12a. Panpsikisme Nusantara dan telaah ekologis

Syed Muhammad Naquib al-Attas, ‘Basmallah’ (dalam bentuk dan warna burung raja udang)
Rangga Kala Mahaswa dan Albertus Arioseto Bagas Pangestu

Seperti seorang Muhammad namanya; jika ia ber’ilmu, alim namanya; jika ia pandai, utus namanya; jika ia tahu menyurat, katib namanya; jika ia berniaga, shaudagar namanya.

Hamzah Fansuri, dikutip Al-Attas (1966: 391)

Setelah epos Antroposen (The Anthropocene epoch) gagal diratifikasi oleh komunitas ilmiah geologi sedunia, tidak mengubah fakta bahwa manusia saat ini telah mengalami krisis ekologis lintas historis. Antroposen tidak lagi menjadi kala waktu geologi melainkan justru sedang berproses untuk menjadi sebuah peristiwa geologis (geological event) baru. Proses akumulasi aktivitas antropogenik ini ternyata tidak hanya saling terhubung secara sinkronik-global yang melahirkan sedimentasi peradaban yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sisa-sisa penciptaan materialitas artefaktual, seperti sampah plastik, polutan limbah industri, sampai residu jejak karbon bahkan nuklir, sebagai buah karya manusia pasca-modern selepas era kolonialisme dan perang dunia. Semua babak krisis metabolisme alam pasca revolusi industri selalu diasosiasikan dengan masalah krusial ekologi.

Namun, para perenialis memberikan tuduhan bahwa seluruh masalah ini berpusat pada cara pandang dunia Barat yang acapkali memisahkan antara manusia dan alamnya. Doktrin dualisme ini mengakar kuat sampai mengilhami bentuk-bentuk berpikir ilmiah secara metodologis di kemudian hari. Di tempat lain, ketika dunia Barat dengan gegap gempita kemajuan sains dan teknologi mulai memasuki akhir era Skolastik menuju Modern, Nusantara tengah mengalami masa transisi dengan menjamurnya pemikiran yang dibawa oleh para pemikir besar dari dunia Islam. Melalui tulisan ini, kami memilih Siti Jenar dan Hamzah Fansuri sebagai bagian dari proses melacak kembali gaya pemikiran panpsikisme di Nusantara, meskipun istilah panpsikisme sendiri diadopsi dari tradisi filsafat Barat, sebab mereka – Jenar dan Fansuri – tidak pernah mengklaim pemikirannya sebagai panpsikisme.

Di tradisi intelektual Indonesia sendiri, pilihan kata panpsikisme lebih sering diasosiasikan dengan mistisisme sebab dianggap cukup memberikan rujukan ‘kesadaran’ pada entitas non-manusia. Terlepas dari pilihan term tersebut, kami mencoba untuk mengumpulkan kembali fragmen-fragmen pemikiran Jenar dan Fansuri sebagai cara untuk memahami kembali relasi antara manusia dan alam, tidak hanya secara ekologis tetapi juga secara kosmis. Ketika para pemikir ekofilosofi abad-20 mulai sibuk membayangkan etika-etika lingkungan non-manusia sampai deep ecology yang mencoba untuk ‘mengantropomorfiskan’ dengan cara menghidupkan yang-bukan-manusia, puing-puing pemikiran panpsikisme (ekologis) di Nusantara perlu untuk ditinjau ulang. Bukan untuk meromantisasi masa lalu, melainkan untuk menunjukkan kembali bahwa kesadaran ekologis lahir tidak sekadar dari proyek pemikiran filosofis Barat tetapi sebaliknya, kesadaran ekologis telah terberi (pre-given) secara dinamis melalui kompleksitas latar belakang lanskap alamnya, kronik kebudayaannya, dan intrik politik yang membayang-bayanginya. Telaah ekologis ialah telaah yang sarat akan kekaburan namun juga selalu memberikan secercah harapan yang cerah tentang bagaimana manusia menceritakan dunianya, sekaligus alam yang membentuk manusia dalam kemanunggalan-yang-selalu-menjadi.

Menuju puing-puing panpsikisme di Nusantara

Bagi segelintir pembelajar di bidang filsafat pikiran kini, polemik usungan David Ray Griffin menimbun wacana yang penting sekaligus permanen. Intisarinya setanding dengan tajuk buku yang diterbitkannya pada 1998 silam itu, Unsnarling the World Knot: consciousness, freedom, and the mind-body problem. Bunyinya: bahwa terdapat simpul dunia yang masih belum terurai, tak lain daripada cara kesadaran, atau ranah mental, muncul (Griffin 1998: 9). Dalam jagat sains yang seolah tampak materialis dan objektif, wacana ini serupa palang penghalang. Pasalnya, luaran pengalaman sadar, semisal cara mentalitas kita mempersepsi rasa manis, mendapati ingatan, atau mengimajikan ini dan itu, tersaji sama riilnya dengan berbagai macam hal yang dilabeli ‘material’ atau ‘fisik’. Namun, jika dipikir matang-matang, tulis Griffin, tak mungkin hal yang sadar ‘bermunculan’ (emerge) dari hal tak sadar. ‘Polemik pikiran-tubuh’ (mind-body problem) tak semudah diselesaikan dengan cara memisahkan yang fisik dari yang mental secara ontologis – dan secara profesional.

Griffin kentara bukan pelopor dalam mendeteksi polemik tersebut. William Seager (1991: 195), sebelumnya, menekankan kalau kita sama sekali tidak tahu cara kesadaran muncul dari ranah material. Jaegwon Kim (1993: 367), lebih terus terang, menyatakan apabila gagasan keterpisahan prinsipiil atribut ‘berpikir’ dari atribut ‘berkeluasan’ tak lebih dari seonggok ‘jalan buntu’ (dead end). Empat abad silam, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1715) bahkan sudah ambil suara:

Bayangkan terdapat mesin yang dengan strukturnya menghasilkan pikiran, perasaan, dan persepsi. Kita dapat membayangkannya membesar sembari mempertahankan proporsi relatif yang sama, ke titik di tempat kita bisa masuk ke dalamnya, seperti kita akan masuk ke pabrik. Namun apabila demikian, kala kami masuk, kami tidak akan menemukan apa-apa selain potongan-potongan yang saling mendorong satu sama lain, dan tidak pernah ada yang menjelaskan persepsi (...) persepsi, dan segala sesuatu yang bergantung padanya, tidak dapat dijelaskan oleh prinsip-prinsip mekanis (semacam halnya benda-benda material atau fisik.

(Leibniz and (eds & trans Roger Ariew and Daniel Garber) 1989: 215)

Akan tetapi, bagi segelintir yang lain, jalan buntu itu dianggap menyisakan alternatif.

Dunia ini terjaga. Begitu slogan dari narasi alternatif di muka diserukan. Di atas nama ‘panpsikisme’, pandangan ini mengemukakan bahwa kesadaran, atau ranah mental, sesungguhnya ada di mana-mana. (Leibniz, dan filsuf Amerika Griffinlah di antara penganutnya.) Sebagai titik tekan, minimal, ranah mental mengeksplisitkan sifat fundamental dari dunia, entah ranah material diletakkan termasuk atau tidak termasuk. Scott Aaronson (2016: 196) menegaskan, jika, menurut pandangan konvensional, pengalaman sadar hanya mungkin dibuktikan kevalidannya melalui proses eksperimental seperti Tes Turing, maka panpsikisme akan mengatakan sebaliknya. Bagi haluan panpsikisme, ranah mental tak tertutup terhadap manusia semata wayang (Nagel 1992 [1979]: 181). Kawanan kuda nil, lelumutan di ceruk gua, atau bahkan bongkahan asteroid di galaksi seberang dapat didapuk pula berkesadaran.

Sebelum menarik konsekuensinya kepada ihwal ekologis, perlu dipahami, panpsikisme tak serta merta melulu mewakili garis pemikiran Eropa-Amerika. Di sini, selain diksi semacam ‘kesadaran’, ranah mental turut dibahasakan sebagai ‘jiwa’ atau ‘roh’. Dalam kronik Kojiki, ‘Kisah tentang Hal-Hal Kuno’, yang ditulis oleh masyarakat Jepang pada era Nara (abad ke-8 CE), termaktub bahwa jiwa mendiami laut di sekeliling pulau tempat mereka berpijak, diistilahkan secara khusus dengan nama wada-tsumi ‘roh laut’ (Philippi (trans) 1969: 55). Vajra Sutra Sutra Intan‘ gubahan kalangan Buddha Mahayana dari Asia Tengah sekitar abad 2-5 CE mendeskripsikan kesadaran tak hanya soal sisi subjektif kedirian manusia, tetapi lebih jauh, ‘Setiap mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran memiliki kesadarannya masing-masing’ (Bhiksuni Heng Ch’ih (trans) 1974: 31). Puing-puing panpsikisme, pada gilirannya, juga terdampar di wilayah Indonesia purba sebelum ia beralih fasad sebagai negara bangsa.

Hyang Suksma dalam saksian Siti Jenar

Yang pertama datang dari Jawa Tengah sekitar pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16, tempat sekaligus masa berdirinya Kerajaan Demak dan Kerajaan Pengging.[1] Siti Jenar menjadi salah satu tokoh kontroversial yang memberikan pandangan filosofis radikal tentang relasi antara manusia dan Tuhannya, yang dikenal sebagai ajaran manunggaling kawula Gusti. Doktrin ini, singkatnya, ingin menjelaskan tentang peleburan antara manusia, sebagai pelayan, dan Tuhan melalui upaya untuk mencapai ‘pengetahuan akan kesempurnaan’ (knowledge of perfection [weruh ing kasampurnane]). Dorongan menuju kesempurnaan ini menjadi semacam ajaran esoteris yang tidak terlepas dari pengaruh para wali ketika menyebarkan ajaran Islam dengan pola pendekatan sinkretisme budaya lokal setempat.

Umumnya, catatan yang diketahui mendeskripsikan Siti Jenar dikemas melalui fragmen-fragmen sastrawi dalam sajian tembang, baik dalam wadah serat ataupun babad. Siti Jenar, perlu diperhatikan, sama sekali tidak pernah meninggalkan karya tulis apapun. Sumber pengetahuan kita hari ini atas Siti Jenar, paling tidak, selalu diperoleh dari tangan kedua. Berbagai versi penceritaan akan Siti Jenar acap kali mengakibatkan polemik di antara penelitinya, utamanya berkisar terhadap konteks kredibilitas atas detail fenomena kesejarahan yang dihadirkan atau ketepatan urusan penerjemahan (Anshori 2010).

Komitmen ontologis Siti Jenar memiliki kecenderungan metafisik yang diturunkan dari genealogi pemikiran Al-Hallaj, terutama orientasi konseptualnya dalam corak monisme dan panpsikisme bertipe kosmopsikisme (Zoetmulder and (trans M. Ricklefs) 1995 [1935]: 304). Artinya, orientasi filosofis Siti Jenar menempatkan Tuhan sebagai realitas keseluruhan. Tuhan, sebagai realitas keseluruhan, memerlukan sifat mental, kekal, tetap, dan ekstra-spasio-temporal. Inilah situasi riil yang dibayangkan oleh Siti Jenar. Realitas keseluruhan hanya dapat terjustifikasi kebenarannya melalui esensi (essence [dhat]) Tuhan semata. Sedangkan itu, tampakan indrawi yang material dan spasio-temporal, kendati tidak riil, turut dihitung sebagai bagian dari realitas tersebut secara sekaligus. Obskuritas antara padangan atas alam semesta material selaku ciptaan dan Tuhan memang saling berlawanan dari segi sifatnya, tetapi dalam kesatuan inilah Tuhan itu sendiri yang menjadikannya sebagai ‘kesatuan immaterial’ (Immaterial One), sebab realitas material tak lolos dari esensi Tuhan.

Doktrin asal-usul kehidupan milik Siti Jenar-lah yang membuatnya terkategorikan mengikuti orientasi kosmopsikisme. Dengan demikian, Tuhan, sebagai ‘non-ada’ (non-being), mengingat ‘ada’ (being) hanyalah bagian dari realitas material, ialah sumber dari segala bentuk kehidupan. Kehidupan manusia di dalam realitas material yang parsial (non-keseluruhan) dituntut untuk senantiasa memahami arti dari kehidupan itu sendiri yang sejatinya berpijak dalam kesatuan non-material. Doktrin ini, secara khusus, dikenal oleh para pembelajar Siti Jenar lewat peristilahan ‘penyaksian’ (witnessing [sasahidan]) selaku pengeksplisitan dari pengetahuan akan kesempurnaan. Narasinya, kemudian, menjadi bukti tabir panpsikisme Siti Jenar. Seperti halnya tertuang dalam eksplanasi tentang Siti Jenar pada Serat Niti Mani, segala hal yang tampak indrawi (misalnya bumi, bintang, api, angin, binatang, tumbuhan, manusia) dalam realitas material harus ‘bersaksi’ (dalam nada kosmogoni Islam) apabila mereka adalah bagian dari esensi Tuhan secara tak terkecuali (Zoetmulder and (trans M. Ricklefs) 1995 [1935]: 148).

Implikasinya, secara paradoks, pertama, Siti Jenar menekankan pandangan bahwa kesejatian hidup yang kekal dan abadi adalah kehidupan setelah mati. Kematian merupakan perwujudan dari pelepasan seluruh unsur realitas material dan pengembalian kepada Tuhan sebagai kesatuan sempurna. Kehidupan saat ini tak lain merupakan bentuk ‘kematian’, karena esensi Tuhan yang ada dalam dirinya tertutup oleh tedeng, ‘tabir’. Inilah yang disebut sebagai keterbatasan eksistensial. Dengan demikian, dapat dikatakan, pandangan umum kita tentang hidup adalah kematian, sedangkan kematian jasmani dalam pandangan umum kita adalah hidup yang sebenarnya. Tiada kedirian yang riil semasa kehidupan berlangsung, dalam artian pandangan umum, pasal mereka tak lebih dari seonggok jasad yang diasumsikan lekas musnah. Penggalan Serat Siti Jenar (gubahan Mas Ngabehi Mangunwijaya terbitan Javaansche Uitgaven van Widya Pustaka [1917]) yang dianalisis oleh Zoetmulder tepat untuk menampilkan poin ini:

[...] mojar Séh Siti Jenar/ apa perluné pra wali/ dadak ngundang iya marang jenengingwang/ Sun dudu kréréhanira/ mung pada tinitah mati/ anéng donya nora lama/ nuli bali urip maning/ nadyan sri Narapati/ kang nimbali marang ingsun/ ingsun tan arsa séba/ wit ingsun urip pribadi/ tan rumasa dén-uripi Sultan Demak.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Siti Jenar berkata, ‘Tiada gunanya para wali memanggil saya. Saya bukanlah hamba mereka, setelah segalanya. Kematian ialah takdir kita semua, waktu kita di dunia ini tidak lama dan kemudian tiba-tiba kita akan kembali hidup dengan cara yang baru. Bahkan apabila sang raja sendiri yang memanggil saya, saya tetap tak akan tampak di hadapannya, sebab saya hidup dari diri saya sendiri (atau saya adalah kehidupan itu sendiri), dan saya tidak merasa telah diberi kehidupan oleh Sultan Demak.’

(Zoetmulder and (trans M. Ricklefs) 1995 [1935]: 304)

Di samping itu, kedua, Siti Jenar mempertahankan klaim bahwa realitas material tak lebih dari wujud wahmi, yaitu imajiner atau bayangan dari realitas Tuhan. Sesuatu yang ingin ditegaskan di sini adalah Siti Jenar berupaya untuk menyampaikan bahwa niscaya terdapat Tuhan yang tunggal, absolut, kekal, tetap, dan ekstra-spasio-temporal di balik realitas material dengan sifat sebaliknya, sehingga karenanya adalah sah untuk ia menyebut keragaman hal material tak lain daripada Tuhan. Dalam realitas material, sebagai contoh sederhana, barangkali, kita dapat membedakan antara penonton, stadion, dan pemain di lapangan sepakbola. Akan tetapi, di taraf realitas asali yang tak lain daripada Tuhan, itu sama sekali tidak berlaku. Hanya Tuhan non-material yang tinggal, Hyang Agung, Hyang Suksma.

Wit karsané sang pandita/ nora béda kabéh titah ing Widi/ singa kang karep sinung wruh/ angeblak blaka suta/ wit ing dunya lamun mungguh ing Hyang Agung/ ratu wali nora béda/ lan pra papa pekir miskin. Kabéh waranéng Hyang Suksma/ ing delahan nadyan ratu bupati/ yén tanwruh jati ning idup/ dumawah tawang towang/ nadyan papa papariman turut lurung/ yén waskita ing panunggal/ langgeng nora owah gingsir.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Oleh sebab adalah niat sang pandita agar tidak ada perbedaan di antara semua makhluk Tuhan, bagi siapapun yang ingin menerima pengajaran, ia dengan terbuka dan terus terang mengatakan kebenaran. Lantaran di dunia, berkenaan dengan Hyang Agung, tidak ada perbedaan di antara raja atau wali, berikut semua yang menderita, miskin, dan tak berdaya. Mereka semua adalah tirai dari Hyang Suksma. Namun, di akhirat, bahkan seorang raja atau bupati, jika ia tidak tahu arti hidup yang sebenarnya, akan jatuh ke dalam kehampaan. Namun, barangsiapa ialah pengemis yang menderita di tepi jalan, bila ia mengetahui kata-kata persatuan, maka ia akan abadi dan tetap (tak berubah).

(Zoetmulder and (trans M. Ricklefs) 1995 [1935]: 303)

Persepsi wahdat al-wujud Hamzah (al-)Fansuri

Kira-kira seabad berselang, bergeser dari tanah Jawa, panpsikisme bersemi di daratan Sumatra. Ialah sang pujangga berikut sufis selanjutnya, Hamzah (al-)Fansuri, yang leluhurnya bermuasal dari Barus, Pantai Barat Sumatra Utara, dan dilahirkan di Shahr Nawi (atau Shahr-I-Naw), penyebutan Persia bagi ibu kota kedua Kerajaan Siam Ayutthaya (Syed Naquib al-Attas 1967: 48). Lain daripada Siti Jenar, Hamzah yang sekurangnya diketahui hidup semasa tampuk pemerintahan Kerajaan Aceh dipikul Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammal (1589-1605) meninggalkan setumpuk karya tulis (Syed Naquib al-Attas 1967: 48). Panorama pikiran Hamzah, yang sekarang masih bisa kita ekskavasi, berdiam dalam 32 puisi dan tiga prosa utama: Asrar al-Arifin ‘Rahasia Para Penahu’, Sharab al-Ashiqin ‘Minuman Para Pecinta’, serta al-Muntahi ‘Yang Ahli’ (Drewes and Brakel 1986: 11).

Hamzah menggenggam monisme untuk komitmen dari doktrin sufinya. Atas alasan ini, ia banyak disalahpahami oleh sebagian pembelajarnya. Paling tidak, seperti diamati dengan cermat oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang berpendapat dengan langkah reduktif: bahwa Tuhan secara penuh identik dengan ‘dunia’ (world [alam]), sehingga Tuhan hanya menembus segala sesuatu yang terberi secara indrawi (baca: hal-hal yang terjustifikasi secara material atau fisik) (Syed M. N. al-Attas 1962: 36). Pembacaan tersebut, sebagai contoh, dimajukan oleh Nuruddin Al-Raniri, konsultan hukum keagamaan Kesultanan Aceh pada era Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah (1636-1641) semenjak kedatangannya di sana pada 1637 (Syed M. N. al-Attas 1962: 29). ‘Kesatuan yang ada’ (the unity of being [wahdat al-wujud]) dalam Tuhan, selaku pokok dalil metafisik Hamzah, tidaklah sedemikian elementer.

Menurut Hamzah, Tuhan serupa dua sisi koin. Yang lebih mendahului, di satu sisi, disebut sebagai ‘Dia (laki-laki)’ (He [Huwa]). Di sini, Dia tinggal sebagai ‘esensi murni’ (pure essence [dhat semata]), mengungkapkan sisi ‘transenden’ (transcendence [tanzih])-Nya. Manakala Dia dikatakan sebagai esensi murni, Dia adalah ‘ada yang diperlukan’ (the necessity of being [wajibu al-wujud]), ‘kekal’ (eternal [baqa]), ‘penyebab dari segala yang bersifat keberadaan’ (the cause of all existence [sempurna meng-ada-kan]), dan, paling penting untuk disorot, ‘tak terpahami’ (fathomless [amiq]). Yang terakhir mengunci 1.) garansi citra Tuhan yang rohani atau ‘tersembunyi’ (hidden [batin], sehingga 2.) ‘setiap ciptaan’ (creatures [makhluq]) mustahil untuk meletakkan pemahaman bagi-Nya, yaitu dengan ‘nama’ (name [ism]), penanda, individuasi, atau perbedaan apapun.

Eskatologi Islam memiliki ‘ragam nama’ (names [asma]) atau ‘berbagai atribut’ (attributes [as-sifat]) keilahian dalam merujuk Tuhan. Sebagai contoh, perlunya untuk membedakan penyebutan ‘pencipta’ (creator [khaliq]) dan ‘ciptaan’ dalam proses penciptaan. Ini bukan datang dari Dia, melainkan dari para ciptaan. Maka itu, di sisi lain, Hamzah menegaskan apabila ‘Allah’ hanya mengekspresikan rangkuman dari segala nama-Nya atau ketotalan atribut keilahian semasa para ciptaan memuji-Nya dalam ‘realitas ciptaan atau hal-hal’ (reality of things [al-haqiqatu al-ashya]). Allah adalah cermin dari sisi lahiriah Tuhan, proyeksi imanen (immanence [tashbih]) dari-Nya. Oleh sebab penyebutan ‘Allah’ hadir dari realitas ciptaan, Hamzah kemudian memagari penyebutan demikian setingkat lebih rendah dari ‘Dia’.

Hamzah berutang eksplanasi atas relasi Tuhan dengan ciptaan, dan sejak saat ini ia mulai menjalankan argumen monismenya yang khas. Tuhan yang umpama dua sisi koin tetap jadi pegangan. Saat disebut sebagai ‘Allah’, sinambung dengan kosmogoni Islam pada umumnya, Tuhan dimengerti sebagai pencipta yang menciptakan realitas ciptaan. Model penyebaban ini memerlukan pembedaan atau pemisahan penyebab dengan akibatnya. Dengan demikian, ialah masuk akal untuk Hamzah menautkan predikat ‘esensi eksternal’ (external essence [al-a’yanu al-kharijiyyah]) bagi realitas ciptaan yang ‘ada’ (being [wujud])-nya bertipe terberi atau ‘bukan ada yang diperlukan’ (non-being [mawjud]), sementara Dia senantiasa bermukim secara tersembunyi sebagai esensi murni. Ini yang Hamzah maksud melalui diksi sempurna meng-ada-kan atau memberi wujud, semasa Allah mengeluarkan peristilahan tindak produktif semacam ‘jadilah!’ (be! [kun]) dalam fase penciptaan.

Sedangkan itu, manakala disebut sebagai ‘Dia’, nama-Nya yang tertinggi, Hamzah mengeliminasi setiap individuasi. Tiada perbedaan apapun dalam Dia selaku sisi rohani Tuhan. Konsekuensinya, mengikuti langkah Al-Ghazali, Hamzah mengambil manuver model penyebaban dalam Dia yang bercorak tanpa pemisahan entitas sama sekali. Beginilah Hamzah melukiskan konsepsinya tentang ‘kehendak ilahi’ (divine will [iradah]), suatu model penyebaban yang menjamin ketakterpisahan antara penyebab dan akibat, lantaran akibat dimengerti senantiasa internal dalam agen penyebab, alih-alih eksternal ibarat pada proses penciptaan di sisi Allah.

Tuhan dipahami sebagai menghendaki hal—yaitu, potensialitas (potentiality [isti’dad]) dari hal yang tak terpisahkan dari esensi (Tuhan [interpolasi dari kami])—mengintensikan sesuatu yang menjadi dengan cara bahwa dalam perintah-Nya itu memproyeksikan dirinya, sedemikian rupa, dan menjadi tereksternalisasi sebagai bagian dari penciptaan.

(Syed M. N. al-Attas 1966: 225)

Bekal ini adalah legitimasi bagi Hamzah guna menandaskan realitas ciptaan berkedudukan sebagai ‘mode’ atau ‘fitur potensial’ (predispositions [shu’un]) dari Dia. Tuhan tereksternalisasi dari ciptaan sekaligus terinternalisasi seperti halnya uraian metaforis Hamzah yang tersohor: bahwa samudra dan debur ombak adalah dua hal yang berbeda, bahwa awan dan hujan adalah dua hal yang berbeda, tetapi esensinya sama. Dari sini, seperti halnya tepat digarisbawahi Al-Attas, posisi panenteisme Hamzah dikukuhkan (Syed M. N. al-Attas 1966: 66).

Realitas ciptaan, lain daripada Dia, mengemban sifat tampak indrawi, material, tak kekal, dan ada-nya terberi. Bagi Hamzah, menahan syarat penyebaban eksternal dan internal, penciptaan oleh Allah turut dibahasakan secara ‘penurunan’ (descending [tanazzulat]) derajat realitas. Suatu ‘determinasi’ (determinations [la-ta’ayyun]), yakni perubahan wujud secara bertahap, yang dibicarakan Hamzah sebagai martabat enam. Fungsi dari langkah ini tak ubahnya untuk menjelaskan hubungan 1.) ‘Allah yang tunggal’ (immanent one [ahad]) berikut ‘Dia yang tunggal’ (transcendent one [wahid]) sebagai esensinya dengan 2.) realitas ciptaan yang jamak atau beragam.

Sekilas, ini tampak seperti doktrin ‘pancaran’ (emanations [apporrheia]) ala Plotinos. Namun, bila doktrin Plotinos menekankan penurunan yang semakin merosot secara degradasi metafisik dari ketunggalan sang sumber pancaran menuju keragaman, Hamzah dan para sufis pendahulunya tidak. Sesuatu yang menjadi surplus atas manuver ini ialah Hamzah dapat, sekaligus perlu, menancapkan garansi bagi mengalirnya sisi rohani Tuhan di tengah realitas ciptaan yang tak lekang dari perubahan sesuai terhadap sifat tak kekalnya, mengingat realitas ciptaan adalah ‘ada yang kontingen (baca: dinamis)’ (the contingent being [ja’izu al-wujud]).

Oleh sebab itu, tidaklah mengejutkan untuk cakrawala Hamzah sesungguhnya memendam panpsikisme. Hamzah tidak mengambil lintasan wujudiyyah absolut, atau panteisme material, seperti halnya tudingan Al-Raniri. Di dalam dunia sebagai realitas ciptaan, ranah mental ikut mengisi melalui kehadiran roh yang berkapasitas untuk melandasi beraneka rupa tindakan batiniah para ciptaan.

Tak hanya manusia yang diasumsikan melekat dengan ‘rohnya’ (human spirit [ruh insani]). Akan tetapi, misalnya, pun binatang dengan ‘rohnya’ (animal spirit [ruh hayawani]) atau tumbuhan dengan ‘rohnya’ (vegetal spirit [ruh nabati]). Ini adalah poin signifikan terakhir Hamzah bagi monismenya, alasan dari martabat enam tak memerlukan degradasi secara metafisik kendati sifat mawjud dan predikat ‘ada yang kontingen’ melekat dalam realitas ciptaan:

Dipandang secara sifat alami, ‘jiwa’ (soul [nafs]) atau ‘roh’ (spirit [ruh]) adalah satu dan identik dengan esensi (essence [dhat]) [...] Ini turut dideskripsikan oleh Hamzah sebagai ‘diri terdalam’ (inmost self [diri, nafs, huwiyyah]) manusia dan sejauh esensi riil dari setiap hal adalah ‘dirinya’ (self), ‘yang adanya bersifat terberi atau keberadaan’ (existence [wujud]) ialah terkonstitusi oleh diri Tuhan.

(Syed M. N. al-Attas 1966: 152-153)

Pahala dan hukuman (bagi para ciptaan [interpolasi dari kami]) dalam kehidupan setelah kematian dapat dianggap sebagai efek dari ketaatan atau ketidaktaatan terhadap kehendak ilahi, tetapi pandangan yang lebih mendalam adalah bahwa Tuhan sendiri merasakan rasa senang atau sakit.

(Syed M. N. al-Attas 1966: 185)

Tuhan Hamzah adalah Tuhan yang mempersepsi, tercacah kemudian dalam roh-roh yang mempersepsi.

Mengkritisi krisis, menimbang panpsikisme

Lantas, duduk perkaranya sekarang, telaah ekologis macam apa yang mungkin diramu dengan laku membongkar pasang, atau bahkan menonjolkan, panpsikisme? Sekelibat, boleh jadi, jawabannya terkesan bak semudah membalikkan telapak tangan. Apa yang mendasarinya adalah perhatian bahwa adegan-adegan tumpang tindih antara panpsikisme beserta diskusi soal ekologi telah cukup ramai diperbincangkan.

Latar belakang argumentatif yang paling mungkin muncul adalah, misalnya, kerangka filosofis Barat klasik telah memapankan pemisahan ontologis secara tajam antara manusia yang sadar dan dunia alamiah yang tidak sadar, sebuah pembagian yang telah memfasilitasi penghancuran ekologi dengan memosisikan alam sebagai sekadar sumber daya daripada sesuatu yang bernilai intrinsik (Plumwood 2002). Atau, sebagai sampel lain, pandangan yang cukup berseberangan seperti materialisme atau fisikalisme diasumsikan tertuduh sebagai mekanisme pertahanan egois neurotik, daya gedor bagi sains untuk berperan sebagai satu-satunya solusi unggul dalam menuntaskan setiap diskusi yang mungkin dalam konteks relasi manusia, (asumsi) mentalitas, dan dunia lewat spesifikasi bidang tertentu, seumpama via sains saraf atau tumbuhan (Kastrup 2016). Dari pembingkaian ini, panpsikisme seolah kentara menjadi lahan basah guna dijelajahi dengan menyejajarkannya di medan ekologi.

Namun, kehadiran panpsikisme di Nusantara membuat beban pertanyaan di atas jadi berlipat ganda. Eksplanasi yang perlu dikejar bukanlah sebatas mencari perelevansian model berpikir para panpsikis Nusantara dengan kerangka teoretis tertentu yang telah ada, terkhusus dalam perbincangan ekologi. Namun, sebaliknya, penjernihan atas orisinalitas panpsikisme di Nusantara sudah harus selalu dipahami berkelindan secara korelatif dengan segala sesuatu yang diasumsikan sebagai non-Nusantara.

Eksperimen gagasan yang melokal di Nusantara, pada gilirannya, adalah suatu upaya yang perlu dibaca dalam cakrawala dari lokal menuju global. Artinya, mengujinya untuk bersaing sekaligus menawarkan opsi tafsir baru yang memadai, alih-alih sebatas menyuperiorkan kekhasan tertentu dalam pembatas regional. Ekologi, dengan kata lain, adalah bidang yang berkontestasi bagi para panpsikis Nusantara. Di sini, krisis akan menjadi ruang uji pilihan bagi Siti Jenar dan Hamzah.

Manakala ekologi dikerucutkan menjadi pokok bahasan terkait krisis, diskusi prominen pada hari ini telah menunjuk ‘polikrisis’ (poly-crisis) sebagai sesuatu yang secara krusial memerlukan pengkajian lebih jauh. Kaiser dkk. (2025) menimbang konsep polikrisis untuk menjelaskan keserempakan krisis yang terjadi pada alam secara global. Konsep ini merujuk bahwa risiko krisis keplanetan terjadi tidak hanya tentang satu krisis semata, tetapi secara bersamaan: dari perubahan iklim, kehancuran keanekaragaman hayati, ketidakadilan sosial, disrupsi teknologi, dan lain sebagainya—yang ternyata saling berkaitan satu-dengan-lainnya sehingga membentuk kompleksitas krisis baru.

Polikrisis, secara ontologis, berbeda dengan krisis tunggal yang sangat terbatas dan cenderung mengisolasikan krisis hanya pada satu masalah semata. Polikrisis menunjukkan gerak sejarah non-linear yang cenderung ‘timbal-balik berulang’ (feedback loops) dan melampaui kerentanan lintas sistem. Misalnya, sistem ekonomi akan mempengaruhi sistem ekologis alam, atau sistem politik mendorong sistem kebijakan sains dan teknologi, begitu juga sebaliknya. Krisis ini berjejaring, mengakar, dan saling terhubung.

Krisis bumi, tentu, di satu sudut, adalah sesuatu yang bersifat material atau fisik. Dan panggung semacam itu, bagi Siti Jenar dan Hamzah, hanya berarti ketika kita membicarakan realitas ciptaan. Lokus permulaannya adalah krisis, secara status quo, mengandalkan mediasi empirik sebagai justifikasi pengetahuan atasnya. Tiada gempa bumi, resesi ekonomi, atau bahkan ledakan nuklir tanpa konfirmasi melalui cerapan indrawi. Tentu hal ini lekas memaksa kita untuk menyambangi ulang akan kodrat realitas ciptaan usungan Siti Jenar dan Hamzah.

Apa yang tersisa di sana, dalam satu dan lain arti, adalah radikal. Segala sesuatu tak hanya material, tetapi secara bersamaan niscaya bersifat dinamis. Realitas ciptaan dipredikatkan sebagai realitas kontingen, ketidakpastian mutlak bagi kemungkinan akan terjadinya apapun dalam outlet ruang-waktu. Dengan kata lain, skenario untuk selamat dari krisis, dengan standardisasi teramannya sekalipun, tak pernah dapat diceraikan dari kemungkinan terburuknya. Setiap objek dari kehendak dan ‘pengetahuan’ (knowledge [‘ilm]) Tuhan termasuk realitas ciptaan, berikut segala hal yang ada di dalamnya, misalnya bagi Hamzah, selalu dipandang sebagai ‘berbagai potensialitas murni’ (pure potentialities [isti’dad asli]) (Syed M. N. al-Attas 1966: 132).[2] Dimensi ini tampaknya merupakan sisi yang acap kali terluputkan dalam meninjau krisis. Sejauh apapun situasi non-krisis teralami, pada saat yang sama, adalah mungkin bagi krisis untuk datang. Siti Jenar dan Hamzah, dengan demikian, menolak ragam jenis keterlupaan akan tibanya bahaya yang bersifat total.

Pereduksian dalam menanggapi krisis jelas mustahil disejajarkan dengan level material dari dunia yang dibayangkan Siti Jenar dan Hamzah. Sesuatu yang dimaksud di sini tak lain daripada penekanan terhadap respons atau solusi tunggal terpadu atas krisis. Syarat berikutnya yang dipegang para sufis dalam menandai realitas ciptaan adalah, pasca-fase determinasi dan penciptaan selaku pemisahan dari Tuhan, diperkenankannya melihat dunia dalam konteks agregasi atau ‘dalam bagian-bagian’. Itulah mengapa ada banyak ‘nama’ imanen dalam merujuk Tuhan, begitu pula dengan berbagai objek ciptaan. Melintasi Asrar al-Arifin, menyangkut ini, Hamzah (Syed M. N. al-Attas 1966: 391) menulis:

Seperti seorang Muhammad namanya; jika ia ber’ilmu, alim namanya; jika ia pandai, utus namanya; jika ia tahu menyurat, katib namanya; jika ia berniaga, shaudagar namanya.

Tuhan memang mengajegkan diri-Nya sebagai sesuatu yang tunggal secara absolut, tetapi realitas ciptaan adalah situasi tentang kejamakan dan keragaman. Karena itu, krisis adalah tentang berbagai pandangan soal krisis, berbagai lapisan dari krisis, pun berbagai solusi atas krisis.

Jika pengetahuan akan objek ciptaan diasumsikan tersituasikan secara beragam, bagaimana pengetahuan akan kesalinghubungan antarobjek dalam dunia ciptaan menjadi dapat ditegakkan? Ini penting untuk dieksplanasikan lebih jauh, sebab bangun konseptual polikrisis tidak menengahkan orientasi di luar monisme secara ontologis (semisal, dualisme ontologis atau pluralisme ontologis). Pada titik ini, doktrin panpsikisme mulai bekerja bagi keduanya. Alasannya, hanya dalam pengetahuan akan posisi non-material segala hal diizinkan untuk dipandang sebagai kesatuan menyeluruh dari realitas. Siti Jenar dan Hamzah, setelah dari sini, memiliki jawaban yang berlainan. Namun, meskipun keduanya sama-sama sepakat untuk melompat sejenak dari realitas indrawi, konsekuensi etis yang ditawarkan memiliki kontribusi signifikan dalam orientasi kelokalan guna menanggapi polemik polikrisis.

Bagi Siti Jenar, kematian memang didapuk sebagai fase puncak dalam mengenal kesatuan dari realitas. Ini adalah pembebasan diri untuk mengakses kesatuan non-material melalui peninggalan diri yang berjasad. Akan tetapi, itu bukan satu-satunya jalan dalam membangun akses pengetahuan. Siti Jenar menyimpan argumen peningkatan derajat moralitas lewat doktrin ‘pengetahuan akan kesempurnaan’. Tanpa menunggu fase kematian tubuh fisik, kesatuan antara manusia dan alam sejatinya bersifat dapat diketahui kendati tetap bermukim pada fase di dunia fana. Siti Jenar, dalam pembacaan ulang ini, meninggalkan pengingat bagi setiap manusia untuk tidak bersifat angkuh dalam mengeksploitasi hal-hal dalam dunia ciptaan, yang dalam konteks ini merujuk terhadap berbagai faktor pembangkit krisis berskala keplanetan. Manusia, menurut Siti Jenar, seperti halnya tertulis dalam manuskrip Wedatama (disusun oleh Mangkunegara IV), perlu menyadari bahwa dirinya niscaya terhubung dengan hal-hal lain yang non-antroposentris bahkan sejak sebelum beranjak menuju kehidupan abadi:

Dipunbasakaken kayunpidaraeni, tegesipun: gesang ing kahanan kalih, wonten ing alam sahir gesang, wonten ing alam kabir kita inggih gesang, serta boten kasupen dat-kita kang amaha-agong.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Ini disebut sebagai hayyun fi daraini, yaitu untuk menjadi dua fase dalam keberadaan; dalam dunia fisik kita tinggal, dalam dunia supra-fisik kita pun tinggal, dan kita tetap sadar akan keberadaan agung kita.

(Rinkes 1996: 37)

Sedangkan itu, Hamzah sebenarnya memiliki kekhasan argumen yang sama seperti Siti Jenar. Misalnya, dalam doktrinnya tentang ‘manusia sempurna’ (universal man [al-insan al-kamil]), pengetahuan tentang Tuhan yang absolut diizinkan untuk terakses dari dunia ciptaan, memungkinkan kesadaran akan ‘dunia fisik’ (alam kabir) dan ‘dunia supra-fisik’ (alam saghir), sekaligus mengungkapkan pengetahuan bahwa dunia setelah mati adalah ujub penyatuan terhadap Tuhan (Syed M. N. al-Attas 1966: 154). Namun, bagi Hamzah, ini adalah jenis pengetahuan spesifik yang hanya dimiliki oleh Muhammad atau para sunan. Inekslusivitas akses menuju kesatuan non-material bagi semua manusia dicapai melalui ma’rifah, yakni gagasan akan apa yang Tuhan ketahui tentang relasinya dengan segala sesuatu di realitas ciptaan (Syed M. N. al-Attas 1966: 165).

Ma’rifah menunjukkan konsekuensi etis yang dimaksud dalam rupa pengetahuan manusia akan Tuhan yang, melalui determinasi, mencacah sisi mentalnya ke dalam berbagai objek ciptaan. Sementara Siti Jenar hanya cukup mewadahi tanggung jawab etis atas relasi manusia dengan para ciptaan dalam konteks krisis hanya dari sudut pandang kesatuannya, Hamzah, lebih detail, memberi hamparan eksplanasi bahwa seperti diri manusia, termasuk Tuhan yang suprafisik, objek-objek non-manusia mampu memiliki kapasitas perseptif mental atas rasa senang dan sakit. Pertimbangan moral untuk membahagiakan atau menyakiti para ciptaan, dalam pembacaan ini, bahkan, disusun mengikuti doktrin Islam secara arus utama; bahwa itu kelak akan dipertanggungjawabkan lewat ‘hukum religius’ (religious law [shari’ah]) dalam kehidupan pasca-kematian (Syed M. N. al-Attas 1966: 184). Inilah konsekuensi terjauh dari posisi panpsikisme Hamzah.

Dari posisi keduanya, kesadaran ekologis dapat dipahami sebagai kesadaran laku spiritual, dan bukan lagi menjadi etika teknis yang kaku. Hanya melalui penggalian narasi semacam ini puing-puing argumentasi kefilsafatan di Nusantara dapat unjuk gigi dalam polemik global, dengan pada kesempatan ini menyoal untuk menanggapi krisis berskala keplanetan yang bersifat berlapis-lapis secara serentak. Panpsikisme di Nusantara, atau barangkali kelak pengembangan-pengembangan di kajian lain berikutnya, hanya mungkin dirakit kembali dengan upaya clarity in obscurity—pencarian akan kejelasan dalam kekaburan.

Rangga Kala Mahaswa (mahaswa@ugm.ac.id) dan Albertus Arioseto Bagas Pangestu (albertusarioseto@cas-geo.org) berkarya di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Rangga Kala Mahaswa juga memimpin Centre for Anthropocene Studies and Geophilosophy.

Acuan

Aaronson, Scott. 2016. ‘The ghost in the quantum Turing machine.’ In The once and future Turing: computing the world, edited by S. Barry Cooper and Andrew Hodges, 193-295. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

al-Attas, Syed M. N. 1962. ‘Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.’ MA, McGill University.

al-Attas, Syed M. N. 1966. ‘The mysticism of Hamzah Fansuri.’ PhD, University of London.

al-Attas, Syed M. N. 1967. ‘New light on the life of Hamzah Fansuri.’ Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 40 (1):42-51.

Anshori, M. Afif. 2010. ‘Naskah Serat Siti Jenar dalam berbagai versi.’ Mukaddimah 16 (2):185-199.

Bhiksuni Heng Ch’ih (trans). 1974. The Diamond Sutra. San Francisco: Buddhist Text Translation Society of the Sino-American Buddhist Association.

Bratakesawa. 1995. Filsafat Siti Djenar. Surabaya: Yayasan Penerbitan Djojobojo.

Drewes, Gerardus W. J., and Lode F. Brakel. 1986. ‘Introduction.’ In The poems of Hamzah Fansuri, edited by G. W. J. Drewes and L. F. Brakel, 1-25. Dordrecht-Holland: Foris Publications Holland.

Griffin, David Ray. 1998. Unsnarling the World-Knot: consciousness, freedom, and the mind-body problem. Berkeley: University of California Press.

Kaiser, Birgit M., Kathrin Thiele, Esther F. Jansen, Arianna Paterino, Flor Avelino, and Katinka Wijsman. 2025. ‘Power and Polycrisis: On the durability of capitalism-patriarchy-colonialism (CPC).’ Journal of Political Power 18 (1):147–164. doi: https://doi.org/10.1080/2158379X.2025.2453234.

Kastrup, Bernardo. 2016. ‘The physicalist worldview as neurotic ego-defense mechanism.’ SAGE Open 6 (4). doi: https://doi.org/10.1177/2158244016674515.

Kim, Jaegwon. 1993. Supervenience and mind: selected philosophical essays, Cambridge Studies in Philosophy. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Leibniz, G. W., and (eds & trans Roger Ariew and Daniel Garber). 1989. ‘The principles of philosophy, or, the monadology (1714).’ In G. W. Leibniz: philosophical essays, 213-224. Indianapolis: Hackett Publishing.

Nagel, Thomas. 1992 [1979]. Mortal questions. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Philippi (trans), Donald L. 1969. Kojiki. Princeton, NJ/ Tokyo: Princeton University Press & University of Tokyo Press.

Pigeaud, T. G. T., and H. J. de Graaf. 1976. Islamic states in Java 1500-1700: a summary, bibliography, and index. The Hague: Martinus Nijhoff.

Plumwood, Val. 2002. Environmental culture: the ecological crisis of reason. London: Routledge.

Rinkes, Douwe A. 1996. Nine saints of Java. [Kuala Lumpur]: Malaysian Sociological Research Institute.

Seager, William. 1991. Metaphysics of consciousness. London: Routledge.

Zoetmulder, P. J., and (trans M. Ricklefs). 1995 [1935]. Pantheism and monism in Javanese suluk literature: Islamic and Indian mysticism in an Indonesian setting. Leiden: KITLV Press.

Notes

[1] Validitas referensi selalu menjadi persoalan dalam penulisan atas Siti Jenar secara historiografi, mengingat terdapat beragam versi terhadap periodisasi presisi dari kehidupan Siti Jenar sendiri dari literatur yang tersedia; bahkan tak jarang, penulisan ulang atasnya yang banyak diproduksi di Indonesia ditulis dengan narasi genre fiksi alih-alih saintifik (Bratakesawa 1995: 14, Anshori 2010: 194-195). Aspek sinkronik (Kerajaan Demak [1475-1568] dan Kerajaan Pengging [berdiri awal abad ke-16]) serta diakronik (awal berdiri pada abad ke-15) dari kehidupan Siti Jenar pada tulisan ini akan ditimbang melalui sumber literatur rujukan P. J. Zoetmulder dalam karyanya Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature (1995 [1935]) dan D. A. Rinkes semasa menulis bab ‘Seh Siti Jenar Facing the Inquisition’ dalam Nine Saints of Java (1996). Dalam salinan penggalan Serat Siti Jenar (gubahan Mas Ngabehi Mangunwijaya terbitan Javaansche Uitgaven van Widya Pustaka (1917) serta Babad Demak (gubahan Haji Lulla) yang dicantumkan Zoetmulder dan Rinkes, tertulis bahwa Kerajaan Demak banyak memiliki titik singgung dengan Siti Jenar. Misalnya, Babad Demak menyertakan keterangan apabila putranira ki dipatya Andayaningrat ing Pengging lan ingkang putra jeng sultan Pangeran Panggung kang nami sami gaguru ngelmi mring Siti Jenar puniku, yaitu ‘putra Dipatya Andayaningrat dari Pengging dan putra sultan [Demak], Pangeran Panggung namanya, berguru kepada Siti Jenar’. Serat Siti Jenar, kemudian, mengonfirmasi jika putra Dipatya Andayaningrat termaksud adalah Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga), penerus takhta Kerajaan Pengging yang sebelumnya diemban oleh Dipatya Andayaningrat. Catatan ini, tentang pengajaran Siti Jenar kepada Ki Anggeng Pengging, sebagai contoh lebih jauh, turut direkam oleh T. G. T. Pigeaud dan H. J. de Graaf dalam Islamic States in Java 1500-1700 (Pigeaud and de Graaf 1976: 20).

[2] Dalam Asrar al-Arifin, Hamzah membagi kapasitas mental Tuhan dalam tujuh atribut utama secara berurutan; 1.) kehidupan, 2.) pengetahuan, 3.) kehendak, 4.) kekuatan, 5.) ucapan, 6.) pendengaran, dan 7.) penglihatan (Syed M. N. al-Attas 1966: 392-393).

Download dan baca pdf artikel ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis