Mengaktulisasi diri dengan media digital

Published: Feb 01, 2021
Tampil secara online membuka jalan baru untuk ekspresi dan kolaborasi bagi grup teater Sedhut Senut
English version

Elyandra Widharta

Kelompok Sedhut Senut merupakan kelompok sandiwara berbahasa Jawa yang mulanya bernama Komunitas Sego Gurih. Berdiri sejak tahun 1998 di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Yogyakarta. Mulanya kelompok teater berbahasa Jawa ini didominasi oleh anak-anak jurusan teater SMKI Yogyakarta. Komunitas ini sering membuat pertunjukan keliling keluar sekolah di acara-acara nikahan, perpisahan kuliah kerja nyata, di halaman rumah acara tujuh belasan, atau dipinggir sawah.

Waktu mendengar berita bahwa semua pertumjukan teater dibatalkan karena wabah kami kaget, shock, tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi akhirknya kami mendapat kesempatan memproduksi tayangan online disposori oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta. Dalam persiapan untuk pementasan itu kami belajar banyak mengenai akting didepan kamera. Akhirnnya kami sadar bahwa digital bukan suatu yang harus dihindari atau membuat shock namun dipahami dan dikerjakan bersama-sama, agar kita bisa tetap mementaskan teater yang membina dan melangsungkan bahasa dan kebudayaan jawa.

Nama Komunitas Sego Gurih sendiri berlangsung spontan saja. Wage Daksinarga sebagai salah satu pendirinya menjelaskan bahwa sego gurih itu adalah nasi uduk, ibarat makan jika tanpa lauk atau sayur nasi uduk saja sudah enak. Itu saja makna yang dijabarkan secara sederhana. Secara filsofis pengertiannya misalnya terpaksa tidak ada lampu sebagai tata cahaya pertunjukan pun tetap akan berjalan sebagaimana mestinya. Bahasa Jawa menjadi pilihan utama artikulasi sebagai kelompok teater. Karena bahasa Jawa bagi kami selain bahasa ibu sebagai bahasa yang tangkas untuk mengritisi apapun baik politik, sosial amupun budaya. Bahasa Jawa menjadi pilihan ungkap yang kultural maupun ‘ideologis’. Spirit pementasan yang masih kami bawa sampai dengan hari ini yaitu pementasan keliling desa dan kampung, sekaligus masih konsisten menggunakan bahasa Jawa. Bagi kami karena bahasa Jawa mudah menjadi media komunikasi untuk lebih dekat dengan masyarakat. Misi sederhana kelompok kami sebenarnya agar orang-orang tetap mencintai bahasa Jawa dan kultur Jawa.

Lakon-lakon yang dibawakan Kelompok Sedhut Senut memang identik dengan cerita sehari-hari. Potret ringan dengan isu-isu sosial domestik seperti relasi suami istri, pendidikan lokal, regulasi pemerintah lokal, kritik, satire dan situasi Jawa yang kadang absurd dan paradoks. Lakon memang dikemas dengan bahasa Jawa ngoko, yang sehari-hari sudah sangat akrab didengar dan digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sampai akhirnya lakon-lakon juga mengundang tawa karena penonton seperti mengalama apa yang sedang dilihat di atas pentas menjadi bagian kehidupan sehari-hari yang dialami sendiri.

Sedhut Senut theatre group performed plays in Javanese for local audiences / Teater Sedhut Senut

Mulai tahun 2003, Komunitas Sego Gurih mengalami kevakuman. Tapi pada tahun 2009 kami kembali aktivitas. Mulai saat itulah Komunitas Sego Gurih aktif sampai dengan sekarang, dengan mengganti nama menjadi Kelompok Sedhut Senut. Tak ada arti atau makna penting, yang penting nama Sedhut Senut agar mudah diingat saja.

Era baru

Mulanya sekitar bulan Maret 2020, saya bersama dengan Kelompok Sedhut Sedut sedang menyiapkan pementasan. Latihan pertama berlangsung, kami berbicara ringan dalam sebuah diskusi kecil Sesudah itu kami susul jadwal latihan untuk berikutnya. Tapi kemudian muncullah wabah covid yang kemudian sudah merebak di Indonesia, daerah salah satunya Yogyakarta. Semua panik, bingung dan pasrah karena hampir semua aktivitas seni pertunjukan maupun even harus dihentikan seketika. Bahkan muncul informasi mengenai anjuran dari pemerintah untuk tidak melakukan kegiatan berkumpul maupun yang mengundang keramaian

Latihan dan jadwal pentas kami akhirnya dibatalkan! Banyak dari teman-teman di Kelompok Sedhut Senut kecewa namun apa boleh buat semua demi keselamatan dan mematui aturan pemerintah. Kondisi tidak pasti kemudian berjalan sampai dengan bulan-bulan berikutnya Mei, Juni, dan bahkan sampai Juli. Kondisi ini tentu saja membawa dampak besar bagi kami sebagai pelaku kesenian, bahkan saya sendiri bingung di awal-awal wabah covid 19. Saya off dari semua kegiatan kesenian bahkan untuk bertemu dengan teman-teman Sedhut Senut sekedar mengobati rindu kami hanya ngobrol menggunakan zoom dan itu kami lakukan malam hari. Kami saling bertanya kabar, memastikan apakah kondisi di masing-masing daerah dimana teman teman kami tinggal apakah aman-aman saja atau sudah lockdown.

Pandemi COVID-19 rupanya melanda kelompok kami menjadi semakin pasif tanpa kegiatan. Misalnya saja dibeberapa kampung di Yogyakarta mulai ditutup pintu masuk atau gang-gang kampung. Tidak menerima tamu dari luar wilayah. Banyak kampung di Yogyakarta termasuk kampung dimana saya tinggal juga melakukan karantina wilayah dengan tidak menerima tamu dari luar, jika tamu dari luar pun harus wajib lapor. Kondisi semakin tidak menentu, aspek ekonomi yang menopang kehidupan saya pun mulai tidak jelas dan minus. Kondisi dialami oleh teman-teman Kelompok Sedhut Senut yang lain dimana mereka tinggal rupanya sama saja. Ini benar-benar kondisi yang tidak biasa bagi saya. Mau berbuat apa dan berkreasi dengan apa untuk kembali bisa mengaktualisasikan diri dan mengolah kreativitas?

Pada bulan Juni saya mendapat kabar gembira karena proposal pentas online Kelompok Sedhut Senut mendapat respon dari salah satu dinas dari Pemerintah Daerah di Yogyakarta. Akhirnya saya bersama dengan Kelompok Sedhut Senut memproduksi tayangan sandiwara berbahasa Jawa secara online dengan lakon berjudul ‘Tarub’. Tarub merupakan lakon yang memotret kisah di kampung dimana peristiwa rencana lamaran sebuah pasangan akan digelar. Namun karena adanya masalah miskomunikasi yang terjadi antara Pak RT, Menik, Bambang dan Heri, semua rencana jadi bubar. Konflik yang mulai dari perbedaan kata ‘tarub’ dan ‘tayub’ menjadi persoalan mendasar.

Lakon ini hanya ditulis dalam bentuk wos atau rancangan adegan tanpa dialog yang utuh atau baku. Seperti biasanya kami latihan dengan menyamakan persepsi dahulu dan diskusi ringan soal lakon Tarub. Setelah itu baru kami berimprovisasi tanpa ada teriakan cut oleh penata laku. Latihan kami direkam menggunakan kamera hp, agar setiap adegan yang kami lakukan dengan improvisasi bisa kami review satu persatu.

Dari model latihan tersebut kemudian kami jadikan pola untuk latihan berikutnya bersama pemeran yang lainnya sesuai tokoh di dalam lakon Tarub. Sampai pada suatu kesepakatan akhirnya kami memilik setiap hari Minggu kita latihan dengan direkam menggunakan kamera atau dalam pengertian untuk kebutuhan stock shot. Memang susah rupanya akting di depan kamera, karena kami tidak menggunakan editing model film. Jadi setiap terjadi kesalahan dalam dialog antar pemain atau blank saat berdialog pengambilan gambar harus diulang dari awal. Bahkan untuk 1 adegan saja kita bisa mengulangi 5-6 kali dengan langsung direkam dengan kamera. Dan untuk menjaga situasi dan dinamika permainan di kelompok ini, hal paling penting yang harus kami jaga adalah mood. Bagaiaman antara satu dengan yang lain harus bisa memberikan energi yang positif selama pengambilan gambar berlangsung.

Tepat tanggal 19 Agustus 2020, pementasan tersebut tayang di chanel Youtube milik dinas kebudayaan bersama dengan program lainya yang difasilitasi oleh pemerintah. Dari produksi membuat tayangan sandiwara bahasa Jawa online ini kami justru ingin mengembangkan lagi menjadi pertunjukan serial yang mungkin bisa kami unggah secara episode berkala. Bahkan sampai dengan bulan September setiap hari Minggu kami terus melakukan pengambilan gambar dalam rangka stock shot yang nanti akan dikembangkan menjadi cerita dengan judul lain. Pemberian judul tersebut dilakukan setelah editing usai. Tentunya kreativitas ini muncul sebagai bagian dari aktualisasi diri kami terhadap medi digital.

 

Kesempatan yang lainya di bulan Oktober juga datang, saat Kelompok Sedhut Senut diminta untuk tampil pentas secara live streaming membawakan tema mengenai Hari Ulang Tahun Kota Yogyakarta. Membawakan lakon berjudul Singget, dimana cerita yang dinukil mengambil bagian sejarah singkat mengenai berdirinya Kota Yogyakarta. Lakon dibuat sengaja menceritakan sisi sejarah yang menyinggung sedikit mengenai Perjanjian Giyanti kemudian sampai kisah Palihan Nagari dimana berpindahnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dulunya bertempat di Ambarketawang. Kisah ini cukup erat kaitanya dengan sejarah berdirinya Kota Yogyakarta dimana juga terkait pula dengan kisah sejarah mengenai amanat 5 September 1945 dimana Nagari Yogyakarta mau bergabung menjadi satu menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Waktu medium pentas diganti teknologi digital proses ini memerlukan penyesuaian dan hal ini terus menjadikan saya dan teman-teman di Kelompok Sedhut Senut mengalami aktualisasi diri. Kami sadar bahwa digital bukan suatu yang harus dihindari atau membuat shock namun dipahami saja bersama-sama, agar kita bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan maupun kepentingan estetika dari medium ekpresi baru ini.

Inilah pengalaman yang bisa saya bagikan selama ini menjalani masa covid 19 di Yogyakarta. Semoga ini menjadi satu pembelajaran yang terus mampu menjadi refleksi untuk pelaku seni pertunjukan tradisi berbasis kerakyatan.

Elyandra Widharta (widhartaelyandra@gmail.com) adalah aktor dan penulis naskah di kelompok Sedhut Senut.

Inside Indonesia 143: Jan-Mar 2021