Warga negara pedesaan Trenggalek ingin mempertahankan sumber air bening di atas gunung
Yayum Kumai
Suhu udara melesat turun seiring dengan jalan yang semakin menanjak. Udara pun terasa semakin segar dan bising lalu lintas tergantikan dengan suara angin gunung yang menggesek pepohonan dan suara jangkrik-jangkrik. Kendaraan kami bergerak di antara pepohonan kayu besar menuju ke salah satu titik tertinggi Trenggalek yaitu, Gunung Semungklung.
Ketenangan dan keasrian lingkungan hutan menjadi lengkap dengan sajian kopi hasil produksi dari tanah ini. Ditambah lagi, sambutan ramah penduduknya semakin menambah syahdu siang itu yang sama sekali tidak terasa panas.
Sebagian dari kawasan dataran tinggi Gunung Semungklung dan pegunungan lain di sekitarnya masuk ke dalam area administratif Desa Sumberbening. Desa ini pulalah yang menjadi rumah mata-mata air untuk mengaliri desa-desa lain di bawahnya, bahkan ketika musim kemarau datang. Sumber Bening bisa diartikan secara harfiah: Source of clear water.
Keberhasilan warga Sumberbening menjaga mata air dan lingkungan hutannya diganjar penghargaan Program Kampung Iklim (ProKlim) pada 2022. Program Kampung Iklim adalah program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis komunitas dari Kementerian Lingkungan Hidup. Pengembangan inisiatif konservasi ini terus berlanjut sampai hari ini melalui aksi-aksinya nyata, seperti pengelolaan pertanian ramah lingkungan dan pengolahan sampah untuk kelestarian mata air. Seorang aktivis iklim perempuan dari Sumberbening, Ani, menyampaikan kepada kami alasan kuat keterlibatannya dalam Proklim dan penolakan tambang. Ani hanya ingin lingkungan daerahnya lestari tanpa ada penambangan karena sudah nyaman hidup di desanya, ‘Urip neng kene enak, makanan enak, ayem!’
Kawasan hutan lindung Desa Sumberbening juga menjadi rumah bagi beragam biodiversitas hutan hujan tropis. Ekosistem yang berdasarkan batu karst-nya unik. Namun, ironisnya, justru kawasan ini harus menjadi tumbal kepentingan bisnis pertambangan perusahaan multinasional.
Warga Sumberbening secara turun-temurun, bahkan Trenggalek secara umum, tidak pernah terbayangkan daerahnya akan menjadi rebutan pemodal besar kelas multinasional. Informasi rencana proyek tambang emas yang pada mulanya berupa desas-desus, ternyata sudah mewujud menjadi rencana kebijakan pemerintah.
Melawan barang ‘gaib’
Keputusan izin eksplorasi dari Bupati Trenggalek sudah terbit sejak 2009. Lalu, dokumen hasil kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) proyek pertambangan emas di Kabupaten Trenggalek tiba-tiba terbit pada 2018 dengan total luas konsesi 12.813 hektar di 14 kecamatan. Akan tetapi, sepanjang proses pengkajian yang dilakukan di sembilan kecamatan di Kabupaten Trenggalek, partisipasi publik hanya melibatkan beberapa warga Desa Ngadimulyo dan Karangrejo di bawah tekanan kekuasaan pemerintah desa. Padahal, sesuai hak kewargaan yang dijamin oleh hukum, masyarakat luas harus dilibatkan dalam setiap proses analisis dampak lingkungan dan izin lingkungan.
Masyarakat hanya mendapatkan hembusan desas-desus rencana pertambangan dari mulut ke mulut. Beruntung, suatu hari Yoga, ketua Karangtaruna (perkumpulan pemuda resmi desa) di Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, menerima kabar tersebut. Mengetahui bahwa daerahnya menjadi titik prospek penggalian emas, ia pun segera melakukan kajian mandiri.
Yoga menaruh perhatian serius pada risiko dampak lingkungan akibat tambang di daerahnya. Pasalnya, tempat tinggalnya merupakan salah satu kawasan dataran tinggi Trenggalek. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Trenggalek 2023, lokasi hulu sumber air bagi desa-desa sekitar dengan tutupan hutan lindung seluas 1468,4 hektar. Angka ini masih kecil dibandingkan dengan luas hutan lindung di Kecamatan Munjungan dan Watulimo yang memiliki 7183,6 hektar dan 5826,6 hektar. Kedua kecamatan tersebut juga masuk ke dalam 14 kecamatan area usaha pertambangan.
Pada 2016 kekhawatiran Yoga terhadap kelestarian hutan dan air di daerahnya menuntun perjalanannya bertemu dengan Jhe, aktivis ekosistem karst (lihat tulisan lain dalam edisi Inside Indonesia ini). Pertemuan tersebut berkembang pada pertemuan dengan jejaring pemerhati lingkungan lain. Salah satunya adalah Papang, pegiat lingkungan dan ekonomi desa yang berbasis di pesisir Kecamatan Panggul. Papang juga berbagi kekhawatiran tentang kelestarian aliran sumber air (Daerah Aliran Sungai Konang) dengan warga yang berhulu di prospek tambang Sentul. Mereka merisaukan pencemaran pantai, dan keberlanjutan ekonomi nelayan kecil di Panggul.
Tidak mudah untuk meyakinkan masyarakat desa mengenai ancaman buruk pertambangan terhadap lingkungan mereka, bahkan kepada diri para aktivis muda itu sendiri. Imajinasi tersebut tidak terbangun karena informasi proyek yang tidak pernah sampai ke masyarakat.
Akhirnya, para pemuda ini bersama dengan jejaring aktivis dari luar daerah Trenggalek memulai inisiasi kajian keanekaragaman hayati ekosistem karst Gunung Semungklung dan sekitarnya. Kajian swadaya ini ditujukan untuk penyusunan dokumen akademik pengajuan status Kawasan Ekosistem Esensial Karst Trenggalek kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.
Secara terpisah, aktivisme penolakan pertambangan juga tumbuh di daerah kota Trenggalek oleh kelompok anak muda juga. Suripto dan Trigus adalah di antara pionirnya. Lagi-lagi, informasi proyek tambang emas Trenggalek tidak mereka dapat dari sistem keterbukaan informasi pemerintah daerah, melainkan disebabkan kebocoran data rencana tata ruang dari dalam kantor pemerintahan. Akhirnya, geger data ini segera memantik kekhawatiran pada anak-anak muda Trenggalek.
Kampanye melalui sosial-media dan produksi pemberitaan media komunitas yang dikelola Trigus dan teman-teman membawa mereka pada pertemuan bersama Jhe, Papang, dan Yoga. Aliansi gerakan lingkungan pun terbentuk bukan hanya antara pemuda di Desa Sumberbening dan desa-desa lain, tetapi juga jejaring LSM lokal, kelompok keagamaan Trenggalek seperti Gerakan Pemuda Anshor, Fatayat NU (organisasi otonom di bawah Nahdlatul Ulama), Pemuda Muhammadiyah, dan Pemuda Gereja, hingga organisasi pemerhati lingkungan nasional seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah, dan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah.
Meskipun begitu, dampak buruk pertambangan masih menjadi ke-gaib-an bagi sebagian besar masyarakat. ‘Toh tidak terjadi apa-apa sampai sekarang,’ atau ‘Iki enek tenan opo ora,’ begitu masyarakat mengungkapkan kebingungannya terhadap kampanye pelestarian lingkungan para aktivis. Sebab, bertahun-tahun sejak isu ini mencuat memang belum ada aktivitas eksploitasi pertambangan.
Membujuk rayu tokoh agama
Kesulitan para aktivis untuk meyakinkan dampak buruk pertambangan harus berhadapan dengan seribu satu strategi licik perusahaan pertambangan untuk mengambil hati masyarakat. Mereka pun turut menjalankan pendekatan kultural melalui tokoh-tokoh agama Islam. Semuanya dijalankan dengan keberlimpahan uang korporasi untuk ‘membeli’ segala hal.
Sebut saja, misalnya, pemberian sumbangan pada korban bencana banjir dan longsor tahun 2022 lalu. Longsor yang terjadi di Desa Ngadimulyo ini merupakan salah satu prospek prioritas pertambangan, yakni Prospek Buluroto. Namun, alih-alih melakukan evaluasi terhadap rencana pertambangan, perusahaan malah membangun citranya sebagai pahlawan korban bencana.
Dalam sebuah wawancara, Handi Andrian, General Manager of External Affair, dan Imam Rosyidi, Humas Departemen Eksternal, mengklaim bahwa perusahaan hadir untuk membantu di masyarakat, bukan seperti para aktivis yang malah mangkir untuk berdemo di Jakarta. ‘Demo kan bisa kapan-kapan. Banjir. Fakta! Kami yang pertama,’ klaim perusahaan. Sebab, pada seputaran waktu yang hampir bersamaan, Aliansi Rakyat Trenggalek sedang mengajukan banding ke kementrian-kementerian dan sektor pemerintah terkait di Jakarta.
Sumber modal uang yang berlimpah juga digunakan perusahaan dalam partisipasi kegiatan masyarakat, seperti pemberian hewan kurban di Desa Ngadimulyo, Sumberbening, dan Karangrejo. Ketiganya adalah desa tempat prospek penggalian emas dan tembaga Far East Gold.
Bantuan-bantuan seremonial seperti inilah yang dilakukan korporasi untuk masuk ke masyarakat, terkhususkan mengambil hati pemangku kebijakan desa. Tidak terkecuali, terjadi juga praktik korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) kepada elite pemerintah dan tokoh-tokoh keagamaan.
Hal ini diungkapkan kepada kami oleh Bu Nyai, aktivis lingkungan perempuan dan juga pimpinan pesantren. Ia yang menegur Kepala Desa Ngadimulyo dalam konteks hubungan guru dan santri. ‘Kesempatan tho bu, ini pemberian dari Allah,’ menirukan argumentasi Kepala Desa Ngadimulyo yang telah memuluskan jalan masuk perusahaan di desanya.
Di samping itu, organisasi Nahdlatul Ulama tingkat daerah juga menerima bantuan dana guna penanganan bencana melalui lembaga amil dan zakatnya. Bantuan diberikan untuk kasus bencana kekeringan di Buluroto—salah satu situs prospek galian.
Aktivitas-aktivitas penyaluran bantuan sampai partisipasi perayaan hari besar umat Islam tersebut terbingkai lewat warta berita lokal hingga nasional. Khalayak luas yang tidak mengamati secara detil proyek tambang Far East Gold (FEG) atau PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Trenggalek — FEG adalah pemilik saham dari PT SMN sejak 2022—tentu tidak memahami keberadaan perusahaan di sana dalam rangka menambang kekayaan bumi daerah. Sebab, pemberitaan sebagian media massa tidak menjelaskan konteks penambangan tersebut.

Maka dari itu, tugas berat penolakan tambang menjadi berlapis, mulai dari membangun kesadaran dan keberanian masyarakat menuntut hak lingkungan, perang narasi di media massa dan media sosial, hingga berkonsolidasi dengan tokoh agama berpengaruh.
Upaya konsolidasi dengan tokoh NU sudah pernah dilakukan oleh para aktivis. Salah satunya adalah Gus Zaki yang merupakan pimpinan pesantren sekaligus juga aktivis lingkungan. Ia mendorong isu pertambangan emas dibahas di dalam musyawarah rutin bernama Bahtsul Masail untuk mencari solusi oleh para ahli agama NU di tingkat daerah Trenggalek. Hasil pembahasan para ulama ini menghasilkan rumusan sikap moral bahwa aksi penolakan tambang boleh dilakukan karena tambang menimbulkan ‘… kemudaratan karena hilang mata air dan mata pencarian, sehingga haram,’ pungkas Gus Zaki melalui saluran telepon.
Aksi penolakan tambang dipicu aktivitas eksplorasi lanjutan perusahaan di kawasan hutan Desa Ngadimulyo, sedangkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) perusahaan sudah habis masanya dan belum diperpanjang. Orang depan, ketiga dari kiri, adalah Gus Zaki. (Foto: Beni Kusuma Wardani).
Namun, rumusan sikap moral tidaklah mengikat. Buktinya, pimpinan-pimpinan pesantren di Trenggalek ada yang bungkam dan tidak mengambil sikap penolakan terhadap aktivitas perusahaan. Sikap serupa juga diterima dari Pimpinan Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) saat aliansi pejuang lingkungan Trenggalek ‘menggeruduk’ Jakarta pada 2022. Permohonan bantuan untuk menolak ke-mudharat-an tambang, sebagaimana terungkap saat saya ngobrol dengan beberapa anggota Aliansi Rakyat Trenggalek, direspons oleh tokoh agama dengan jawaban, ‘Kiai itu tugasnya ngaji’.
Perjuangan sipil di negara demokrasi oligarki
Advokasi penolakan proyek tambang mineral Far East Gold di Trenggalek lewat jalur struktural melewati jalan penuh liku, belum lagi perangkat negara yang kerap menjegal hak partisipasi publik. Jangankan untuk memakai hak suara penolakan tambang dengan alasan-alasan yang dilindungi konstitusi, rencana pertambangan emas Trenggalek yang sedari awal sudah maladministrasi saja sulit untuk diadvokasi.
Proyek ini dikatakan maladministrasi karena mula-mula tidak ada di dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Trenggalek 2012-2032 yang disetujui DPRD. Kemudian, direvisi tanpa pelibatan publik secara luas. Jikalau memang proyek ini mau masuk ke dalam kerangka pembangunan daerah, maka itu harus memiliki kajian lengkap dan tidak boleh tumpang tindih dengan pemanfaatan ruang lain yang sudah diatur. Dalam kenyataannya, konsesi pertambangan PT SMN telah menyerobot pemanfaatan sejumlah luasan kawasan hutan lindung dan kawasan lindung geologi karst.
Belum selesai perkara tersebut, pemerintah wilayah Jawa Timur malah mengeluarkan izin operasi produksi melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur bertanggal 24 Juni 2019. Gubernur, bupati, atau siapapun pemilik otoritasnya, seharusnya tidak boleh memuluskan pertambangan ini karena penggalian tambang di kawasan hutan lindung dengan metode open pit akan sangat merusak.
Nahasnya, pada 2020 terbit di Jakarta sebuah produk payung hukum tentang percepatan ekonomi, UU Cipta Kerja. Pada satu aspek UU Cipta Kerja ini mengamputasi fungsi pengatur dan pengelola sumber daya mineral dan batubara daerah oleh pemerintah kabupaten. Akhirnya, segala upaya warga sipil untuk mengevaluasi izin pertambangan terpaksa harus menabrak meja kekuasaan gubernur. Lagi-lagi, di atas meja gubernur inilah tanda tangan dokumen tata ruang baru disahkan.
Dokumen tata ruang Jawa Timur 2023-2043 yang mengacu pada UU Cipta Kerja ini memberi celah besar bagi ‘kiamat ekologi’, begitu istilah Walhi Jawa Timur. Pasalnya, terdapat pasal-pasal yang memberi celah bagi kegiatan eksploitasi pertambangan di kawasan hutan lindung dan karst.
Kondisi ketika perangkat hukum dan kebijakan yang sudah diorkestrasi sedemikian rupa oleh negara inilah yang menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan keadilan lingkungan. Hutan tutupan Gunung Semungklung yang menghidupkan masyarakat dan beragam makhluk hidup tidak ada artinya bagi perusahaan penambang dan pemerintah oligarki. Semuanya bisa dijarah dan dikeruk hingga ke perut bumi atas nama uang dan pembangunan ekonomi.
Yayum Kumai (yayumkumai@gmail.com) adalah seorang peneliti yang berafiliasi dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah.