Apr 27, 2024 Last Updated 1:12 AM, Apr 19, 2024

1b: Ekologisme

Published: Mar 21, 2024

Gerry van Klinken

Menyelamatkan bumi dari krisis ciptaan manusia memerlukan politik. Apakah politik menuju lingkungan sehat memiliki ideologi tersendiri? Itulah pertanyaan kunci dalam bab ini. Diskusi kita akan berpusat pada karangan Andrew Dobson, Green Political Thought (2007). Buku ini dianggap berbiwaba dalam perdebatan ini, sehingga telah terbit sampai empat edisi antara 1990 dan 2007. Dobson menggambarkan; ekologisme; sebagai ideologi politik tersendiri, berbeda dengan semua politik ideologi lain, karena ia betul-betul mendengarkan bumi bicara.

Dari materi yang kaya dalam buku Dobson, bab dewasa ini menyoroti lima hal secara singkat. Pertama: Apa itu, sebuah ideologi? Lalu, kita menyimak sebuah laporan ilmiah yang terbit lebih setengah abad lalu yang begitu mencengangkan sehingga mencetuskan ideologi ekologisme yang baru. Ketiga, kita menelesuri inspirasi pribadi bagi penganut ideologi tersebut, sebuah inspirasi yang lebih bersifat poetis dan filsafati yang kadang disebut eko-sentrisme. Terakhir, kita memerhatikan dua soal politik praktis – sebab ideologi politik harus bermuara di kancah politik praktis. Yang satu menyangkut tatanan kenegaraan baru yang lebih sesuai dengan ekologisme; yang lain menyangkut strategi politik ke depan secara global. Setiap bagian tentu membutuhkan pembahasan yang jauh lebih luas. Untuk itu, bab ini ditutup dengan sejumlah saran untuk proyek penelitian lanjutan.

Apa itu sebuah ideologi?

Sebuah ideologi menawarkan tiga hal.

  • Pertama, sebuah peta dunia, yang membantu orang mencari jalannya.
  • Kedua, sebuah bentuk masyarakat yang sesuai dengan keyakinan intinya, yang berfungsi sebagai tujuan ideal.
  • Dan ketiga, sebuah program aksi politik untuk menuju ke sana.

Menurut Dobson, ekologisme adalah ideologi tersendiri. Ia menyebutnya: 'Kekuatan politik dan budaya yang paling radikal dan penting sejak lahirnya sosialisme'. Ekologisme ingin mendengarkan bumi bicara. Dalam hal itu, ekologisme menantang konsep Pencerahan di mana manusia menguasai dan mengembangkan alam.

Ekologisme adalah ideologi yang relatif baru. Sebelumnya, bumi bicara tetapi tidak banyak didengar. Partai politik pertama yang menganutnya mulai dibentuk di berbagai tempat pada 1972 dan 1973 – di Tasmania (Australia), Selandia Baru, Neuchâtel di Swiss, dan di Britania Raya. Partai pertama yang masuk ke dalam koalisi pemerintahan tingkat nasional adalah Partai Hijau Jerman pada tahun 1998.

Tentu keprihatinan tentang lingkungan hidup jauh mendahului munculnya pergerakan ekologisme. Apa yang biasa disebut environmentalism (Pelestarian Lingkungan Hidup) sejak lama telah memprihatinkan polusi udara dan air, pengrusakan hutan, dan lain sebagainya. Tetapi menurut Dobson environmentalism berbeda dengan ekologisme. Yang pertama menawarkan perbaikan teknis untuk menyelesaikan persoalannya tanpa menyentuh pondasi kemasyarakatan itu sendiri, sedangkan yang kedua menuntut bentuk masyarakat yang baru. Oleh karena environmentalism hanya berpikir “memanaje” persoalannya, tanpa mengubah pola kehidupan secara menyeluruh, maka environmentalism bukanlah sebuah ideologi.

Tidak berarti saat ini sama sekali tak ada ideologi lain yang sejiwa dengan ekologisme. Menurut ahli politik Robyn Eckersley (2001), ada 'kemiripan kekeluargaan' antara ekologisme dengan feminisme, sosialisme, dan anarkisme, yang semuanya memiliki varian 'eko'. (Eko-feminisme dan Eko-sosialisme – yang terakhir dengan varian Eko-anarkisme - akan dibicarakan secara lebih mendalam dalam bab lain buku ini). Pemikiran ekologis masyarakat adat boleh juga ditambah kepada ketiga aliran di atas (dan akan akan kita simak bersama pada lain kesempatan juga). Kesemuanya harus dianggap bagian dari pemikiran hijau dewasa ini. 'Pemikiran politis hijau,' tulis Eckersley, 'pada saat yang sama merupakan etika lingkungan hidup yang baru, politik ideologi yang baru, dan sebuah meta-ideologi, yang menandakan pergeseran budaya yang luas untuk melampaui humanisme.'

Batas-batas pertumbuhan

Pada tahun 1972 terbitlah sebuah buku yang menghentakkan opini publik di seluruh dunia. Penulis utama, seorang perempuan bernama Donella Meadows, adalah ilmuwan muda, ahli biofisika, di Massachusetts Institute of Technology. Bersama dengan timnya ia meneliti 'teori sistem' dengan menggunakan komputer. The Limits to Growth (Batas-Batas Pertumbuhan, Meadows et al. 1972) dalam waktu singkat menjadi pegangan paling penting untuk ideologi ekologisme.

Studi ini dipesan oleh The Club of Rome, ikatan nirlaba terdiri dari cendekiawan dan pemimpin bisnis yang memprihatinkan masalah global. Para peneliti menjalankan simulasi komputer, di mana masukan adalah data aktual mengenai interaksi sistem manusia dengan sistem bumi. Komputer lalu diminta meramalkan apa yang akan terjadi ke depan. Sistem bumi-manusia dicirikan lima variabel: jumlah penduduk bumi, produksi pangan per orang, polusi, produksi industri per orang, dan konsumsi sumber daya alam tak terbarukan. Di dalam Figure 2, kelima variabel ini dalam bahasa Inggeris dapat dibaca sebagai berikut: population, food per capita, pollution, industrial output per capita, resources.

Pada saat studi Batas-Batas Pertumbuhan dijalankan, yaitu awal tahun 1970an, empat dari kelima variabel (kecuali sumber daya) sedang bertumbuh. Semuanya condong naik secara eksponensial, yaitu, semakin lama laju kenaikan semakin cepat. Kurva kenaikan melengkung ke atas hingga akhirnya vertikal dan melaju terus ke langit secara tak terhingga. Jelas sekali, kenaikan semacam ini tidak dapat dipertahankan untuk selamanya. Kekhawatiran adalah, mungkinkah sistem bumi-manusia menjurus kepada kiamat? Dan benar juga hasilnya demikian.

Figure 2 - Skenario 'business as usual' dalam Batas-Batas Pertumbuhan.

Figure 2 menunjukkan simulasi 'business as usual'. Bagian kanan gambar ini merupakan ramalan yang dihasilkan komputer. Masalah yang pertama muncul adalah habisnya sumber daya alam, terdiri atas barang seperti besi dan minyak bumi. Kehabisan itu mempengaruhi produksi baik pangan maupun barang industrial. Sementara itu, polusi bertumbuh terus. Sebagai akibat, jumlah penduduk manusia di bumi anjlok secara dramatis akibat kelaparan dan kesengsaraan lain termasuk dampak polusi. Kiamat!

Apakah kiamat dapat dihindari? Bagaimana kalau cadangan sumber daya alam jauh lebih besar daripada perkiraan awal? Atau kalau polusi dapat dikendalikan dengan teknologi baru? Perubahan-perubahan itu semua dimasukkan dalam komputer menjadi model simulasi baru. Semua model sama saja ambruk setelah waktu tertentu – waktu yang tak terlalu lama, tidak lebih 100 tahun. Semuanya hanya menunda kiamat, tidak meniadakannya. Walaupun komputer saat itu masih sederhana, dan walaupun sejumlah data di dalamnya kini dinilai kurang akurat, kesimpulan garis besar buku Batas-Batas Pertumbuhan sampai sekarang oleh kebanyakan ilmuwan dinilai tetap solid.

Mengapa tiap simulasi dengan perubahan tertentu akhirnya kandas juga? Alasannya, semua perubahan yang disimulasi bersifat teknis: ahli geologi disuruh mencari cadangan minyak baru; insinyur diminta membuat mesin anti-polusi. Penyelesaian teknis berlangsung dalam kerangka sosial, ekonomis dan politis yang saat itu berlaku. Sedangkan justru kerangka itulah tidak lagi memadai untuk mengatasi masalah kiamat yang menganga.

Yang dibutuhkan adalah perubahan yang lebih drastis. Pesan itu disampaikan dengan sangat jelas – lihat beberapa kutipan dari laporan Batas-Batas Pertumbuhan dalam Box 1. Namun buku Batas-Batas Pertumbuhan tidak menyebut bentuk masyarakat alternatifnya.

Kutipan kunci dari Meadows et al 1972.

Kesimpulan kami adalah:

  1. Apabila tren-tren pertumbuhan dalam penduduk bumi, industrialisasi, polusi, penghasilan pangan, dan penghabisan sumber daya alam berjalan tanpa perubahan, maka batas-batas pertumbuhan planet ini akan tercapai salah satu saat selama seratus tahun ke depan. Akibat yang paling mungkin adalah penurunan yang agak tiba-tiba dan tidak terkendali baik di dalam populasi maupun kapasitas industrial.
  2. Adalah mungkin untuk mengubah tren-tren pertumbuhan ini dan menetapkan kondisi stabilitas ekologis dan ekonomis yang berkelanjutan jauh ke masa depan. Kondisi keseimbangan global dapat dirancang demikian rupa sehingga kebutuhan-kebutuhan dasar setiap insan manusia di bumi dipenuhi dan setiap individu memiliki peluang yang sama untuk mewujudkan potensi manusiawinya.
  3. Apabila manusia sedunia memutuskan untuk berusaha mencapai kondisi kedua ini daripada kondisi pertama, maka semakin cepat mereka mulai mengerjakannya semakin cepat pula kemungkinan sukses. (hal.23-24)

…Dalam bab ini kami telah menyebut banyak pertukaran (trade-off) yang sulit menyangkut produksi pangan, konsumsi sumber daya, dan penghasilan serta pembersihan polusi. Saat ini seharusnya jelas bahwa seluruh pertukaran-pertukaran ini adalah akibat dari satu hal yang sederhana – bumi adalah terbatas sifatnya. (hal 86).

… Tidak bertindak untuk mengatasi masalah-masalah ini sama saja dengan bertindak secara keras. Setiap hari pertumbuhan eksponensial berjalan terus membawa sistem bumi lebih dekat dengan batas-batas pertumbuhan yang terakhir. Keputusan untuk tidak bertindak adalah keputusan untuk menambah risiko keruntuhan. Kami tidak dapat berkata dengan pasti seberapa lama manusia dapat menunda mengawali pengendalian terhadap pertumbuhan sebelum akhirnya ia kehilangan kemungkinan untuk mengendalikannya. Kami menduga, atas dasar pengetahuan sekarang ini tentang kendala-kendala fisik bumi ini, bahwa fase pertumbuhan tidak dapat berlangsung lebih lama dari seratus tahun. (Hal 183)

…Kami yakin bahwa kesadaran tentang kendala-kendala kwantitatif lingkungan hidup bumi, dan kesadaran tentang akibat tragis dari melampaui batas ini (“overshoot”) adalah mutlak perlu untuk mendasari lahirnya bentuk-bentuk pemikiran baru yang akan menuju perbaikan perilaku manusia secara fundamental dan, otomatisnya, perbaikan seluruh tenunan masyarakat yang sekarang ini. (Hal 190).

Box 1 - Beberapa kesimpulan dari Batas-Batas Pertumbuhan

 

Ideologi ekologisme merangkul perubahan sosial yang lebih drastis itu. Dalam hal energi, misalnya, penyelesaian yang hijau bukanlah menambah penyediaan energi berkelanjutan, melainkan mengurangi demand. Ini disebut agenda 'degrowth,' yaitu pertumbuhan ekonomis yang diputar-balik hingga menjadi negatif (Degrowth dibicarakan dalam bab lain buku ini). Tidak satupun ideologi politik besar yang lain selain Ekologisme bersedia menganjurkan 'degrowth,' hal mana mereka anggap sangat berbahaya.

Mengapa persoalan ini baru sekarang dirasakan mendesak, dan tidak pada abad ke-19 ketika ideologi-ideologi politik yang lazim kita ketahui dirumuskan (liberalisme, sosialisme, dst)? Alasannya terletak pada soal 'pertumbuhan' – yang oleh Meadows dan kawan-kawan dinilai begitu penting hingga disebut dalam judul buku. Semua variabel dalam simulasi berubah secara eksponensial (empat bertumbuh naik, satu menurun). Pertumbuhan eksponensial berarti perubahan berlangsung semakin lama semakin cepat; hingga berbentur dengan kapasitas bumi yang terbatas. Sesederhana itu kesimpulan Batas-Batas Pertumbuhan: Pertumbuhan eksponensial dalam sistem terbatas tidak mungkin. Benturan itu belum terasa pada abad-19. Ia kini sedang terjadi.

Aspek lain yang dapat dipelajari dari kurva-kurva sederhana tapi mengerikan ini adalah keterkaitan tiap masalah dengan masalah lain. Karena itulah simulasi oleh tim 'teori sistem' di MIT memfokus diri pada interaksi setiap dari kelima variabel ini dengan setiap variabel lain. Keterkaitan berarti masalah yang satu tidak dapat diatasi tanpa sekaligus mengatasi keseluruhannya. Menutup PLTU saja misalnya – hal mana dibayangkan dalam Just Energy Transition Partnership yang ditandatangani Indonesia pada akhir tahun 2022 – tidak akan menyelesaikan masalah bila tidak dibarengi dengan pengurangan ekspor batu bara ke luar negeri. Demikian pula, sering dilupakan bahwa proses daur-ulang – tuntutan kunci dalam semua skenario environmentalisme ke depan – juga memerlukan sumber daya energi dan materi baru, sehingga tak akan menyelesaikan masalah tanpa dibarengi pengurangan produksi industrial. Kekurangan sebagai kenyataan alamiah tak terhindari.

Seperti pernah dikatakan oleh Jonathan Porritt, peletak dasar Partai Hijau di Britania Raya: “Apabila anda mencari satu saja perbedaan antara politik hijau dengan politik konvensional, adalah keyakinan kami bahwa demand kwantitatif harus dikurangi, tidak diperluas.”

Mahatma Gandhi pernah ditanya apakah setelah merdeka nanti India dapat mencapai standar hidup yang sama dengan Inggeris. Ia menjawab: 'Inggeris memakan separuh sumber daya bumi untuk memperoleh standar hidup yang makmur; berapa banyak bumi akan dibutuhkan negeri sebesar India?'

Harus diakui, pergerakan ekologisme menghadapi dilema politis yang praktis, yang dapat dirumuskan seperti berikut: Bagaimana sekaligus mempertanyakan aspirasi kebanyakan orang akan konsumsi yang lebih banyak, dan meyakinkan mereka untuk merasa tertarik dengan ideologi baru ini?

Untuk itu, penganut ekologisme tidak berhenti hanya dengan skenario kiamat. Betapapun mengerikan, ketakutan tak pernah menyediakan motivasi yang positif untuk sebuah pergerakan menuju masa depan lebih baik. Wawasan baru yang dicari belum disebut (barangkali sengaja) di dalam laporan Batas-Batas Pertumbuhan. Kadang disebut Eko-sentrisme, kita hanya dapat menyinggungnya secara singkat di bawah. Mudah-mudahan dibahas lebih mendalam di tempat lain dalam buku ini.

Ekosentrisme

Pertanyaan: Mengapa kita harus melindungi alam?

Jawaban bisa dua.

  • Karena alam memberikan kita sumber daya. Jawaban ini bersifat antroposentris. Ia sering disebut bersama dengan istilah “ecosystem services.” Misalnya, laba-laba harus dilindungi karena mereka menyuburkan tanaman agraris.
  • Karena alam di luar manusia memiliki nilai tersendiri. Ini adalah jawaban biosentris. Ekologisme bersifat biosentris: bukan kami manusia yang harus dilindungi tetapi seluruh alam yang penuh kehidupan.

Pertanyaan lain: Apabila menginginkan dunia yang berkelanjutan, apa yang harus “berkelanjutan”?

Jawaban: Yang harus dilestarikan adalah hal-hal yang memiliki nilai alamiah, yakni, yang mendapatkan nilainya dari proses alamiah, bukan dari produksi buatan manusia. Hutan rimba yang asli memiliki nilai alamiah, perkebunan kelapa sawit adalah buatan manusia. Walaupun dua-duanya mengandung pohon, hanya yang pertama perlu dilestarikan. (Arab Saudi belum lama mengklaim industri bahan bakar fosilnya perlu 'dilestarikan'. Jelas, klaim itu tidak memenuhi syarat…)

Pertanyaan: Apa motivasi pribadi untuk memajukan ideologi ekologisme?

Jawaban: Ekologisme mengandalkan tiga motor cita-cita: motor filsafati, etika ekologis, dan politis praktis.

Filsafat. Kebanyakan aktivis ekologis merasa tergerak oleh pandangan pribadi terhadap alam yang sangat kuat. Mereka sering menamakannya “ekologi-dalam.” Istilah itu pertama dirumuskan oleh filsuf Norwegia bernama Arne Naess pada tahun 1970an. Ia membedakannya dari “ekologi dangkal.” Penganut dua-duanya merasakan semacam kehangatan di tengah alam. Tetapi yang pertama bersedia mengubah seluruh kehidupannya agar harmonis, yang kedua tidak. Bagi yang kedua, cinta alam tidak menyentuh kehidupannya di luar hubungan dengan alam sesaat itu.

Kunci filsafat “ekologi-dalam” adalah pengertian yang berbeda tentang diri kita (selfhood) daripada yang biasa dibayangkan orang. Biasanya 'diri kita' dianggap seruangan dengan tubuh kita. Saya adalah seorang individu yang berdiri di atas kaki sendiri; jiwa saya terbungkus oleh tubuh saya. Itulah persepsi yang lazim, tetapi dianggap keliru oleh pemikir filsafati. Banyak alasan untuk meragukan kesamaan sempit antara diri dan tubuh semacam itu. Banyak agama juga yang meragukannya. Dalam pandangan filsafati, diri saya terpaut erat dengan alam di sekeliling. “Saya” tak mungkin berada tanpa udara, air, tanah, dan makhluk hidup lain di sekeliling saya. 'Saya' tidak berhenti hanya di kulit. Saya menjangkau sampai ke lingkungan. Sebaliknya lingkungan menjangkau ke dalam tubuh dan diri saya tanpa henti. Saya adalah juga lingkungan saya. Terdapat aspek poetis, bahkan religius dalam kesadaran itu. (Ekologi dalam dibicarakan secara lebih luas dalam bab lain).

Etika. Kesatuan 'diri saya' dengan lingkungan juga membawa implikasi etis. Keprihatinan tentang kerusakan lingkungan menjadi keprihatinan pribadi; saya sendiri ikut rusak! Usaha menyelamatkan lingkungan menjadi jauh lebih bermakna. Bukan hanya lingkungan di luar sana yang menjadi tarungannya, juga diri saya sendiri. Dengan kata lain, keinginan alamiah saya sendiri agar selamat, bahkan agar saya semakin bahagia, tidak lagi egois sebagaimana biasanya dibayangkan. Usaha saya untuk menyelamatkan diri saya selaras dengan usaha menyelamatkan lingkungan.

Motivasi saya untuk melindungi alam semakin kuat semakin saya sadari bahwa nasib 'saya' (dalam arti yang sangat luas) adalah tarungannya. Ini lebih kuat dari motivasi 'berbuat baik' pada pihak lain, lebih kuat dari motivasi filantropis atau karitatif (berbelas-kasihan kepada yang lemah). Motivasi ekologi-dalam lebih kuat pula daripada motivasi patuh terhadap kewajiban moral yang dipaksakan pihak lain seperti ayah, pemerintah, atau agama. Dan apabila gagal melindungi alam, hukuman datang bukanlah dari pihak luar itu tetapi dari dalam diri saya sendiri – saya telah gagal sebagai manusia yang alamiah kalau saya gagal membela 'diri' saya sendiri.

Politik. Ekologi-dalam sebenarnya bukanlah sebuah program politis. Ia lebih banyak merupakan inspirasi pribadi. Tidak semua orang akan mau atau bisa mengikutinya; dan tidak semua orang yang bisa akan mengungkapkannya dengan cara yang sama. Namun, pendirian sejenis tetap juga mengandung makna politis. Apabila 'saya' adalah juga lingkungan saya, maka konsep perwakilan politis 'saya' di dalam tatanan sosial akan berkembang di luar umat manusia hingga mencakup juga non-manusia. Kini bukan hanya tubuh saya yang perlu diwakilkan, tetapi juga sungai, gunung, hutan, rumput, satwa, dan sebagainya yang menjadi bagian dari 'saya'. Bagaimana demokrasi yang ekologis dapat melibatkan satuan-satuan yang lain ini di dalam kancah perdebatan politik? Langkah pertama adalah mengakui hak-hak politis non-manusia. Apabila pembunuh manusia dihukum karena melanggar hak manusia untuk hidup, maka penebang pohon yang tidak sah pun akan dihukum karena melanggar hak pohon.

Dan tidak hanya 'hak' yang perlu dilindungi (seperti di dalam sistem politik liberal berisi individu-individu otonom). Politik juga adalah upaya menciptakan solidaritas, dengan tujuan menciptakan kondisi agar semua anggota komunitas dapat bertumbuh subur. Politik yang benar ingin merangkul banyak pihak agar dapat hidup bersama secara serasi. Politik ekologi-dalam memperluas konsep solidaritas agar mencakup juga solidaritas dengan non-manusia. Aldo Leopold adalah salah seorang pendiri pergerakan lingkungan hidup di Amerika Serikat sebelum Perang Dunia II. Bukunya yang klasik A Sand County almanac (Leopold 1949) mengandung sebuah ungkapan tentang solidaritas lintas-spesies yang kemudian menjadi sangat berpengaruh (diterjemahkan dalam Box 2).

Etika Tanah

Seluruh etika yang telah berkembang hingga saat ini berdasar di satu saja asumsi: yaitu, bahwa makhluk etis adalah anggota sebuah komunitas terdiri atas berbagai bagian yang saling mendukung. Nalurinya akan mendorongnya untuk bersaing agar mempertahankan posisinya di dalam komunitas tersebut. Namun etikanya akan mendorongnya juga agar bekerjasama (barangkali dengan maksud agar tetap ada tempat baginya untuk diperrebutkan).

Etika Tanah tidak lain memperluas batas-batas komunitas tersebut hingga ia juga melingkupi tanah, air, tumbuhan, dan hewab, atau singkatnya: Tanah …. Sesuatu perbuatan adalah benar apabila ia cenderung mempertahankan keutuhan, stabilitas serta keindahan komunitas biotik. Perbuatan tersebut adalah salah apabila ia cenderung sebaliknya. (Aldo Leopold).

Box 2 - Aldo Leopold tentang Etika Tanah

 

Keprihatinan tentang nasib bumi (yang mungkin diilhami motivasi pribadi ekologi-dalam) pada tahun 2010 membuahkan pertemuan internasional besar di kota Cochabamba, Bolivia. Konferensi Rakyat Dunia mengenai Perubahan Iklim dan Hak Ibu Bumi (The World People's Conference on Climate Change and the Rights of Mother Earth) diikuti sekitar 30.000 peserta dari 100 lebih negeri, baik pemerintahan maupun masyarakat sipil. Konferensi ini menyusul gagalnya pertemuan resmi COP15 di Kopenhagen setahun sebelumnya, di mana Amerika Serikat bersekongkol dengan pemerintah-pemerintah pro-karbon yang lain untuk menghalangi persetujuan legal perihal pemanasan global.

Dengan tujuan mendorong inisiatif baru ke depan, konferensi di Bolivia menyetujui sebuah Deklarasi Universal demi Hak-Hak Ibu Bumi. Sebagiannya dikutip dalam Box 3. Jelas deklarasi ini mengingatkan kepada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang disepakati bersama seluruh bangsa di dunia pada tahun 1948 dan yang setelah itu melatari tiap tindakan internasional. Bedanya, sesuai prinsip dasar ekologi-dalam, kerangka kesamaan hak tidak terbatas hanya pada manusia. Ia mulai dari Ibu Bumi, yang “telah menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup baik.” Setiap insan dimohon sebaik mungkin menjabarkan prinsip-prinsip ini ke dalam lingkaran sosial dan politiknya sendiri. Dan memang untuk sebagian Pernyataan ini kemudian dikejawantahkan menjadi hukum di berbagai negara, termasuk di Bolivia sendiri.

Deklarasi Universal demi Hak-Hak Ibu Bumi

Cochabamba, Bolivia, 22 April 2010

Pendahuluan

Kita, manusia dan bangsa di Bumi:

  • Menimbang bahwa kita semua adalah bagian dari Ibu Bumi, sebuah komunitas tak terbagi dan hidup, yang makhluknya saling terkait dan saling tergantung, dengan tujuan yang sama;
  • Mengakui dengan rasa terima kasih bahwa Ibu Bumi adalah sumber kehidupan, pangan, dan pembelajaran, dan ia telah menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup baik;
  • Mengetahui bahwa sistem kapitalis dan segala bentuk pemerasan, penindasan, kekerasan, dan pengotoran telah menyebabkan kerusakan yang amat besar beserta degradasi dan gangguan terhadap Ibu Bumi, sehingga kehidupan sebagaimana kita mengenalnya telah terancam melalui gejala seperti perubahan iklim;
  • Yakin bahwa di dalam sebuah komunitas hidup maka tidak mungkin untuk hanya mengakui hak-hak manusia saja tanpa menyebabkan ketidakseimbangan di dalam tubuh Ibu Bumi;
  • Menyetujui bahwa, agar dapat menjamin hak-hak manusia, maka perlu juga untuk mengakui dan membela hak-hak Ibu Bumi bersama dengan seluruh makhluk di dalamnya, dan mengakui pula bahwa ada kini budaya, praktek serta hukum yang memang melakukannya;
  • Sadar akan kedesakan untuk bertindak secara nyata dan secara kolektif demi mentransformasikan struktur-struktur serta sistem-sistem yang menyebabkan perubahan iklim bersama dengan ancaman lain terhadap Ibu Bumi;

Memproklamir Deklarasi Universal demi Hak-Hak Ibu Bumi ini, dan berseru agar Dewan Umum PBB menerimanya, sebagai patokan umum untuk mengukur keberhasilan bagi seluruh manusia serta bangsa sedunia, dan dengan maksud agar setiap insan dan lembaga bertanggung-jawab sendiri untuk mempromosikannya melalui pengajaran, pendidikan, dan penyadaran sehingga hak-hak yang diakui dalam Deklarasi ini dihormati dan sehingga pengaturan yang progresif baik nasional dan internasional dijalankan demi pengakuan dan pematuhan yang efektif di antara seluruh bangsa dan negara di dunia.

Fasal 1. Ibu Bumi

(1) Ibu Bumi adalah insan yang hidup.

(2) Ibu Bumi adalah komunitas yang unik, tak terbagikan, dan swa-atur (self-regulating), terdiri atas makhluk-makhluk yang saling terkait, yang menghidupi, mengandung, dan memperbanyak setiap makhluk.

(3) Masing-masing makhluk ditentukan oleh hubungannya sebagai bagian utuh dari Ibu Bumi.

(4) Hak-hak Ibu Bumi yang inheren tak dapat dihilangkan, karena lahir dari sumber yang sama dengan seluruh keberadaan.

(5) Ibu Bumi beserta seluruh insan berhak menikmati seluruh hak-hak yang diakui di dalam Deklarasi ini, tanpa pembedaan jenis apapun seperti misalnya di antara makhluk organik atau non-organik, di antara spesies, asal usul, maupun kegunaannya kepada makhluk manusia, ataupun status lain manapun.

(6) Makhluk manusia memiliki hak-hak manusia, demikian juga seluruh makhluk lain pula memiliki hak yang khas bagi spesiesnya atau jenisnya dan yang sesuai dengan peran dan fungsi makhluk tersebut di dalam komunitas di mana ia berada.

(7) Hak setiap makhluk dibatasi oleh hak-hak makhluk-makhluk lain dan setiap konflik di antara haknya harus diselesaikan dengan cara yang memertahankan keutuhan, keseimbangan serta kesehatan Ibu Bumi.

Fasal 2. Hak inheren Ibu Bumi

(1) Ibu Bumi beserta seluruh makhluk yang membentuknya memiliki hak-hak inheren sebagai berikut:

(a) hak untuk hidup dan berada;

Fasal 3. Kewajiban manusia terhadap Ibu Bumi

(1) Setiap insan manusia bertanggung-jawab agar ia menghormati dan hidup serasi dengan Ibu Bumi.

(2) Manusia, seluruh Negara, dan seluruh lembaga baik publik maupun swasta harus:

(a) tindak sesuai dengan hak dan kewajiban yang diakui di dalam Deklarasi ini;

Box 3 - Deklarasi Universal demi Hak-Hak Ibu Bumi

 

Eko-Negara

Penyelesaian ekologis berimplikasi politik. Dalam sisa bab ini kita akan menyinggung secara sangat singkat beberapa implikasi politik lain dari perjuangan mewujudkan ideologi ekologisme. Prinsip dasarnya, bentuk politis harus disesuaikan dengan kendala-kendala alam. Alam yang menentukan, bukan manusia.

Implikasi yang mengejutkan (tetapi lihat catatan di bawah!): Menghilangkan kemiskinan adalah tujuan kedua, bukan yang pertama. Satu lagi: Produk Nasional Bruto bukanlah tolok-ukur yang baik untuk menilai keberhasilan, karena mendasarkan pada pertumbuhan, yang justru merusak bumi. Satu lagi: Kebahagiaan generasi pendatang juga harus diperhitungkan, bukan hanya suara orang yang hidup sekarang. Politik ekologisme adalah politik janka panjang.

Penganut ekologisme berdebat satu dengan yang lain tentang tatanan politis yang paling cocok untuk kembali mengharmoniskan manusia dengan alam. Semuanya ada pro dan kontra, yang di sini hanya bisa disebut tanpa dikembangkan lebih jauh.

  • Tatanan internasional baru

Tatanan internasional yang sekarang berlaku jelas sekali tidak berfungsi dengan baik. Hampir semua pemerintahan di dunia telah “dibeli” oleh kepentingan industri bahan bakar fosil, hal mana terbukti tiap saat lagi sebuah konferensi internasional gagal menyetujui tindakan yang tegas. Namun, Perjanjian Paris tentang perubahan iklim pada tahun 2015 yang ditandatangani semuanya menyiratkan tatanan internasional yang baru, yang mengutamakan keselamatan bumi daripada keselamatan industri fosil. Harapan belum punah total, menurut sebagian aktivis.

  • Otoritarianisme terpusat

Banyak pemikir ekologisme tidak bisa membayangkan bagaimana dunia akan berubah kalau segalanya ditentukan oleh pemilih yang kecanduan materi. RRC dipandang sebagai model alternatif. Memang RRC telah memasukkan “peradaban ekologis” ke dalam undang-undang dasarnya, dan transformasi energinya berlangsung dengan cepat. Namun, orang lain mengkhawatirkan otoritarianisme justru akan memicu konflik yang tak menyelesaikan soal.

  • Otoritarianisme wilayah lokal

Pada awal revolusi komunis di Cina, Komune Rakyat memainkan peran kunci untuk menjalankan pertanian secara kolektif. Swadaya lokal adalah cita-cita ekologis, karena perdagangan dan perjalanan jauh memboroskan sumber daya energi yang terbatas. Namun, tatanan sosial tetap hierarkis bahkan militaristik, dan hal itu akhirnya menimbulkan banyak korban akibat kelaparan saat Lompatan Jauh ke Depan 1958-1960.

  • Anarkisme lokal

Pada awal Revolusi di Rusia, muncullah pergerakan anarkis lokal yang berusaha membangun komunitas dan ekonomi lokal pula secara amat demokratis. Segalanya ditentukan oleh dewan-dewan (sindikat) yang mempraktekkan demokrasi langsung. Gerakan bioregionalisme, terutama di Amerika Serikat (tetapi juga di Indonesia) mengidealkan politik di mana orang hidup dekat dengan alam rumahnya tanpa banyak dibantu atau diganggu oleh pemerintah sentralistik. Komunitas politik disesuaikan besar dan luasnya dengan alam. Misalnya lembah sungai tertentu, pegunungan tertentu, pesisir tertentu. Kembali hidup dekat dengan tanah.

Strategi politik

Ekologisme berbicara kepada seluruh umat manusia, lepas dari warna kulit, gender, agama, dan juga lepas dari kelas. Sebab kerusakan bumi berdampak kepada seluruh umat manusia, di manapun berada. Ia kadang mengklaim sebagai ideologi bukan kiri dan bukan kanan tetapi untuk semua. Komunisme Soviet Uni dan RRC sama-sama merusak alam dengan kapitalisme Amerika, karena dua-duanya mengutamakan pertumbuhan industrial.

Tetapi…. dampak krisis iklim tidak terasa sama berat oleh semua manusia di bumi, demikian juga dinamika politik untuk menghadapinya.

Negeri kaya – Eropa, Amerika Utara – paling berdosa menciptakan krisis. Mereka banyak sekali mengeluarkan CO2 selama 200 tahun terakhir ini. Tetapi mereka juga paling mampu menghadapinya tanpa mengubah gaya hidupnya secara dramatis. Penyelesaian teknis seperti bendungan atau bateri Tesla, yang di atas dikatakan dimotori oleh pemikiran ekologi dangkal, rupanya sangat populer di sana.

Negeri miskin sebaliknya. Kebanyakan dulu dijajah dan sampai sekarang mengalami semacam neo-kolonialisme. Mereka justru paling rentan terhadap bencana alam yang dipicu krisis iklim, seperti kemarau panjang, kekeringan sungai, banjir, topan badai, kebakaran hutan, kehabisan ikan, dan kenaikan tingkat laut. Pada saat yang sama, mereka kurang memiliki sumber daya yang sepadan untuk menghadapi bencana tersebut.

Apakah mungkin: tekanan politis untuk mencapai perubahan besar yang dibutuhkan akan datang – tidak dari negara-negara kaya tetapi - justru dari negara-negara berkembang? Apakah mungkin justru merekalah yang lebih memiliki motivasi yang kuat untuk menyikapi krisis iklim dengan penyelesaian yang radikal? Ekologisme pada dasarnya mengajukan penyelesaian yang radikal.

Untuk penelitian lebih jauh

  • Tinjaulah aspek lingkungan hidup dalam ideologi partai-partai politik maupun kampanye pemilihan di Indonesia. Apakah lebih dicirikan 'environmentalisme' atau 'ekologisme'? Bagaimana hal itu dapat dijelaskan?
  • Deklarasi Universal demi Hak-Hak Ibu Bumi berseru 'agar setiap insan dan lembaga bertanggung-jawab sendiri untuk mempromosikannya melalui pengajaran, pendidikan, dan penyadaran.' Siapa di Indonesia telah menaati seruan tersebut?
  • Apakah mungkin: tekanan politis untuk mencapai perubahan besar yang dibutuhkan akan datang justru dari negara-negara berkembang? Jabarkan jawaban Anda dengan bukti nyata.
  • Bandingkanlah berbagai bentuk “eko-negara” di dunia (termasuk Indonesia). Bentuk mana yang paling memungkinkan perubahan? Mengapa?

Acuan

Dobson, Andrew. 2007. Green political thought. 4 ed. London: Routledge.

Eckersley, Robyn. 2001. "Politics." In A Companion to Environmental Philosophy, edited by Dale Jamieson, 316-330. Malden, MA: Blackwell.

Leopold, Aldo. 1949. A Sand County almanac: and sketches here and there: Oxford University Press.

Meadows, Donella H., et al, and (terj Masri Maris). 1980. Batas-batas pertumbuhan: sebuah laporan untuk Proyek The Club of Rome mengenai bahaya yang mengancam umat manusia. Jakarta: Gramedia.

Meadows, Donella H., Dennis L. Meadows, Jørgen Randers, and William W. Behrens. 1972. The limits to growth: a report for The Club of Rome's Project on the Predicament of Mankind. New York: Universe Books.

Download pdf document ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Book review: Uncovering Suharto's Cold War

Apr 19, 2024 - VIRDIKA RIZKY UTAMA

Film review: Inheriting collective memories through 'Eksil'

Apr 12, 2024 - WAHYUDI AKMALIAH

A documentary embraced by TikTokers is changing how young people understand Indonesia’s past

Indonesians call for climate action through music

Apr 11, 2024 - JULIA WINTERFLOOD

Self-education and lived experience of the impacts of climate change, are driving a grassroots environmental movement

Book review: Clive of Indonesia

Apr 05, 2024 - DUNCAN GRAHAM

The Jokowi-Luhut alliance

Apr 04, 2024 - JEREMY MULHOLLAND

A business alliance forged in 2008 between Joko Widodo and Luhut Pandjaitan formed the basis for a major axis in his presidency

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.