Berdamai dengan pandemi

Published: Aug 05, 2021

Nur Azizah

English version

Saat ini, aku sedang melakukan riset online dari Canberra untuk studi S3-ku di the Australian National University. Sejak pandemic COVID-19, kira-kira Februari 2020 kampusku mulai menerapkan larangan bepergian bagi dosen dan mahasiswa, termasuk larangan untuk melakukan penelitian lapangan di negara asal mahasiswa. Larangan bepergian ini adalah salah satu hal yang tidak kubayangkan akan ada dalam perjalanan penelitianku.

Aku meneliti tentang pengelolaan sampah di Indonesia, dengan kasus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (termasuk di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul). Topik ini menarik untukku karena persoalan sampah di wilayah urban di Indonesia yang terus meningkat namun upaya untuk menyelesaikan masalah sampah masih saja terkesan setengah-setengah. Ada beberapa persoalan dalam pengelolaan sampah, mulai dari pengurangan produksi sampah dari penghasil sampah (rumah tangga, perkantoran, pasar, dll) sampai pada masalah di lokasi pembuangan atau tempat pemrosesan akhir (TPA) di banyak kota di Indonesia. Masalah yang terkait dengan TPA ini beragam, mulai dari masalah kelebihan kapasitas akibat penanganan sampah yang menggunakan metoda pembuangan terbuka (open dumping) hingga konflik antara pengelola TPA dengan masyarakat di sekitar TPA karena jalanan rusak akibat dilewati truk-truk sampah terus-menerus, polusi udara dan menurunnya kualitas air di wilayah sekitar TPA. Sampah terus menjadi masalah bagi masyarakat, pemerintah, juga lingkungan, meskipun sudah banyak pihak (pemerintah dan non pemerintah) yang berupaya mengatasi masalah tersebut. Dalam penelitian yang kulakukan, satu hal yang ingin kudalami adalah bagaimana keterkaitan antara aktor dan sistem tata kelola sampah oleh pemerintah dan non pemerintah dan bagaimana kontribusi mereka dalam membentuk tata kelola sampah di daerah perkotaan.

Rencana terbaik

Saat menyiapkan proposal riset S3-ku diawal tahun 2019, aku membayangkan akan melakukan etnografi atau observasi partisipatif dan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data untuk menguak seluk-beluk tata kelola sampah di Indonesia dengan lebih mendalam. Aku membayangkan akan pergi ke Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Piyungan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Indonesia. Disana aku akan mengamati bagaimana interaksi antara pemulung, pengepul dan pegawai TPA disana. Aku juga membayangkan akan bertemu, mewawancarai dan mengamati berbagai kalangan, mulai dari para aktifis di berbagai komunitas yang mengelola sampah, akademisi, jurnalis dan aparat birokrasi yang terkait dengan tata kelola sampah di Provinsi DIY maupun secara umum di Indonesia. Namun, pandemi ini membuyarkan desain riset yang kurancang dalam proposalku.

/ Adam Cohn cc Flickr

Paska ujian proposal di bulan Mei 2020, aku pun menyiapkan proposal untuk kuajukan ke komisi etika riset di kampus. Larangan bepergian yang diterapkan menjadikan komisi ini hanya menerima aplikasi proposal yang menggunakan metode bukan tatap muka atau metode online. Berhubung risetku harus tetap jalan, metode pengumpulan data yang kemudian kuajukan adalah wawancara mendalam dengan menggunakan media online seperti Zoom atau yang lainnya. Meskipun sejak awal ada keraguan saat akan menggunakan metode ini karena sifat interaksinya yang “hanya” melalui layar, namun karena tidak ada pilihan lain, metode online akhirnya kupilih.

Adaptasi

Sejak memperoleh persetujuan riset dari Komisi Etika Riset di bulan September 2020, aku pun mulai mengidentifikasi calon-calon informan penelitian untuk kuwawancarai dari berbagai kelompok yang kujelaskan diawal. Dalam hal ini, aku cukup beruntung karea lokasi riset yang kupilih adalah kota asalku, sehingga aku cukup mempunyai jejaring untuk memulai menghubungi narasumber-narasumber penting untuk risetku. Selain melalui kenalan di birokrasi, akademisi atau kelompok lainnya, aku juga mengontak narasumber adalah melalui email. Metode ini kuberlakukan untuk calon-calon narasumber yang telah menerbitkan artikel-artikel jurnal yang mereka tulis. Jika beruntung, emailku akan dibalas kurang dari seminggu dan kemudian sudah bisa wawancara.

Namun adakalanya ada kesulitan saat menghubungi calon nara sumber melalui email, yang sampai berhari-hari bahkan beberapa minggu tidak ada balasan. Jalan keluarnya adalah dengan mengandalkan jejaring tadi dan meminta bantuan kepada narasumber yang sudah berhasil kuwawancarai untuk memberikan nomer handphone/WhatsApp dari calon-calon narasumber yang mereka kenal untuk kuhubungi. Kendala lainnya adalah akses internet di Indonesia yang terkadang tidak stabil, sehingga mengganggu proses wawancara. Kadang harus putus ditengah jalan atau ada bagian-bagian dimana suara narasumber terputus dan aku harus meinta mereka mengulang bagian-bagian itu. Tantangan terbesarnya adalah membangun komunikasi yang mendalam dengan narasumber yang baru kukenal dan kulihat wajahnya melalui Zoom. Namun aku cukup beruntung, semua narasumber bisa memahami metode online yang kugunakan dalam risetku karena karena pandemi ini.

Dari narasumber-narasumber yang telah kuwawancarai hampir semuanya adalah orang Indonesia, kecuali satu akademisi dari Australia. Beliau mempunyai pengalaman bekerja di topik tata kelola sampah di DIY sehingga aku memperoleh insight banyak dari pengalaman beliau. Untuk membantu aku memahami tata kelola sampah, aku juga mempelajari tata kelola sampah di Australia yang jauh lebih maju dibandingkan dengan di Indonesia. Satu hal yang kupelajari dari tata kelola sampah di Australia adalah bahwa untuk dapt mengelola sampah, memang prosesnya tidak bis instant. Diperlukan upaya terus-menerus untuk memperkuat kepedulian warga negara dalam isu sampah, terlebih lagi dalam isu ini peran warga menjadi sangat penting. Masyarakat berperan penting sebagai produsen sampah, dengan cara memperbaiki pola konsumsi (karena akan terkait dengan jumlah sampah yang dihasilkan) dan dalam proses memilah sampah.

Batasan

Riset secara online memang tidak semenarik riset langung di lapangan. Dalam riset online, komunikasi melalui layar membuat interaksi kurang seintim interaksi langsung, khususnya untuk narasumber yang belum kukenal sebelumnya. Dalam wawancara online, aku hanya dapat melihat ekspresi wajah narasumber tanpa dapat melihat bahasa tubuh. Memulai pendekatan dengan calon narasumber juga menjadi tantangan tersendiri, khusunya untuk narasumber yang belum kukenal sebelumnya. Aku juga beberapa kali mengalami situasi dimana calon-calon narasumber yang kuhubungi tidak ada yang merespon email maupun pesan melalui WhatsApp. Sempat merasa putus asa waktu itu, karena dalam waktu 3 minggu, tak satupun calon narasumber yang kuhubungi memberikan respon untuk permohonan wawancara. Namun, tiba-tiba ada saja teman atau kenalan yang tiba-tiba bertanya mengenai risetku dan kemudian memberikan bantuan untuk mengontak calon narasumber lain yang juga kompeten di isu ini.

/ Adam Cohn cc Flickr

Tantangan lainnya adalah akses internet bagus yang tidak dimiliki oleh calon narasumber dari kelompok pemulung dan pengepul. Infromasi yang kuperoleh menyebutkan bahwa koneksi internet di daerah sekitar TPA tidak stabil, sehingga menyulitkan untuk melakukan wawancara online. Sejauh ini aku baru dapat mewawancarai narasumber yang termasuk dalam tata kelola sampah formal sehingga risetku terasa elitis karena baru dapat menjangkau mereka yang berada di kelompok birokat, akademisi, jurnalis dan aktifis. Data wawancara yang kuperoleh kemudian kutranskrip dan kuolah menggunakan NVivo, aplikasi untuk mengolah data kualitatif, yang baru kupelajari saat pandemi berlangsung.

Inovasi

Di tengah perjalanan risetku, aku memperluas metode penelitian dan analisa data dengan menggunakan Analisa Wacana Kritis sebagai tambahan untuk metode wawancara yang kulakukan. Ide menggunakan analisa wacana kritis ini baru muncul awal Januari 2021 saat aku mulai menyiapkan naskah yang terkait dengan kebijakan tata kelola sampah di Indonesia. Akupun kemudian mengikuti kursus singkat untuk mempelajari metode ini yang diadakan di ANU.

Meskipun lambat proses risetku, sampai saat ini belum terbersit pikiran untuk mundur atau cuti dari studiku ini. Para pembimbing yang sangat mendukung dan memahami kesulitan dalam risetku karena pandemi ini juga menjadi salah satu energi untuk terus melakukan riset. Pertengahan Februari 2021 lalu, meskipun aku baru mewawancara sepertiga dari target jumlah narasumber risetku, aku sudah dapat menyusun laporan kemajuan studi yang dianggap memuaskan oleh para pembimbingku. Mereka juga menyetujui rencanaku menggunakan metode analisa wacana kritis sebagai tambahan metode riset dan analisa data. Aku kemudian mengajukan permohonan variasi metode penelitian yaitu dengan merekrut asisten peneliti di Yogyakarta untuk membantuku melakukan wawancara dengan kelompok informal (pemulung dan pengepul) ke komisi etika riset disetujui. Permohonanku ini disetujui, yang menjadi penambah semangatku untuk melanjutkan penelitianku.

Adaptasi dengan metode riset online ini juga kulakukan dengan cara berdamai dengan idealitas tentang standar apa itu riset yang baik yang ada di kepalaku selama ini. Berdamai dengan alternatif yang paling memungkinkan dalam situasi paling tidak ideal menjadi satu kunci penting untuk merawat semangat riset di masa pandemi ini. Dan pengalamanku membuktikan, jika kita bisa menerima situasi disekitar kita, akan ada bantuan-bantuan dari arah yang tak terduga.

 

Inside Indonesia 145: Jul-Sept 2021