11b. Perempuan dan perspektif subsisten

Gunarti dan perempuan Simbar Wareh (Heinrich Böll Stiftung, Creative Commons)

Siapakah perintis dunia berkelanjutan? Tak diduga: perempuan desa

Ruth Indiah Rahayu

Perempuan di Desa Maishahati justru menunjukkan belas kasihan ketika Hillary Clinton menjawab ‘tidak mempunyai tanah, sapi, kambing, anak hanya seorang dan pendapatan tergantung pada jabatan atau apa yang saya kerjakan.’

Mies and Bennholdt-Thomsen (2000: 3)

Publik dan media massa di Indonesia pernah dikejutkan oleh aksi menyemen kaki oleh sepuluh perempuan di depan Istana Negara Jakarta. Mereka berasal dari Pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah, dan aksi mereka berlangsung pada 13 April 2016 dan 13 Maret 2017. Bentuk protes simbolis ini merupakan rangkaian aksi perlawanan yang cukup panjang bagi komunitas adat Sedulur Sikep dan komunitas petani lainnya yang hidup di wilayah karst Pegunungan Kendeng Utara. Sejak 2005 mereka memprotes rencana pendirian pabrik semen oleh delapan perusahaan yang tersebar di delapan titik lokasi di wilayah Jawa Tengah.

Cikal bakal Sedulur Sikep adalah komunitas yang lebih dari seratus tahun lalu dipimpin oleh Samin Surosentiko. Mereka melawan pembayaran pajak Belanda pada 1890. Gara-gara pembangkangan sosial ini Samin kemudian ditangkap Belanda dan dibuang ke Sumatra. Tetapi ajarannya mengenai tata cara hidup subsisten tetap hidup, hingga saat ini. Dasarnya adalah etika dalam merawat hubungan sosial, hubungan dengan alam dan dengan spirit leluhur. Mereka membentuk komunitas subsisten yang melawan penjajahan sambil menciptakan ‘adat dan adab’. Sedulur Sikep dalam Bahasa Jawa berarti ‘saudara yang bertabiat baik dan jujur’.

Perempuan-perempuan yang menyemen kakinya di depan Istana Negara itu mengorganisir diri ke dalam Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL). Nama Simbar Wareh yang mereka pilih menggabungkan nama mata air di Simbarjoyo dan sebuah gua bernama Wareh. Anggotanya tersebar di Kabupaten Pati, Rembang, Grobogan dan Blora. Letak empat kabupaten ini mengelilingi cekungan air tanah Watuputih yang mengaliri sumber-sumber air untuk pemenuhan keberlangsungan hidup komunitas Kendeng Utara.

Mengapa perempuan-perempuan Kendeng itu demikian gigih melawan pembangunan pabrik semen di wilayahnya? Demikianlah pernyataan Gunarti selaku pendiri KPPL Simbar Wareh kepada seorang peneliti (Laksana 2013):

Biasanya dalam berjuang kalau hanya laki-laki saja itu tidak berhasil. Pikir saya masalah lingkungan, masalah air, masalah bumi itu ya masalah bersama. Apalagi justru ibu-ibu yang lebih banyak menggunakan air daripada bapak-bapak. Artinya kalau di rumah kan lebih banyak ibu-ibu, dari memelihara anak sampai merawat rumah.

Pernyataan Gunarti ini menandaskan bahwa terdapat hubungan langsung - tanpa mediasi - antara perempuan dan alam. Cerita Gunarti dan perempuan Simbar Wareh mengandung pesan yang sangat fundamental. Pesannya tidak terbatas pada upaya menyelamatkan pegunungan karst di Jawa bagian utara dari perusakan pabrik semen. Pesannya menawarkan pembaruan bagi seluruh umat manusia yang sedang menghadapi krisis ekologis.

Tulisan ini mengajak pembaca untuk memikirkan makna pesan-pesan perempuan ini dengan cara mengaitkannya pada sejumlah pertanyaan yang amat mendasar. Siapakah kita manusia di tengah alam ini? Mengapa budaya kita sepertinya banyak bermusuhan dengan alam daripada menikmatinya? Lalu pertanyaan ini: Apakah mungkin, pengalaman perempuan di tengah alam menjanjikan alternatif yang lebih baik ke depan?

Langkah pertama argumen saya di sini adalah memikirkan hubungan fisik antara tubuh manusia dan lingkungannya. Ilmuwan mencirikan hubungan tersebut dengan istilah ‘metabolisme’. Karl Marx menerapkannya kepada masyarakat dan alam. Lalu, langkah kedua, sejarah modernisasi yang didominasi pemikiran Barat sejak zaman Pencerahan melahirkan kerusakan pada metabolisme sosial tersebut. ‘Keretakan metabolik’ ini bersifat fisik sekaligus sosial. Langkah ketiga adalah memikirkan jawaban perempuan pada ‘keretakan metabolik’ ini – jawaban yang diberi nama ‘ekofeminisme’. Dalam langkah terakhir kita kembali ke bumi Indonesia dan cerita Gunarti. Ternyata apa yang selama ini disampaikan secara intelektual oleh kaum ekofeminis nyata-nyata sedang dipraktekkan oleh perempuan desa di Jawa ini.

Metabolisme

Karl Marx menyebut hubungan manusia dengan alam dengan istilah ‘metabolisme’ (Stoffwechsel) (Foster 2000: 141). Ia meminjam konsep metabolisme dari biologi lalu menerapkannya kepada masyarakat. Ia membayangkannya sebagai proses kerja yang dijalankan manusia sendiri, sambil mengatur pertukaran materi antara alam dan dirinya. Sebagai contoh, manusia bekerja mengolah tanah dan menanam tanaman pangan. Lalu menusia mengkonsumsinya dan membuang kotorannya ke tanah yang sama. Hal itu akan memberi nutrisi pada tanah sehingga tanaman baru bertumbuh subur dan dapat dikonsumsi kembali. Hubungan metabolisme sangat nyata pada komunitas agraris yang subsisten (Mies and Bennholdt-Thomsen 2000).

Namun, metabolisme sosial ini akan pecah kalau manusia tidak lagi mengembalikan nutrisi ke tanah di lokasi tanaman asli melainkan membawanya ke kota dan membuangnya di sana. Pecahnya metabolisme sosial sering terjadi dalam masyarakat kapitalis. Demikian juga dalam pembangunan pabrik semen di Kendeng Utara dan penggunaan tanah karst untuk bahan semen. Ini merupakan ancaman ‘keretakan metabolisme’ (metabolic rift), yaitu retaknya, atau bahkan hancurnya hubungan masyarakat di kawasan tersebut dengan alamnya.

Maka perempuan-perempuan Kendeng Utara yang melakukan perlawanan dapat dibaca sebagai perjuangan politik yang bukan sekedar perihal Kendeng Utara sebagai bentang alam - air, tanah, udara, hutan, energi - melainkan menegaskan peran konstitutif dari perempuan sebagai agensi yang mereproduksi dan mentransformasi bentuk-bentuk sosial sebuah komunitas atau masyarakat (Foster 2000: 2).

Perempuan, patriarki, dan modernitas

Sayangnya, Marx tidak memerinci pengertian masyarakat berdasarkan gender. Mungkin jika Marx masih hidup sampai saat ini, analisisnya akan lebih terinci. Alhasil, tulisannya kurang cukup memadai dalam menjelaskan hubungan masyarakat perempuan dengan alam. Di manakah tempat buat pernyataan Gunarti dan perempuan Kendeng lainnya, yang telah menegaskan seperti apa hubungan sehari-hari perempuan dan alam dalam penggunaan air dan pangan? Feminisme membutuhkan abstraksi guna dapat menjelaskan hubungan perempuan dan alam di ranah sains secara umum.

Pada kenyataannya tidak cukup sederhana untuk merumuskan penjelasan mengenai hubungan perempuan dan alam. Feminis dalam tradisi liberal dan sosialis sangat berhati-hati dalam membahas hubungan perempuan dengan alam. Ada alasan historis untuk kehati-hatian itu yang perlu disayangkan. Yaitu, tradisi patriarkis telah menggunakan fakta empiris hubungan perempuan dan alam untuk menempatkan perempuan ke dalam kondisi ‘sebagai alam’. Tradisi patriarkis mewarnai Revolusi Pencerahan (Enlightenment) dengan mengagungkan kekuatan rasio (atau nalar) untuk menaklukkan alam. Gagasan ini lahir dari instrumentasi sains oleh Francis Bacon dan René Descartes sekitar abad ke-17. Alam dipandang sebagai sesuatu yang harus dikelola oleh sains (teknologi, ekonomi-politik, kebijakan negara). Sementara perempuan dipandang tidak mempraktekkan sains melainkan hanya melahirkan anak, tak beda dengan alam sendiri. Hal ini mempengaruhi pandangan esensialis bahwa karena perempuan = alam maka ia berada dalam kondisi alamiah (state of nature). Ia perlu dikelola secara artifisial oleh civitas (masyarakat sipil) yang diasosiasikan dengan laki-laki, sebagaimana ditulis dalam Bab 13 buku filsuf Inggeris Thomas Hobbes berjudul Leviathan (1651 – dapat didownload melalui link Wikipedia). Pandangan perempuan = alam dan laki-laki = kultur telah meneguhkan subordinasi perempuan baik dalam sains maupun gerakan perlawanan atau pembebasan (Ortner 1974: 69, Plumwood 1993: 19). Upaya untuk membahas hubungan perempuan dengan alam serta membebaskan keduanya merupakan ranah yang dikaji dalam payung ekofeminisme.

Perlawanan ekofeminis

Saya menawarkan pembacaan ekofeminisme dari sudut pandang reproduksi sosial subsisten. Ekofeminisme menjadi sarana membangun perlawanan terhadap aspek sains yang berwarna patriarkis. Dalam hal praktik sosial (praksis), ekofeminisme ini berorientasi pada ‘perlambanan pertumbuhan ekonomi’ (degrowth).

Ekofeminisme sendiri merupakan konstruksi teoritis, bahkan filosofis, yang belum pernah final dan dapat dijelalahi melalui berbagai tradisi pemikiran. Dalam kesempatan ini, saya mengajak pembaca menjelajahi tradisi ‘materialisme sejarah‘ dalam merumuskan ekofeminisme dan hubungan perempuan dengan alam. Saya berangkat dari tulisan Ariel Salleh (2017 [1997]), Maria Mies & Veronika Bennholdt-Thomsen (2000), Lise Vogel (1983), Silvia Federici (2021), dan Corinna Dengler & Miriam Lang (2022). Secara umum feminis-feminis yang telah tersebut mengikuti Marx. Tetapi mereka sekaligus mengkritik atau menggenapi kekurangan Marx melalui analisis feminis yang kontekstual dengan kondisi agraris negara mantan jajahan.

Premis dasar ekofeminisme baik menurut Salleh maupun Mies adalah bahwa krisis ekologi merupakan dampak tidak terelakkan dari budaya patriarki-kapitalis-eurosentris. Budaya ini dibangun atas dasar dominasi terhadap alam dan dominasi ‘perempuan sebagai alam’. Dalam pandangan saya, rumusan patriarki-kapitalis-eurosentris menurut kedua ekofeminis tersebut diletakkan sebagai ‘sebab efisien‘, yaitu kekuatan yang membuat sesuatu berubah atau kekuatan penyebab. Kekuatan inilah yang mengakibatkan hubungan metabolisme perempuan dan alam mengalami keretakan atau ancaman. Dengan kata lain, patriarki-kapitalis-eurosentris merupakan kerangka besar sistem penindasan yang selalu akan mengancam keberlangsungan hubungan perempuan dengan alam dalam komunitas agraris yang subsisten.

Ariel Salleh

Ariel Salleh, penulis Ecofeminism as politics: nature, Marx and the postmodern (2017 [1997]) berkarya di Australia. Ia menjadi bagian dari pendiri feminis materialisme (Hennessy 1997). Salleh menyimpulkan bahwa dunia dewasa ini telah diliputi kemacetan politik. Ia menilai, praktik politik liberal hanya berkisar pada kebebasan individu untuk memperoleh kuasa ekonomi-politik. Sementara itu, politik sosialis hanya memikirkan pembebasan kelas proletar untuk memperoleh kuasa atas kelas borjuis. Penganut pasca-modernisme hanya merasa nyaman dalam dunia diskursus (wacana). Dan feminisme hanya memikirkan pembebasan perempuan atas kuasa patriarki. Seluruh pemikiran politik tersebut hanya berpusat pada aktor manusia, dan mengabaikan planet bumi dalam kerusakan ekologis yang parah tanpa mengalami pembebasan. Untuk memecah kemacetan ini, Salleh mengajak pembaruan cara pandang politik feminis dengan menempatkan ekologi sebagai objek yang tertindas pula. Variabel ekologi diperlukan guna membingkai ulang sejarah manusia di planet bumi. Ini menuntut penulisan baru untuk mencapai pemahaman tentang diri manusia dalam relasinya dengan alam.

Sebagai perumus ekofeminisme, Salleh adalah pembaca Marx yang inovatif. Ia menyatukan filosofi hubungan internal perempuan dengan materialitas organik kehidupan sehari-hari. Alhasil, ekofeminisme versi Salleh sangat kaya, hingga melampaui ideologi dan praktik gerakan sosial kontemporer yang lain. Ia meramalkan sintesis politik dari empat revolusi menjadi satu: ekologisme, feminisme, sosialisme dan pascakolonial. Apa argumen Salleh dalam merumuskan ‘empat revolusi dalam satu’ sebagai korpus ekofeminisme?

Dobrakan Salleh dimulai dari tradisi metafisika Barat (baca: filsafat yang berkembang di Eropa Barat). Secara khusus ia menyerang apa yang disebut dualisme budi-tubuh. Dalam pandang dualisme, kedua unsur yang berhadap-hadapan dan bertentangan (oposisi biner) adalah budi di satu pihak (atau mentalitas, roh, jiwa, dsb), dan tubuh di pihak lain (atau materialitas fisik, jasmani, dsb). Dualisme dalam oposisi biner ini sangat mewarnai tradisi Pencerahan (Enlightenment) dan berpengaruh pada filsafat dan sains. Adalah Descartes yang meletakkan dualisme dalam opisisi biner, sehingga sering disebut dualisme Cartesian. Rasio (nalar) ditempatkan sebagai pusat pengetahuan, sementara tubuh dianggap liyan (the other). Dari oposisi biner ini lahirlah ilmu pengetahuan. (Silakan membaca Bagian 1 terjemahan bukunya Principia Philosophiae). Dengan demikian, rasio memiliki keunggulan dari tubuh, dan dihubungkan dengan sains, teknologi, pemerintahan, militer, yakni berbagai ciptaan laki-laki yang mencirikan peradaban patriarkis. Sedangkan alam yang dianggap liyan diasosiasikan dengan tubuh perempuan yang ‘tidak dikenali’ (not better known, dibandingkan dengan memahami rasio), tidak dapat dipastikan (uncertainty), ibarat hutan rimba tanpa peradaban, atau tiba-tiba mengirim bencana bagi manusia.

Francis Bacon menginstrumentasikan sains guna menaklukkan atau menundukkan alam. Ia mendeklarasikan knowledge is power. Dalam bukunya Novum Organum (Book I, bagian III, terjemahan dapat dibaca di sini) ia menulis bahwa hanya sains yang mampu secara benar (valid) menginterpretasikan realitas. Justru dalam cuaca saintifik itu, metafisika dualisme dalam oposisi biner menjadi hirarkis. Ia memposisikan rasio mendominasi atau mengatur alam. Hal itu berdampak pula dalam menginterpretasikan realitas pembagian kerja secara seksual, yang meneguhkan gender laki-laki mendominasi gender perempuan.

Salleh, sebagaimana umumnya feminis, sangat menentang dualisme Cartesian. Ia merujuk pada tradisi ‘materialisme sejarah’. Di sini hubungan alam dan rasio bersifat dialektik. Sejarah hubungan perempuan dan alam pun diciptakan secara dialektik. Merujuk pada Marx, Salleh menyatakan bahwa tubuh adalah materi (fisik) tenaga kerja. Tetapi tubuh tidak hanya berupa fisik yang dimetaforakan berupa tangan, melainkan juga pikiran (rasio, nalar) yang dimetaforakan berupa kepala. Dan -- yang ini tidak terbaca dalam Marx-- terdapat sarana reproduksi yang dimetaforakan dengan rahim. Di sini, Marx membuat hubungan dialektis antara tangan dan kepala, sehingga tercipta apa yang disebut tenaga kerja. Salleh sependapat dengan Marx bahwa dalam cara produksi kapitalis, tangan dan kepala telah digantikan oleh mesin, sehingga tenaga kerja menjadi terasing (teralienasi) dari kondisi tubuhnya sebagai materi yang terhubung dengan alam. Namun, menurut Salleh, Marx kurang jelas dalam mengelaborasi pengertian reproduksi.

Lebih jauh, Salleh menganggap Marx kurang memadai ketika mengabaikan jenis tenaga kerja dalam pekerjaan yang memelihara metabolisme manusia dengan alam. Padahal hubungan itu selalu bersifat saling merawat secara timbal balik. Pekerjaan memelihara metabolisme dengan alam dapat dicontohkan oleh para perempuan dari Kendeng. Mereka mengambil air dari belik (sumber mata air), dan merawat belik dengan jenis pohon yang akarnya membersihkan airnya. Air yang mereka minum atau membersihkan badan kembali ke tanah dan menyuburkannya, sehingga tanaman tumbuh seperti padi. Padi mereka panen, diubah jadi beras dan menjadi pangan yang membangun energi bagi tenaga kerjanya. Tenaga kerja itu merawat alam atau mereproduksi alam untuk pemulihan tenaga kerja itu sendiri, yang dimetaforakan Salleh dengan rahim.

Melalui penggambaran itu, saya berusaha memahami pemikiran Salleh. Kritiknya terhadap Marx adalah: Marx masih terpengaruh oleh instrumentasi sains yang menyatakan tenaga kerja itu mengolah atau menata alam bahkan melalui teknologi - bukan merawat. Dengan demikian, menurut Salleh, Marx pun telah membiarkan alam menjadi objek eksploitasi oleh teknologi atau kepentingan akumulasi kapital, sekali pun alasan Marx terhadap teknologi adalah untuk memendekkan waktu kerja buruh. Namun, para ekofeminis mencatat, hadirnya teknologi di kalangan petani Afrika, misalnya, tidak memendekkan jam kerja petani perempuan. Dalam kenyataan, perkembangan industrialisasi mengakibatkan laki-laki menjadi buruh di kota, sedangkan perawatan pertanian sepenuhnya berada di tangan perempuan.

Mengikuti pemikiran Salleh itu menjadi jelas seperti apa hubungan perempuan dan alam. Hubungan perempuan sebagai tenaga kerja dan alam sebagai materi bukan merupakan hubungan produksi semata, melainkan hubungan pemeliharaan, keperawatan, kesalingpengasuhan yang mencerminkan nilai etis dalam hubungan reproduksi. Dalam hubungan yang bersifat mereproduksi dikenal istilah ‘kerja reproduksi sosial‘. Yang dimaksud di sini adalah suatu proses untuk mereproduksi tenaga kerja manusia (human labour) – yaitu anak yang lahir dan dibesarkan untuk menjadi buruh nanti. Proses ini tidak hanya mencakup penyediaan makan dan minum melainkan juga pelayanan persalinan hingga merawat bayi. Ia juga mencakup mereproduksi pengetahuan dan etika komunitas agar tetap berkelanjutan (Bhattacharya 2017: 2, Ferguson 2020: 15). Namun dalam masyarakat kapitalis, pengertian reproduksi sosial tersebut mengalami reduksi hanya sebagai pekerjaan domestik (housework). Di sinilah perempuan mereproduksi tenaga kerja upahan dan mengonsumsi barang produksi kapitalis. Belanja konsumsi bagi pemenuhan makan, kesehatan dan pendidikan formal untuk mereproduksi tenaga kerja upahan merupakan konsekuensi bagi masyarakat yang telah menjadi buruh (Vogel 1983: 145).

Masyarakat mentradisikan kerja reproduksi itu tidak hanya pada diri perempuan, tetapi dalam perubahan model keluarga batih (nucleur family) di masa kapitalis. Kerja reproduksi telah dipersempit menjadi pekerjaan domestik yang meliputi memasak, pengasuhan anak, membersihkan pakaian dan rumah, dsb, yang hanya ditanggung perempuan di dalam rumah tangganya (Vogel 1983: 24). Tenaga kerja reproduksi sosial bukan merupakan tenaga kerja upahan karena dianggap bukan ‘tindakan historis primer’ seperti halnya kerja produksi, sehingga dinyatakan ‘tidak menghasilkan nilai komoditas’ (Federici 2021: 15). Salleh pun menegaskan bahwa telah terjadi tipu muslihat saintifik bahwa rasio = produksi dan alam = reproduksi. Ini telah menghilangkan fakta eksploitasi atas tubuh perempuan sebagai tenaga kerja yang menyumbang akumulasi kapital.

Argumentasi Salleh itu mendobrak cara pandang perempuan = alam yang kerap dipergunakan oleh penganut esensialis patriarkis, bahkan di kalangan ekofeminis. Disadari atau tidak, cara pandang lama tersebut telah meneguhkan subordinasi atas diri perempuan, dan sekaligus meneguhkan eksploitasi atas alam. Atas dasar pemikiran itu, Salleh berusaha untuk menggeser (shifting) status tenaga kerja perempuan yang dicurahkan untuk mereproduksi hubungan metabolisme dengan alam. Daripada (bersama dengan Descartes) dianggap sebagai liyan, di luar rasio, tenaga kerja perempuan adalah ‘yang politik’. Pengertian ‘yang politik’ mencakup aspek partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam membangun (mereproduksi) komunitas, wilayah, dan bahkan negara.

Perspektif subsisten

Di atas telah diuraikan mengenai hubungan perempuan dan alam sebagai hubungan kesalingpengasuhan (kesalingperawatan). Hubungan tersebut bukan semata hubungan produksi melainkan juga hubungan reproduksi yang tanpa eksploitasi. Menurut Mies dan Bennholdt-Thomsen dalam The subsistence perspective: beyond the globalised economy (2000), hubungan seperti itu nyata-nyata terjadi pada komunitas agraris yang subsisten.

Apakah itu, subsisten? Saya akan mengutip percakapan saya dengan seorang perempuan setengah baya di komunitas Urang Kanékés di Cikeusik, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Urang Kanékés artinya orang yang menempati Desa Kanekes. Orang luar termasuk peneliti Belanda secara umum menyebut komunitas ini orang Badui, yang menurut mereka dipersamakan dengan kata Arab Badawi, yaitu nomaden. (Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengartikan ‘badui’ sebagai orang yang berpindah-pindah, atau nomaden). Mereka sendiri lebih senang menyebut dirinya Urang Kanékés.

‘Ibu punya tanah?’ tanya perempuan Kanékés tersebut pada saya.

‘Tidak!’, balasan saya.

‘Penghasilan uang?’

‘Punya’

‘Kenapa tidak dibelikan tanah?’

‘Oh, penghasilan saya sudah habis untuk membeli makanan, membayar air, listrik, transportasi, pajak rumah dan aneka kebutuhan lainnya’. Perempuan itu tampak bingung mendengar jawaban saya.

‘Kenapa ibu membayar air dan pajak rumah?’

‘Karena saya tidak punya air maka saya membelinya. Rumah saya pun dibangun di atas tanah pemerintah maka saya membayar pajak!’

‘Kasihan. Berat ya hidup Ibu’.

Percakapan yang saya alami itu mirip dengan percakapan antara Hillary Clinton dengan perempuan dari Desa Maishahati. Pada saat itu Hillary, seorang istri presiden AS, sedang dalam kunjungan ke Bangladesh, tahun 1994. Sangat mengejutkan, perempuan di Maishahati justru menunjukkan belas kasihan ketika Hillary menjawab ‘tidak mempunyai tanah, sapi, kambing, anak hanya seorang dan pendapatan tergantung pada jabatan atau apa yang saya kerjakan.’ Percakapan Hillary dengan perempuan Maishahati itu diungkap oleh Mies & Bennholdt-Thomsen dalam buku mereka untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud ‘subsisten’ menurut komunitas agraris. Meskipun perempuan dari Maishahati tahu bahwa Hillary berasal dari negara kaya dan seorang istri presiden, tetapi mereka merasa memiliki kehidupan yang lebih baik (well-being) daripada Hillary. Serupa dengan perempuan di Kanékés yang juga merasa hidupnya lebih baik daripada saya, karena mereka memiliki kontrol atas sarana subsisten yang memadai bagi keberlanjutan hidup komunitasnya.

Belajar dari cara pandang perempuan di Desa Maishahati tersebut (dan juga Kanékés), Mies & Bennholdt-Thomsen (2000: 3-4) memperoleh empat pembelajaran yang substansial.

  • Kita memperoleh sebuah perspektif untuk melihat realitas kehidupan dari ‘bawah’ dan perempuan, di pedesaan dan negara Selatan. Pandangan dari ‘bawah’ ini memungkinkan untuk menghilangkan mitos yang diciptakan oleh mereka yang ‘di atas’ bahwa kehidupan dan gaya hidup mereka adalah yang terbaik (well-being) di muka planet ini. Penghilangan mitos itu membantu kita menyadari bahwa yang disebut kehidupan baik itu mungkin hanya dinikmati sebagian kecil orang, itupun dengan cara mengorbankan alam, perempuan dan anak-anak, serta masyarakat miskin di kawasan Selatan.
  • Cara pandang perempuan dari Kanékés dan Maishahati tersebut mengajarkan pada kita bahwa pengertian tentang subsisten tidak hanya berupa kepemilikan atas uang, pendidikan, status sosial, melainkan lebih jauh, yaitu kontrol atas sarana subsisten: tanah, tumbuhan, ternak, pangan, anak dan penghasilan secara mandiri.
  • Kesadaran akan dirinya yang memiliki kontrol atas sarana subsisten menciptakan harga diri bagi perempuan di Maishahati di hadapan Hillary Clinton, atau pun bagi perempuan Kanékés di depan saya sebagai orang dari ‘kota besar’.
  • Apa yang menurut para perempuan dari Maishahati atau Kanékés dirasakan sebagai kehidupan baik seharusnya baik pula menurut masyarakat subsisten di belahan dunia lainnya. Hal itu berarti bahwa imaginasi tentang masyarakat sosialis yang non-seksis, non-rasis, non-kolonial, ekologis dan adil tidak dapat dicari modelnya pada gaya hidup kelas penguasa, melainkan pada komunitas subsisten itu sendiri.

Fakta tentang subsisten sesungguhnya masih cukup banyak dinikmati oleh komunitas agraris di Indonesia. Umumnya komunitas itu diikat oleh hukum adat yang mengatur hubungan metabolisme mereka dengan alam dan roh leluhur penjaga alam. Oleh sebab itu, mereka tidak mengeksploitasi alam, melainkan sebagaimana yang dinyatakan Salleh bahwa mereka mengambil dan sekaligus merawatnya untuk keperluan penghidupan secara memadai dan berkelanjutan (subsisten).

Mengapa saya membahas ekofeminisme dari perspektif subsisten? Jika Salleh telah berupaya memaknai kerja kesalingperawatan antara perempuan dan alam sebagai ‘yang politik’, maka masih perlu disandingkan dengan yang subsisten sebagai ‘yang ekonomi’ dalam agenda ekofeminisme. Sebab, paradigma ekonomi kapitalis-patriarki yang menekankan pada angka pertumbuhan ekonomi merendahkan dan mengucilkan paradigma ekonomi subsisten dalam kategori ‘kemiskinan’. Paradigma ekonomi pertumbuhan menilai pertumbuhan berasal dari kemampuan konsumsi (yang berlebihan). Sehingga filsuf Austria-Perancis André Gorz menyatakan masyarakat yang disebut ‘miskin’ adalah ‘neo-proletar pasca-industrial’. Bukannya karena kurang uang melainkan karena mereka adalah kelas yang terpinggirkan secara permanen disebabkan daya konsumsinya rendah. Partisipasi dan aktivitas mereka tidak memadai, sehingga acapkali dikucilkan (Salleh 2017 [1997]: 42).

Dalam paradigma ekonomi kapitalis-patriarki, masyarakat yang memiliki daya konsumsi rendah - sehingga disebut Gorz ‘neo-proletar pasca-industrial’ - dalam pandangan saya sangat mungkin. Sebagian dari mereka adalah komunitas subsisten yang tidak sepenuhnya tergantung pada pasar kapitalis. Sebenarnya komunitas subsisten bersifat mandiri dan memiliki kebebasan dalam mengatur dan memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama dalam hal pangan, air dan bahkan energi listrik. Jumlahnya cukup besar di negara Dunia Ketiga. Tetapi mereka justru dipandang sebagai ‘orang miskin’ saja, seolah belum dewasa di dunia ini.

Indonesia

Komunitas subsisten di negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, memiliki aturan yang disebut adat untuk melarang (pamali) penjualan gabah padi, tanah dan air. Apa yang boleh dijual adalah ternak, madu, gula merah, telor, sayur, buah dan bumbu, itupun setelah cukup untuk mereka konsumsi sendiri. Bahkan komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di cekungan Gunung Halimun, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, telah subsisten di bidang pangan dengan persediaan padi mencapai 90 persen serta energi listrik berbasis alam. Mereka membuat teknologi mikrohidro dari sungai Cisono yang mengalir di kampung tersebut dan menghasilkan daya listrik sebesar 118 kiloWatt, yang dapat dinikmati sebanyak 33.000 jiwa warga Kasepuhan. Mereka mampu membangun radio komunitas dan stasiun TV (Ciptagelar TV) guna mengekang konsumsi hiburan dari televisi swasta. Mereka juga mempunyai website sendiri (lihat tulisan Rahmat Efendi, tanpa tanggal).

Subsisten dalam hal beras, sayuran dan lauk (pangan sehari-hari), obat-obatan, anyaman tikar dan keranjang gendong juga masih dapat kita jumpai pada komunitas lokal di Dusun Air Kiliran, Desa Bandar Agung, Kecamatan Ullu Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan (lihat catatan Erwin Basrin, 2025). Demikian juga di komunitas adat Dayak Mului yang tinggal di lereng Gunung Lumut, Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Passer, Kalimantan Timur (Sucipto, 2023)

Pembagian kerja secara gender dalam komunitas subsisten menempatkan perempuan sebagai agensi reproduksi sosial komunitas. Kerja mereka mencakup perawatan pertanian, ternak dan rumah tangga; pelayanan bagi ibu yang melahirkan dan perawatan bayi; pengasuhan anak; pengobatan; pemeliharaan lingkungan; dan penyediaan masakan baik untuk komunitas maupun tamu-tamu. Selain itu mereka juga mereproduksi pengetahuan dan nilai-nilai etis, dalam pergaulan sosial dan dengan alam, kepada anak-anak dan remaja.

Pembagian kerja semacam ini tidak dapat dinyatakan sebagai eksploitasi perempuan di ranah domestik, sebab:

  • Hubungan antara ranah produksi dan reproduksi sosial dalam komunitas subsisten merupakan kesatuan metabolisme sosial sehingga tenaga kerja yang menyelenggarakan kedua ranah tersebut disebut tenaga kerja sosial (social labour).
  • Hal itu berbeda dengan komunitas buruh masyarakat kapitalis yang telah mengalami keretakan metabolisme sosial akibat adanya upah bagi kerja produksi. Sementara yang melakukan kerja tenaga kerja reproduksi bagi keberlangsungan tenaga kerja kapitalis tidak pernah dibayar sehingga pengertian reproduksi sosial pada masyarakat subsisten mengalami reduksi (penyempitan) menjadi reproduksi tenaga kerja (Vogel 1983: 143).
  • Cara produksi kapitalis telah menciptakan ketimpangan antara kerja produksi upahan yang umumnya adalah laki-laki dan tenaga kerja reproduksi untuk tenaga kerja tanpa upahan yang umumnya adalah perempuan dan karena itu upah merupakan cermin watak patriarki (Federici 2021: 96).
  • Komunitas subsisten tidak menjual panenan pangan untuk kepentingan profit melainkan untuk pemenuhan keberlangsungan hidup keluarga dan komunitasnya (subsisten). Oleh sebab itu, mereka mengandalkan tenaga kerja sosial (social labour) yang bertumpu pada cara keperawatan bersama (commoning care) dan bukan pada tenaga kerja upahan (Dengler and Lang 2022: 3).
Kembali ke Gunarti

Pada komunitas subsisten -- yang disebut Marx dengan istilah pra-kapitalis -- cara pandang dan praktik sosial Gunarti dalam Sedulur Sikep telah membuktikan tidak adanya pembelahan yang hirarkis sebagai tenaga kerja produksi dan reproduksi sosial. Hal ini digambarkan dengan baik dalam seri Kompas TV berjudul Srikandi dari Pati (2017):

Perempuan itu sudah sibuk dengan pekerjaannya di rumah, sudah tidak bisa ke luar dan memikirkan lainnya. Saya pun menjalani begitu. Saya perempuan bangun pukul 5 pagi dan menyiapkan masakan untuk di bawa ke ladang, terus mengurus anak, merawat ternak. Kalau sempat menyusul ke garapan (sawah atau ladang). Tapi garapan ladang tidak bisa hanya dikerjakan oleh laki-laki melainkan semua keluarga, termasuk saya. Tapi kehidupan yang baik yang tenteram bukan hanya tergantung pada sandang dan pangan, melainkan lebih jauh tergantung pada nilai-nilai hidup yang menyeimbangkan kehidupan manusia dan alam. Kita tidak perlu pandai melainkan yang penting adalah mengerti dan memahami apa yang baik dan buruk. Inilah yang musti kita wariskan pada anak-anak.

Gunarti mereproduksi nilai yang baik dan buruk yang merujuk pada tradisi Sedulur Sikep kepada anak-anak komunitas. Pada 1993 ia mendirikan semacam kelas membaca dan menulis bagi anak-anak Sedulur Sikep. Sebab, ia seringkali menjumpai anak-anak itu menangis karena diejek oleh anak yang bukan dari Sedulur Sikep. Mereka dicemoohkan karena tidak sekolah dan tidak belajar membaca Al-Quran di mesjid. Kelas belajar yang dibangun Gunarti tentu saja tanpa pungutan biaya, sedangkan materi yang diajarkan berkaitan dengan pengetahuan dan nilai-nilai etis, termasuk tanpa kekerasan, sebagai petani komunitas Sedulur Sikep. Gunarti juga mengajarkan etika dalam srawung (membangun relasi) untuk mencintai sesama manusia dan alam di Pegunungan Kendeng sebagai sumber penghidupan bersama (Srikandi dari Pati bagian 3)

Praktik sosial yang dilakukan oleh Gunarti tersebut adalah kerja mereproduksi identitas sosial Sedulur Sikep sebagai petani. Secara historis identitas tersebut dibentuk atas dasar perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka tidak boleh berdagang, apalagi menjual sejengkal tanah pun. Itu sebabnya, ketika Gunung Kendeng akan diambil-alih oleh 8 perusahaan semen, serta merta mendorong perempuan-perempuan bergerak sebagai sikap melawan unsur-unsur yang mengancam reproduksi sosial komunitas.

Sayang sekali bahwa praktik subsisten seperti itu diabaikan dan bahkan dihilangkan sebagai orientasi membangun penghidupan yang lebih ‘baik dan berkelanjutan’. Sebagaimana Mies menyatakan, pada kehidupan masyarakat yang tergantung pada upah sebagai buruh dan perolehan uang, maka perspektif subsisten hanya dipandang sebagai romantisme belaka, ‘memandang ke belakang’ (masa lalu) atau bahkan sebagai ancaman kematian. Padahal di negara-negara maju sebelum pecah Perang Dunia II, baik di pedesaan maupun perkotaan, kerja subsisten masih tetap berlangsung, apalagi di negara-negara Dunia Ketiga saat ini. Jaringan antar-tetangga tetap saling mempertukarkan barang konsumsi yang diproduksi sendiri secara timbal balik, dalam kebebasan dan kebersamaan. Dengan cara itulah mereka menentukan nasib sendiri. Saling membantu merupakan nilai yang juga dapat dilakukan dalam komunitas buruh untuk menggenapi upah yang kurang memadai. Jadi, penghidupan subsisten sesungguhnya dapat dikerjakan di kalangan buruh perkotaan juga (Mies and Bennholdt-Thomsen 2000: 17).

Modal degrowth

Gerakan ekofeminis dalam perspektif reproduksi sosial subsisten dan merujuk pada keperawatan bersama (commoning care) dapat menyanggah pertanyaan pesimis terhadap gerakan degrowth. Terlalu banyak pengamat berpendapat gagasan ‘perlambanan kegiatan produksi dan konsumsi yang berorientasi pada pertumbuhan’ sebagai hal yang sama sekali tidak realistis. Kohei Saito mengaku menjelang akhir bukunya Marx in the Anthropocene: towards the idea of degrowth communism bahwa istilahnya saat ini ‘secara politis kurang populer’ (Saito 2023 [orig Jap 2020]: 249). Namun, argumentasi ekofeminis bahwa degrowth dimungkinkan dengan membangun atau mempertahankan komunalitas atas alat dan kekuatan produksi agraris menurut saya harus dinilai cukup kuat:

  • Ekofeminisme yang nyata dipraktekkan oleh perempuan desa Jawa (dan tempat lain) mengurangi ketergantungan perempuan sebagai konsumen pasar kapitalis. Di pasar kapitalis berlaku hukum kelangkaan atas barang-barang karena faktor dinamika nilai tukar yang tidak terduga. Sebaliknya, daya subsisten yang berorientasi pada keberlanjutan adalah menyediakan nilai guna yang tidak mengenal hukum kelangkaan, bahkan (sebagaimana dinyatakan Mies) memiliki kebebasan dalam mengatur keberlanjutan reproduksi sosial komunitasnya.
  • Praktik sosial subsisten dapat diproyeksikan sebagai upaya untuk melawan logika bahwa kesejahteraan lahir batin (well-being) hanya mungkin dicapai melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (yaitu GDP). Angka ini telah menjadi kredo pertumbuhan ekononi yang nyata eksploitatif terhadap tenaga kerja, alam dan konsumen. Gerakan ‘perlawanan degrowth’ kiranya bukan semata konsep ekonomi melainkan sebuah konsep keadilan sosial dan ekologis dari ‘bawah’ (Dengler and Lang 2022).
  • Ekofeminisme dalam perspektif reproduksi sosial subsisten sedang mempertahankan dan menghidupkan kembali keperawatan atau saling kepengasuhan komunal (commoning care), baik terhadap anggota komunitas maupun alam, sehingga hubungan metabolisme itu berkelanjutan dan berorientasi ke masa depan.

Tawaran ekofeminis dalam perspektif reproduksi sosial subsisten itu sebaiknya menjadi tujuan pemberdayaan perempuan dan komunitas bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang masih berhasrat untuk membangun gerakan sosial transformatif di Indonesia.

Ruth Indiah Rahayu (rindirahayu@inkrispena.or.id) adalah alumna Program Doktoral Studi Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Acuan

Bhattacharya, Tithi, ed. 2017. Social reproduction theory: remapping class, recentering oppression London: Pluto Press.

Dengler, Corinna, and Miriam Lang. 2022. ‘Commoning care: feminist degrowth visions for a socio-ecological transformation.’ Feminist Economics 28 (1):1–28. doi: https://doi.org/10.1080/13545701.2021.1942511.

Federici, Silvia. 2021. Patriarchy of the wage: notes on Marx, gender and feminism Oakland: PM Press.

Ferguson, Susan J. 2020. Women and work: feminism, labour and social reproduction. London: Pluto Press.

Foster, John Bellamy. 2000. Marx’s ecology: materialism and nature. New York: Monthly Review Press

Hennessy, Rosemary, ed. 1997. Materialist feminism: a reader in class, difference and women’s lives. New York: Routledge.

Laksana, Luthfi Untung Angga. 2013. ‘Srawung: strategi advokasi masyarakat Sedulur Sikep terhadap rencana pendirian pabrik semen.’ Skripsi, Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada.

Mies, Maria, and Veronika Bennholdt-Thomsen. 2000. The subsistence perspective: beyond the globalised economy. North Melbourne: Spinifex Press.

Ortner, Sherry B. 1974. ‘Is female to male as nature is to culture?’ In Woman, culture and society, edited by Michelle Zimbalist Rosaldo and Louise Lamphere, 67-88. Stanford, CA: Stanford University Press.

Plumwood, Val. 1993. Feminism and the mastery of nature. London: Routledge.

Saito, Kohei. 2023 [orig Jap 2020]. Marx in the Anthropocene: towards the idea of degrowth communism. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Salleh, Ariel. 2017 [1997]. Ecofeminism as politics: nature, Marx and the postmodern. 2 ed. London Zed.

Vogel, Lise. 1983. Marxism and the oppression of women: toward a unitary theory. New Brunswick, N.J.: Rutgers University Press.

Download dan baca pdf artikel ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis