahaan lain. Woyla ditinggalkan oleh perusahaan penambang Indonesia bertahun-tahun yang lalu, setelah itu ribuan penambang kecil ilegal masuk. Tanpa mempedulikan peraturan apapun, mereka menebang hutan hujan tropis dan membuang ke sungai merkuri yang dipakai untuk mengekstraksi emas.
Dapat dipahami, jika FEG banyak memuji-muji aset-aset emas ini dalam laporan ASX-nya – perusahaan ini ingin melihat uang yang melimpah, entah dia hendak mengembangkannya sendiri atau malah menjualnya. FEG mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menilai Trenggalek sebagai ‘salah satu dari tiga proyek emas ‘greenfield’ paling prioritas di negara ini.’ Geologi Trenggalek kemudian dikatakan mirip dengan dua tambang yang sangat layak lainnya di timur pulau Jawa: Tumpang Pitu yang juga terletak di Jawa Timur, dan Batu Hijau di Sumbawa, NTB. Sebuah peta yang muncul di banyak publikasi FEG menjelaskan apa yang menyebabkan kesamaan antara lokasi-lokasi tambang ini yang terpisah jauh: namanya Sunda Magmatic Arc (lihat atas). Tektonik lempeng telah menciptakan deretan gunung berapi yang membentang sepanjang kepulauan Indonesia. Cairan mineral yang terkait dengan vulkanisme di masa lalu telah meninggalkan deposit ‘porfiri’ dan ‘epitermal’ yang berdaya tarik komersil karena kandungan konsentrasi emas, tembaga, perak, dan logam lainnya. Sebuah peta serupa untuk Proyek Idenburg menghubungkan proyek tersebut dengan deretan tambang emas dan tembaga yang membentang di seluruh wilayah berdekatan dengan Papua Nugini, termasuk Ok Tedi dan Porgera.
Meskipun jelas dimaksudkan untuk menarik minat investor, perbandingan ini mungkin dibaca secara berbeda oleh mereka yang akan terkena dampak dari tambang baru yang direncanakan oleh FEG. Masyarakat di Papua sudah lama mengenal Freeport – tetapi mereka juga tahu apa yang terjadi di seberang perbatasan di PNG (Papua New Guinea). Dalam bukunya Law and Order in a Weak State (2001), Sinclair Dinnen menulis bahwa Porgera dan Ok Tedi tidak hanya gagal meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat setempat tetapi juga berkontribusi pada ketidakstabilan politik: ‘Janji yang tidak terpenuhi tentang kekayaan mineral Papua Nugini memberikan konteks luas bagi frustrasi dan rasa tidak puas yang semakin meningkat di tingkat lokal. Krisis Bougainville memberikan contoh yang paling dramatis, tetapi ini bukan satu-satunya, dari ketegangan yang semakin tinggi ini.’
Kembali di Sunda Magmatic Arc, Batu Hijau, seperti karakter banyak tambang lainnya, telah mencemari sebanyak 120.000 ton limbah batu setiap harinya ke Teluk Senunu sejak Desember 1999. Sementara itu, tambang Tumpang Pitu telah memicu gelombang perlawanan populer – seperti yang disajikan dengan apik oleh Wahyu Eka Styawan dalam edisi Inside Indonesia ini. Ancaman di depan mata dari deretan lubang tambang yang tak pernah padam yang membentang sepanjang pulau-pulau terpadat di Indonesia, Jawa dan Sumatra, bisa jadi akan menyebarkan peringatan tanda bahaya untuk semua.
Gerry van Klinken (gvanklinken@gmail.com) adalah seorang sejarawan Asia Tenggara. Pendidikan awalnya adalah dalam bidang geologi dan geofisika, dan ia bekerja dalam eksplorasi mineral untuk beberapa waktu. Sekarang ia tinggal di Brisbane (di mana FEG berkantor).