Bisakah ormas berfikir?

Demokrasi pro-lingkungan merangkul hak-hak alam, hutan, dan sungai. (Foto: PXBarn)

Perihal berjamaah merusak bumi

David Efendi

Read English Version

Pada tanggal 30 Mei 2024, President Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25, yang memungkinkan ormas keagamaan mengelola tambang. Tawaran ini memicu perdebatan seru di Indonesia. David Efendi adalah dosen dan aktivis di lingkungan Muhammadiyah. Di sini ia menjelaskan kerusakan yang dikerjakan PP 25/2024 terhadap gerakan lingkungan hidup Indonesia. (Editor)

Negara nampaknya takut sendiri menjadi aktor yang menghancurkan planet bumi tempat warga bergantung hidupnya. Ada kesadaran politis penyelenggara negara dan penguasa kapital, bahwa masyarakat Indonesia punya respek yang masih relatif tinggi pada nilai dan kebudayaan religi. Negara tidak mau terdakwah sendirian sebagai pelaku ekosida, dengan menyeret ‘paksa’ kelompok ormas dengan dalih kesejahteraan, distribusi sumber keuangan, kemandirian ormas, dan mitos tambang ramah lingkungan. Jokowi dan operatornya-nya kemudian bersiasat memberi konsesi tambang, dengan dalih apresiasi, bebagi sumber daya yang sesuai konstitusional dan demokratisasi sumber daya alam bagi organisasi yang berjasa melayani masyarakat.

Sayang sekali, lebih banyak organisasi keagamaan yang tidak ‘ngiler’ dengan tawaran remah-remah sisa tambang yang dijanjikan pemerintah. Makna moderasi yang digaungkan kedua ormas Islam terbesar ini mulai dipertanyakan publik sebagai pemakluman atas drama ekosida di negeri ini. Sampai hari ini, negara terus berusaha melibatkan aktor-aktor lain yang menjadi kekuatan Civil Society Organisations (CSO) untuk menambang. Nampaknya sangatlah serius pengelola negara ini tidak mau masuk neraka sendirian akibat bersbisnis batu neraka (baca: batubara). 

NU dan Muhammadiyah adalah kunci kekuatan sipil, yang sejak periode pertama Jokowi menerima privilege, sehingga saat konsesi dipolitisasi maka kedua ormas ini nampaknya pakewuh menolak. Nalar organisasi besar butuh pendanaan untuk operasionalisasi organisasi (NU), dan untuk pengembangan pelayanan publik (Muhammadiyah), seolah bisnis yang selama ini kelam dan merusak menjadi lebih shar’i dan clean and green mining. Tentu saja dalil bisa dimodifikasi sesuai kehendak.

Kooptasi

Akibatnya, daya kritis dan otonomi kedua sayap civil society kian dipertanyakan publik, lebih-lebih terkait gelagat militerisasi UU TNI dan isu-isu populis lainnya: soal ‘Indonesia darurat,’ pemilukada, politik dinasti, dan ekonomi yang melemah. Kooptasi ini semakin menemukan pembenarannya karena ormas tak hadir bersama kritisisme publik yang meluas ini.

Dampak lain kooptasi ini adalah melemahkannya gerakan lingkungan yang sedang tumbuh berkembang di ormas ini. Bahkan terkesan mengalami pendangkalan ekologis karena jebakan politik lebih berat ketimbang melanjutkan agenda-agenda kebangkitan gerakan lingkungan berbasis faith-based organisation, sebagaimana agenda tersebut diapresiasi oleh Anna Gade dalam konteks negara-negara Islam. Kaum muda yang menekuni gerakan lingkungan dua ormas ini pun merasa terpukul mundur atas kooptasi politik ekstraktif ini. Rembesan praktik kooptasi ini bukan hanya pada level induk organisasi tetapi juga pada organ-organ di wilayah daerah bahkan level komunitas. Rasionalitas ekonomi pasar (will to power) dan rasionalitas hasrat untuk mengembangkan organisasi (will to improve) bertemu dalam orkestra konsesi tambang dengan segala persoalan serta dosa yang akan terus menghantuinya.

Terutama dan utama dalam diskusi artikel ini adalah hasrat negara mengkooptasi organisasi keagamaan dengan dalih demokratisasi dan amanah konstitusi membagi izin usaha tambang batubara di akhir kekuasaan Joko Widodo, dan dilanjutkan oleh koalisinya pada pemerintahan Prabowo. Sampai tulisan ini dibuat, ada tiga ormas keagamaan yang notabene Islam yang siap (baik memang karena kemampuannya atau karena pakewuhnya) mengelola tambang. NU kesannya menerima dengan cepat. Muhammadiyah menerima melalui proses ‘berfikir’ dan ‘musyawarah’. Dan PERSIS tak kentara dinamika internalnya. Organisasi lain yang pengen sekali mendapatkan juga ‘jatahnya’ adalah dewan masjid dan sejenisnya. Tak lama berselang, kekuatan CSO lainnya, yaitu kampus, diiming-imingi izin tambang. Beberapa kampus, sangat sedikit, bersuara dengan nada kritis menolaknya karena dapat menjadi ruang pembungkaman kekuatan intelektual-akademis. 

Pembenaran

Keinginan dan kebutuhan organisasi sosial keagamaan terkesan rasional: ‘Untuk menggerakkan organisasi memerlukan jumlah dana besar’. Sayang sekali, situasi ‘nurutnya’ ormas pada jebakan politik konsesi ini (yang masih lemah perlindungan hukumnya) menjadikan kelompok kritis mulai berfikir dan membayangkan demokrasi tanpa kekuatan ormas. Mereka bahkan memberanikan memikirkan Indonesia sebagai masyarakat pasca-ormas—karena skeptis ketika ormas menerima politik ‘jatah preman’. Ketika ormas kuat, ormas pernah diilustrasikan seniman sebagai ‘ormas yang maha kuasa’, karena punya pengaruh cukup besar di saat negara ‘lemah’. Kini, dengan cengkeraman oligarki ekopol berbaju negara, ormas sebagai kekuatan demokratis itu semakin ditinggalkan. Orang mulai menggantikannya dengan ‘demokrasi digital-kewargaan’ sebagai ruang berpolitik tanpa partai politik dan tanpa organisasi keagamaan yang konvensional.

Jelas sekali, ada nada-nada kekecewaan yang sangat empirik di sini. Pada saat tsunami krisis lingkungan yang diikuti dengan krisis keadilan, merebaknya ketimpangan ekonomis, serial bencana geologis dan human-made disaster, maka kelompok organisasi keagamaan tidak hadir dan justru terkesan menormalisasi keadaan seolah tidak ada persoalan struktural di balik kehancuran ekologis. Padahal jika berfikir, ini adalah dampak nyata rezim yang menuhankan menghamba pada pertumbuhan dan ekonomi ekstraktif, meskipun itu meresikokan se-isi planet bumi. Kaum agamawan, ormas yang kepincut dengan mitos tambang untuk kesejahteraan, harusnya membaca buku penting karya E.F. Schumacher, Kecil itu indah, dan Joseph Stiglitz dkk tentang Mengukur kesejahteraan, dan buku Lorenzo Fioramonti Problem Domestik Bruto. Selain itu, seri tulisan Bacaan Bumi juga penting untuk memastikan pertaubatan ekologis bagi kaum ormas keagamaan.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau (PBNU) Yahya Cholil Staquf membeberkan alasan organisasinya menerima pemberian izin tambang dari Presiden Joko Widodo: karena PBNU membutuhkan dana untuk membiyai operasional berbagai program. Sementara itu, PP Persis ingin memberikan contoh pengelolaan tambang yang baik walaupun belum ada pengalaman apa pun dalam dunia lubang tambang peradaban ini. Ketua Umum Persis KH Jeje Zaenudin mengatakan kebijakan dari pemerintah adalah kebijakan yang positif.

Saat itu justru banyak orang berharap kepada Muhammadiyah untuk tidak menerima tawaran mengelola tambang— dengan kesadaran penuh bahwa planet bumi ini sedang tidak baik-baik saja. Bahwa ada banyak kerusakan dan ekosida disebabkan aktifitas ekonomi paling brutal bernama tambang batubara dan tambang nikel. Orang masih ingat lebih dahulu adalah tambang emas Freeport dan Busang, yang membuat ketua pimpinan pusat Muhammadiyah M. Amien Rais ‘terkoyak nurani keadilan sosialnya’ karena praktik ekonomi ekstraktif ini bertolak belakang pada ‘tauhid sosial’ (teologi pembebasan al Ma’un).

Jika hari ini dijelaskan, maka praktik oligarkisme tambang ini merusak teologi ‘al Ma’un hijau’. Sangat jelas, ketidakadilan akibat bisnis tambang bukan hanya untuk masyarakat lokal, warga terdampak, pekerja, tetapi juga sangat tidak adil dan dzalim kepada alam.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah akhirnya pada keputusan final untuk menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Konsolidasi Nasional, sikap Muhammadiyah ini tidak asal menerima tetapi juga menghargai political will pemerintah untuk menjadikan tambang usaha kesejahteraan sosial lewat organisasi kemasyarakatan. Haedar Nashir melihat nilai positif tambang itu seperti sebuah kehidupan. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan dalih penerimaan ini dilakukan dengan mengkaji secara komprehensif, walaupun temuan penulis masih sangat sangat minim perspektif korban.

Sangat menarik, dalam keputusan resmi Muhammadiyah dicantumkan ‘pasal’ yang membuka peluang untuk dibatalkan:

‘Apabila kita pada akhirnya menemukan bahwa pengelolaan tambang itu lebih banyak mafsadatnya, artinya banyak keburukannya untuk lingkungan sosial dan lingkungan hidup serta berbagai aspek lainnya Muhammadiyah juga sepakat mengembalikan IUP itu.’

Namun demikian, beberapa hal perlu didiskusikan agar jelas: Apakah penerimaan izin tambang ini lebih dilihat sebagai barang politis, barang ekonomis, atau barang bekas yang berdalih mitos kesejahteraan di zaman krisis iklim akibat gerak antroposentrisme?

Mitos kesejahteraan

Jika kesejahteraan diukur dengan akses pendidikan, kesehatan, dan kebahagiaan, maka riset advokatif Celios pada area terdampak tambang menghasilan temuan yang menarik untuk disimak, bahwa justru di daerah ini indikator tersebut sangat terbatas untuk mendapatkannya. Hal ini membuat kita berfikir ulang, jangan sampai kaum cerdik cendekia termakan mitos yang mendekati ke syirik. Yang lebih mendekati kebenaran, ada ‘kutukan sumber daya alam’ yang tak lain tak buka adalah kutukan kapitalisme yang menjadikan krisis iklim semakin parah dan semakin berat resiko bagi kelompok miskin. Jika termakan mitos, maka sangat relevan tulisan editorial di majalah Tempo yang dijuduli ‘Bertobatlah, ormas agama’, artinya kembalilah ke kiblat ormas agama untuk tidak berpihak pada gerak merusak bumi dengan dalih perbaikan ekonomi dan kesejahteraan ummat—karena secara faktual, situasi ini memang masih jauh panggang dari api.

Menciptakan krisis tidak seperti krisis

Tawaran tambang kepada ormas sepertinya adalah puncak krisis politik. Krisis berawal dengan dukungannya kepada revisi UU yang memperlemah KPK (2019), berlangsung hingga Omnibus Law yang gagal melindungi pekerja (2020), dan memuncak dengan UU Minerba (Februari 2025) yang memberikan konsesi batubara ke universitas. Negara nampaknya kewalahan menghadapi tekanan gerakan sosial ekologis oleh kelompok CSO kritis, yang basisnya akademisi dan NGO. Pemerintah ingin memukul mundur kekuatan kritis ini dengan melabeli mereka gerakan asing, kiri, anarko, dan sebagainya terus menerus. Tetapi kekuatan itu semakin membesar. Agenda menggandeng ormas keagamaan mainstream sebagai mitra pemerintah-pengusaha menjadi taktik ampuh untuk memenangkan narasi dan memukul mundur kelompok yang berseberangan. Jika perangkap konsesi tambang ini berhasil, maka ormas ada dalam satu meja makan dengan negara-pengusaha batubara. Dalam situasi inilah, demokrasi dipertaruhkan.

Organisasi kemasyarakatan yang dianggap lebih dekat dengan suara nurani rakyat dapat berfungsi seperti pisau bermata dua: dapat mencegah kerusakan atau menjadi legitimasi negara dan perusahaan untuk terus-menerus mengundang petaka dengan kalakuan ekosida. Ada banyak cerita bagaimana ormas-ormas menjadi garda terdepan yang memproteksi bisnis gelap pertambangan ini. Ada yang berseragam ada yang tidak, ada yang bekerja dalam logika pajak ada yang beroperasi dengan gaya jatah preman. Situasi ini yang menentukan apakah sikap dan kebijakan negara tepat atau tidak – yaitu, menentukan strategi menormalkan krisis. Krisis iklim dianggap tidak nyata, masih jauh di masa depan, dan beragam petaka yang diundang akibat deforestasi dan tambang dilabeli sebagai bencana hidrometeorologi. Jika ada banjir di daerah tambang, media media yang sudah menjadi bagian dari oligarki akan kompak bahwa banjir akibat cuaca ekstrim. Meski, ada banyak kesaksian bahwa deforestasi dan penambangan esktrimlah yang mengundang banjir dan petaka longsor—yang berkibat pada semakin melaratnya kelompok rentan di sudut-sudut tanah air.

Bagaimana organisasi keagamaan dapat mengendalikan keserakahan, ketidakadilan ekologis, dan bekerja untuk kebudayaan serta peradaban ekologis? Ini merupakan pertanyaan yang mengajak organisasi kemasyarakatan berfikir tentang nilai-nilai pelestarian kehidupan sebagai platform bersama (common platform). Tentu saja penerimaan izin pertambangan jika menjadikan mekanisme kerjanya business as usual, maka tidak salah jika organisasi keagamaan akan menjadi bagian dari yang menormalisasi krisis. Parahnya, negara cenderung menormalkan keadaan darurat akibat tambang ini sebagai masalah teknis. Georgio Agamben membenarkan dalam ruang demokrasi, negara kerap mengorbankan masyarakat demi maksud-maksud keuntungan ekonomi politik. Tentu saja, mengorbankan kelompok rentan adalah dosa sangat besar jika dilakukan oleh ormas keagamaan. Ini akan menjadi titik balik kerja berpuluh tahun untuk menghadirkan Islam rahmatan lil alamin berubah menjadi Islam yang berpetaka bagi semesta, mengubah gerak teologi pembebasan menjadi teologi penindasan, mengubah nalar ekososialisme menjadi ekofasisme.

Menjadikan ‘Green Islam’ layu sebelum berkembang

Di sela-sela Muktamar Muhamamdiyah ke-47 tahun 2015 di Makasar, yang memiliki legasi penting dalam keterlibatan Muhammadiyah merespon krisis iklim global, Din Syamsuddin sebagai ketua Umum PP Muhammadiyah mempetisi Presiden Indonesia Jokowi dan Sekjen PBB Ban Ki-Moon berisi desakan menanggapi perubahan iklim dengan menetapkan target 100% energi terbarukan pada tahun 2050. Din Syamsuddin menyampaikan dalam petisi tersebut perlunya kerja-sama global antara organisasi iman (faith based-organisations) dengan pemerintah dan dunia internasional untuk ‘menangguhkan’ bencana ekologis.

Organisasi keagamaan yang menerima tambang - PBNU, Muhamamdiyah, Persis – sudah lama menerbitkan kajian tentang fikih lingkungan, teologi lingkungan, fikih air, fikih plastic, sekolah sungai, fikih transisi energi, fikih agrarian, dan lain-lainnya. Mereka juga tergabung dalam MUI yang mempublikasi banyak fatwa tambang dan energi terbarukan. Salah satu argument pokoknya adalah bahwa pandangan Islam itu mengutamakan menghindari bencana/ mudharat ketimbang mengejar manfaat. Sayang dalam orkestra konsesi tambang batubara ini, ketiga ormas lebih memperlihatkan nalar positifistik yang melihat peluang manfaatnya (profit) dan melupakan semua kejadian bencana yang maha memilukan selama tiga dekade terakhir ini. Mungkin yang kurang dari organisasi keagamaan penerima tambang adalah melakukan apa yang diyakini benar untuk menyelamatkan planet bumi sebagai implementasi faith in action.

Muhammadiyah dan NU adalah salah dua dari elemen Green Islam yang terus disorot prestasinya dan sekaligus kontradiksinya. Tetapi periset PPIM UIN Syarif Hidayatullah berkesimpulan Green Islam di Indonesia berjalan setengah hati. Jika manusia bekerja setengah hati maka ia bekerja tidak tulus, ragu, dan rentan akan gangguan. Padahal ditengah kerentanan resiko krisis iklim, kaum agamawan punya kesempatan menjadi kompas ekologi bagi penganutnya, anggotanya. Bagaimana tidak? Fakta: dalam Environmental Performance Index 2024, Indonesia ranking 162 dari 180 negara. Tingkat ketidakpercayaan publik (termasuk masyarakat beragama) terhadap perubahan iklim masih tinggi: 21% responden Indonesia mengaku 'perubahan iklim tidak terjadi' atau 'perubahan iklim memang terjadi tetapi bukan manusia yang bertanggung jawab’ (YouGov, 2020). Ini yang paling tinggi di dunia – diikuti oleh juara penyangkalan krisis iklim, Amerika Serikat.

Organisasi tersebut di atas bukan berarti tidak paham daya rusak bisnis tambang batubara, tapi mereka harus berkarakter moderat di hadapan penguasa yang hegemonik. Antara teologi lingkungan dan keperluan berhubungan baik dengan pemerintah menjadi trade-off tersendiri. Demokrasi sering dibajak oleh kelompok protagonis tambang sebagai dalih berbagi kesejahteraan sebagaimana yang sering dipakai dalam menafsirkan UUD 1945 Pasal 33.

Gagasan-gagasan di kepala pegiat lingkungan semakin bertumbuh kuat, dan ini memungkinkan mereka melawan dari dalam dan dari luar. Kelompok muda NU dengan FNKSDA-nya, dan Muhammadiyah dengan Kader Hijau-nya (KHM), punya jejak bagaimana mereka mengkritisi organisasi induknya yang menerima tambang. KHM membuat propaganda yang diberikan judul Ta’awun menolak tambang, artinya kita semua perlu tolong-menolong dalam kebaikan ibadah protest menolak tambang untuk ormas. Gerakan lingkungan tidak hanya perlu berserikat dengan manusia tetapi juga perla berkoalisi permanen dengan alam raya.

Bisakah pemimpin ormas keagamaan berfikir?

Kenapa hanya ormas Islam yang menerima, dan mengapa ormas agama lain tidak? Bisakah kita memikirkan itu sejenak?

Kekuatan CSO memang bukan tanpa batas. Ada keterbasan sumber daya organisasi itu sangat jelas. Namun demikian, menjadi independen dan mandiri di tengah situasi krisis moral politik dan moral ekologis menjadi suatu pilihan yang sangat mulia, apalagi saat memikirkan peradaban terang di saat ‘Indonesia gelap’. Kegalapan ini bisa juga disebabkan oleh bisnis energi yang kotor dan mencemari. Mencemari kesucian beragam sekaligus mencemari demokrasi. Ormas yang sehat memang harus dimulai dari bisnis yang sehat. Bisnis energi kotor batubara adalah bisnis ‘energi neraka’ sebagaimana yang ditulis aktifis Green Islam asal Amerika, Ibrahim Abdul-Matin, sehingga perlu dijauhkan dari kelompok keagamaan selama masih ada pilihan bisnis energi yang lebih bersih. 

Kontribusi sebagai masyarakat sipil untuk menghambat ambisi merusak bumi antara lain dengan bekerja-sama antar-generasi untuk membangun tiga karakter moral utama.

  • Pertama, meluruskan moral ekonomi yang mengutamakan kelestarian dan keseimbangan sumber daya. Hasrat sejahtera bukanlah tindakan yang haram, tetapi apa artinya sejahtera dengan mewariskan alam yang tidak dapat dihuni? Apa artinya ormas yang punya bangunan pencakar langit jika berada di tengah banjir dan kerusakan lingkungan?
  • Kedua, memperkuat moral ekologi adalah kekuatan etis untuk merawat keseimbangan. Bumi telah memberi segalanya kepada kehidupan manusia, sehingga manusia diamanahkan memakmurkan bumi (earth care-taker), sebagaimana perintah al-Qur-an. Artinya, dengan mengambil banyak pada alam maka sudah seharusnya manusia tidak durhaka kepada alam. Teologi pembebasan dapat bekerja untuk bersahabat dengan bumi tempat makluk hidup bergantung dan melanjutkan ibadah kepada Tuhan. Kesadaran spiritual yang mensucikan bumi layaknya sebuah masjid adalah tindakan yang sangat muliah di tengah kerusakan massif. Untuk mewujudkan moral ekologis demikian diperlukan moral politik yang cukup radikal untuk mereformasi jalan pikiran—yang selama ini menganggap bumi sebagai obyek teknologis untuk hasrat serakah yang jelas tidak dibenarkan dalam ajaran agama.
  • Terakhir, menghijaukan moral politik. Upaya untuk membangun demokrasi yang lebih pro-lingkungan, politik yang afirmatif pada hak-hak alam, hutan, sungai, memerlukan kerja-kerja politik struktural dan kultural. Terdapat stabilitas perjuangan jika berada dalam sistem, sehingga mendorong moral politik dalam perubahan politik secara formal adalah hal ideal. Namun demikian, berada di luar sistem bukan berarti perjuangan yang tidak penting. Dalam konteks tertentu, menjadi kelompok penekan yang pro-aktif, reformatif, kontributif bagi perjuangan pembebasan ekologi dari kuasa oligarkis adalah sebuah kemewahan. Karenanya, prasyarat penting kekuatan faith-based CSO adalah tidak terjebak pada politik konsesi yang kooptatif yang dapat merusak relasi manusia-tuhan-dan-alam.

Penerimaan tambang oleh ormas menciptakan kondisi bisnis yang seolah ramah kepada ormas, tidak ramah sosial dan tidak ramah lingkungan bahkan memecah kekuatan kritis CSO kepada negara yang oligarkis. Ormas keagamaan yang menjadi warga Green Islam harusnya mampu merebut narasi dan meradikalisasi politik atas energi terbarukan sebagai energi surga yang mustinya menjadi orientasi, bukan malah ‘terjebak’ pada kapal yang sama dalam gelimang dosa-dosa ekologis yang lestari.

Di tengah menguatnya cengkeraman oligarki kepada negara-masyarakat, kelompok ormas untuk menghadapi turbulensi politik harus terhubung dengan gerakan-gerakan sosial lainnya, yang lebih inklusif dan lebih independen, mengingat tantangan yang dihadapi bangsa dalam bidang ekonomi politik sangat berat. Ormas harus senantiasa menunjukkan kekuatan politiknya dengan terus-menerus menyuarakan aspirasi publik yang sehat dan obyektif. Selalu terdepan bersuara ketika ada banyak hal yang harus dikoreksi dari problem tata kelola sumber daya alam. Dalam gerakan sosial, koreksi-koreksi itu adalah sebuah tanggung-jawab moral politik yang melekat di dalam CSO sejak dulu hingga kini, dan itu harus dipertahankan sekuat tenaga dan dengan daya kreatif dan advokatif.

Peradaban ekologis

Yang terakhir, kembali meluruskan visi paradigma yang lebih hijau (peradaban ekologis). Hal ini dapat dimulai dari bagaimana cara CSO menghijaukan teologi al-Ma’un. Perintah al-Ma’un itu bukan hanya menyelamatkan kelompok yatim piatu, orang miskin, kelompok marginal, tetapi juga menyelamatkan lingkungan hidup (berbasis eko-teologi liberasi). Jika perut bumi dieksploitasi tanpa batas dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan konservasi kapitalistik, akan menjadi penyebab merebaknya kemiskinan baru, penyebab yatim piatu, penyebab kerusakan-kerusakan moral-spiritual yang berkelanjutan dengan resiko yang tidak terperikan. Maka, lubang tambang sejatinya adalah lubang iman bagi kaum agama.

Sekali lagi, harus diupayakan dengan penuh kesungguhan dan militansi untuk berdakwah di rana politik, advokasi, dan lingkungan hidup sebagai upaya mencegah keadaan lebih buruk di masa depan. Penulis usulkan tafsir-tafsir yang sangat dominan tentang rahmatan lil alamin di dalam risalah peradaban harus sedikit banyak mulai ditransformasikan menjadi sebuah gerakan rahmat bagi bumi, dan membangun konsepsi kewargaan CSO adalah warganegara bumi (earth citizenship) sehingga melampaui kooptasi negara-kekuasaan. Dengan kekuatan teologi pembebasan al-Ma’un yang kian hijau, organisasi sangat siap menyambut babak baru peradaban ekologis, dengan syarat: jika penerimaan tambang ini semakin jelas mafsadatnya, maka pertaubatan menjadi sebuah keniscayaan.

David Efendi (defendi83@gmail.com) adalah dosen Fisipol di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Inside Indonesia 159: Jan-Mar 2025