Pasukan siber bayaran vs KPK

Published: Oct 13, 2021
English version

Wijayanto & Albanik Maizar

Di tengah berbagai indikasi kemunduran demokrasi Indonesia, mungkin peristiwa yang paling penting dan mengejutkan adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019. Revisi itu secara serius melemahkan lembaga antikorupsi ini, mengubahnya menjadi lembaga pemerintah. Pasca revisi, KPK dipantau oleh dewan pengawas yang secara efektif merusak otonomi dan wewenang penyelidikan independen lembaga ini. Ini bukan pertama kalinya KPK menghadapi upaya untuk membatasi mandat pemberantasan korupsinya. Korupsi sudah mendarah daging di kalangan elit politik dan ekonomi, sehingga politisi punya banyak alasan untuk menjauhkan KPK dan, sekarang, mengendalikannya. Meski demikian, revisi UU KPK cukup mengejutkan karena terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. Proses revisi tersebut dilakukan hanya dalam hitungan hari, sejak pengajuan di parlemen hingga pengesahannya pada 17 September 2019. DPR menyetujui revisi tersebut meski mendapat protes keras dan protes massa dari mahasiswa, akademisi, dan aktivis di seluruh Indonesia.

Menanggapi protes ini, pasukan pro pemerintah mendanai manipulasi opini publik di media sosial untuk mendapatkan dukungan atas undang-undang kontroversial tersebut. Untuk meningkatkan dukungan publik terhadap revisi UU KPK, para tantara siber bayaran dikerahkan untuk mengarahkan diskusi online tentang topik tersebut ke arah narasi pro-revisi, dengan membanjiri media sosial, khususnya Twitter, dengan pesan, meme, dan tagar pro-revisi.

Pasukan siber bayaran ini mempromosikan tagar seputar tema 'KPK dan Taliban', berusaha menunjukkan bahwa KPK dipenuhi dengan 'elemen ekstremis' dan oleh karena itu perlu dikendalikan. Meskipun narasi ini jelas-jelas didasarkan pada disinformasi – tidak ada indikasi bahwa anggota KPK menganut Islam versi ekstremis – hal ini menimbulkan ketakutan publik akan ancaman ekstremisme agama dan terorisme. Narasi pasukan siber kemudian digaungkan dan diperkuat di media arus utama, melengkapi siklus manipulasi opini publik.

Pertempuran tagar

Diumumkannya RUU Revisi UU KPK pada 5 September 2019 lalu, ramai diperbincangkan di media sosial. Meskipun hal ini wajar untuk topik kontroversial apa pun, ada puncak yang mencolok dalam gelombang percakapan seminggu sebelum RUU itu diratifikasi, terutama di Twitter. Analisis jaringan sosial (SNA) yang dilakukan oleh lembaga riset media sosial, Drone Emprit, menunjukkan lonjakan tiba-tiba dalam jumlah tweet dalam beberapa hari menjelang ratifikasi. Secara total, lebih dari setengah juta tweet menyebut KPK dalam satu minggu antara 10 sd 17 September, yang luar biasa tinggi untuk satu topik.

Sudden spike in conversations about the revision of the KPK law from 10-17 September 2019 / Drone Emprit
Volume of conversation about the KPK Law’s revision / Drone Emprit

Meskipun revisi yang diusulkan tidak populer, percakapan di Twitter didominasi oleh akun yang mendukung revisi tersebut. Narasi pro-revisi dibangun di sekitar serangkaian tagar, dimulai dengan #KPKTaliban dan variasi pada tema ini. Ini dipasangkan dengan tagar seperti #DukungRevisiUUKPK ('dukung revisi UU KPK'), #TempoKacungKPK ('Tempo adalah petugas kebersihan KPK', mengecam komentar kritis majalah Tempo tentang RUU untuk merevisi UU KPK), #KPKCengeng ('KPK cengeng' ), #KPKKuatKorupsiTurun ('KPK Kuat, korupsi menurun') dan terakhir – tagar yang mendominasi pada 17 September, hari ketika revisi disahkan – #KPKPATUHAturan ('KPK TAAT pada hukum'). Beberapa hastag juga membingkai revisi dalam bahasa patriotisme – seperti #RevisiUUKPKForNKRI, ‘Revisi UU KPK untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia’ – yang menyiratkan bahwa mereka yang menentang revisi tersebut tidak patriotik. Sementara itu, netizen yang menyatakan penolakannya terhadap revisi – dengan menggunakan tagar #TolakRevisiKPK (‘tolak revisi KPK’) – jauh lebih kecil volumenya di di Twitter sepanjang minggu itu. Mereka yang memprotes revisi tersebut kalah dalam pertempuran hashtag mereka melawan pasukan cyber, karena Pasukan siber bayaran dapat menggunakan banyak akun dan bot palsu untuk memperkuat narasi pro-revisi mereka.

Visualisation of the social network analysis of Twitter accounts that support and reject the KPK Law revision / Drone Emprit

Pasukan siber bayaran menggunakan berbagai taktik untuk membujuk netizen agar memposting tagar pro-revisi juga. Salah satu nya adalah 'give-away quiz', di mana netizen bisa memenangkan hadiah untuk memposting konten tertentu. Salah satu kuis tersebut berbunyi: '50K untuk 2 orang yang beruntung', dengan syarat mereka men-tweet tagar #KPKPatuhAturan. Ini membantu melambungkan tagar ke dalam daftar tren Twitter, menciptakan kesan bahwa opini publik di Twitter sangat mendukung revisi UU KPK.

Meme digunakan untuk meyakinkan publik bahwa pendapat ini dibagikan secara luas di antara tokoh-tokoh publik. Satu meme menunjukkan dukungan dari tokoh-tokoh terkemuka untuk upaya revisi, termasuk mantan menteri sekretaris negara Yusril Ihza Mahendra, mantan wakil presiden Jusuf Kalla, ahli hukum pidana dan perancang undang-undang KPK Romli Atmasasmita dan anggota parlemen Arteria Dahlan. Kenyataannya, tidak semua tokoh tersebut mendukung revisi UU KPK. Tetapi untuk membuatnya tampak mendukung revisi, kutipan ditambahkan dari pernyataan para tokoh, yang belum tentu kata-kata mereka. Foto Yusril Ihza Mahendra, misalnya, disertai keterangan: 'Semua lembaga membutuhkan badan pengawas internal, tak terkecuali KPK'. Keterangan yang menyertai foto Romli Atmasasmia berbunyi: ‘KPK harus diawasi, melekat pada struktur bukan di luar struktur’. Bagi para pembuat konten pasukan siber, meme dengan dampak visual instan adalah senjata ampuh untuk membujuk netizen.

Mengumpulkan pasukan

Wawancara dengan orang-orang yang terlibat di dalam pasukan siber ini menegaskan bahwa memanipulasi opini publik adalah pekerjaan mereka. Bagi banyak dari mereka, pekerjaan propaganda siber mereka hanyalah: pekerjaan berbayar. Keyakinan dan pandangan pribadi mereka tentang KPK tidak berperan dalam menjalankan pekerjaan ini, tetapi hanya memberikan sumber pendapatan. Beberapa 'buzzer' atau pengelola akun palsu mengaku direkrut dan dibayar khusus untuk memproduksi dan menyebarluaskan propaganda online mendukung revisi UU KPK. Proses rekrutmennya pun tidak sembarangan. Mereka yang diundang kerja propaganda ini sudah terbiasa ‘bermain’ di media sosial. Bahkan, ada yang sebelumnya menjadi bagian dari tim kampanye media sosial pada Pilpres 2019.

Rekrutmen biasanya terjadi melalui jaringan informal melalui WhatsApp. Salah satu buzzer mengenang: ‘Jadi ada isu baru ini [revisi UU KPK], kan, saya mendapat informasi dari beberapa teman saya di grup WhatsApp ini; mereka berkata, mari kita berkumpul, mari kita kumpulkan pasukan, bro'. Mereka setuju untuk mengangkat 'isue' itu dan memviralkannya di jaringan mereka: '... pada akhirnya menyebar ke semua grup buzzer seperti itu. Karena buzzer punya grup sendiri kan, akhirnya infonya viral’. Orang lain dalam jaringan ini adalah Arjuna (bukan nama sebenarnya), seorang buzzer berpengalaman yang memiliki banyak akun palsu. Menurutnya, tidak hanya kampanye pro-revisi yang menggunakan pasukan siber. 'Sama halnya dengan pihak kontra', katanya, 'mereka juga menyiapkan tim buzzing, tim influencer, kok. Bohong jika mereka mengklaim tidak dibayar'. Lagi pula, dia menambahkan, 'itu legal, dalam demokrasi digital semuanya legal'.

Meme created and disseminated by cyber troops, pairing pictures of trusted public figures to pro- revision statements, which were not necessarily their words / Drone Emprit

Atas kiprahnya dalam menyebarluaskan konten sehari-hari, kata Arjuna, mereka diganjar hingga jutaan rupiah per bulan. Tarif khusus diterapkan untuk layanan mempopulerkan tagar karena ini membutuhkan kerja ekstra dan lebih banyak akun anonim dengan banyak pengikut. Buzzer bekerja dengan menggunakan hashtag tertentu dan mempostingnya di Twitter pada waktu yang telah ditentukan: 'Untuk menaikkan tagar, butuh waktu, kan', jelas Arjuna. Kalau tidak, mereka bebas menentukan konten dan waktu posting, 'kecuali untuk mengangkat topik yang sedang tren, itu berbeda lagi.'

Selain mempromosikan revisi UU KPK secara langsung melalui meme, infografis, dan tagar, kerja propaganda juga diarahkan untuk membangun narasi sektarianisme – anggapan bahwa membiarkan KPK tidak terkendali akan meningkatkan ekstremisme di Indonesia. Inti dari narasi ini adalah tagar #KPKSarangTaliban (‘KPK adalah sarang Taliban’), yang merupakan salah satu tagar yang paling sering digunakan dalam operasi pasukan siber ini. Untuk mendukung narasi ini, demikian salah satu tantara siber bayaran menjelaskan, koordinator menerima sedikit informasi dan 'data' dari klien mereka untuk dijadikan sebagai 'bukti', yang kemudian disebarkan ke seluruh jaringan pasukan siber. Saat menyebarkan postingan tersebut, beberapa pasukan juga mulai mempercayai cerita tersebut. Arjuna, misalnya, yakin akan adanya 'fraksi Taliban':

'Kalau mau tahu, [di dalam KPK] ada fraksi polisi, ada fraksi kejaksaan, dan fraksi Novel [Baswedan]. Nah, yang dituduh [...] menjadi sarang Taliban adalah faksi Novel karena dia dekat dengan Abdullah Hehamahua [mantan penasihat KPK yang dituduh terlibat radikalisme].’

Amplifikasi media arus utama

Upaya pasukan siber untuk memanipulasi opini publik tentang revisi UU KPK tidak hanya berdampak di media sosial, karena media daring arus utama memberitakannya secara instan. Kisah yang mengaitkan KPK dengan 'Taliban' disebutkan oleh media arus utama dalam setidaknya 250 artikel berita daring antara 10 dan 17 September. Beberapa artikel memang menyanggah cerita bahwa KPK menjadi 'sarang Taliban'. Misalnya, CNN Indonesia pada 7 Mei 2019 mengutip Wakil Ketua KPK, Busyro Muqqodas, yang menyatakan cerita itu adalah taktik politik dari istana untuk membenarkan pelemahan KPK. Situs berita Tirto.id pada 16 September 2019 mengutip keberatan penyidik KPK Novel Baswedan yang berpendapat bahwa narasi viral di media sosial hanyalah skema untuk membubarkan KPK. Situs berita arus utama lainnya, bagaimanapun, hanya mengulangi narasi viral tanpa kritis. Di era jurnalisme umpan klik yang bergerak cepat, fabrikasi daring pasukan siber memberikan umpan cepat untuk berita yang, karena klaim sensasional mereka, pasti akan menarik banyak audiens.

Karena amplifikasi media ini, narasi ‘KPK-dan-Taliban’ mendominasi percakapan publik. Dengan mengkonstruksi dan menyebarluaskan cerita-cerita yang kemungkinan akan diangkat di media mainstream, pasukan siber berhasil mengatur agenda debat publik karena topik sensasional ini menjadi perbincangan warga. Pengulangan terus-menerus membuat narasi Taliban kredibel: sebagaigaman proposisi propaganda yang menyatakan, 'kebohongan yang diulang-ulang akan membuat orang melihatnya sebagai kebenaran'.

Sebuah survei yang dilakukan oleh surat kabar Kompas, yang dilaksanakan pada pertengahan September atau saat manipulasi opini publik berlangsung, menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa UU KPK perlu direvisi (44,9 persen), sementara hanya 39,9 persen yang tidak setuju. Dari mereka yang setuju, sebagian besar (78,2 persen) mendukung pernyataan bahwa revisi UU KPK akan memperkuat lembaga antikorupsi ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, KPK secara konsisten dilaporkan oleh berbagai lembagai survey sebagai salah satu lembaga paling tepercaya dan populer di negara ini, dengan sekitar 80 persen responden menyatakan bahwa mereka memercayai lembaga antikorupsi tersebut. Survei Kompas dengan demikian menunjukkan perubahan besar dalam opini publik, menjadi bukti betapa kampanye pro-revisi di media sosial sangat efektif. Ironisnya, dengan pemberitaan hasil survei pada 16 September (sehari sebelum DPR memperdebatkan dan mengesahkan revisi UU KPK) Kompas, entah disadari atau tidak, justru turut membantu mengamplifikasi agenda pasukan siber. Sebagai missal, salah satu legislator dan anggota komisi yang membahas RUU KPK, Nasir Djamil, berkomentar, survei Kompas mengkonfirmasi bahwa orang Indonesia menyetujui upaya pemerintah untuk merevisi undang-undang KPK (antaranews.com, 16 September 2019).

Pasukan siber bayaran ancaman demokrasi

Debat online seputar KPK menjadi preseden yang mengkhawatirkan. Sepengetahuan kami, kampanye tersebut adalah pertama kalinya pasukan pro-pemerintah menggunakan pasukan siber dalam skala begitu besar untuk mendapatkan dukungan publik terhadap kebijakan pemerintah. Mungkin karena keefektifannya, strategi ini kemudian diulang untuk menggalang dukungan publik terhadap kebijakan New Normal dan Omnibus Law (Penciptaan Lapangan Kerja). Karena keberhasilan kampanye revisi UU KPK, elit penguasa Indonesia menyadari bahwa pendanaan pasukan siber adalah alat yang efektif untuk mempengaruhi opini publik demi keuntungan mereka. Penggunaan pasukan siber ini jelas merusak kualitas debat publik dan demokrasi di Indonesia, karena ia tidak hanya memanipulasi opini publik dengan disinformasi, tetapi juga mencegah orang Indonesia mencermati dan mengevaluasi perilaku politisi yang berkuasa.

Wijayanto (wijayanto@live.undip.ac.id) adalah direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES dan dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro. Albanik Maizar (albanick@outlook.com) adalah peneliti LP3ES.

Inside Indonesia 146: Oct-Dec 2021