11a. Ekofeminisme

Figur keramik, k.l. 5.500 BCE, ditemukan dalam gua dekat Sofia [Museum Nasional Arkeologi, Bulgaria, gambar: GvK]. Perempuan ini bisa saja menggambarkan „dunia sebagai kuil’ (the world as sanctuary), sebagaimana dikatakan oleh Henryk Skolimowski (Skrbina 2013).

Dari dominasi menuju jaring kehidupan

Semua perempuan dan semua laki-laki memiliki tubuh yang secara langsung dipengaruhi oleh kerusakan yang disebabkan oleh sistem industri. Oleh karena itu, semua perempuan dan akhirnya juga semua laki-laki memiliki ‘dasar material’ untuk menganalisis dan mengubah proses-proses ini.

Mies and Shiva 2014 (1993)

Gerry van Klinken

Lois Gibbs adalah seorang ibu berusia 27 tahun dengan dua anak ketika ia memobilisasi para tetangganya untuk melawan pemerintah Amerika Serikat. Mereke memprotes pembuangan limbah beracun yang terkubur di bawah perkampungan kelas pekerja di Love Canal, tidak jauh dari kota Niagara Falls. Gerakan lokal yang ia organisir pada tahun 1978 membawa perjuangan mereka sampai ke Washington DC, di mana akhirnya mereka meraih sukses (Kitchell 2012). Ini adalah awal dari gerakan keadilan lingkungan (Figueroa and Mills 2001). Masyarakat miskin, dan seringkali berkulit hitam, di mana-mana mulai memprotes bahan kimia berbahaya yang dibuang ke tanah mereka oleh perusahaan-perusahaan yang mencari lahan murah. Keadilan lingkungan kini menjadi salah satu dari tiga hal besar dalam agenda global, di samping keamanan dan ekonomi. Lois Gibbs adalah seorang pahlawan gerakan ekofeminis. Padahal, ibunya sendiri pernah memperingatkan dia: ‘kamu lupa, kamu hanya seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan sekolah menengah.’

Lingkungan hidup memiliki banyak pahlawan perempuan, dari Rachel Carson hingga Greta Thunberg, dari Marjory Stoneman Douglas hingga Wangari Maathai (Limbach 2020, Redekop 2024). Beberapa di antaranya muncul jauh sebelum istilah ‘ekofeminisme’ diciptakan (pada tahun 1974, oleh Francoise D'Eaubonne dalam Le Féminisme ou la Mort). Buku Douglas yang penuh semangat dan kini menjadi buku klasik, The Everglades, River of Grass, terbit tahun 1947; Silent Spring (diterjemahkan dengan judul Musim bunga yang bisu) karya Rachel Carson tahun 1962. Gerakan feminis ekologis yang muncul pada tahun 1970-an menjadi bagian dari gerakan lingkungan hidup yang baru dan semakin meluas saat itu. Aliran lain termasuk gerakan keadilan lingkungan, Deep Ecology, ekonomi ekologis, dan ekososialisme – semuanya dibahas di bagian lain buku ini.

Ekofeminisme merupakan pertemuan antara feminisme dan ekologi. Baik perempuan maupun alam telah dilecehkan oleh laki-laki yang dominan. Padahal keduanya menawarkan alternatif pengasuhan yang mutlak perlu agar dunia dapat bertahan hidup. Cendekiawan Amerika Karen J. Warren (1997: 325) menjelaskan mengapa gerakan feminisme dan gerakan ekologi saling membutuhkan:

Ada hubungan penting - historis, berdasarkan pengalaman langsung, simbolis, teoretis - antara dominasi perempuan dan dominasi alam. Sangat penting untuk memahami hubungan-hubungan ini, baik demi masa depan feminisme maupun etika lingkungan. Saya berpendapat bahwa janji dan kekuatan feminisme ekologis adalah bahwa ia menyediakan kerangka yang berbeda, baik untuk memikirkan kembali feminisme maupun untuk mengembangkan etika lingkungan yang secara serius memperhatikan hubungan antara dominasi perempuan dan dominasi alam. Saya melakukannya dengan mendiskusikan sifat dasar dari etika feminis, dan cara-cara di mana ekofeminisme dapat menghasilkan sebuah etika feminis dan sebuah etika lingkungan. Saya menyimpulkan bahwa setiap teori feminis dan setiap teori etika lingkungan yang tidak menganggap serius dominasi kembar dan saling berhubungan antara perempuan dan alam, pada dasarnya tidak lengkap, bahkan boleh dianggap tidak memadai.

Ekofeminisme kini menjadi bidang aktivisme dan ladang intelektual yang luas, dan di sini kita hanya dapat menyoroti beberapa aspeknya. Kita membahas tiga pertanyaan:

  • Mengapa perempuan begitu menonjol dalam gerakan ekologi? Pertanyaan pembuka ini akan membuat kita berpikir tidak hanya tentang ide-ide abstrak tetapi juga tentang tubuh. Seorang feminis Australia, Ariel Salleh, telah lama berbicara tentang ‘materialisme yang memiliki tubuh’ (embodied materialism) (di mana ‘materialisme’ adalah konsep filsafati yang positif karena langsung berhubungan dengan alam).
  • Kapan dan mengapa hubungan antara ‘dominasi perempuan dan dominasi alam’ dimulai? Sebuah catatan sejarah oleh cendekiawan Italia-Amerika, Silvia Federici, memberikan penjelasan baru atas pertanyaan tersebut. Ini akan menjadi bagian terpanjang, karena ternyata dinamika sejarah yang pertama kali terlihat di Eropa Barat terus berlangsung di belahan bumi Selatan saat ini.
  • Apa alternatif yang ditawarkan oleh para ekofeminis saat ini kepada orang yang mencari kehidupan lebih baik? Bagian ini bersifat eklektik, karena ada begitu banyak pilihan. Di sini, menemukan kembali ‘perspektif subsisten’ akan menjadi tema sentral. Etika ekofeminis beresonansi dengan rumusan etika ekologi lainnya yang telah dibahas dalam buku ini, terutama pengetahuan ekologi masyarakat adat.
Materialisme yang memiliki tubuh

Mengapa perempuan begitu menonjol dalam aktivisme lingkungan, terutama yang paling radikal? Lingkungan hidup adalah cara berpikir yang benar-benar baru, dan belum banyak penelitian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini. Penelitian sosial-psikologis yang ada menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki nilai yang hampir sama perihal lingkungan. Namun, nilai-nilai tidak secara langsung membuat orang melakukan sesuatu. Nilai hanya membuat orang peka terhadap apa yang bisa terjadi dengan hal-hal yang mereka hargai. Cinta, misalnya, adalah sebuah nilai yang membuat seseorang semakin peka pada bahaya yang mengancam kekasihnya.

Dalam proses memupuk kepekaan inilah terdapat perbedaan antara pria dan wanita: ‘Perempuan memiliki keyakinan yang lebih kuat daripada laki-laki tentang konsekuensi bagi diri sendiri, orang lain, dan biosfer,’ tulis salah satu kelompok peneliti (Stern, 1993 #9994). Hal ini membuat mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam aksi politik demi lingkungan. Sementara pria cenderung berpikir abstrak dan memisahkan nilai-nilai mereka dari dunia di luar sana, wanita lebih sadar akan keterkaitan berbagai hal satu dengan yang lain. Mereka lebih mudah mendengarkan pesan tentang potensi bahaya yang muncul dari tindakan tertentu.

Para peneliti berspekulasi bahwa ‘efek ibu’ mungkin memainkan peranan di kalangan perempuan, di mana (potensi memiliki) anak membuat mereka lebih peduli terhadap masalah lingkungan setempat. Hal ini tentu saja menjadi kekuatan pendorong bagi Lois Gibbs: ia mengkhawatirkan kesehatan anaknya di kota yang tercemar berat. ‘Etika kepedulian’ yang begitu menonjol dalam tulisan-tulisan ekofeminis sering dihubungkan dengan kapasitas yang lebih besar untuk berempati dan bersolidaritas dengan mereka yang terpinggirkan. Tentu saja, ‘menjadi ibu’ bukan hanya fenomena biologis tetapi juga fenomena sosial, yang jika diserahkan sepenuhnya kepada perempuan dan bukannya dibagi dengan laki-laki, akhirnya akan merusak semua orang yang terlibat (Chodorow, 1978 #9818).

Ariel Salleh telah menulis sejak tahun 1980-an tentang aspek ‘material’ dalam aktivisme ekologis. Ia menganjurkan agar orang yang mengobarkan program politik demi ekologi harus lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat material dalam kehidupan manusia.

‘Siklus kesuburan bulanan perempuan, simbiosis kehamilan yang melelahkan, rasa sakit saat melahirkan, dan kenikmatan saat menyusui bayi, hal-hal ini telah membumikan kesadaran perempuan, bahwa mereka telah menyatu dengan Alam,’ tulisnya (Salleh 1984).

Kata ‘ekologi’ diciptakan pada tahun 1860-an oleh ahli biologi Jerman, Ernst Haeckel, dari bahasa Yunani oikos, yang berarti rumah tangga. Haeckel menganggap kata ini mencerminkan keyakinannya bahwa makhluk hidup berhubungan satu sama lain dengan cara yang sebagian besar kooperatif; makhluk-makhluk tersebut tinggal bersama dalam satu ‘rumah tangga.’ Kita manusia adalah bagian dari oikos yang sama, yaitu ekosistem yang menghidupi kita. Kita sebaiknya memperlakukan oikos tersebut sebagai kesatuan yang utuh.

Ariel Salleh (1984) segera melihat sesuatu yang praktis di sana yang menyentuh kehidupan perempuan: ‘Perempuan, sebagai penjaga oikos, berada dalam posisi yang baik untuk mempraktekkan kesadaran ekologis 24 jam tiap hari.’ Sebaliknya, banyak pria profesional yang kantor hariannya terpisah dari rumah tangga ekologis (misalnya kantor dagang saham di bursa efek), hanya bisa mempraktekkan kesadaran ekologis ‘setelah jam kerja.’

Filsuf ekofeminis perintis Australia, Val Plumwood, menulis hal yang serupa (1993: Bab 1):

Sejauh kehidupan perempuan telah dijalani dengan cara-cara yang tidak terlalu berlawanan secara langsung dengan alam, dibandingkan dengan laki-laki, dan kehidupan tersebut telah melibatkan praktek-praktek yang berbeda dan tidak terlalu bermusuhan dengan pihak lain, misalnya ia memperlihatkan kualitas kepedulian dan jenis-jenis keakuan yang berbeda, maka posisi feminis ekologis dapat dan harus mengistimewakan beberapa pengalaman dan praktek-praktek perempuan di atas pengalaman dan praktek-praktek laki-laki sebagai sumber perubahan. ....

Pemikiran serupa juga menonjol dalam buku yang mungkin paling terkenal tentang ekofeminisme, yang ditulis bersama oleh sosiolog Jerman Maria Mies dan fisikawan India yang menjadi aktivis, Vandana Shiva (2014 [1993]). Mereka menciptakan istilah ‘perspektif subsisten’ untuk alternatif ekofeminis terhadap sistem pertumbuhan industri yang patriarkis. Perspektif subsisten muncul dari akar rumput, dari rumah tangga. Kita akan kembali pada gagasan ini di bawah, tetapi di sini cukup digarisbawahi pengamatan kunci, yaitu bahwa perempuan di Selatan memiliki pemahaman terbaik tentang hal ini (Bab 20):

Perempuan lebih dekat dengan perspektif ini daripada laki-laki - perempuan di Selatan yang bekerja dan hidup, berjuang untuk kelangsungan hidup mereka lebih dekat dengan perspektif ini daripada perempuan dan laki-laki kelas menengah di Utara. Namun, semua perempuan dan semua laki-laki memiliki tubuh yang secara langsung dipengaruhi oleh kerusakan sistem industri. Oleh karena itu, semua perempuan dan akhirnya juga semua laki-laki memiliki 'dasar material' yang dapat digunakan untuk menganalisis dan mengubah proses-proses ini ....

Perspektif ekofeminis mengusulkan perlunya kosmologi baru dan antropologi baru yang mengakui bahwa kehidupan di alam (termasuk manusia) dipertahankan melalui kerja sama, dan saling menjaga dan mengasihi.

Sejarah Eropa

Kapan dan mengapa hubungan yang dicatat oleh Karen Warren antara ‘dominasi perempuan dan dominasi alam’ dimulai? Silvia Federici telah memberikan jawaban historis yang paling luas untuk pertanyaan tersebut dalam bukunya Caliban and the witch: women, the body and primitive accumulation (Federici 2014 [2004]).

Istilah primitive accumulation - ‘akumulasi primitif’ - dalam subjudul buku Federici merupakan konsep kunci dalam karya Karl Marx. Istilah ini merujuk pada serangkaian prasyarat struktural bagi kemunculan kapitalisme. Istilah Jerman yang diterjemahkan ‘primitif’ sedikit menyesatkan - seharusnya ‘asli,’ yang berarti ‘pada awalnya.’ Bagaimana para kapitalis pertama ‘pada awalnya’ berhasil mengakumulasi modal yang memungkinkan mereka untuk kemudian begitu banyak memeras pekerja? Itulah pertanyaannya.

Banyak sejarawan mengira bahwa semua itu terjadi secara damai, mungkin disebabkan karena orang-orang bersikap semakin hemat dan ingin bekerja lebih keras. Namun Marx melihat fase awal ini sebagai proses yang penuh konflik dan kekerasan. Mekanisme yang paling penting adalah perampasan tanah, yang hingga saat itu digarap secara komunal oleh petani. Para elit lokal kemudian mengusir mereka dari tanahnya (dengan alasan, misalnya, karena petani tidak membayar utang), dan mencaplok (menswastanisasi) tanah tersebut hingga menjadi milik pribadi. Panennya dijual dan laba digunakan untuk membangun pabrik yang memproduksi berbagai komoditas. Mantan petani bekerja di sana sebagai buruh upahan.

Ketika tanah yang belum diswastanisasi di Eropa mulai habis, kolonialisme memungkinkan proses yang sama diulangi di luar negeri: pertama di Amerika, kemudian di Asia dan Afrika. Di setiap langkahnya, para kapitalis baru ini menghadapi perlawanan. Kaum petani dan bangsa-bangsa yang dijajah tidak mau melepaskan tanah mereka. Kaum buruh pun tidak dapat hidup dengan upah rendah yang mereka terima. Kekerasan terus-menerus diperlukan untuk mematahkan kemauan mereka dan untuk membuat mereka jera.

Federici untuk sebagian besar setuju bahwa hal ini memang terjadi, tetapi ia menambah bahwa masih ada banyak hal yang terjadi selain penciptaan upah buruh. Dari mana semua buruh ini berasal? Mereka dilahirkan oleh perempuan, yang harus dipaksa mengubah hidupnya agar mau melakukan pekerjaan reproduktif ini – dengan sukarela, tanpa dibayar! Perempuan harus dikeluarkan dari angkatan kerja upahan. Tatanan sosial patriarki harus dibangun, di mana perempuan bersedia tinggal di rumah dan melahirkan bayi. Catatan Federici menunjukkan bahwa penciptaan tatanan sosial ini juga sama sekali bukan ‘transisi’ yang damai. Hal itu sama kerasnya dengan aspek-aspek akumulasi primitif yang lebih dikenal yang disebutkan di atas.

Cerita dimulai pada Abad Pertengahan, periode panjang antara runtuhnya Kekaisaran Romawi dan Renaisans. Belum ada pembicaraan tentang kapitalisme, tetapi kondisi ekonomi sedang berubah. Praktek perbudakan Romawi secara formal telah lenyap, tetapi kehidupan para serf feodal tidak jauh lebih baik dari budak. Muncullah kondisi yang memungkinkan mereka untuk menyuarakan pendapat, dan mereka memanfaatkannya.

Seluruh Eropa beragama Kristen, tetapi ada banyak gerakan populer yang memberikan interpretasi sendiri tentang apa artinya itu. Berkali-kali mereka bangkit dan protes terhadap tuan-tuan feodal mereka, dengan mengutip ajaran agama sesuai paham mereka sendiri. Dalam bentuknya yang terbaik, gerakan-gerakan ‘sesat’ di antara para serf menempatkan dua hal di puncak utopia mereka: semua harta benda harus dimiliki bersama sehingga tak seorang pun dapat menindas orang lain, dan laki-laki dan perempuan harus memiliki status yang setara.

Kaum Katar adalah salah satu dari sejumlah gerakan yang menyuarakan kepentingan material kelas bawah dalam bahasa ideal agama. Mereka banyak terdapat di sebagian besar wilayah selatan Prancis antara abad ke-12 dan ke-14 CE. Mereka membenci semua peperangan, bahkan menolak perang salib melawan non-Kristen yang saat itu sedang berlangsung. Mereka mengaku Kristen-Katolik tetapi bersikap toleran terhadap agama lain. Orang Yahudi di mana-mana dibenci di Eropa, tetapi tidak dianiaya di antara kaum Katar. Bahkan, menurut seorang sarjana, kepercayaan Yahudi di beberapa tempat sempat menyatu dengan Katolik untuk menghasilkan aliran mistik Kabala, antara lain berkat pengaruh Katar. Mereka menolak hukuman mati, dan merupakan vegetarian yang ketat, menolak untuk membunuh hewan.

Wanita memiliki peran kepemimpinan yang relatif tinggi, yang tidak dapat mereka nikmati di tempat lain di dunia Katolik. Mereka menolak pernikahan dan menolak untuk beranak, dengan dasar bahwa dunia yang kasat mata ini adalah karya iblis. Menurut mereka, Allah yang baik hanya tinggal di surga, karena jika Dia tinggal di bumi, kebaikan akan menjadi hal yang pertama dan bukan yang terakhir. Keyakinan mereka tentang seksualitas jelas dipengaruhi oleh agama-agama Timur, tetapi juga merupakan respons terhadap kondisi material mereka yang menyedihkan. Penolakan terhadap prokreasi seksual tidak berasal dari pandangan yang merendahkan wanita, juga tidak mencerminkan penghinaan terhadap kehidupan. Sebaliknya, mereka menolak untuk memiliki anak agar tidak membawa budak-budak baru ke dalam ‘tanah kesengsaraan’ ini, seperti yang dikatakan dalam salah satu brosur mereka. Masyarakat kelas bawah mempraktekkan KB (terutama dengan menaikkan usia pernikahan), karena anak-anak mereka mungkin tidak akan bisa mendapatkan tanah atau masuk ke dalam serikat pertukangan yang melindunginya di kota.

Kaum Katar ditumpas dengan kejam dalam sebuah ‘perang salib’ yang sangat berdarah (yang ini menimpa sesama orang Kristen!). Yang melancarkannya adalah Paus Innocent III pada tahun 1209 dan penumpasan berlangsung selama dua puluh tahun.

Salah satu utopia lain pada Abad Pertengahan - yang ini merupakan produk imajinasi sastra - adalah The City of the Sun (‘Kota Matahari’). Sebuah buku dengan judul ini muncul pada tahun 1602 dari tangan seorang biarawan Dominikan yang pemberontak, Tommaso Campanella. Ia menulisnya saat berada di penjara karena dianggap sesat dan memimpin pergerakan petani Italia melawan penguasa Spanyol. Seperti yang diceritakan oleh Carolyn Merchant (1990 [orig 1980]: 83 dst), buku Campanella ini menggambarkan masyarakat ideal yang hidup selaras dengan alam. Bumi itu sendiri hidup, tulis Campanella. Ia menegaskan sebuah prinsip: ‘yaitu bahwa matahari adalah ayah dan bumi adalah ibu... Dunia ini adalah hewan besar, dan kita hidup di dalamnya seperti cacing hidup di dalam tubuh diri kita.’ Orang-orang di Kota Matahari makan dengan sehat; mereka menyesuaikan menu dengan apa yang disediakan oleh musim dan tidak lebih. Ilmu pengetahuan alam adalah bagian penting dari pendidikan setiap orang. Tata surya, penemuan-penemuan mekanik, matematika, flora dan fauna, dan masih banyak lagi dilukis di tembok-tembok kota untuk dipelajari oleh semua orang.

Semua barang, harta benda, dan pengetahuan dibagi bersama. Semua orang ikut serta dalam pekerjaan kasar untuk kebaikan bersama. Namun, mereka bekerja tidak lebih dari empat jam sehari. Sisanya digunakan untuk ‘belajar dengan gembira, berdebat, membaca, mengaji, menulis, berjalan kaki, melatih pikiran dan tubuh, dan bermain.’

Perempuan memiliki status yang lebih tinggi di Kota Matahari dibandingkan masyarakat abad ke-16 pada umumnya. Mereka diajarkan semua ilmu pengetahuan, serta strategi militer dan bagaimana menjadi pemberani dalam pertempuran. Namun, mereka diberi tugas yang tidak terlalu menuntut fisik dibanding dengan pria: menenun, memintal, menjahit, memerah susu, membuat keju, mencukur rambut, perawatan medis, dan bermusik. Keluarga tradisional ditinggalkan: sejak usia dua tahun, anak-anak ditempatkan dengan pengasuh profesional, sehingga mereka menjadi bagian dari seluruh komunitas.

Namun, Kota Matahari bukanlah demokrasi yang sempurna. Seperti di Republik Plato, kota ini diperintah oleh orang-orang terpelajar. Seorang raja filsuf yang disebut Metafisika, atau Hoh, dibantu dan dikoreksi oleh tokoh-tokoh yang disebut Kekuatan, Kebijaksanaan, dan Cinta, juga oleh beberapa hakim yang dipilih, dan oleh dewan besar berkala yang terdiri dari semua orang dewasa.

Jika saja para serf didengar saat itu, dunia mungkin akan terhindar dari kerusakan kapitalisme, dengan segala kekerasannya terhadap kaum miskin dan alam yang menyertainya. Sebaliknya, visi sosial yang jauh lebih agresif ternyata menang. Hal ini dicontohkan dalam buku Merchant melalui utopia yang lain lagi. Yang ini ditulis oleh Francis Bacon pada tahun 1624, dan berjudul New Atlantis (Merchant 1990 [orig 1980]: 172 dst). Bacon dewasa ini dikenang sebagai filsuf pertama yang memelopori ilmu pengetahuan industri. Ia juga menginspirasi terbentuknya Royal Society yang kemudian banyak mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan yang masih eksis sampai sekarang. Namun, ada unsur pemikiran dalam visi sosial Bacon yang sangat bertolak belakang dengan visi Campanella yang holistik dan egaliter.

New Atlantis mencerminkan struktur keluarga yang lebih hirarkis dan otoriter, sesuai dengan gagasan yang semakin umum di Inggris pada abad ke-17. Visi sosialnya mencerminkan kekuatan yang berkembang dari kelas menengah pedagang. Mereka adalah kapitalis awal dalam industri pakaian dan pertambangan. Komunitas utopis di pulau ‘Bensalem’ yang digambarkan oleh Bacon dipimpin oleh ‘Bapak Keluarga, yang mereka sebut Tirsan.’ Ketika memasuki sebuah ruangan, ia diikuti oleh ‘semua generasi atau garis keturunannya, para pria berbaris di depannya dan para wanita di belakang.’ Semuanya mengenakan pakaian yang sangat halus, berbeda dengan toga putih polos di City of the Sun karya Campanella. Sementara itu, ibu dari seluruh garis keturunan disembunyikan di balik dinding kaca, ‘di mana ia duduk tetapi tidak terlihat.’

Tidak ada politik di New Atlantis. Lebih tinggi dari figur Bapak Keluarga yang otoriter, berdirilah sebuah lembaga ilmuwan yang dikenal dengan nama Rumah Salomon. Hanya merekalah yang memahami rahasia Alam. Penilaian mereka tak boleh diragukan lagi. Para anggotanya disumpah untuk merahasiakan pengetahuannya. Mereka melakukan eksperimen di laboratorium rahasia mereka, di mana masalah-masalah seperti pertambangan dan logam, cuaca, tanaman dan hewan dipelajari. Prosedurnya selalu memecah masalah menjadi bagian-bagian komponennya, mengisolasi komponen tersebut dari lingkungannya, dan memecahkan setiap bagian secara independen dari yang lain. Mikroskop dan pisau bedah ahli anatomi adalah instrumen utama untuk itu. Seringkali tujuannya adalah untuk menciptakan secara sintetis organisme yang sama sekali baru. Masalah etika yang muncul dalam melakukan hal ini, seperti kebutuhan untuk memotong makhluk hidup-hidup untuk tujuan penelitian, harus dikesampingkan.

Maka, menurut Carolyn Merchant (hlm. 186):

Di New Atlantislah terdapat asal-usul intelektual dari lingkungan terencana modern yang diprakarsai oleh gerakan teknokratis pada akhir tahun 1920-an dan 1930-an. Gerakan tersebut membayangkan lingkungan yang sepenuhnya artifisial, murni diciptakan oleh dan untuk manusia. Biasanya hal teknokratis semacam ini dirancang melalui gaya pemecahan masalah secara mekanistik, yang kurang memperhatikan keseluruhan ekosistem di mana manusia hanyalah salah satu bagiannya. Sebagai antitesis dari pemikiran holistik, mekanisme mengabaikan konsekuensi lingkungan dari produk sintetis dan konsekuensi manusia dari lingkungan buatan. Tampaknya penciptaan produk buatan adalah salah satu hasil dari dorongan Francis Bacon untuk mengendalikan dan menguasai alam...

Kekerasan dunia teknokratis ini menjadi jelas dalam bahasa kekuasaan yang digunakan Bacon untuk menggambarkannya. Orang yang mempelajari sains tidak boleh berpikir bahwa ‘penyelidikan terhadap alam boleh dihalangi atau dilarang,’ tulisnya. Alam harus ‘diikat untuk melayani’ dan dijadikan ‘budak,’ dikekang dan ‘dibentuk’ oleh seni mekanik (Merchant, hlm. 169). Memang, metafora Bacon untuk karya ilmiah seringkali diambil dari bahasa kekuasaan laki-laki atas perempuan. Dalam karya lainnya, berjudul The Masculine Birth of Time, Bacon menulis sebagai berikut: ‘Aku sungguh-sungguh datang, menuntun alam semesta padamu, bersama dengan semua anak-anaknya, untuk mengikatnya pada pelayananmu dan menjadikannya budakmu’ (Merchant hal 170).

Bahasa Bacon mencerminkan kekerasan yang sebenarnya terjadi pada periode yang sama terhadap ribuan wanita melalui pengadilan penyihir (witches trials). Bacon menjabat sebagai jaksa agung untuk Raja James I, yang mendukung berdirinya peradilan tersebut. Surat-menyuratnya menunjukkan bahwa Bacon menyetujuinya juga. Federici menyimpulkan (hlm. 208): 'Selama tiga abad, sekitar 200.000 perempuan dituduh melakukan sihir, dan sebagian dari mereka dibunuh.... setidaknya 100.000 perempuan dibunuh, tetapi ... mereka yang lolos "hancur seumur hidup", sebab sekali dituduh, "kecurigaan dan niat buruk membuntuti mereka sampai ke kuburan".'

Baik Merchant maupun Federici menunjukkan dengan meyakinkan bahwa sejarah pembakaran penyihir secara hidup-hidup tidak dapat dipisahkan dari upaya yang disengaja, terutama pada abad ke-17, untuk mengubah masyarakat Eropa secara radikal agar dapat menerima kapitalisme tahap awal. Penganiayaan terhadap perempuan penyihir mencapai puncaknya antara tahun 1580 dan 1630. Ini menandai periode yang dimulai dengan para petani di Eropa yang menyuarakan protes terkuat terhadap feodalisme, dan berakhir dengan penaklukan mereka sekali lagi, kali ini di bawah kaki para kapitalis awal. Penganiayaan tersebut bertepatan dengan berlanjutnya pemagaran (swastanisasi) tanah yang sebelumnya menjadi milik bersama. Di Inggris, penganiayaan terhadap perempuan penyihir itu hanya terjadi di lokasi di mana tanah benar-benar dirampas dari para petani; di tempat yang tidak, tidak ada sama sekali (Federici, hal. 171). Ini juga merupakan masa ketika Amerika pertama kali dijajah, dan perdagangan budak dimulai.

Berbagai aturan hukum sebelum tahun 1580 - oleh paus dan parlemen - telah menetapkan hukuman mati bagi pelaku sihir. Hingga saat itu, hal ini belum dianggap sebagai kejahatan. Hukum baru membuatnya kejahatan. Penganiayaan mengikuti pola yang sebelumnya dilakukan terhadap kaum Katar, yang (seperti sudah kita lihat di atas) juga menolak pandangan Gereja yang merendahkan perempuan. Namun, ketika para penganut ajaran ‘sesat’ sebelumnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, para penyihir segera menjadi eksklusif perempuan. Organisasi-organisasi didirikan untuk melakukan pekerjaan kotor; dana dialokasikan. Seniman seperti Hans Baldung direkrut untuk menjelek-jelekkan para penyihir secara grafis. Dakwaan Federici yang tajam (hal 168) berbunyi: ‘Para hakim, pengacara, negarawan, filsuf, ilmuwan, teolog, semuanya menjadi sibuk dengan 'masalah' ini, menulis pamflet dan demonologi, setuju bahwa ini adalah kejahatan yang paling keji, dan menyerukan hukuman.’

Sebagian besar tertuduh adalah perempuan miskin, sementara penuduhnya adalah majikan atau tuan tanah yang kaya. ‘Kaum yang lebih baik’ pada saat itu sangat mengkhawatirkan terjadinya pemberontakan kelas bawah. Banyak pemberontakan semacam itu memang terjadi tidak lama sebelumnya, hingga masih segar dalam ingatan orang. Beberapa di antaranya dipimpin oleh wanita, yang putus asa bagaimana dia bisa memastikan masa depan keluarganya yang miskin. ‘Kita dapat membayangkan,’ tulis Federici (hlm. 176), ‘bahwa pekerjaan represi yang ganas yang dilakukan oleh para pangeran Jerman [terhadap Pemberontakan Petani tahun 1524-1525], di mana ratusan dan ribuan petani telah disalib, dipenggal, dibakar hidup-hidup, bahwa itu semua mengendapkan kebencian yang tak terpadamkan, rencana balas dendam, terutama di kalangan perempuan yang lebih tua, yang telah melihat dan mengingatnya, dan kemungkinan besar akan membuat permusuhan mereka diketahui dengan berbagai cara kepada para elit lokal. Penganiayaan terhadap para penyihir tumbuh dalam suasana seperti ini. Itu adalah perang kelas yang dilakukan dengan cara lain.’

Sambil menjadikan wanita mereka sebagai sasaran dengan cara genosida ini, maka kekuatan gabungan gereja, ningrat, dan kaum borjuis yang sedang naik daun pada akhirnya berhasil mematahkan semangat kaum tani. Mereka meninggalkan praktek-praktek sosial dan keagamaan yang ‘takhayul,’ yang dianggap tidak sesuai dengan kapitalisme. Para pria menjadi pekerja upahan yang disiplin, sementara wanita tinggal di rumah dan melahirkan anak-anak untuk mereka. Federici yakin bahwa motivasi pembakaran penyihir adalah untuk memastikan reproduksi tenaga kerja yang patuh oleh para perempuan, di mana mereka tidak lagi mengendalikan tubuh mereka sendiri dengan praktek pengendalian kelahiran tradisional.

Dunia Selatan

‘Transisi’ menuju kapitalisme (diberi tanda kutip karena kata ini terdengar lebih mulus daripada kenyataannya) juga terjadi di Amerika (Federici Bab 5). Kekerasan juga menimpa perempuan di sana. Motivasinya sama, menurut Federici, yaitu: untuk mematahkan perlawanan sosial masyarakat pribumi, hingga akhirnya mereka dapat dijadikan tenaga kerja tak bertanah – buruh yang murah atau sama sekali tak dibayar - dalam proyek kapitalis kolonial.

Para pelancong Eropa pertama yang tiba di Dunia Baru seringkali menyukai apa yang mereka lihat. Masyarakat setempat tampak seperti baru saja keluar dari Zaman Keemasan - mereka polos, murah hati, dan menjalani kehidupan yang ‘bebas dari kerja keras dan kesewenang-wenangan.’ Perburuan penyihir di Eropa belum dimulai. Namun, persepsi positif ini mulai berubah setelah Spanyol memutuskan bahwa Amerika adalah wilayah yang masih perawan dan siap untuk dieksploitasi. Mereka menemukan kekayaan peraknya, dan berpikir bahwa mereka dapat meminta penduduk setempat untuk menggalinya dengan harga murah. Masyarakat pertama yang mereka temui - suku Aztek dan suku Inka - bersifat otoritarian dan mempraktekkan pengorbanan manusia. Masyarakatnya terbiasa membayar upeti. Namun, upeti yang diminta Spanyol jauh lebih berat, dan perlawanan pun tumbuh.

Untuk menghadapi perlawanan ini, Spanyol melancarkan sebuah operasi ideologi yang menggambarkan penduduk asli Amerika sebagai penyembah setan yang kotor, yang mempraktekkan sodomi, kanibalisme, dan inses. Di Meksiko pada tahun 1562, para Conquistador melancarkan kampanye anti penyembahan berhala. Lebih dari 4.500 orang disiksa secara brutal karena mempraktekkan pengorbanan manusia.

Di Peru, sebuah gerakan perlawanan penduduk asli muncul yang disebut Taquiontos, yang menyerukan penyatuan dewa-dewa lokal dan penolakan terhadap agama Kristen. Gerakan ini menolak membayar upeti dan wajib militer. Dewa-dewi setempat adalah nenek moyang, yang diwujudkan dalam gunung, mata air, batu, dan hewan. Mereka berada di pusat praktek pertanian. Wanita memainkan peran penting dalam ritual animisme yang terkait dengan pertanian. Banyak dari dewa-dewi lokal adalah perempuan.

Spanyol merespons antara tahun 1619 dan 1660 dengan menyerang dewa-dewi setempat. Mereka memandang para wanita sebagai pihak yang paling terlibat dalam perlawanan Taquiontos. Orang Spanyol menggambarkan mereka sebagai penganut agama lama dan pilar perlawanan anti-kolonial. Tuduhan sihir membuat Spanyol mempermalukan para wanita dengan memamerkan mereka di sebuah pawai publik yang merendahkan martabat. Sandiwara perburuan penyihir ini mungkin mempengaruhi pengadilan penyihir yang kemudian berkembang di Eropa. Namun di Amerika, sebelum invasi Spanyol, tidak pernah ada konsep Iblis, sehingga semuanya tetap menjadi sumber teror yang misterius bagi mereka.

Pada abad ke-18, Inkuisisi Spanyol memutuskan bahwa efek yang diinginkan telah tercapai, dan mereka menghentikan upaya untuk mempengaruhi praktek keagamaan pribumi di Amerika. Namun, tuduhan penyembahan setan kini cenderung berpindah ke populasi subaltern lainnya. Bukti yang diajukan pada pengadilan penyihir Salem pada akhir abad ke-17 penuh dengan fobia terhadap orang Indian asli Amerika. Tuduhan penyembahan setan muncul kembali dalam pengadilan wanita kulit hitam yang diperbudak di Karibia pada abad ke-19. Pada saat itu, perluasan kapitalisme, Kristen, dan kolonialisme yang saling terkait telah tertanam begitu dalam di tubuh orang-orang yang dijajah sehingga orang mulai menganiaya anggota mereka sendiri dengan tuduhan tersebut.

Konsekuensi praktis bagi masyarakat yang telah berubah radikal ini adalah bahwa produksi sehari-hari di mana-mana semakin dibajak oleh kekuatan kapitalis yang baru muncul. Hal ini telah didokumentasikan dengan baik di seluruh Dunia Selatan. Buku Barbara Watson Andaya berjudul The flaming womb: Repositioning women in early modern Southeast Asia (2006: Bab 4) menggambarkan bagaimana perempuan menjadi semakin terpinggirkan di bidang produksi sehari-hari seiring dengan menguatnya ekonomi uang tunai kolonial.

Alasan utama bagi kehadiran bangsa Eropa adalah untuk mendorong perluasan besar-besaran perdagangan internasional. Hingga saat itu, sebagian besar barang diperdagangkan secara lokal di pasar-pasar, yang didominasi oleh kaum perempuan. Hal itu terus berlanjut dan tetap berlaku hingga kini. Namun, yang baru adalah pertumbuhan besar dalam perdagangan jarak jauh melalui kapal mulai abad ke-16. Hasil bumi dikapalkan keluar, barang konsumen murah dibawa masuk. Perdagangan jarak jauh itu menarik bagi kaum laki-laki, yang semakin meninggalkan keluarga mereka untuk bekerja di pelabuhan yang jauh dan di atas kapal. Sementara itu, aktivitas ekonomis kaum perempuan tetap terbatas pada pasar-pasar lokal.

‘Nilai’ komoditas juga berubah. Dewasa ini, tekstil adalah komoditas yang memiliki label harga. Ia memiliki ‘nilai tukar.’ Namun secara tradisional, yang jauh lebih penting adalah ‘nilai guna.’ Dibuat oleh perempuan, tekstil memainkan peran kunci dalam kehidupan ritual masyarakat Asia Tenggara (Watson Andaya hlm. 116):

Peran sentral tekstil tidak semata-mata bersifat ekonomis. Kain juga memainkan peran dalam kehidupan ritual sebagian besar masyarakat Asia Tenggara. Jauh sebelum alat tenun memasuki wilayah tersebut, alat untuk memukul kulit kayu agar menjadi kain kulit kayu (bark-cloth beater) dikuburkan bersama para wanita di situs-situs makam kuno.... Kain yang diproduksi dalam situasi yang tepat, yang memadukan warna dan pola tertentu, dapat melindungi seseorang dalam pertempuran, membantunya dalam perburuan, menanamkan rasa takut pada musuh-musuhnya, dan bahkan merangsangnya untuk mau berperang. Dipenuhi dengan kekuatan penyembuhan dan regenerasi yang kuat, tekstil membungkus bayi yang baru lahir dan menyelubungi orang yang sudah meninggal.

Hal yang sama juga berlaku untuk tembikar tanah liat, yang secara tradisional juga dikaitkan dengan wanita (hlm. 113-114) (dan lihat Figure 1 di bagian atas bab ini). Nilai tukarnya kecil, tetapi tembikar yang bagus memiliki nilai guna yang tinggi. Hiasannya indah. Bentuknya yang seperti rahim dan isinya berupa makanan dan minuman yang menyehatkan membuat gerabah tersebut dikaitkan dengan keibuan. Pot sejenis dapat digunakan untuk menyimpan tali pusar seseorang, atau untuk menyimpan abu orang tua.

Pergeseran dari ‘nilai guna,’ sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang murah hati, ke ‘nilai tukar,’ bagian dari lingkup pertukaran ekonomi yang jauh lebih terbatas, disebut komodifikasi. Ini adalah salah satu tanda terpenting dari transisi menuju kapitalisme. Komodifikasi secara historis cenderung menguntungkan pekerjaan laki-laki, karena seringkali melibatkan mekanisasi dan perjalanan jauh. Sebetulnya, perempuan terus menenun tekstil sebagai pekerjaan rumah tangga di Asia Tenggara, dan mereka bahkan melakukannya setelah pabrik tekstil besar muncul. Tetapi itu karena tenaga kerja perempuan jauh lebih murah daripada tenaga kerja laki-laki.

Aspek komodifikasi yang lebih merasuk lagi menyangkut tugas-tugas ketetanggaan yang dulunya dilakukan oleh perempuan – ‘menyusui bayi, bertindak sebagai perantara dalam negosiasi pernikahan, atau berjaga di pemakaman.’ Secara tradisional, layanan-layanan ini dibalas dengan hadiah yang mencerminkan sifat pribadi dan manusiawi dari pekerjaan ini. Namun, karena layanan-layanan ini semakin menarik ‘upah,’ tugas yang intim semacam inipun diambil alih oleh para profesional pria. Hal yang sama berlaku untuk praktek penyembuhan, yang dulu hampir secara universal merupakan wilayah perempuan. Bidang ini semakin diambil alih oleh para profesional pria, yang dianggap sebagai ahli bahkan dalam ‘penyakit-penyakit perempuan.’

Perspektif subsisten

Mies dan Shiva menyebut alternatif ekofeminis yang positif yang mereka tawari sebagai ‘perspektif subsisten.’ Menurut mereka, tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari model ‘kapitalisme-patriarki’ yang berlaku saat ini dan yang ditawarkan kepada negara-negara berkembang oleh dunia industri. Sebaliknya, orang di Dunia Selatan sedang mencari sebuah masyarakat yang sehat secara ekologis, tidak eksploitatif, adil, tidak patriarkis, dan mandiri. Visinya adalah gerakan akar rumput yang dijalankan oleh orang-orang yang menolak untuk diasingkan dari dunia alami. Mies dan Shiva menyatakannya seperti ini:

Konsep ini pertama kali dikembangkan untuk menganalisis pekerjaan tersembunyi, tidak dibayar, atau dibayar rendah, dari ibu rumah tangga, petani subsisten, dan produsen kecil di sektor informal, khususnya di Dunia Selatan. Kami mula-mula memandang sektor informal ini sebagai landasan dan fondasi bagi model patriarki kapitalis yang mengidamkan pertumbuhan barang dan uang tanpa batas. [Tetapi,] pekerjaan subsisten sebagai pekerjaan yang menghasilkan dan melestarikan kehidupan dalam seluruh jaring produksi ini merupakan prasyarat yang diperlukan untuk bertahan hidup; dan sebagian besar pekerjaan ini dilakukan oleh perempuan.

Perspektif subsisten tidak mentoleransi pembajakan terhadap perempuan, alam, dan negeri jajahan untuk proyek kapitalis yang pada akhirnya merusak. Perspektif ini senantiasa dekat dengan jaringan kehidupan yang menyediakan hidup baik bagi semua.

Contoh ikonik disediakan oleh gerakan Chipko di India, gerakan ‘perangkul pohon’ yang sebagian besar beranggotakan perempuan. Chipko menjadi terkenal secara nasional pada akhir tahun 1970-an, ketika mereka berhasil menghentikan penebangan pohon, melindungi hutan mereka, dan akhirnya memenangkan moratorium eksploitasi hutan selama 15 tahun dari Perdana Menteri Indira Gandhi (Shiva 1991). Film A Fierce Green Fire (Kitchell 2012) menceritakan bagaimana mereka menawarkan makanan kepada regu penebang pohon, dan kemudian membujuk mereka untuk tidak meneruskan serangan mereka terhadap blokade perempuan.

Gerakan ini adalah turunan langsung dari perlawanan Satyagraha yang didirikan oleh Mahatma Gandhi beserta pengikutnya sekedar memperjuangkan kemerdekaan. Dua pelopornya adalah perempuan Eropa, yang menetap di Pegunungan Himalaya dan memakai nama Mirabehn dan Sarla Behn. Yang ketiga adalah penulis dan aktivis muda anti-monarki, Sri Dev Suman. Mereka menganut cita-cita kembar Gandhi, yaitu keadilan sosial dan stabilitas ekologi.

Wacana mainstream saat itu menggambarkan perjuangan mereka sebagai satu pihak dalam sebuah kontestasi yang berusaha menemukan ‘keseimbangan’ antara ‘pembangunan’ dan ‘pelestarian.’ Namun, anggota Chipko menyadari bahwa penggundulan hutan yang mereka lawan tidak mendatangkan kemakmuran. Justru sebaliknya. Mata pencaharian manusia setempat sebenarnya menurun karena penggundulan hutan merusak tanah dan air. Daripada pertentangan antara pembangunan dan pelestarian, pertentangan yang sebenarnya berlangsung antara pembangunan yang sehat secara ekologis dan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkelanjutan dan merusak ekologi. Para ilmuwan yang mendukung program kehutanan yang didukung pemerintah awalnya tidak ingin melihat ini. Gerakan Chipko membuktikan kebenarannya, tak beda dengan apa yang (pada waktu hampir bersamaan!) sedang dilakukan Lois Gibbs dan kawan-kawannya di Love Canal. Pada puncak perjuangan Chipko tahun 1977, mereka menarik perhatian publik terhadap ilmu ekologi dengan slogan mereka: ‘Apa yang dihasilkan hutan? Tanah, air, dan udara bersih.’ Ini merupakan balasan mereka terhadap slogan berbasis sains (sains yang berat sebelah), yang diterima secara luas saat itu: ‘Apa yang dihasilkan hutan? Untung dari getah dan kayu.’

Perspektif subsisten tentu saja dapat juga dipraktekkan di lingkungan perkotaan modern, seperti yang ditunjukkan oleh gerakan Kota Hijau di seluruh dunia.

Mies and Shiva menutup studi mereka dengan kalimat ini, yang secara tepat kita kutip kembali untuk menutup bab dewasa ini:

Perempuan dan anak-anak merupakan korban utama dari perang melawan alam ini, tetapi juga … perempuan adalah pihak yang paling aktif, paling kreatif, dan paling peduli serta berkomitmen dalam gerakan pelestarian dan perlindungan alam serta penyembuhan kerusakan yang telah terjadi padanya.

Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.

(Modifikasi terakhir: 11/12/2024)

Acuan

Federici, Silvia. 2014 [2004]. Caliban and the witch: women, the body and primitive accumulation. 2 ed. Brooklyn, NY: Autonomedia.

Figueroa, Robert, and Claudia Mills. 2001. ‘Environmental justice.’ In A Companion to Environmental Philosophy, edited by Dale Jamieson, 426-438. Malden, MA: Blackwell.

Kitchell, Mark. 2012. A fierce green fire: the battle for a living planet.

Limbach, Kayleigh. 2020. ‘Revolutionary Environmental Activism: Rachel Carson, Wangari Maathai, and Greta Thunberg.’ Historical Perspectives: Santa Clara University Undergraduate Journal of History 25 (13).

Merchant, Carolyn. 1990 [orig 1980]. The death of nature: women, ecology, and the scientific revolution. 2 ed. San Francisco: Harper & Row.

Mies, Maria, and Vandana Shiva. 2014 [1993]. Ecofeminism. London: Zed Books.

Plumwood, Val. 1993. Feminism and the mastery of nature. London: Routledge.

Redekop, Benjamin W. 2024. ‘A new era of sustainable leadership: women leading from the grassroots.’ In Environmentally sustainable leadership: past, present, and future, 81–106. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing.

Salleh, Ariel. 1984. ‘Deeper than deep ecology: the eco-feminist connection.’ Environmental Ethics 6:339–345.

Shiva, Vandana. 1991. ‘The Chipko movement.’ In Ecology and the Politics of Survival: Conflicts Over Natural Resources in India, edited by Vandana Shiva. United Nations University Press. Sage Publications.

Skrbina, David. 2013. ‘Ethics, eco-philosophy, and universal sympathy.’ Dialogue and Universalism 23 (4):59–74.

Warren, Karen J. 1997. ‘The power and promise of ecological feminism.’ In Environmental philosophy: from animal rights to radical ecology, edited by Michael Zimmerman, J. Baird Callicott, George Sessions, Karren J. Warren and John Clark, 325−344. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Watson Andaya, Barbara. 2006. The flaming womb: Repositioning women in early modern Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai'i Press.

Download dan baca pdf artikel ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis