Seni pertunjukan dan pandemi

Published: Feb 22, 2021
English version
Dalam edisi ini, penulis-penulis kami merinci dampak pandemi yang menghancurkan pada sektor seni pertunjukan Indonesia, tetapi juga semangat ketahanan yang mendorong para seniman ini untuk terus maju.

Barbara Hatley & Emily Rowe

Pada bulan Maret 2020, ketika negara di seluruh dunia mulai menutup perbatasannya dan melarang perjalanan, reaksi dari pemerintah Indonesia bisa disebut lambat. Beberapa daerah langsung melaksanakan pembatasan sosial, tapi negara sebagai keseluruhan baru mengambil tindakan terhadap virus pada bulan Mei. Pada waktu itu kasus penularan virus dalam masyarakat sudah luar biasa berkembang, terutama dalam kota yang padat pendukuknya. Untuk mereka yang berkerja di bidang informal, yaitu kebanyakan perkerja di Indonesia, dampaknya pembatasan pada pergerakan dan kumpulan orang sangat berat. Pada bidang seni pertunjukan, pemain musik, sutradara, aktor dan penari adalah yang terkena paling dulu. Sesudah satu tahun, pandemi COVID-19 menampakkan kesulitan mencari nafkah hanya dari pertunjukan, tapi juga membuktikan ketegasan kreatif yang luarbiasa.

Dalam edisi ini para penyumbang, kebanyakan seniman sendiri, bercerita tentang dampak COVID-19 pada seni pertunjukan Indonesia. Dalam banyak hal, pengalaman yang digambarkannya sama, tapi juga ada perbedaan yang penting.

Untuk pemain seni, pandemi yang membawa larangan pada kumpulan orang awalnya sangat mengerikan, dan mereka menderita kekejutan dan kebingungan. Tidak ada pertunjukan sama sekali, semua kegiatan yang direncanakan tiba-tiba dibatalkan, mereka tidak boleh berkumpul, tidak ada penghasilan atau harapan akan ada kesempatan mencari nafkah pada masa depan. Keadaan ini terasa terutama oleh seniman yang tidak punya sumber penghasilan selain pertunjukan dan kehadiran penonton live.

Tapi walapaun banyak seniman terpaksa menerima, menunggu, bertahan saja, ada juga yang melihat kemungkinan baru, strategi baru untuk menghadapi situasi ini. Sumber penting dari variasi ini berhubungan dengan gaya pertunjukan, daerah yang ditingali seniman dan relasinya dengan institusi sosial dan pemerintah.

Munculnya pertunjukan virtual

Di seluruh dunia, teknologi internet sudah memberikan ke banyak artis kesempatan mementaskan pertunjukan secara virtual. Di Indonesia juga ada grup teater yang menggunakan teknologi tersebut, dengan membuat saluran youtube sendiri, berkerja sama dengan grup lain atau mementaskan pertunjukan virtual dengan bantuan dari department pemerintah atau institusi sosial.

Dalam edisi ini Elyandra Widharta bercerita bahwa grup teater dia, Sedhut Senut, sudah bisa mementaskan beberapa sandiwara bahasa Jawa disponsori oleh pemerintah daerah Yogyakarta. Banyak pertunjukan yang menerima bantuan dari pemerintah mempunyai tema COVID 19, dengan tujuan dua, yaitu menghibur penonton selama lockdown dan pada waktu yang sama menyampaikan pesan ‘stay safe’. Kadang-kadang pandemi merupakan tema utama dari pementasan. Pada kasus lain, referensi kepada pandemi merupakan sindiran saja, tapi dalam kontekst sekarang ini sangat berarti. Misalnya aktor dan sutradara Nano Asmorodono bersama grup ketopraknya mementaskan pertunjukan mengenai kerajaan yang diserang oleh penyakit dahsyat, dilambangkan oleh seorang setan yang tidak bisa dibunuh tapi bisa dikontrol kalau semua penduduk tetap bersatu. Pada pementasan lain, satu kelompok petani yang berkumpul untuk mengadakan protes terhadap ketidakadilan sosial mengingatkan satu sama lain bahwa sangat penting sekali memakai masker.

/ Gustavo Thomas @Flickr cc

Rahmadi Fajar Himawandalam artikelnya menggambarkan dua pertunjukan wayang virtual yang lakonnya juga terjadi dalam konteks COVID 19. Disini anak laki-laki dari Bima atau Wrekudara, tokoh berbadan besar, omongannya terus terang, nomor tiga dari lima saudara Pendawa, mewujudkan perlawanan terhadap kekuasaan jahat dari pandemi. Dalam kedua pertunjukan itu, dalangnya menyampaikan pesan bahwa rakyat kecil kelas bahwa itu yang paling mudah diserang oleh pandemi, dan supaya tetap selamat mestinya tinggal di rumah saja.

Proses ‘filming’ dan livestreaming pementasan sudah memberi kepada seniman kesempatan untuk belajar cara main yang baru, dibentuk oleh teknologi digital. Elyandra Widharta menerangkan bahwa pada awalnya, anggota grup Sedhut Senut sangat kesulitan ‘akting’ didepan kamera, terpaksa mengulangi seluruh adegan kalau seorang aktor membikin kesalahan dalam dialog. Tapi akhirnya mereka bisa menyesuaikan diri dengan keperluan teknologi baru itu dan menyadari bahwa mereka sudah mendapat ketrampilan dan kreativitas baru. Seorang ‘empu’ ketoprak, Bondan Nusantara, yang ber’misi’ menyampaikan warisan ketoprak pada anak muda, sudah mendirikan channel youtube namaya Sineprak (artinya ‘ketoprak yang dikreasi dengan pendekatan sineomatografik’) Dengan menggunakan kamera, lampu dan mixer yang dipinjam dari seorang teman dan pengusaha, Bondan dan timnya bekerjasama dengan orang muda di Yogya, membikin film pendek ( kira-kira 10-15 menit) sesuai dengan kapitas internet terbatas dari penonton millennial. Sejak Mei 2020, tiap hari Jumat, suatu lakon baru disiarkan, jumlahnya sekarang lebih dari tigapuluh dengan banyak ribuan penonton. Bondan mengaku bahwa dia sangat terpersona oleh semangat dari semua yang terlibat, walapun kerjanya samasekali sukarela.

Membikin hubungan, lokal maupun global

Teknologi digital juga membolehkan pemain teater untuk berkerjasama dengan seniman di daerah lain dari Indonesia dan di luar negeri dalam pertunjukan virtual.

Pada bulan November 2020, Teater Garasi, grup teater dari Yogyakarta, mengadakan festival selama sebulan yang terdiri dari pertunjukan dan diskusi pada suatu jaringan khusus dan meliputi seniman di Yogyakarta, Flores, Jakarta, Amsterdam dan Sydney. Fokus dari kegiatan ini adalah proyek ‘Peer Gynt’ suatu interpretasi baru dari sandiwara oleh dramawan Norwegia Henrik Ibsen. Dalam karya asli Peer Gynt, seorang pengembara, petualang dan kadang-kadang penipu, berjalan ke arah selatan, dari Eropa ke tempat seperti Morocco dan Kairo, padahal versi Teater Garasi, seperti diterangkan pada website grup itu, mengambil ‘global South viewpoint’ untuk mengeksplorasithe state of encounters and movement across Asia’ dan mencoba mengerti bagaimana ‘Asian subjects struggle with ongoing global history, along with its politics and economic capital circulation’.

Festival ini merupakan puncak dari proyek yang berdurasi beberapa tahun sebelum pandemi. Dari 2017 – 2019, anggota grup Garasi mengadakan penelitian dan workshop dan berkolaborasi dengan seniman lokal di Indonesia Timur, Jepang. Vietnam dan Sri Lanka. Pertunjukan dipentaskan di Flores, Shizuoka dan Tokyo pada 2019 dan direncanakan untuk 2020 di Jakarta dan Yogyakarta. Waktu pandemi datang, dan semua pertunjukan live terpaksa dibatalkan, pemimpin Garai Yudi Tajuddin menemukan ide mendirikan suatu jaringan interakif. Disini seniman di daerah berbeda bisa membagikan ide, mementaskan pertunjukan yang mengekspresikan respons mereka kepada tema dalam proyek Peer Gynt, dan berpartisipasi dalam diskusi dari karyanya.

Dalam aktivitas serupa organisasi femin,is Insititut Ungu mensponsori pertunjukan virtual dari sandiwara Waktu Tanpa Buku (Time Without Books), suatu terjemahan oleh Faiza Marzuki dari karya asli oleh dramawan Norwegia Lene Therese Teigen, yang menggambarkan pengalaman dan ingatan dari korban diktatur di Uruguay. Lima sutradara perempuan di Yogyakarta, Bandung dan Makssar mementaskan interpretasi mereka dari sandiwara itu.

Teknologi digital tidak hanya berfungsi sebagai ‘platform’ untuk pertunjukan tapi juga bisa dipakai oleh seniman di macam-macam daerah di Indonesia untuk mengakses dan membagikan informasi dan ide lewat webinar dan diskusi virtual. Iswadi Pratama dalam artikelnya dalam edisi ini menggambarkan caranya Teater Satu menggunakan internet bukan untuk pertunjukan tapi untuk membagikan pengetahuan lewat program ‘Belajar Teater’ di youtube.

Eka Putra Ngalu menerangkan bawa seniman di Indonesia Timur merasa beruntung bisa berpartisipasi dalam diskusi virtual itu. Kalau dulu mereka terpinggirkan dari pekembangan dalam teater ‘mainstream’, jarang bisa bertemu dengan seniman dari daerah lain, sekarang mereka bisa mengakses banyak informasi yang berharga. Dia berpendapat bahwa pandemi sudah memberi kepada grup teater kesempatan untuk berefleksi mengenai kegiatannya dan bergaul dengan lingkungan seniman yang lebih luas dari biasanya. Dalam proses ini kita barangkali bisa melihat ‘komunitas teater Indonesia yang sedang menjadi lebih kuat dan bersemangat, diimaginasikan dengan lebih jelas’. Gambaran oleh Ibed Sugana Yuga dari proyek Lelakon dari Kalinari Theatre Movement menunjukkan bahwa hal ini bisa terjadi tidak hanya dengan pertunjukan tapi juga dengan literatur teater.

Perkembangan lain yang disebut dalam artikel oleh Dina Triastuti adalah pembentukan Perkumpulan Nasional Teater Indonesia. Pada waktu krisis ini seniman teater menganggap sangat penting bahwa mereka bersatu dan berkerjasama dalam suatu perkumpulan teater. Supaya seniman di seluruh Indonesia terwakili, mereka setuju bahwa presiden dari organisasi ini mestinya orang dari luar Jawa. Shinta Febriany, seorang sutradara dan penulis drama dari Makassar, terpilih untuk posisi ini.

Masa depan yang tidak menentu

Perkembangan positif ini samasekali tidak meniadakan kenyataan bahwa dampak pandemi sangat berat bagi seni pertunjukan Indonesia dan senimannya.

Banyak yang sudah mengalami penderitaan yang dahsyat. Seniman yang menyandarkan diri sama sekali pada pertunjukan untuk mencari nafkah sudah melihat penghasilannya berkurang secara drastis, terutama mereka yang berkerja di daerah turis. Melati Adelia Dewi dan Afiat Afrizal, bersama Emily Rowe, menulis tentang empat drag queen di Bali, yang membagikan cerita tentang perjuangan mereka. Dampak dari lockdown, jam malam dan larangan atas perjalanan internasiona pada kemampuan mereka mencari nafkah membuktikan dengan sangat jelas kesulitan sosio-ekonomi yang disebabkan oleh pandemi. Bertentangan dengan pengalaman drag queen and seniman lain di ‘global north’, yang tinggal di Bali tidak mendapat untung dari pertunjukan virtual yang sedang berkembang. Karena tidak menpunyai dukungan keuangan dan perlindungan sosial situasi mereka genting sekali.

Pengalaman yang sama diggambarkan dalam artikel Fredy Nicodemus. Fredy mendeskripsikan kesulitan yang terus dialami oleh seniman lain di Bali yang mencari nafkah hanya dari turisme saja. Meskipun begitu kita mendapat kesan bahwa ketabahan dan ketekadan komunitas akan tetap berlaku, bersama harapan untuk Bali pada masa depan, sesudah pandemi.

Banyak pempraktik teater tradisi, terutama di daerah pedesaan, yang kesempatannya menggunakan dan pengertian tentang teknologi internet terbatas, terkena keras oleh pandemi. Karena ongkos tinggi dari jaringan internet dan penyewaan kamera, banyak grup, bahkan di kota, tidak mampu mementaskan pertunjukan virtual. Dina Triastuti menerangkan bahwa rekaman pertunjukan yang ongkosnya dua kali lipat dari pertunjukan live, tapi harus dibayar dengan jumlah uang yang sama, tidak masuk akal untuk teman-temannya di Kalinari Theatre Movement. Iswadi juga khawatir mengenai jarak antara seniman yang mempunyai uang untuk mementaskan pertunjukan virtual dan yang tidak. Lagi pula dia memberi peringatan bahwa teater “ tak bisa dan tak boleh menjadi ‘sekadar dokumentasi’”, hanya presentasi pertunjukan melalui video.

Rahmadi mengingatkan kita bahwa penonton juga menderita karena kehilangan pertunjukan live, yang sering dipentaskan untuk perayaan keluarga dan komunitas. Selama pandemic, orang Jawa yang tinggal di Jakarta merindukan suasana hangat wayangan, tempat di mana mereka dapat berkumpul dengan teman-temannya.

Seniman Indonesia sudah mengalami banyak kesulitan dan tantangan selama pandemi. Walaupun begitu, mereka sudah menghadapi pengalaman ini dengan tegas, berkerja sama, menjaga kewarasan bersama, bertekad (dalam kata Fredy Nikodemus) bahwa ‘the show must go on”. Wujud apa pertunjukan itu nanti, bagaimana pelajaran baru yang dikuasai dan teknik baru yang dihasilkan selama pandemi akan membentuk pementasan pada masa depan, belum jelas.

Barbara Hatley adalah Professor Emeritus Asian Studies, Universitas Tasmania yang sudah lama mengadakan penelitian tentang seni pertunjukan di Indonesia, terutama Jawa. Emily Rowe adalah ahli antropologikesehatan, Bidangnya adalah pencegahan dan pengobatan HIV dan pemberian suara kepada komunitas yang disingkirkan di Asia. Dia juga ikut mendirikan Dare This, berdasar di Bali. 

Inside Indonesia 143: Jan-Mar 2021