Oct 08, 2024 Last Updated 4:30 AM, Oct 7, 2024

Menyeimbangkan resiko

Published: May 20, 2024

Hafiz Awlia Ramadhan

Read English version

Pada suatu pagi di bulan September tahun 2023, sarapan pagi saya yang damai dan indah tiba-tiba terusik dengan kehebohan berita penangkapan salah satu warga yang diduga menjadi pelaku pembakaran hutan. Beberapa hari kemudian saya menemui Kapolsek Mendawai yang menyampaikan kepada sata bahwa pelaku pembakaran tersebut ditemukan oleh tim patroli disekitar sebuah lokasi yang baru saja terbakar. Tim kemudian bergerak cepat menyusuri rawa gambut dan berhasil menangkap satu orang pelaku sementara lima orang pelaku lainnya berhasil melarikan diri. Malam hari setelah peristiwa penangkapan ini, keluarga dari tersangka kemudian mendatangi kantor polisi sektor Mendawai untuk penyelesaian kasus secara kekeluargaan saja. Namun Kapolsek Mendawai bersikukuh bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikan perkara kasus ini sebab kebakaran hutan telah menjadi prioritas penanganan utama dari pemerintah pusat

Aktivitas patroli di Kecamatan Mendawai akan semakin meningkat saat memasuki musim kemarau. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah aktivitas ilegal di areal rawan terbakar dan juga untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait aturan larangan membakar. Aparat penegak hukum akan memasang spanduk, sosialisasi tiap rumah, dan membuat konten himbauan pada kanal media sosial masing-masing. Kegiatan ini secara rutin dilakukan dengan memberikan materi bahaya kebakaran hutan serta ancaman pidananya, pihak berwenang berharap masyarakat setempat akan menghindari dan takut menggunakan api sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Saya berkesempatan untuk mengunjungi Kecamatan Mendawai pada bulan Agustus hingga November 2023, untuk mendokumentasikan kisah mengenai kebakaran hutan dan lahan. Pada awal kunjungan tersebut, berita penangkapan warga sempat menjadi topik pembicaraan “viral” selama beberapa hari. Namun saya kembali bertanya-tanya, apakah dengan penangkapan, pemasangan spanduk, dan hilangnya penggunaan api pada pertanian, merupakan sebuah indikator kesuksesan. Apakah kemudian rasa takut menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan kebakaran hutan? Untuk menjawab pertanyaan ini penting untuk memahami kompleksitas antara kesadaran lingkungan dan pemenuhan ekonomi masyarakat lokal

Selama berabad-abad komunitas Dayak lokal menggunakan api dalam kegiatan pertanian. Api digunakan untuk membersihkan semak belukar di lahan yang akan digunakan untuk bertani, metode ini lebih efisien secara waku dan biaya. Abu sisa membakar semak belukar tersebut dipercaya dapat membantu untuk menyuburkan tanah dan juga mengusir potensi hama. Ketika waktu membakar ladang telah tiba yang diketahui dari hasil pengamatan tanda alam seperti perubahan arah angin dan tanda lainnya, komunitas lokal akan bekerja sama untuk menjaga api dan mengamati arah angin agar api pembakaran ladang ini tetap terkontrol dan tidak berubah menjadi kebakaran hutan dan lahan. Barulah setelah bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, penggunaan api untuk pertanian mengalami penurunan yang signifikan dengan semakin ketatnya penagakan hukum oleh aparat.

Siapa yang disalahkan

Kebakaran hutan dan lahan menjadi masalah langganan untuk Indonesia, terutama pada saat musim kemarau akibat dampak dari siklus El Nino. Masalah ini kemudian turut dirasakan oleh Malaysia dan Singapura yang kemudian mengeluarkan peringatan bahaya kesehatan. Bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 memicu peningkatan larangan penggunaan api bagi masyarakat. Beragam regulasi dikeluarkan untuk mengontrol dan membatasi para petani lokal yang selalu menjadi.

Spanduk-spanduk menampilakan konsekuensi dari kegiatan membakar/Hafiz Awlia Ramadhan

‘Katakan Tidak!!! Membakar Hutan dan Lahan’ merupakan salah satu isi tulisan spanduk yang dipasang di desa dan pinggir jalan. Spanduk/baliho ini juga menampilakan konsekuensi dari kegiatan membakar, seperti ancaman kurungan 15 tahun dan denda yang sangat besar. Hal ini sangat membekas pikiran masyakat lokal “Yaiyalah kami takut. Mau dapat uang darimana Rp 15 M untuk bayar denda?”

Masyarakat Dayak telah menggunakan api untuk kepentingan pertanian secara turun temurun. Akibat dari perubahan kepentingan yang berkaitan dengan api, masyarakat Dayak kemudian menjadi kambing hitam terhadap kegagalan beberapa program pengentasan kebakaran hutan dan lahan. Salah satunya kemudian adalah menyalahkan mereka terhadap gagalnya program 'tanam tanpa bakar, tanpa kimia'. Muncul anggapan tidak hanya oleh pemerintah namun juga dari komunitas masyarakat lain yang menyebutkan bahwa 'orang sini susah berkembangnya, tidak mau usaha' sebagai sebuah stigma terhadap komunitas Dayak yang disangkakan lambat beradaptasi terhadap perubahan zaman dan aturan. Pemahaman ini tentu saja sangat menyudutkan dan menghilangkan konteks yang lebih luas mengenai kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh kelompok masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan hidup harian mereka

Memaksakan kesadaran lingkungan

Sebelum bencana kebakaran hutan pada tahun 2015, sebenarnya telah banyak usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk menekan penggunaan api pada pertanian. Salah satu usaha yang dilakukan adalah membatasi akses masyarakat ke kawasan gambut dan hutan dengan peresmian kawasan Taman Nasional Sebangau pada tahun 2004 untuk melindungi kawasan hutan tersebut dari akses masyarakat dan tentu dari api itu sendiri. Inisiatif lainnya adalah melibatkan bekas pekerja kayu untuk bekerja sama menjaga kawasan hutan dan lahan. Contoh lainnya yang kemudian muncul belakangan dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta, seperti PT RMU (Rimba Makmur Utama), WWF, BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) yang memberikan program pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesadaran lingkungan dan mencegah mereka menggunakan api dan bahan kimia dalam aktivitas pertanian. Namun, usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak ini terlalu kecil dampaknya dan menjadi tidak berguna ketika musim kemarau panjang datang yang kemudian disertai dengan ancaman kebakaran hutan yang hebat.

Setelah tahun 2015, aparat penegak hukum di Mendawai menjadi lebih aktif dan ada beberapa penambahan personil untuk membantu menangani kasus KARHUTLA. Tidak lama setelahnya, muncul berbagai berita penangkapan masyarakat yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan. Pada periode yang sama pula spanduk, baliho, dan sosialisasi terkait KARHUTLA dilakukan. Salah satu Kepala Desa di Kecamatan Mendawai menyampaikan saat ini para Kepala Desa sudah menjadi agenda khusus dipanggil dan dimintai keterangan oleh aparat penegak hukum selama musim kemarau. Hal ini kemudian memberikan tekanan kepada masyarakat lainnya yang ingin mengolah atau sekedar mengunjungi lahannya, sebab takut akan dicurigai sebagai pelaku pembakaran jika terjadi kebakaran saat dirinya berada di ladang.

Bagi masyarakat Mendawai, perhatian utama bukanlah mengenai kepatuhan hukum semata namun kemudian apa hal yang mampu mensejahterakan mereka ketika kepatuhan hukum ini telah dilaksanakan. Kawasan ekologis sekitar desa telah lama dipandang memiliki potensi perekonomian untuk dikembangkan. Semenjak aturan larangan membakar diterapkan, usaha untuk memanfaatkan potensi kawasan lingkungan ini menjadi terkendala. Menurut masyarakat setempat, seluruh program seperti taman nasional atau tanam tanpa bakar tanpa kimia tidak pernah memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian mereka. Sebaliknya, inisiatif program konservasi ini dianggap sebagai hambatan pembangunan kawasan desa dan membuat pengeluaran hidup menjadi bertambah.

Hambatan pasca kerja kayu

Pada tahun 2003-2004 perusahaan kayu yang beroperasi di kawasan ini mulai mengalami penurunan hasil hingga pada akhirnya dihentikan paksa operasimya. Selama 30 tahun sebelumnya, industri kayu merupakan penghasilan utama bagi masyarakat yang berada di Kecamatan Mendawai. Potensi kayu yang luar biasa ini bahkan menarik perhatian masyarakat yang berada di pulau lain untuk mencoba peruntungan di industri ini. Salah satu bekas pekerja kayu menyebutkan dalam satu hari mampu mendapatkan penghasilan sekitar Rp 1 juta pada tahun 90an, jumlah yang hanya akan didapatkan oleh petani ketika dirinya telah bekerja dalam satu siklus tanam (4-6 bulan). Sektor pertanian pada periode ini lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang tua yang tidak memiliki kemampuan fisik untuk bekerja di industri kayu.

Setelah mulai menghilangnya industri kayu ini, beberapa yang kemudian menetap di kawasan Mendawai mulai mencoba peruntungan lain dengan menanam karet, namun harga karet pun mulai tidak stabil dan tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga penduduk. Akibat dari krisis ekonomi 1998 harga kebutuhan hidup masyarakat mengalami peningkatan dan hal ini merupakan tekanan yang besar bagi petani kecil. Akhirnya pemasukan dan pengeluaran yang semakin tidak seimbang membuat mereka meninggalkan sektor pertanian dan mencoba mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih stabil, seperti bekerja di kebun kelapa sawit milik perusahaan

Sebagian lainnya bahkan memanfaatkan jalan tikus dalam pemenuhan kebutuhan hidup hariannya. Aturan penangkapan yang mengharuskan terduga tertangkap tangan sedang membakar, membuat aparat kepolisian tidak bisa sembarangan menangkap orang, beberapa nelayan atau petani kemudian akan membakar rumput kering dan kabur meinggalkan lokasi, aktivitas tabrak lari ini lah yang menurut polisi dan masyarakat setempat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan tidak bisa dikontrol

Menguji api

Bagi masyarakat Mendawai, stabilitas ekonomi dan kepatuhan hukum adalah dua hal yang terpisah. Penggunaan api dalam urusan ekonomi sebagai jalan terakhir tidak bisa dipandang sebagai sebuah tindakan melawan hukum. Pada sebuah kesempatan saya mengunjungi sebuah tongkrongan bapak-bapak bermain domino. Bapak-bapak ini adalah anggota kelompok pemadam kebakaran hutan dan lahan, Namun tidak satu-pun terlihat kekhawatiran atau terusik dengan fakta bahwa di desa sebelah sedang terjadi kebakaran hutan. Tentu saya berpikiran akan ada sebuah kecemasan yang dimunculkan, namun sepertinya bagi bapak-bapak ini tidak ada yang spesial dari kejadian tersebut. Selama api masih belum menjalar ke desa mereka, sepertinya hidup akan berjalan dengan apa adanya saja.

Perusahaan kayu terakhir yang tersisa beroperasi di Mendawai/Hafiz Awlia Ramadhan

Saya berdiskusi dengan Pak Dublin (nama samaran, petani lokal) yang sangat aktif dalam memberikan pemberdayaan kepada masyarakat sekitar tentang penggunaan racun rumput dibanding api untuk aktivitas pertanian. Beliau menyampaikan masyarakat lokal tidak begitu tertarik dengan metode pertanian tanpa bakar sebab lebih mahal dibanding cara tradisional. Selain itu juga tidak ada bantuan yang berarti dari pemerintah kepada para petani lokal agar aktivitas pertanian ini dapat berjalan secara mandiri dengan memberikan bantuan alat yang seperti traktor. Bantuan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengolah lahan yang tidak subur menjadi lebih produktif, yang membutuhkan pengolahan selama dua tahun sebelum bisa menghasilkan hasil panen yang layak. Larangan penggunaan api pada sektor pertanian ini tidak memberikan solusi yang menguntungkan semua pihak terutama bagi petani lokal yang sangat terdampak ekonomi rumah tangganya. Jika sebelum adanya aturan larangan membakar ini masyarakat mampu bertahan tidak membeli beras dengan mengandalkan hasil panen lahan pribadi, saat ini semua warga membeli beras untuk konsumsi harian. Bagi masyarakat Mendawai yang semakin terpojok, kondisi ini semakin menambah frustasi. Sebagai seorang petani Pak Dublin (nama samaran) memberitahu saya 'Saya akan mulai menggunakan api lagi tahun depan waktu musim kemarau. Saya mau coba tes mereka polisi itu sampai sejauh mana mereka mau mengurusi api. Kita lihat bagaimana reaksi mereka.'

Hafiz Awlia Ramadhan (H.Ramadhan@cifor-icraf.org) telah bekerja sebagai peneliti lepas selama 10 tahun dengan fokus utama penelitian meliputi isu livelihood, perhutanan sosial, dan hubungan antar aktor. Saat ini dirinya bekerja di CIFOR-ICRAF Indonesia sebagai Asisten Peneliti untuk Proyek Kelola. 

Inside Indonesia 156: Apr-Jun 2024

Latest Articles

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Strong ties

Sep 02, 2024 - RIKA FEBRIANI

Tradition helps Minangkabau protect the land from foreign investors

Essay: The life of H.W. Emanuels (1916-1966)

Aug 14, 2024 - RON WITTON

More than six decades after being inspired as an undergraduate in Sydney, Ron Witton retraces his Indonesian language teacher's journey back to Suriname

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.