Generasi yang memecah kesunyian

Published: Feb 11, 2023
English version

Lea Pamungkas

Tahun ini ada momentum berbeda bagi masyarakat Belanda, khususnya mereka yang punya sangkut paut dengan Hindia. Pada 17 Februari yang lalu, Perdana Mentri Belanda Mark Rutte secara resmi meminta maaf atas kekerasan ekstrim yang terjadi saat Perang Kemerdekaan 1945-1949 di Indonesia. Kemudian pada 15 Agustus dalam Nationale Herdenking, peringatan menyerahnya Jepang dan mereka yang gugur dalam perang – untuk pertamakalinya duta besar Indonesia diundang untuk meletakkan karangan bunga. Hal ini untuk menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan hanya untuk orang Eropa, tetapi juga Indonesia.

Namun dampak peristiwa 77 tahun yang lalu ini, tidak begitu saja gampang dijembatani. Bahkan istilah untuk rentang waktu penuh khaos itu, tetap menyisakan polemik: ‘bersiap’ bagi kelompok Indo-Eropa, Ambon, Cina, Menado, mantan anggota KNIL dan para veteran yang kemudian ber-repatriasi ke Belanda, polisional aksi untuk Pemerintah Belanda, dan agresi militer atau Revolusi Kemerdekaan untuk orang Indonesia. Tawaran untuk memakai istilah umum, ‘kekerasan’ sampai sejauh ini masih belum sepenuhnya diterima.

Periode tersebut untuk para repatrianten kerap menjadi demikian kompleks, dengan diwarnai trauma dan stigma. Kompleksitas ini tak jarang menyusup sampai ke ruang keluarga. Ada kalanya setiap anggota keluarga menanggung beban sejarah yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Berkumpulnya korban dan pelaku pada satu meja makan: kakek yang anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsch Leger), nenek yang anak juragan pribumi yang ayahnya dibunuh tentara Belanda, dan untuk menghindari pengejaran gerilya Indonesia, terpaksa lari ke tanah air yang tak pernah mereka kenal sebelumnya. Di kemudian hari lahir anak-cucu berkulit coklat, setengah coklat, atau putih. Ini sekadar contoh, bukan tak mungkin muncul komposisi lain yang lebih ekstrim.

Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima di Istana Bogor, Maret 10, 2020 /Antara/Sigid Kurniawan

Dalam menghadapi kerumitan ini, juga untuk menghindari konflik internal; cukup banyak ‘repratrianten’ menutupi masa lalunya. Diam. Tidak membicarakannya. Mengingkari. Yang tak jarang malah menciptakan kebocoran di sana-sini, baik secara mental maupun perilaku.

Produk tanpa catatan sejarah

‘Keluarga saya adalah produk dari sejarah dunia, tapi tidak pernah ada dalam buku sejarah kita (Belanda,pen.)’ demikian penulis Sacha Celine Verheij dalam instagram Indisch Zwijgen/ Pengingkaran Kaum Indisch. Indisch Zwijgen adalah salah satu wadah generasi ketiga Indo-Europa yang kini menjamur dengan berbagai nama. Jumlah masyarakat Indo-Eropa di Belanda sekarang ini diperkirakan lebih dari 3 juta orang.

Berbeda dengan generasi sebelumnya,generasi ketiga ini tampaknya memilih jalan lain: mendobrak kebungkaman dan mengupayakan sejarah bersama. Tak mau terus menerus mengasah perbedaan dan memelihara luka yang tak mau dibiarkan sembuh.

Upaya mendobrak kebungkaman dan ‘Indische-trauma’ ini, juga dilakukan di kalangan Maluku, Menado, Cina, dan Papua. Untuk mengukuhkan dan mengsosialisasikan keberadaan dan visi, mereka membuat film-film dokumenter, podcast, pameran, simposium dan banyak lagi.

Bagi Generasi ketiga, pengingkaran dan kebungkaman yang dilakukan para orang tua mereka, mempengaruhi pertumbuhan mereka sebagai sebuah generasi. ‘ Perasaan ayah saya yang dipendam, dan sulitnya membicarakan periode Perang Dunia Kedua, berpengaruh pada pola pendidikan saya dan saudara-saudara saya. Bagi saya ini berarti tidak memproses trauma. Saya tumbuh dengan kekosongan emosi yang sulit,’ demikian Patrick salah satu profil dalam Indische Zwijgen.

‘Ada sejenis penyangkalan akibat trauma tersebut. Lalu ketika saya menghadapi situasi emosional, atau ada dalam sebuah hubungan; kecenderungan untuk menghindar, itu muncul. Kebungkaman adalah lubang misterius dalam sejarah keluarga saya.’

Rasisme

Bagi Indonesia, Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 adalah kemenangan yang cerdas. Dalam usianya yang ke-77, demikian banyak kemajuan yang telah dicapai. Namun hal ini bukan berarti membutakan diri untuk melihat dengan kritis. Dalam banyak hal berbagai mentalitas warisan kolonial seperti rasisme dan diskriminasi, nyatanya tak mudah ditinggalkan.

Dari sekian ‘duri dalam daging’ yang dipunyai Indonesia, persoalan Papua adalah yang paling parah. Sekaligus menunjukkan bagaimana Revolusi Kemerdekaan tidak begitu saja menghapus mentalitas warisan kolonial. Sejak 1 Mei 1963, kala Papua menjadi bagian Indonesia, warga Papua telah merasa tidak didengar, di-anaktirikan, dan dieksploitasi. Pada saat yang bersamaan rasisme dan diskriminasi sistematis terus dilakukan Pemerintah Indonesia. Sampai hari ini.

Masih lekat dalam ingatan peristiwa tiga tahun yang lalu pada 19 Agustus 2019, ketika aparat kemananan mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Ketika itu tanpa sengaja, tiang Bendera Merah Putih yang dipasang Pemda jatuh ke selokan. Seketika timbul tuduhan separatisme kepada mahasiswa Papua. Kekerasan pun terjadi,dan aparat keamanan memaki dengan nada rasis dengan menyebut para mahasiswa sebagai ‘monyet’.

Perilaku ini memicu demonstrasi di pelbagai kota mahasiswa di Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku dan pada akhirnya di Papua sendiri. Poster ‘Saya bukan monyet’ kelihatan di kota-kota Papua. Dan mencapai puncaknya di Sorong, lebih dari 20 orang demosntran tewas setelah bentrok dengan aparat keamanan.

Penghapusan peran Gerakan Kiri

Selain rasisme, peran orang-orang sipil dan gerakan kiri, yang jauh sebelum 1945-1949 memiliki posisi penting dalam perjuangan melawan penjajahan, dikibas habis. Lama sebelum dan semasa Revolusi, orang-orang Kiri yang percaya pada ideologi sosialis dan komunis berperan penting dalam menggiring percepatan Revolusi Kemerdekaan. Baik lewat partai politik, atau ide-ide yang mengalir dalam tulisan, film, karya fiksi, lukisan, musik, dan poster-poster.

PRD ketua, Budiman Sudjatmiko, c 1996 / Supplied

Tiga tahun setelah Proklamasi, September 1948 di Madiun-- terjadi penumpasan besar-besaran orang-orang Komunis. Kala itu ribuan orang tewas, termasuk mantan Perdana Mentri Republik Indonesia, Amin Sjarifuddin. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1965-66 Gerakan Kiri di Indonesia benar-benar lantak setelah mantan Presiden Soeharto melancarkan penumpasan G30S. Kala itu ribuan orang tewas, dan sebagian besar anggota atau yang dituduh terlibat PKI, dipenjara tanpa proses pengadilan.

Sejak itu pula, setiap upaya untuk menumbuhkan cita-cita demokrasi yang utuh, antaranya dengan mengedepankan suara alternatif dari pihak oposisi dan suara gerakan kiri, tidak dimungkinkan. Tahun 1996 pemenjaraan para mahasiswa yang bergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berideologi sosialis, adalah satu bukti. Militer Indonesia membuat sejumlah pernyataan untuk meyakinkan publik bahwa pemimpin PRD, Budiman Sujatmiko adalah seorang komunis.

Seorang juru bicara militer Indonesia, mengatakan Budiman menggunakan kata ‘kawan’ untuk menyapa rekan-rekannya, karenanya komunis. Yang lain menyatakan bahwa partai itu sengaja dideklarasikan pada 22 Juli 1996, tanggal yang sama saat Ketua Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit mengeluarkan manifesto partai pada 22 April 1951. Budiman, Petrus dan petinggi PRD lainnya ditangkap pada Agustus dan September 1996. Budiman dijatuhi hukuman 13 tahun penjara dengan tuduhan subversi. Dan baru dibebaskan Desember 1999 setelah Suharto jatuh.

Dominasi militer dalam bernegara

Saat berlangsungnya Revolusi, Sukarno, menyadari bahwa Indonesia bukanlah tujuan akhir, demikian Harm Stevens. Perginya Belanda adalah satu hal, tetapi membangun persatuan dan menumbuhkan sebuah bangsa adalah soal lain. Indonesia kala itu berantakan oleh perang dan pemboikotan, dan di banyak wilayah terjadi pemberontakan atau munculnya gerombolan kriminal. Oleh berlarut-larutnya pertempuran antara kaum Republik dan Belanda, posisi militer menjadi demikian kuat.

Posisi itu, tampaknya tak akan pernah dilepaskan, bahkan dengan mengobankan rasa keadilan rakyat, dan kebenaran sejarah. Sampai sejauh ini jalan untuk memperoleh keadilan, transparansi dan kebenaran, kerap dijegal oleh mentalitas pemerintah yang melanggengkan impunitas bagi pelaku pelanggaran hak azazi manusia (HAM).

Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melalukan Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta (25/11/2021)/ ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

Satu hari setelah peringatan kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 2022, Presiden RI Joko Widodo, mengumumkan Pembentukan tim Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, yang antara lain akan menuntaskan persoalan Tragedi 1965-66, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Penculikan Aktivis 1997- 1998, Penembakan Trisakti Semanggi 1998, Kerusuhan Mei 1998 dan beberapa pelanggaran HAM lain yang sampai saat ini masih menjadi hutang pemerintah.

Pembentukan tim ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian orang setuju mengingat para penyintas, terutama korban Tragedi 1965-66, sudah uzur. Kesepakatan tersebut, demikian menurut LPRKROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru) dalam pers rilisnya (22/08/22), harus menyertakan pemulihan hak utama korban: hak atas kebenaran, keadilan, rehabilitasi, dan jaminan ketidakberulangan.

Sementara mereka yang tidak sepakat, berpendapat penggantian materi saja tidak cukup. ‘Tetapi proses pengadilan bagi pelaku kejahatan HAM ini, sekaligus mencegah keberulangan,’ jelas Maria Catarina Sumarsih, yang anaknya menjadi korban pada Tragedi Semanggi I tahun 1998.

Pencapaian keadilan di Indonesia menjadi semakin sulit karena banyak anggota militer yang terlibat di dalamnya, antaranya Wiranto, Mantan Panglima TNI (Tentara Nasional Indonesia) --yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden-- pernah didakwa Serious Crime Unit, badan yang dibentuk United Nations Transitional Administration of East Timor (UNTAET), karena diduga terlibat pembunuhan, deportasi dan penyiksaan di Timor Timur. Dan tentu saja Letnan Jendral Prabowo Subiakto –kini menjabat sebagai mentri pertahanan-- yang diduga melakukan penculikan terhadap para aktivis 1998. Pelaku penculikan saat itu disebut Tim Mawar yang beranggotakan bawahan Prabowo.

Revolusi, walaupun menuntaskan beberapa soal yang esensial bagi banyak pihak, juga meninggalkan hal-hal rumit. Sepertinya halnya di Belanda, Generasi ketiga Indonesia pasca Revolusi, mencoba mendobrak berbagai kebungkaman sejarah ini dengan banyak cara.

Untuk Tragedi 1965-66, muncul wadah-wadah diskusi seperti ‘Ingat65’ atau ‘Setiap Hari 65’. Yang dengan tak henti-hentinya melawan kebungkaman sistematis yang dilakukan pemerintah, lewat jalur pendidikan alternatif yakni dengan berbagai pameran, diskusi sejarah, buku-buku, film dokumenter, dan penulisan biografi para penyintas. Sejak 15 tahun yang lalu, setiap Kamis jam 16.00-17.00 di depan istana presiden dilakukan Aksi Kamisan disebut juga Aksi Payung Hitam. Aksi ini adalah protes dan tuntutan keadilan untuk kasus pelanggaran HAM tahun 1998.

Sayang sekali sampai sejauh ini, belum ada hasil yang berarti. Negara Republik Indonesia masih terus melakukan pengingkaran pada kebenaran sejarah bangsanya. Tapi mari kita mengutip Angela Davis, aktivis politik yang telah berkiprah selama 50 tahun di AS: ‘We have to learn how to imagine the future in term that are not restricted to our own lifetimes.’

Lea Pamungkas adalah penulis, dan wartawan independen.

Inside Indonesia 150: Oct-Dec 2022