Ketika cinta dan hutang mengalir seperti air

Published: May 27, 2022
English version

Sari D. Ratri

Ende Marina sedang berjalan ke rumah mungilnya di desa Tengku Lese di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ketika saya bertemu dengannya pada akhir Juli 2019. Ende adalah istilah umum di Manggarai, kadang digunakan untuk memanggil ibu, kadang juga digunakan untuk menyapa nenek atau wanita tua. Pada hari itu, Ende Marina baru saja kembali setelah menjemput cucunya, Stefanus, dari sekolah. Stefanus tinggal bersamanya dan bersekolah di sebuah Sekolah Dasar di desa tersebut. Ibu Stefanus, Rita, akan segera kembali ke Timika, Papua. Banyak orang di Tengku Lese bermigrasi untuk mencari pekerjaan yang lebih baik yang bisa didapatkan. Akibatnya, banyak anak lahir di Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Stefanus dan adik perempuannya lahir di Timika ketika orang tua mereka bekerja di sebuah pertambangan.

Bagi keluarga transnasional di seluruh dunia, stabilitas ekonomi datang dengan biaya emosional yang besar. Ada kesedihan dan ketidakpuasan di antara anak-anak yang ditinggalkan. Banyak yang merasa ditinggalkan dan kesepian, dan terkadang berperangai nakal. Ende Marina mengatakan, meski sangat mencintai Stefanus, dia sadar Stefanus cenderung nakal, apalagi dengan kepergian ibunya.

Mendengarkan Ende Marina berbicara tentang keluarganya, saya belajar bagaimana kebahagiaan, kebanggaan, penyesalan, dan harapan memenuhi kisah Ende Marina saat ia bercerita tentang perjuangan dan pengorbanan putrinya untuk keluarga mereka. Dia ingat betapa Rita tidak bisa melanjutkan pendidikannya setelah menyelesaikan sekolah dasar. Rita ingin bekerja dan memberikan penghasilan tambahan untuk Pendidikan saudara-saudaranya. “Rita mulai kerja itu saat dia masih kecil. Semua sekolah adik-adiknya, lulus sampai SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) karena dia.” Meski Ende Marina tersenyum, air matanya mengalir. Dia menyadari ironi dari cerita itu. Untuk biaya pendidikan saudara-saudaranya, Rita rela melepaskan pendidikannya sendiri.

Seorang tamu memberikan restu kepada pemuda yang akan segera berangkat kuliah / Hestu Prahara

Keterbatasan akses terhadap pendidikan adalah kenyataan sehari-hari bagi keluarga miskin di pedesaan Manggarai. Keluarga memegang peranan sangat penting bagi banyak keluarga miskin di Manggarai yang membuat hubungan kekerabatan membingkai kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Untuk meminimalisir dampak kemiskinan, setiap keluarga mengelola ketidakpastian dengan caranya masing-masing. Bagi banyak keluarga, meninggalkan orang yang mereka cintai untuk mendapatkan pekerjaan di tempat lain adalah satu-satunya solusi untuk masalah keuangan mereka.

Peran para Kakek dan Nenek

Ende Marina tidak sendirian, perpisahan keluarga merajalela dan telah menjadi bagian dari tumbuh kembang banyak anak di Manggarai. Berdasarkan sensus tahun 2021 di Indonesia, dari dua puluh tiga kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur, Manggarai adalah kabupaten tertinggi keempat di mana orang mencari pekerjaan di luar provinsi. Oleh karena itu, kisah Ende Marina dapat menjelaskan dampak dari meningkatnya angka perpisahan keluarga akibat migrasi. Meski setiap anggota keluarga mengalami dan menghadapi perpisahan dengan cara yang berbeda, namun cerita Ende Marina menunjukkan pola yang jelas. Perpisahan keluarga terjadi hanya saat keluarga berada dalam situasi yang paling sulit. Orang-orang bepergian ke luar desa untuk menemukan solusi atas masalah mereka. Perjalanan yang mereka lalui dibayar mahal dengan perpisahan dan perasaan kesepian. Mereka pergi ke tempat-tempat di mana kerja mereka akan mendapat imbalan yang lebih baik.

Perpisahan bagi banyak keluarga di Manggarai adalah ungkapan cinta. Tapi apa arti perpisahan bagi mereka yang ditinggalkan, terutama bagi para kakek dan nenek? Menyediakan diri sebagai pengasuh adalah salah satu cara bagi para kakek dan nenek berkontribusi dalam ekonomi keluarga. Banyak yang mengakui bahwa apa yang mereka lakukan hanya untuk menopang usaha anak-anak mereka, mengingat mereka sendiri seringkali tidak memiliki pekerjaan yang dibayar. Beberapa dari mereka memiliki tanah dan mampu menanam tanaman komersial seperti kopi dan cengkeh, tetapi hasil pertanian tidak lah pasti. Beberapa juga menanam tanaman seperti singkong dan ubi jalar untuk makan keluarga. Bagi yang tidak memiliki tanah, mereka bertahan hidup dengan pekerjaan yang tersedia di desa; dari menjadi pekerja rumah tangga atau buruh harian di tanah milik tetangga. Uang yang mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut hampir tidak cukup untuk makan, apalagi sekolah atau perawatan kesehatan. Para kakek dan nenek menganggap bahwa mengasuh cucu mereka sebagai peran utama meskipun cenderung subordinat dibandingkan dengan pekerjaan berbayar.

Pesta sekolah

Pendelegasian peran orang tua kepada anggota keluarga lain baik ke saudara kandung, anak yang lebih tua, kakek atau nenek bukan satu-satunya contoh bagaimana keluarga berusaha mengelola dampak kemiskinan dan mengusahakan akses pendidikan. Salah satu strategi yang digunakan oleh banyak keluarga di Manggarai adalah mengadakan pesta sekolah untuk mempersiapkan anak-anak mereka masuk perguruan tinggi. Strategi yang sudah lama dipertahankan tersebut dilakukan dengan cara mengundang para tamu ke pesta. Di pesta tersebut, para tamu menukar uang dengan sepiring makanan dan segelas tuak.

Tamu undangan berbaris untuk berjabat tangan dengan keluarga angkat / Hestu Prahara

Saya telah menghadiri beberapa pesta sekolah. Biasanya, tuan rumah akan menyembelih seekor atau lebih babi. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli babi tergolong cukup mahal yakni sekitar Rp3,000,000-6,000,000 atau sekitar A$300-600 per 1 ekor babi. Tuan rumah menyiapkan prasmanan dengan babi yang disembelih tersebut. Pesta sekolah umumnya diselenggarakan untuk mengumpulkan sejumlah uang secara sekaligus, yang akan sulit dilakukan jika hanya bergantung dari pekerjaan rutin dan tabungan mereka. Untuk memaksimalkan jumlah uang yang diterima, tuan rumah membutuhkan tamu sebanyak mungkin untuk hadir dan membayar makanan, tuak, dan perayaan yang dinikmati.

Pesta sekolah biasanya dimulai pukul 11 pagi dan bisa berlangsung hingga pukul 2 pagi keesokan harinya. Semua tamu diundang untuk menikmati prasmanan. Setelah itu, mereka berjabat tangan dengan tuan rumah dan anak-anak mereka yang akan meninggalkan desa untuk kuliah. Setiap orang yang berjabat tangan dengan tuan rumah, termasuk anak kecil, memberikan sejumlah uang. Para tamu juga dapat membeli makanan tambahan yang disiapkan oleh sekelompok ende seperti sate babi. Secangkir tuak biasanya ditukar dengan uang Rp5,000 atau sekitar A$0.50. Semakin banyak orang membeli makanan dan minuman tambahan, semakin banyak uang yang diterima si tuan rumah. Orang-orang datang untuk makan dan banyak yang tinggal hingga larut malam. Para tamu menari mengikuti lagu-lagu yang hit saat itu seperti lagu “Kaka Enda” dari Putry Pasanea.

Penduduk desa bersemangat tentang pesta sekolah. Acara itu bisa jadi satu-satunya hiburan dan kesempatan untuk melepaskan diri dari hidup yang monoton. Jika tuan rumah mengumpulkan uang dalam jumlah besar, pesta tersebut menjadi buah bibir penduduk desa. Saya mengenal sebuah keluarga yang berhasil mengumpulkan uang dengan jumlah yang luar biasa yaitu Rp200,000,000 (atau hampir sebesar $A19,000) melalui pesta sekolah. Orang-orang di desa masih ingat betapa menakjubkannya pesta itu tidak hanya bagi tuan rumah yang menerima banyak uang untuk anak mereka, tetapi juga untuk orang-orang di desa yang terbuai dengan musik dan makanan yang disajikan. Demikian juga ketika si tuan rumah hanya mengumpulkan sedikit uang, orang-orang juga akan membicarakan acara tersebut. Namun dengan nada sinis yang menyuarakan kekecewaan mereka dengan musik dan makanannya.

Pesta sekolah bekerja dalam sistem timbal balik, mengandalkan kohesi sosial yang menuntut orang untuk berkontribusi secara finansial. Misalnya, jika sebuah keluarga mengadakan pesta sekolah, di masa depan, mereka memiliki kewajiban untuk menghadiri dan membayar “hutang” kepada para tamu yang menghadiri acara mereka. Karena praktik timbal balik ini didasarkan pada ikatan kekerabatan antara keluarga di desa, kewajiban untuk membalas budi tersebut berlanjut lebih dari sekadar urusan menghadiri pesta sekolah. Contohnya, setelah dua keluarga diikat melalui sebuah undangan pesta sekolah, mereka memiliki kewajiban bersama yang berkelanjutan untuk menghadiri setiap pesta sekolah yang diadakan oleh satu sama lain.

Laki-laki berkumpul di sekitar meja di mana anggur aren dan sate perut babi disajikan untuk uang tambahan di Pesta Sekolah / Hestu Prahara

Antara bulan Juni dan Agustus, akan ada beberapa pesta sekolah di desa. Biasanya jadwal penerimaan mahasiswa baru banyak universitas di Indonesia terjadi pada bulan-bulan itu. Banyak orang muda dari Manggarai bersiap-siap untuk pindah sementara keluarga mereka mengadakan pesta sekolah untuk membiayai mereka. Bulan-bulan tersebut bertepatan dengan musim kemarau dan banyak keluarga berjuang untuk mengumpulkan cukup uang untuk membayar biaya pendidikan anak-anak mereka. Namun bagi banyak keluarga miskin di desa yang tidak memiliki tanah, dan bekerja serabutan, mereka menghadapi dilema dalam menghadiri pesta sekolah. Untuk dapat memenuhi kewajiban sosialnya, banyak keluarga miskin yang harus meminjam sejumlah uang dari sanak saudara dan tetangga hanya untuk membayar undangan pesta sekolah.

Pesta sekolah juga menjadi beban bagi sebagian penduduk desa. “Budaya yang buat kita miskin!” kata Salis, ayah dari seorang anak perempuan berusia lima tahun. Dia menceritakan betapa sulitnya mendapatkan uang yang dia butuhkan untuk menghadiri undangan pesta sekolah dari kerabatnya. Sebagai petani yang tidak memiliki lahan, Salis kadang merasa bahwa pesta sekolah memperparah masalah ekonominya. Akan tetapi, dia juga sadar bahwa suatu hari nanti dia akan mengharapkan orang untuk menghadiri pesta sekolah putrinya. Pada hari kami bertemu, Salis baru saja meminjam sejumlah uang dari Papa Fons dan Mama Kris, orang tua angkat saya. Salis akan membayar mereka kembali setelah dia menerima upah untuk pekerjaannya di lahan kopi milik Papa Fons. Malam harinya, kami bertemu lagi di pesta sekolah yang membuatnya frustrasi beberapa jam lalu. Saat itu Salis tidak lagi kecewa, dia menari dan membiarkan dirinya tenggalam dalam nikmatnya tuak. Salis tampak benar-benar larut dalam rasa senang walaupun hanya untuk beberapa jam saja.

Meskipun cerita-cerita yang disajikan dalam tulisan ini menunjukkan kesulitan ekonomi, mereka juga menyatakan cinta. Di tengah situasi genting yang disebabkan oleh ketimpangan, tali kekerabatan dan hubungan masyarakat adalah sumber paling berharga dalam mendukung pendidikan anak-anak di antara keluarga miskin di Manggarai. Aspirasi mereka sederhana: dengan lebih banyak uang, anak-anak bisa menyelesaikan sekolah di jenjang yang lebih tinggi dan hidup nyaman. Ketika mereka mencapai kesuksesan dan stabilitas keuangan, harapannya kemudian mereka dapat mendukung keluarga dan komunitas sebagai balas budi mereka. Apa pun hasil dari strategi bertahan hidup tersebut, mereka bersandar pada rasa cinta dan timbal balik sosial, meskipun menguntungkan bagi beberapa orang sebagian lainnya jatuh dalam jerat hutang yang cukup dalam.

Sari D Ratri adalah kandidat PhD dalam Antropologi di Northwestern University, Illinois, U.S.A. Dia adalah Arryman Scholar dan salah satu pendiri Ekuator Research.

Inside Indonesia 148: Apr-Jun 2022