Dari ikon sastra hingga meme

Analisis semiotika Pramoedya Ananta Toer dalam dudaya digital

Nazarudin

English version

Pramoedya Ananta Toer merupakan tokoh penting dalam lanskap sejarah dan sastra Indonesia. Kehidupan dan karya-karyanya sangat terkait dengan masa-masa kolonialisme Belanda yang intens, perjuangan kemerdekaan Indonesia, pendudukan Jepang, dan rezim-rezim otoriter berikutnya. Kontribusi sastranya, termasuk tetralogi Pulau Buru yang diakui secara internasional, menawarkan wawasan yang mendalam tentang masyarakat Indonesia, nasionalisme, dan kondisi manusia. Meskipun menghadapi penyensoran dan pemenjaraan karena pandangan politiknya, warisan Pramoedya sebagai pejuang kebebasan berekspresi dan sosok sastrawan yang kritis terhadap ketidakadilan tetap bertahan.

Pada era digital kontemporer, citra dan warisan tokoh-tokoh bersejarah sering kali direkontekstualisasi dan disebarluaskan melalui meme internet. Artefak digital ini, yang dicirikan oleh perpaduan elemen visual dan tekstual, beredar secara luas di berbagai platform daring, dan seringkali mengalami transformasi dan adaptasi oleh banyak pengguna. Fenomena 'meme-fikasi' memunculkan pertanyaan-pertanyaan menarik tentang bagaimana ingatan historis dikonstruksi, dinegosiasikan, dan dialami oleh generasi baru di ranah digital. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi persimpangan ini dengan meneliti representasi semiotik Pramoedya Ananta Toer dalam meme internet. Situs-situs seperti Wikipedia mendefinisikan meme internet secara luas sebagai gambar, hyperlinks, teks biasa, dan lain-lain. Oleh karena itu, sebenarnya meme tidak melulu harus lucu. Dengan menganalisis tanda-tanda visual dan tekstual dalam meme-meme ini, artikel ini berusaha memahami berbagai cara di mana citra dan warisan Pramoedya dilibatkan, ditafsirkan, dan berpotensi untuk dibentuk ulang dalam budaya digital.

Semiotika dapat menjadi alat dasar untuk menganalisis bagaimana makna dibangun dalam artefak digital seperti meme ini. Semiotika, studi tentang tanda dan simbol serta interpretasinya, menawarkan lensa untuk memeriksa elemen visual dan verbal dalam meme dan kode budaya yang mereka gunakan. Tokoh-tokoh kunci dalam semiotika, seperti Roland Barthes dan Charles Sanders Peirce, menawarkan model-model yang berharga untuk mendekonstruksi lapisan-lapisan makna yang tertanam dalam meme. Selain itu, studi tentang representasi visual tokoh-tokoh bersejarah dalam budaya internet ini juga dapat memberikan pandangan khusus untuk mengetahui bagaimana Pramoedya Ananta Toer digambarkan.

Fig 1 / Facebook

Meme internet berkontribusi pada proses yang sedang berlangsung dalam membentuk kembali persepsi publik tentang tokoh sejarah, seringkali melalui proses penyederhanaan, humorisasi, atau politisasi, seperti contoh pada gambar 1 yang terinspirasi dari salah satu judul buku Pram, Gadis Pantai. Pada gambar 1, pembuat meme menggunakan kemiripan bunyi atau pasangan minimal dari segi fonologis antara kata /pantai/ dan /partai/. Berdasarkan data tersebut, kita dapat mengkategorikan setidaknya ada tiga jenis representasi Pram di dunia digital, yaitu Pram sebagai intelektual yang serius, tokoh satir, dan simbol politik, yang akan kita bahas lebih lanjut.

Tokoh intelektual yang serius, sosok yang satir, dan simbol politik

Pram yang direpresentasikan sebagai tokoh intelektual yang serius merupakan salah satu kategori meme yang cukup banyak menampilkan potret formal sang penulis, sering kali disertai dengan keterangan ilmiah atau kutipan yang diambil dari buku-bukunya. Gambar 2 diambil dari anotasi.org, dan diunggah untuk merayakan ulang tahun Pram. Dalam meme ini, penanda visual utama memainkan peran penting dalam membangun citra seorang intelektual yang serius. Kehadiran kacamata, yang sering digambarkan dalam potret-potret ini, sering kali menandakan kecerdasan, pengetahuan, dan sifat rajin. Ekspresi tegas Pramoedya, elemen visual lain yang sering muncul, mengkonotasikan keseriusan, pemikiran yang mendalam, dan otoritas. Selain itu, kutipan-kutipan yang ditulis dalam meme tersebut, yang diambil dari bukunya Bumi Manusia, berfungsi sebagai tanda indeksikal, yang secara langsung menunjukkan hasil intelektualnya yang substansial.

Fig 2 / anotasi.org

Makna-makna yang disampaikan melalui penanda-penanda tersebut memperkuat citra Pramoedya sebagai sosok yang bijaksana, berwibawa, memiliki kecakapan intelektual, dan memiliki makna historis. Meme Pram semacam ini cukup banyak ditemukan di dunia digital. Hal ini juga melestarikan dan mengukuhkan warisannya sebagai tokoh intelektual yang dihormati dalam sejarah dan sastra Indonesia. Penggunaan potret formal seperti pada gambar dua dan tiga serta kutipan-kutipan yang diatribusikan memberikan kesan yang mendalam, memosisikannya sebagai sumber pengetahuan dan wawasan. Meme yang menggambarkan Pramoedya dengan cara ini dapat menjadi titik masuk bagi audiens yang lebih muda untuk belajar tentang pentingnya Pramoedya sebagai seorang pemikir dan penulis, yang berfungsi sebagai bentuk pengingatan digital. Dengan menyoroti kontribusi intelektualnya dan menjadikannya sebagai otoritas di bidangnya, meme-meme ini berkontribusi pada pelestarian digital dari citra keilmuannya.

Fig 3 / Facebook

Meme Pramoedya Ananta Toer lainnya cukup jarang memperlihatkan suntingan visual dirinya yang bersifat humor atau lucu. Namun, terkadang ada meme yang bersifat satir. Makna yang ditandakan dari meme satir ini dapat terllihat seperti pada gambar empat. Meme semacam ini sering kali berkisar pada humor dan ironi, terkadang memberikan komentar terhadap budaya kontemporer melalui kutipan Pramoedya yang dikaitkan dengan fenomena yang relevan di era kontemporer. Meme semacam ini dapat menghasilkan hiburan dan berpotensi membuat kutipan Pramoedya lebih mudah didekati oleh audiens yang lebih luas. Meme pada gambar empat ini merupakan reaksi dari sebuah fenomena yang terkenal di media sosial, antara seorang ulama terkenal (yang juga merupakan salah seorang anggota dari staf kepresidenan) dengan seorang penjual es teh dalam sebuah khotbah. Dalam khotbah tersebut, ulama tersebut mengejek penjual es teh yang sedang berjualan di lokasi dakwah itu. Hal tersebut menjadi viral sehingga banyak masyarakat mengecam ulama tersebut.

Fig 4 / IG @KUMEKUI

Representasi satir ini mencerminkan tren yang lebih luas dari budaya remix dalam ruang digital, di mana tokoh-tokoh bersejarah dan artefak budaya sering kali diadaptasi dan ditafsirkan ulang dengan cara yang baru dan sering kali tidak terduga. Sentuhan humor satir, sebagai bahasa yang lazim dalam budaya meme, dapat menurunkan penghalang untuk masuk bagi mereka yang tidak terbiasa dengan Pramoedya, yang berpotensi memicu keingintahuan meskipun pada awalnya menampilkan pandangan yang disederhanakan atau lucu tentang sosoknya, seperti yang dicontohkan pada gambar lima yang diambil dari Dewan Kesepian Jakarta.

Fig 5. 'Having a date is nothing special. What makes it great is only the interpretation of it' / IG

Meme dari Dewan Kesepian Jakarta ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan sosial untuk menikah. Kutipan tersebut adalah, 'Punya pasangan itu hal biasa saja, yang hebat-hebat hanya tafsirannya.' Pembuat meme mengubah kutipan terkenal dari Pramoedya Ananta Toer yang aslinya berbunyi: 'Hidup itu biasa saja, yang hebat-hebat hanya tafsirannya.' Selain itu, foto yang digunakan dalam meme ini adalah foto Pram saat masih muda. Hal ini menjadi indeks dari audiens yang disasar melalui meme ini, yaitu generasi muda.

Kategori meme Pramoedya Ananta Toer yang cukup signifikan lainnya adalah meme yang mengangkat warisan anti-otoritarian-nya, yang sering kali digunakan dalam lelucon sosial-politik mengenai sensor, neoliberalisme, atau politik Indonesia saat ini. Penanda dalam meme-meme ini termasuk gambar Pramoedya yang diasosiasikan dengan masa-masa perlawanannya, seperti saat ia dipenjara, serta kutipan-kutipan yang merefleksikan pandangan politiknya dan disandingkan dengan simbol-simbol atau referensi tentang isu-isu sosial-politik kontemporer, seperti yang dicontohkan dalam gambar enam.

Fig 6 / Facebook @Meme Sosialis Bersama Soeharto

Ada tiga tokoh yang muncul dalam meme ini, yaitu Pram, Soeharto, dan Soemitro. Pram dalam meme ini muncul dalam dua representasi, yaitu Pram muda dan Pram paruh baya atau bisa juga disebut Pram setelah tahun 90an. Pram muda ditampilkan sebagai sosok yang progresif dan sangat berani mengkritik pemerintah (Soekarno hingga Soeharto) pada masa itu. Hingga kemudian, Pram ditangkap di era Soeharto. Kemudian, Pram dibebaskan ketika Soemitro menjabat sebagai Jenderal dan menjadi tahanan rumah. Pram yang sudah paruh baya mengatakan, dalam bahasa gaul Jakarta masa kini, 'Sans, yang penting mah bisa lanjut nulis.'

Makna yang ditandakan dalam meme-meme ini berpusat pada tema-tema perlawanan terhadap penindasan, kritik terhadap sistem politik, dan upaya menganalogikan kesejajaran historis antara perjuangan Pramoedya dan peristiwa-peristiwa saat ini. Meme-meme ini secara efektif menggunakan Pramoedya Ananta Toer sebagai simbol yang kuat untuk komentar sosial-politik kontemporer, memanfaatkan sikapnya yang terkenal menentang otoritarianisme dan pengalamannya dengan sensor. Representasi digital ini mungkin mencerminkan keinginan untuk menghubungkan perjuangan sejarah Pramoedya dengan masalah politik yang sedang berlangsung di Indonesia, yang berpotensi memanfaatkan warisannya untuk mengkritik bentuk-bentuk otoritas atau ketidakadilan saat ini. Penggunaan tokoh-tokoh sejarah dalam meme untuk menarik kesejajaran dengan situasi saat ini dan mengekspresikan opini politik adalah praktik umum dalam budaya digital.

Diversifitas makna meme Pramoedya dalam budaya digital

Analisis semiotik terhadap meme Pramoedya Ananta Toer menunjukkan adanya dinamika ganda yang sedang terjadi. Sementara beberapa meme memperkuat warisan Pramoedya sebagai seorang intelektual yang serius melalui penggunaan potret formal dan referensi intelektualnya, meme lainnya seakan menumbangkan citra ini melalui humor dan satir yang membuatnya lebih mudah diakses oleh khalayak yang lebih muda. Namun, di sisi lain, hal ini juga berisiko adanya sikap yang seakan-akan seperti meremehkan atau menyederhanakan kontribusinya. Dualitas ini menyoroti cara-cara yang kompleks di mana tokoh-tokoh sejarah dinegosiasikan dan dipahami dalam ruang digital.

Lebih jauh lagi, citra Pramoedya terkadang digunakan untuk agenda politik tertentu dalam budaya meme. Meme-meme yang mengangkat sikap anti-otoriter Pramoedya menunjukkan adanya keinginan untuk menghubungkan perjuangan historisnya dengan isu-isu politik kontemporer di Indonesia, memposisikannya sebagai simbol perlawanan terhadap berbagai bentuk penindasan. Instrumentalisasi politik ini menimbulkan pertimbangan etis terkait penggunaan tokoh-tokoh sejarah untuk komentar masa kini, terutama jika hal tersebut terlalu menyederhanakan atau menyalahartikan konteks aslinya.

Pertanyaan tentang kesenjangan generasi dalam keterlibatan dengan warisan Pramoedya juga muncul. Masuk akal jika generasi muda Indonesia, yang tumbuh di era digital, lebih sering bertemu dan berinteraksi dengan Pramoedya melalui meme. Cara interaksi ini dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap pemahaman mereka akan karyanya dalam konteks sejarah dan sastra yang asli, yang seringkali kompleks. Interpretasi dan apresiasi terhadap kontribusi sastra Pramoedya yang bernuansa mungkin berbeda secara signifikan antara mereka yang terbiasa dengan novel-novelnya dan mereka yang paparan utamanya datang melalui format meme internet yang ringkas dan sering kali lucu.

Merayakan seratus tahun Pram di era digital

Peringatan seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer pada tahun 2025, yang ditandai dengan tagar #SeabadPram, memberikan konteks temporal yang penting untuk memahami pembuatan dan peredaran meme yang berkaitan dengannya. Acara-acara resmi dan wacana seputar peringatan ini dapat bersinggungan dengan atau tercermin dalam budaya meme, yang berpotensi menyebabkan lonjakan meme terkait Pramoedya sebagai bentuk keterlibatan publik dengan kehidupan dan karya-karyanya. Peringatan seratus tahun Pramoedya menawarkan kesempatan unik untuk mempelajari interaksi antara inisiatif kenangan resmi dan ekspresi spontan yang sering kali tidak relevan dari folklor digital.

Perayaan seratus tahun penulis terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, memicu perayaan digital yang semarak, dengan tagar #seabadpram di berbagai platform media sosial utama seperti Instagram, Threads, X (sebelumnya Twitter), dan Facebook. Perayaan online ini lebih dari sekadar pengakuan sederhana, perayaann ini menunjukkan besarnya dampak dari warisan sastra seorang Pramoedya.

Sifat dari postingan-postingan tersebut beragam, mencerminkan beragamnya cara individu terhubung dengan karya Pramoedya. Banyak pengguna yang membagikan ucapan dan penghormatan yang tulus, mengakui pengaruhnya yang mendalam terhadap sastra dan pemikiran Indonesia. Lebih penting lagi, sejumlah besar unggahan menampilkan kutipan dari karya Pramoedya yang sangat banyak, yang dipilih dengan cermat karena relevansinya dengan fenomena saat ini. Tindakan berbagi ini tidak hanya memperkenalkan karya prosa Pramoedya kepada khalayak yang lebih luas, tetapi juga menunjukkan bagaimana pengamatannya yang mendalam tentang kemanusiaan, keadilan, dan perjuangan masyarakat terus beresonansi dengan isu-isu kontemporer di Indonesia.

Pramoedya dalam cermin digital

Analisis semiotik terhadap meme internet yang menampilkan Pramoedya Ananta Toer mengungkap keterlibatan yang kompleks dan beragam dengan citra dan warisannya dalam budaya digital. Di beberapa studi kasus, meme-meme tersebut menggambarkan Pram sebagai seorang intelektual yang serius, tokoh satir, dan simbol politik, yang menyoroti berbagai aspek signifikansinya dalam sejarah dan sastra Indonesia.

Fig 8. / @Kontras

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa platform digital dan budaya internet memang membentuk kembali cara-cara di mana tokoh-tokoh sejarah dikenang, ditafsirkan, dan disebarkan. Meme internet berfungsi sebagai bentuk kontemporer dari pembuatan memori kolektif, menawarkan ruang untuk memperkuat dan menumbangkan narasi yang sudah mapan. Beberapa meme berkontribusi dalam melestarikan otoritas intelektual Pramoedya, sementara meme lainnya menggunakan humor dan satir untuk mengkontekstualisasikan kembali Pramoedya untuk audiens yang baru. Selain itu, citranya secara aktif digunakan untuk komentar sosial-politik, menghubungkan perjuangan historisnya dengan isu-isu terkini di Indonesia. Potensi demokratisasi dan distorsi narasi sejarah melalui meme menggarisbawahi perlunya keterlibatan kritis dengan representasi digital ini. Peringatan 'Seabad Pram' pada tahun 2025 memberikan kesempatan yang tepat untuk mengamati dan menganalisis lebih lanjut bagaimana ingatan resmi bersinggungan dengan lanskap folklor digital yang dinamis dan terus berkembang di sekitar ikon sastra Indonesia ini.

Nazarudin adalah dosen dalam Indonesian Studies Program, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia.

Inside Indonesia 160: Apr-Jun 2025