The show must go on

Published: Feb 01, 2021
Di tengah pandemic, musisi bali telah memanfaatkan cadangan kreativitas, humor dan kekuatan mereka
English version

Nicodemus Freddy Hadiyanto

Saya kembali ke tanah air sepulang dari kunjungan keluarga di Melbourne saat pandemi COVID-19 mulai terdeteksi di Indonesia, dimulai dengan ditemukannya tiga orang warga nergara Indonesia (WNI) yang terdeteksi positif reaktif dengan covid di Jakarta. Bali sebagai daerah saya bertempat tinggal saat itu mulai memberlakukan tindakan preventif, saya teringat saat saya sampai di bandara saya mendapat lembar kuning yang harus saya isi untuk menyatakan bahwa saya dalam kondisi sehat saat balik ke tanah air sepulang dari Australia, sayangnya itu hanya sebuah lembar kertas saja tanpa pemeriksaan medis yang seharusnya dilakukan, bahkan cek suhu badan sekalipun.

Setelah beberapa hari sekembali dari Australia, saya pun kembali bekerja sebagai DJ seperti biasanya, masih banyak pariwisata, semua seperti biasanya, saya tidak merasakan Indonesia ataupun bali sekalipun merasa kuatir dengan perkembangan pandemic yang terjadi di luar negeri, seperti China ataupun Itali saat itu yang parah. Di televisi muncul seperti iklan dari pemerintah dimana menampilkan Jokowi, Presiden Indonesia, yang menyatakan bahwa rakyat tidak perlu kuatir dengan corona, karena tidak berbahaya. Di koran wakil presiden Maruf juga menyatakan dengan memperbanyak berdoa Corona akan kalah di Indonesia. Bahkan Menteri kelautan dan investasi Luhut Binsar Panjaitan pun menyatakan bahwa iklim tropis dan lembab membuat corona tidak bisa berkembang di Indonesia, sayapun mulai mematikan televisi dan menjauhi media, karena saya percaya corona bisa masuk ke Indonesia, kapan saja.

Memasuki bulan Maret mengikuti perkembangan Jakarta, penyebaran COVID-19 semakin besar, pemerintah Indonesia yang terlambat kini mulai memperketat pengawasan. Pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya penangan COVID-19 pada pemerintah daerah masing masing. Seiring dengan itu saya mendapat kabar melalui pesan di whatsaap grup, bahwa semua DJ akan dihentikan dengan waktu yang tidak bisa ditentukan, saya menjadi penganguran akhirnya. Pemerintah Bali pun mulai memperketat pengawasannya pada pandemic ini, menyusul ditemukannya kasus positif covid di Bali, Denpasar kemudian mulai di petakan dalam warna warna, warna hijau adalah daerah yang bebas covid, sedangkan warna merah adalah zona yang dianggap terkontaminasi. Sehabis Nyepi pemerintah Bali kemudian menjalankan pembatasan kegiatan masyarakat, atau sebut sebagai 'PKM'. Sebuah program pembatasan waktu aktifitas warga dan kegiatan ekonomi. Jam malam pun diterapkan, semua warung, restaurant, café dibatasi tutupnya yaitu pukul 9 malam. Pengawasan dan operasioanl pembatasan kegiatan masyarakat ini sendiri di limpahkan atau dijalankan melalui desa desa adat di Bali, dalam hal ini adalah banjar dan pecalangnya.

Pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) tentu saja memberi efek pada kehidupan masyarakat Bali yang sangat tergantung dengan pariwisata. Pelan pelan wisatawan yang berkunjung ke Bali mulai menyurut, hotel besar dan kecil mulai mengurangi operasionalnya atau bahkan tutup, ribuan karyawan mulai dirumahkan atau bahkan di PHK. Kondisi demikian terus memerosotkan perekonomian di Bali yang sangat tergantung dari sektor wisata. Disusul penutupan bandara udara Ngurah rai pada penerbangan apapun yang masuk ke Bali menambah keadaan semakin parah, secara ekonomi. Dari banyak profesi di dalam dunia pariwisata, para penggiat seni dan kreatif pun mulai semakin terdampak. Selain saya yang sudah sejak awal di rumahkan, para penggiat seni dan kreatif dalam dunia wisata seperti band band café, penari tradisional di hotel ataupun penari modern di café, penabuh gamelan dan lain lainnya juga mulai satu persatu dirumahkan atau di PHK dengan cepat, seiring dengan matinya Bali yang mulai ditinggalkan wisatawannya. Sebuah potret di awal tahun yang buruk tentu saja untuk masyarakat Bali yang mengawali tahunnya dengan dirumahkan atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

Mata pencaharian: seni pertunjukan dan dunia kreatif

Saya berasal dari Yogyakarta, saya menekuni dunia seni terutama music dari kota tersebut, Ketika saya berpindah ke Bali saya menjadi tersadari bahwa dunia seni dan kreatif di Bali sangat berbeda dengan kota asal saya, atau bahkan dengan kota kota lain di Indonesia. Di Yogyakarta seorang seniman menghidupi seninya, sedangkan di Bali seni menghidupi senimannya, saya selalu berpikir dalam dunia seni dan kreatif, Yogyakarta seperti sawah atau kebun untuk menanam seni, sedangkan di Bali adalah pasar yang besar dari senidan dunia kreatif.

Seni dan dunia kreatif di Bali terbungkus erat di dalam dunia Pariwisata, menjadi sebuah kesatuan paket utuh yang tidak bisa di pisahkan. Didalam pasar pariwisata yang besar ini seni dan dunia kreatif langsung disajikan ke wisatawan secara langsung, tanpa proses kurasi yang terlalu lama, seni dan dunia kreatif adalah mata pencaharian pokok bagi para senimannya di Bali.

/ Author

Ketika seni adalah mata penaharian pokok dalam dunia pariwisata, pandemic covid yang terdampak di Bali dengan cepat telah membunuhnya. Dalam dunia pariwisata di Bali, banyak sekali yang di upah atau di gaji secara harian, demiakian juga halnya dengan para pelaku seni dan dunia kreatifnya. Band, penari atau pemain gamelan seringkali di bayar sehabis mereka melakukan perform atau pertunjukannya, situasi ini cukup rentan bagi mereka secara ekonomi jika terjadi hal hal atau situasi yang menggangu roda pariwisata di Bali. Kejadian seperti peristiwa bom bali, erupsi gunung agung adalah contoh hal yang pernah terjadi, Ketika itu banyak wisatawan yang membatalkan datang ke Bali sehingga banyak pertunjukan di kurangi atau dibatalkan. Disaat erupsi gunung Agung yang dua tahun lalu pun sebagai DJ saya merasakan dampaknya, beberapa jadwal kerja saya pun dikurangi karena memang jumlah wisatawan menurun saat itu. Seiring dengan membaiknya situasi gunung Agung saat itu dan wisatawan kembalidatang ke bali secara normal, jadwal kerja sayapun Kembali seperti semula, demikian juga para pelaku dunia seni pertunjukan dan kreatif di Bali.

Kini pandemic, beberapa pelaku seni pertunjukan dan kreatif di Bali yang saya temui menyatakan dengan nada sama, bencana ini akan berbeda daripada yang sudah pernah terjadi. Mereka sepakat menyatakan ini akan butuh waktu lama untuk bisa Bali Kembali seperti semula sebagai daerah tujuan wisata dunia. Hal ini tentu akan sangat mengerikan buat mereka karena selama ini dunia seni pertunjukan dan kreatif di Bali sangat tergantung dengan pariwisata. Mata pencaharian harian mereka untuk membiayai hidup mereka pun akan mati, tanpa jaminan atau uang pension sekalipun.

Mayday: dirumahkan, menganggur dan livestreaming

Memasuki bulan Mei, keadaan Bali semakin tidak karuan, jumlah kasus PHK di pulau yang tergantung dari dunia pariwisata ini hingga mencapai 75 ribuan. Hotel besar dan kecil, café dan tempat hiburan banyak tutup atau bangkrut, karena pandemic COVID-19 ini. Saya sendiripun telah kehilangan pekerjaan saya dari sejak bulan Maret, saya benar dirumahkan dengan waktu yang tidak bisa ditentukan saat itu. Pada masa sebelum pandemic saya biasanya bisa menghasilkan antara 18 juta hingga 25 juta perbulannya sebagai seorang DJ, kini saya benar benar menjadi seorang pengangguran. Tentu saya tidak sendiri, banyak para pelaku seni dan dunia kreatif di Bali lainnya juga mengalami hal yang sama seperti saya alami.

Ada dua masalah yang dihadapi para pelaku seni dan dunia kreatif saat itu, yaitu rindu akan atmosfer saat mereka melakukan pertunjukan dan masalah ekonomi. Fenomena Live streaming kemudian merebak menjadi trend saat itu, para pelaku seni dan dunia kreatif kemudian saling berkolaborasi, atau berkelompok untuk menyajikan sebuah pertunjukan secara online. Live streaming, podcast adalah suatu hal baru yang positif yang oleh teman teman pelaku seni dan dunia kreatif sajikan dalam pertunjukan pertunjukan yang variative, setidaknya trend ini mengobati rasa kangen mereka sebagai seorang seniman. Namun jika rasa kangen akan pertunjukan sudah terpenuhi dengan pertunjukan online, akankah terpuruknya ekonomi bisa teratasi? Rasanya akan masih lama, dan dunia kreatif harus lebih kreatif lagi.

Kurir sepeda, sebuah ide di tengah trend social

Bulan Juni, seiring dengan trend baru yang sedang terjadi di masyarakat, yaitu bersepeda, saya kemudian mengontak seorang kawan saya melalui video call yang kebetulan bernasib sama dirumahkan seperti saya. Dalam perbincangan video call tersebut akhirnya terlahir sebuah ide membuat sebuah kelompok kurir sepeda, kebetulan saat itu selain trend sepeda juga ada trend kuliner, beberapa teman pelaku seni dan dunia kreatif mulai menjalankan bisnis masakan rumahan yang di jual melalui online. Akhirnya terbentuklah kurir sepeda Bali yang kami beri nama ‘Antar Baik’, satu hal yang belum pernah ada di Bali akhirnya terbentuk di tengah pandemic COVID-19.

Sambutan masyarakat cukup baik, jejaring pertemanan juga membantu kelompok kurir sepeda antar baik semakin besar, sasaran kita saat itu adalah mengantar makanan olahan rumah, dokumen, baju dan lain sebagainya. Selain sambutan yang baik dari masyarakat, komunitas akan kurir sepeda ini, propaganda ‘stay home’ yang lebih mengutamakan belanja secara online sangat menguntungkan kami sebagai kurir sepeda, karena semakin banyak masyarakat di Bali menggunakan jasa kami, Antar Baik. Antusiasm masyarakat yang sedang dirumahkan atau PHK pun terhadap kelompok kurir sepeda ini semakin besar, akhirnya kami membuka anggota baru. Dari lima orang kurir sepeeda pada awalnya, akhirnya berkembang menjadi 20 kurir sepeda, yang meliputi Denpasar, Nusa Dua, Jimbaran, Canggu dan Ubud. Dengan pandemi COVID-19 ini memang akhirnya bisa kita maknai sisi positifnya, yaitu harus siap dan adaptif untuk belajar tentang hal hal yang baru.

Once a bustling entertainment and tourist centre, Kuta has come to a standstill 

Lalu bagaimana dengan teman teman sejawat saya yang lain, yang selama pandemic ini saling terpisah? Bagaimana kabar mereka? Apa yang sedang mereka lakukan? Bagaimana mereka beradaptasi saat ekonomi Bali jatuh dan mereka dirumahkan?

Saya akhirnya beruntung punya waktu untuk menjumpai mereka satu persatu dan menggali tentang keadaan mereka saat ini, dalam masa pandemic COVID-19 ini.

Kopi, rokok dan apa kabar

Pandemi yang menghancurkan ekonomi pariwisata Bali menyeret para pelaku seni dan dunia kreatif untuk lebih berjuang dan bertahan karena mereka telah kehilangan sumber pokok mata pencahariannya.

Seorang seperti mas Gatot, dulu dia bekerja sebagai sound engineering pada sebuah bar di Canggu, semenjak awal pandemi bar dimana dia bekerja itu telah tutup tak beroperasi, untuk mengatasi permasalahan ekonominya mas Gatot kini harus beralih profesi sebagai pemulung, mengumpulkan barang bekas sisa rumah tangga.

Dari Ubud bar dan café yang juga tak luput terdampak pandemic, seorang Eka kini dia hanya tinggal dirumah, dan mulai bercocok tanam juga memelihara ayam untuk mencukupi kebutuhan pangan dan ekonomi keluarganya. Banyak even dan jadwal main bandnya di cancel karena kondisi saat ini, memaksa eka untuk memproduksi masakan olahan rumah yang dijual secara door to door. Kadang tentu seorang Eka rindu untuk bermain dengan bandnya, pernah dia menawarkan bermain kepada beberapa bar dan café di ubud tanpa berbayar, hanya mengobati rasa rindu saja, namun kebanyakan tempat menolak karena peraturan daerah tidak memungkinkan adanya pertunjukan yang mengakibatkan kumpulan massa. ‘Bayangkan lah fredd, dari zaman dulu kita semalam main 2-3 kali bahkan sampai menolak karena capek, kini tidak ada sama sekali’ kata Eka.

Pembatalan even yang sudah di kontrak dari tahun sebelum juga di alami oleh Muhammad Raup dari Kaset Kulcha, sebuah selector kaset yang banyak bermain di wilayah kampus dan skena anak muda Bali ini. ‘Ada sekitar lima even termasuk tahun baru yang langsung dibatalkan’ tuturnya. Pendapatan dari sekali main sekitar lima juta itu pun harus mulai dilupakan. Kondisi seperti ini memaksa Raup kini menjual hamper setengah koleksi kasetnya dan mulai belajar menjadi teknisi perbaikan handphone atau computer untuk terus bertahan hidup sebagai pendatang di Bali.

Lain cerita dari seorang crew band seperti Tobi, ‘dulu sebagai crew band saya bisa sampai bisa pergi ke eropa seperti belanda atau bahkan Melbourne’ tuturnya. Pada masa itu uang selalu ada karena Tobi selain menjadi crew band local dia juga sering disewa untuk menjadi crew untuk band nasional sekelas Tompi ataupun maestro jazz Indra Lesmana. ‘Saya sampai berpikir ini saatnya untuk bisa membeli tanah dan membangun rumah di pulau kelahirannya, Bali’ katanya. Namun kini semua itu harus jadi seperti mimpi saja, tidak tahu kapan akan Kembali lagi seperti dulu Bali ini tegas Tobi. Kini Tobi lebih sering menjadi crew untuk live streaming para artis yang menjual pertunjukannya secara online, karena banyak tamu di dunia kangen musik dari Bali. ‘Kira kira masih bisa beli tanah lagi saat ini?’ tanya saya. ‘Bisa sih tapi tanah kuburan!’ sahut Tobi sambal tertawa.

Tidak ada yang pernah tahu kapan ini akan berakhir. Tidak akan pernah ada yang bisa menjawab kapan Bali akan kembali seperti dulu sebagai pulau destinasi pariwisata dunia. Wajah baru Bali sendiri akhirnya adalah sebuah semangat dan api untuk terus bertahan dari pandemi dan kesulitan ekonomi ini. Wajah baru yang menuntut para pelaku seni dan dunia kreatif Bali untuk lebih mampu beradaptasi, dan belajar tentang hal baru, melahirkan sesuatu kreatifitas yang baru, tidak melulu hanya bertahan saja.

Harapan tentu saja ada di tiap para pelaku seni dan dunia kreatif yang saya jumpai, harapan Bali akan kembali lagi, tetapi harapan tidak berdiri sendiri, waktu terus berputar dan dan ‘the show must go on’ di dalam wajah baru Bali kini.

Nicodemus Freddy Hadiyanto (nicodemusfreddyhadiyanto@gmail.com) adalah sosiolog dan musisi yang tinggal di Bali, terkenal karena perannya sebagai vokalis dan penulis lirik untuk grup post-punk Armada Racun. Fredy saat ini bekerja sebagai DJ, dan terus membuat musik elektronik adalah waktu luangnya.

Inside Indonesia 143: Jan-Mar 2021