Bhinneka Tunggal Ika?

Published: May 03, 2021
Realitas yang sering kali tidak sesuai ekspektasi
English version

Usman Hamid

Warga Indonesia sangat bangga dengan semboyan bangsa, Bhineka Tunggal Ika – Berbeda-Beda tetapi Tetap Satu, dan lambang negara yang toleran dan menjunjung tinggi keberagaman. Dalam praktiknya, realitas sering kali tidak sesuai ekspektasi, dan standar ganda tetap ada dari perlakuan yang diberikan kepada etnis minoritas tertentu baik oleh negara maupun publik pada umumnya.

Di Indonesia, beberapa hukum dinilai telah memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas: Pasal 156 Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya, melarang ujaran kebencian atau ketidaksukaan secara publik terhadap ras, agama, suku ataupun kebangsaan di Indonesia.

Pasal 28 Ayat 2 dalam Undang – Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga melarang penyebaran informasi “yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis secara lebih eksplisit memberikan jenis – jenis tindakan diskriminatif yang dapat dijerat hukum sampai dengan lima tahun penjara.

Di atas kertas, beberapa UU tersebut memberikan perlindungan yang baik terhadap kelompok minoritas dan juga pencegahan serta hukuman yang cukup signifikan terhadap perilaku rasis dan diskriminatif. Akan tetapi, aturan-aturan ini sebenarnya memberikan sedikit perlindungan terhadap kelompok minoritas, dan pada praktiknya, lebih sering digunakan untuk ‘menyerang’ kaum minoritas. Pada akhirnya, kelompok minoritas yang memang sudah rentan menjadi lebih terdiskriminasi dan termarginalkan.

Untuk memahami lebih lanjut bagaimana beberapa UU ini dan sistem keadilan pada umumnya telah secara timpang menargetkan kelompok minoritas. Pengalaman dari dua kelompok etnis dan ras yang paling terdiskriminasi di Indonesia, Orang Papua dan keturunan Tionghoa, memberikan studi kasus yang kuat.

‘Seakan kitorang setengah binatang’

Orang Papua telah mengalami kekerasan berbasis ras dari sesama orang Indonesia sejak wilayah mereka (orang Papua) dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia pada bulan Juli 1969. Banyak orang Indonesia menganggap bahwa orang Papua merupakan kelompok yang “primitif” dan memiliki kecerdasan yang lebih rendah, seperti yang bisa dilihat dari penggambaran orang Papua di film-film Indonesia dan acara televisi. Di sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 2020 silam, media Remotivi bahkan mencatat bahwa film-film baru seperti Denias, Senandung di Atas Awan (2006) dan Lost in Papua (2011) menggambarkan orang Papua sebagai orang yang ‘primitif, bodoh, dan kasar’.

Persepsi negatif ini makin diperkeruh dengan adanya perbedaan mendalam dalam aspek politik dan religiositas yang kemudian membuat orang Papua lebih mudah untuk dikategorikan sebagai “lainnya” karena setidaknya dua alasan. Pertama, banyak orang Papua percaya bahwa Papua telah secara ilegal dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dan menginginkan kemerdekaan yang dinilai tidak sesuai dengan ide nasionalis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, sebagian besar orang Papua merupakan penganut Nasrani, sedangkan sebagian besar orang Indonesia merupakan muslim.

Dalam memoar yang ditulis pada tahun 2014 dengan judul Seakan Kitorang Setengah Binatang, seorang aktivis Papua dan mantan tahanan politik, Filep Karma, menyatakan bahwa selama masa kecilnya di Papua dan sebagai mahasiswa di Jawa, dia dan rekan sesama orang Papua diperlakukan seakan-akan mereka merupakan manusia yang tidak berevolusi secara sempurna oleh orang non-Papua.

Orang Papua sering kali dipanggil, ‘Monyet! Ketek!’ seperti itu, tulisnya.

'We are not monkeys' / Twitter

Kekerasan berbasis ras seperti ini berlanjut secara terus menerus hingga saat ini, dengan kasus berskala besar terjadi tiap tahunnya.

Pada bulan Agustus 2019, anggota keamanan dan organisasi massa mengelilingi sebuah asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, menuduh bahwa para mahasiswa tersebut telah menolak untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Anggota militer (TNI) diduga telah melontarkan ujaran kebencian dan kata-kata ejekan seperti “monyet”, “babi” dan “anjing” kepada mahasiswa Papua sembari menggedor pintu asrama.

Lima anggota TNI telah diberhentikan sementara akibat keterlibatan mereka di dalam peristiwa tersebut, tetapi tanpa adanya tindak lanjut untuk mengadili mereka. Tri Susanti, salah satu pemimpin organisasi massa yang juga terlibat dalam peristiwa tersebut, sebelumnya dituntut dengan UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Akan tetapi, ia akhirnya hanya didakwa telah melanggar UU ITE saja dan dihukum dengan penjara selama tujuh bulan. Selain mereka, tidak ada lagi yang diadili atas keterlibatannya dalam peristiwa tersebut.

Baru-baru ini, Natalius Pigai, seseorang dengan etnik Papua yang juga merupakan mantan komisioner di Komite Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan kritikus pemerintah, telah menjadi target ujaran kebencian berbasis ras dari pendukung pemerintah.

Dalam sebuah foto yang diunggah di Facebook, Ambronicius Nababan, kepala sukarelawan pendukung pemerintah, membandingkan Pigai dengan seekor gorila karena penyataannya meragukan kemanjuran (efficacy) vaksin Sinovac COVID-19 yang telah dibeli oleh pemerintah Indonesia dari Tiongkok, dan yang telah mulai disuntikkan kepada masyarakat.

Selain itu, seorang profesor dari Universitas Sumatera Utara (USU), Yusuf Leonar Henuk, mengunggah sebuah twit yang membandingkan Pigai dengan seekor monyet.

Beberapa unggahan tersebut menunjukkan seberapa melekatnya hinaan dan ejekan terhadap orang Papua di dalam masyarakat Indonesia. Di saat yang bersamaan, polarisasi politik telah mencapai taraf yang baru selama beberapa tahun terakhir. Kritikan terhadap pemerintah yang bukan berasal dari orang Papua tidak pernah dibandingkan dengan kera dan monyet.

Nababan telah dinyatakan sebagai tersangka di bawah UU Penghapusan Diskriminasi Ras, meskipun upaya penegakan hukum terhadap Henuk belum dilakukan hingga saat artikel ini ditulis.

Keengganan dari aparatur negara untuk mengambil tindakan tegas terhadap kekerasan berbasis ras terhadap orang Papua menunjukkan perbedaan perlakuan yang signifikan ketika orang Papua atau aktivis yang mendukung Papua berada di sisi lain sistem keadilan.

Pada tahun 2020, 12 orang Papua dan satu orang aktivis non-Papua dinyatakan bersalah atas partisipasinya dalam protes damai anti-rasisme di Jakarta dan Jayapura yang dinilai sebagai upaya makar.

Tuduhan makar skala besar di Indonesia sebelum kasus ini diberikan kepada sekelompok orang yang dituduh telah merencanakan pembunuhan beberapa pejabat penting pemerintah saat masa pemilihan umum 2019.

Veronica Koman, seorang pengacara HAM dan advokat untuk pemenuhan hak orang Papua, juga didakwa atas pelanggaran UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras. Dia diduga telah melakukan provokasi terhadap protes anti-rasisme yang tersebar di Papua dan wilayah lainnya di Indonesia menyusul peristiwa di Surabaya. Selama dua tahun terakhir, Veronica telah mengalami perlakuan kasar, intimidasi, termasuk ancaman pembunuhan dan pemerkosaan.

Veronica dimasukkan ke dalam daftar hitam pemerintah dan diminta oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), sebuah program beasiswa pemerintah di bawah Kementerian Keuangan, untuk mengembalikan uang beasiswa yang ia terima selama masa studi magister yang ia jalani.

‘Ganyang Cina’

Seperti orang Papua, warga Indonesia keturunan Tionghoa telah lama menjadi korban kekerasan berbasis ras dan diskriminasi – dalam hal ini, sejak masa penjajahan Belanda.

Stereotip warga Indonesia keturunan Tionghoa sebagai orang kaya, haus akan kekuasaan, rakus, egois dan korup telah ada sejak masa kolonial hingga saat ini, di mana regulasi-regulasi pemerintah secara eksplisit menargetkan kelompok keturunan Tionghoa hingga tahun 2000.

Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967, misalnya, melarang literatur dan budaya Tionghoa, penggunaan huruf Mandarin, dan dengan kuat menganjurkan warga Indonesia keturunan Tionghoa untuk menggunakan nama yang lazim digunakan di Indonesia.

Meskipun saat ini tindakan rasisme terhadap kelompok Tionghoa secara umum tidak disukai, dan warga Indonesia keturunan Tionghoa memiliki akses terhadap kesempatan yang lebih banyak dibandingkan di masa lalu, kerusuhan anti-Tionghoa yang terjadi pada masa reformasi tahun 1998 masih menghantui hingga saat ini. Ancaman kekerasan masih terjadi saat seseorang dengan keturunan Tionghoa dinilai telah ‘melampaui posisinya’.

Sama halnya dengan orang Papua, setiap kesalahan yang dilakukan oleh warga Indonesia keturunan Tionghoa berakhir di meja pengadilan, sedangkan aksi kriminal terhadap mereka sering kali dikesampingkan.

Salah satu contoh yang cukup terkenal adalah dakwaan terhadap mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, atau yang sering disapa Ahok, melalui Pasal 156 UU Hukum Pidana. Ahok, seorang Nasrani keturunan Tionghoa, dinilai telah menghina Al-Qur’an Ketika ia berkata bahwa orang-orang menggunakan ayat Al-Qur’an untuk ‘mengelabuhi’ pemilih.

Protests outside Ahok's trial in Jakarta, January 2017 / Antara Foto

Walaupun kelompok yang mengorganisir protes massal anti-Ahok menggambarkan aksi mereka sebagai ‘pembelaan terhadap Islam’, demonstrasi ditandai dengan sentimen anti-Tionghoa. Beberapa demonstran dan juga politisi yang bergabung dalam aksi unjuk rasa memasang spanduk dengan slogan ‘Ganyang Cina’. Selain itu, banyak dari mereka juga meneriakkan seruan terhadap Presiden Joko Widodo, yang dekat dengan Ahok, sebagai ‘antek Cina’.

Menyusul aksi protes terhadap Ahok di bulan November 2016, aksi kekerasan dan perampokan terjadi di Penjaringan, Jakarta Utara – kawasan dengan populasi keturunan Tionghoa yang besar – mengingatkan kembali tragedi Mei 1998.

Tidak ada dakwaan diskriminasi yang diberikan kepada demonstran dan pelaku kerusuhan, maupun terhadap aktivis mahasiswa Sri Bintang Pamungkas yang menyebut Ahok sebagai ‘Cina brengsek’.

Peristiwa lain yang mengambil perhatian nasional dan internasional adalah kasus Meiliana, seorang keturunan Tionghoa beragama Buddha yang didakwa telah melanggar Pasal 156 pada tahun 2018. Kasusnya? Mengeluhkan kerasnya suara azan di sekitar rumahnya di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Komentarnya memantik beberapa kejadian yang berujung pada pembakaran dan perusakan 14 wihara di kota tersebut, mengingatkan kembali akan kerusuhan 1998 yang mengakibatkan banyak keturunan Tionghoa meninggalkan Tanjung Balai karena ketakutan.

Sebanayak 19 orang yang terlibat di dalam kerusuhan dihukum dengan perampokan, penghancuran properti dan memancing kekerasan – tidak ada dari mereka yang dihukum atas diskriminasi rasial. Para pelaku diberikan hukuman antara satu hingga empat bulan penjara. Di sisi lain, Meiliana dihukum 18 bulan penjara atas tuduhan penistaan agama dengan Pasal 156. Sejak saat itu, Meiliana dan keluarganya telah pindah dari Tanjung Balai ke Medan.

Langkah yang masih jauh

Beberapa kasus di atas hanyalah segelintir contoh tentang bagaimana sistem hukum Indonesia di satu sisi menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan terhadap kelompok ras dan etnis minoritas, tetapi di sisi lain merespon sekecil apa pun dugaan kesalahan yang dilakukan oleh kelompok minoritas secara berlebihan dan diskriminatif.

What can we do to fight racism? / Amnesty Indonesia IG

Berdasarkan data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sejak 2011 setidaknya 77 orang telah dihukum karena melanggar Pasal 28 Ayat 2 UU ITE yang melarang penyebaran informasi elektronik dengan tujuan “untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Akan tetapi, hanya sedikit dari kasus-kasus tersebut yang tergolong sebagai kekerasan terhadap kelompok minoritas, kemungkinan karena kurangnya kesadaran antarbadan penegak hukum yang kemudian berujung pada lemahnya supremasi hukum.

Senada dengan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, Pasal 156 UU Hukum Pidana telah digunakan secara luas untuk menghukum mereka yang dituduh telah melakukan penistaan agama, terutama terhadap Islam, di mana Amnesty International Indonesia mencatat sebanyak 61 kasus telah terjadi antara 2017 dan 2020.

Di sisi lain, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, satu-satunya hukum yang secara spesifik menargetkan rasisme, hanya digunakan untuk menghukum segelintir orang, beberapa diantaranya berasal dari kelompok minoritas. Misalnya kasus Veronica Koman, dan politisi beretnis Tionghoa, Bobby Jayanto, yang dituduh telah menyebut orang Indonesia non-Tionghoa sebagai ‘kulit hitam’, meskipun laporannya dicabut. Anggota KOMNAS HAM, Choirul Anam, di sebuah diskusi daring tahun lalu menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada dakwaan yang menggunakan UU tersebut.

Ketimpangan pelaksanaan beberapa UU ini, ditambah dengan tindakan rasisme dan diskriminasi berbasis etnis yang tidak dilakukan secara gamblang memberikan sorotan terhadap seberapa jauh Indonesia perlu berjalan hingga bangsa ini bisa disebut telah mewujudkan cita-cita Bhineka Tunggal Ika.

Usman Hamid (usman.hamid@amnesty.id) merupakan Direktur Amnesty International Indonesia.

Inside Indonesia 144: Apr-Jun 2021