Pertarungan untuk penghapusan kekerasan seksual

Published: Dec 14, 2020
Penundaan pengesahaan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) berbarengan dengan peningkatan kekerasan terhadap perempuan

Ricarda Gerlach

Diterjemahkan oleh Dimas Fauzi
English version

Telah lebih dari empat tahun sejak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenalkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, upaya untuk mengesahkan RUU tersebut selalu mandek. Terakhir pada bulan Juli 2020, RUU PKS telah dihapuskan dari program prioritas legislasi nasional dan ditunda pembahasnnya di tahun 2021. Penundaan ini muncul terlepas dari banyaknya organisasi perempuan yang telah melakukan upaya advokasi untuk mendorong pengesahan RUU PKS secepatnya guna menyelesaikan dampak dari kekerasan seksual di Indonesia.

Urgensi untuk mengesahkan RUU PKS dari kelompok advokasi ini dikarenakan oleh adanya peningkatan kasus kekerasan seksual dan pemahaman yang lebih baik terhadap kekerasan seksual dan konsekuensi yang diakibatkannya. Sebagai contoh:

Ini bukan kali pertama munculnya tekanan untuk mencegah kekerasan seskual di Indonesia melalui kerangka legal. Pemerintahan Megawati telah menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang mana Hana A Satriyo, mantan direktur The Asia Foundation, menliai positif UU tersebut sebagai sebuah ‘pencapaian dalam mengatur empat jenis kekerasan terhadap perempuan: fisik, psikologis, seksual (termasuk perkosaan dalam perkawinan) dan pengabaian pemenuhan kewajiban ekonomi’. Hak-hak para korban juga dilindungi melalui kriminalisasi terhadap empat jenis kekerasan tersebut. UU lain tentang Perlindungan terhadap Perempuan dan Anti Kekerasan Berbasis Gender juga telah disahkan pada tahun 2009. Meskipun adanya beberapa kerangka hukum ini telah menunjukkan sebuah kemajuan, masih terdapat berbagai kritik terhadap kedua UU tersebut karena minimnya hukuman yang diberikan kepada pelaku. Lebih lanjut, UU yang telah diterbitkan ini berbasis pada hukum kolonial, di mana kekerasan seksual yang paling parah tidak secara gamblang dinyatakan ilegal.

Jika disahkan, RUU PKS akan menjalankan tindakan pencegahan dan memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan ini. RUU PKS dapat meluruskan banyak kegagalan dari beberapa peraturan sebelumnya dan menjadi kerangka peradilan pidana yang komprehensif. RUU ini berisi hak-hak penting dan mekanisme hukuman, termasuk hukuman terhadap kekerasan seksual, kontrasepsi dan aborsi paksa, eksploitasi seksual, penghinaan seksual, kawin dan prostitusi paksa, budak seks, serta pemerkosaan dan penyiksaan seksual.

Akan tetapi, RUU ini masih dinilai kontroversial. Meskipun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat (PD) telah mendukung RUU PKS, partai lain tidak memprioritaskan pengesahan RUU ini sehingga menurunkan urgensi pengesahannya. Terdapat beberapa kelompok yang menampik adanya kekerasan dalam rumah tangga -antara secara aktif menampik atau berargumen bahwa hal ini ada di ranah privat. Mereka yang menentang RUU PKS, sebagian besar berasal dari partai politik Islam seperti Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan kubu konservatif dari Partai Keadilan Bangsa (PKB), tidak menyetujui beberapa pasal spesifik yang ada di dalam RUU ini. Mereka berdalih bahwa pasal-pasal tersebut ‘melegalkan perzinaan dan “perilaku LGBT”’.

Norma berbeda tentang perempuan pada masyarakat Indonesia telah menimbulkan beberapa pandangan tentang pentingnya RUU PKS ini. Secara lebih spesifik, terdapat beberapa perdebatan yang memengaruhi reaksi terhadap RUU PKS, beberapa di antaranya mengakar pada sejarah politik masa lalu: Ibuisme Negara di masa Orde Baru dan pendekatan Islam di satu sisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di sisi lain. Meskipun Ibuisme Negara mengakar pada pendekatan sekuler terkait peran perempuan, pendekatan ini memiliki konsep hierarki yang sama dengan pendekatan Islam yang memandang sosok ayah sebagai kepala keluarga.

Ideologi-Ideologi Kontroversial

Di masa lalu Indonesia, negara telah bermain peran penting dalam mendefinisikan peran gender, konstruksi sosial kewanitaan dan ideologi nasional tentang perempuan. Ibuisme Negara adalah bagian dari konsep Orde Baru tentang kewanitaan dan mereduksi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang bergantung dan tidak produktif, memberikan tenaga kerja ‘gratis’ untuk suami dan keluarga. Menurut Julia Suryakusuma dalam The State of Sexuality in New Order Indonesia atau Seksualitas pada Masa Orde Baru di Indonesia (1996), Ibuisme Negara diciptakan untuk mendukun kepentingan rezim Orde Baru dan berasal dari dua konsep utama: Ibuisme Negarra = menjadikan ibu rumah tangga + Ibuisme. Maria Mies mendeskripsikannya sebagai konstruksi ibu rumah tangga sebagai pasangan laki-laki, yang dilihat sebagai pencari nafkah terlepas dari kontribusi nyata mereka terhadap keluarga. Ibuisme menentukan peran perempuan dalam reproduksi dan keluarga, sekaligus mengeluarkan mereka dari ranah publik dan politik.

Adanya Negara Ibuisme ini merupakan bagian dari upaya negara untuk mengendalikan masyarakat dan mengorganisir perempuan sesuai dengan alur sosial dan hierarkis. Seperti apa yang ditulis oleh Suryakusuma, kepemimpinan negara terdiri dari ‘klub pria’ yang sangat patriarki dalam pembuatan keputusan. Status sebagai seorang istri dikaitkan dengan sang suami, seperti yang dapat dilihat di organisasi perempuan nasional, Dharma Wanita. Lebih lanjut, dalam mempromosikan Ibuisme, negara menggambarkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab dalam kesejahteraan keluarga. Gambaran tersebut menjauhkan perempuan dari kekuatan politik dan ekonomi sehingga membuat pengambilan keputusan ada di tangan laki-laki.

Meskipun konsep ini merupakan warisan dari periode Orde Baru, banyak politisi dan birokrat pada masa ini yang telah tersosialisasikan di dalam sistem ini sehingga membuat cara pikir ini masih marak. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi idealisme sosial bahwa perempuan bergantung, dan menurut pada suami dan keluarga mereka. Menurut Ibuisme Negara, seorang perempuan yang baik dan penurut akan memiliki keluarga yang harmonis dan kekerasan dalam rumah tangga maupun seksual tidak akan pernah menjadi masalah. Dalam situasi ini, perempuan akan lebih mungkin untuk tetap bertahan dalam pernikahan yang berbahaya dan menahan kekerasan dari pada menghadapi alternatif dan mempermalukan diri serta keluarga di depan publik.

Pendekatan Islam

Sebagai perbandingan terhadap beberapa prinsip yang dimasukkan dalam RUU PKS, terdapat pendekatan Islam konservatif yang dideskripsikan sebagai santri dalam The Religion of Java atau Agama di Jawa (1960) karya Clifford Geertz. Sudut pandang Islam terhadap perlindungan perempuan bergantung pada interpretasi dari teks religius. Konsep keamanan yang ditemukan di dalam kelompok-kelompok Islam yang alim dan merupakan simpatisan PKB dan PKS adalah bahwa perempuan membutuhkan perlindungan dari Hasrat laki-laki. Oleh karena itu, sudah semestinya perempuan mengenakan hijab dan berpakaian yang sopan. Peran rumah tangga perempuan dijunjung tinggi dan seorang perempuan ‘baik-baik’ seharusnya sudah ada di rumah menjelang pukul sembilan malam atau lebih baik tidak bepergian sendiri sama sekali. Secara umum, perempuan dilihat sebagai ibu rumah tangga yang menyayangi anak-anaknya sedangkan suaminya bekerja. Jika seorang perempuan bekerja, pekerjaannya biasanya dalam sektor ‘pengasuhan’, misalnya seorang perawat, dokter atau sukarelawan di sebuah LSM maupun organisasi keagamaan.

Pernikahan memiliki nilai moral yang tinggi karena memberikan dasar moral untuk melakukan hubungan seksual. Pernikahan juga melindungi perempuan dan mencegah penelantaran anak-anak oleh calon ayahnya mengingat ikatan pernikahan mewajibkan suami untuk memberikan bantuan, alimentasi (dukungan keuangan) dan dukungan psikologis. Interpretasi terhadap nilai Islam ini memerintahkan setiap pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksual masing-masing. Seorang perempuan tidak boleh menolak Ketika suaminya meminta untuk melakukan hubungan seksual, begitupun sebaliknya.

Akan tetapi, tidak ada aturan yang jelas terkait dengan bagaimana seseorang harus bertindak Ketika terjadi kekerasan. Perlindungan didefinisikan sebagai urusan komunal dan sering kali dipengaruhi oleh para pemimpin keagamaan setempat yang berperan sebagai penegak nilai-nilai dan hukum Islam. Dari sudut pandang ini, perlindungan oleh negara tidaklah penting karena permasalahan yang muncul seharusnya diurus di dalam keluarga atau masyarakat.

Di dalam kedua pendekatan tersebut, persetujuan untuk melakukan hubungan seksual dan perkosaan dalam pernikahan tidak dinilai sebagai masalah. Bagi santri, pernikahan merupakan dasar bagi hubungan seksual. Oleh karena itu, hubungan seksual antarpasangan yang sudah menikah secara otomatis sudah mendapatkan persetujuan. Pernikahan di luar pernikahan tidak dapat diterima, baik itu melalui persetujuan maupun tidak. Dalam pendekatan santri, RUU PKS tidaklah penting karena permasalahan yang dibahas, termasuk prinsip utama dari persetujuan dalam hubungan seksual, telah diatur dalam hukum keagamaan.

Pendekatan Sekuler

Pendekatan sekuler para LSM terkait dengan perlindungan terhadap perempuan hampir merupakan lawan utama terhadap idealism-idealisme yang dibahas sebelumnya. Diskursus yang dibawa oleh LSM biasanya mengikuti United Nation’s Convention on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) atau Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Mengapuskan Diskriminasi terhadap Perempuan yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1984. Bagian yang cukup signifikan dari CEDAW berangkat dari tujuan-tujuan utama yang didefinisikan di dalam konvensi tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesetaraan gender dan mempromosikan penerapan legal dari CEDAW. Nilai utama dalam diskursus ini adalah bahwa perempuan perlu untuk dilindungi oleh hukum yang menjamin hak asasi mereka. Guna memfasilitasi nilai tersebut, beberapa LSM perempuan sekuler telah melakukan lobi untuk memasukkan definisi baru dari ‘diskriminasi’ dan ‘kesetaraan gender’ di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia.

Sebagian besar LSM yang bekerja di isu kekerasan terhadap perempuan membedakan antara kekerasan yang sifatnya melekat atau struktural. Menurut aktivis perempuan sekuler, kesadaran diperlukan untuk mengurangi kekerasan struktural dan meningkatkan standar kehidupan. Mereka berpendapat bahwa kekerasan struktural dan ketimpangan di dalam masyarakat melanggengkan kekerasan rumah tangga. Konsepsi publik ini menjadi penting karena publik dapat memengaruhi kondisi seseorang di dalam sebuah keluarga, dan pemahaman publik akan peran gender menentukan persepsi orang dan definisi dari peran keluarga. Oleh karena itu, sistem kepercayaan merupakan inti dari kekerasan dalam rumah tangga. Seseorang yang menyelesaikan konflik di dalam keluarga dengan kekerasan memiliki kepercayaan yang mendukung digunakannya kekerasan. Lebih lanjut, adanya kepercayaan bahwa seseorang memiliki kekuatan maupun hak yang lebih di dalam keluarga dapat mendorong perilaku agresif.

Sesi Pengawasan Kelompok Kerja CEDAW di Indonesia, Jakarta 2010 / R. Gerlach

Kekerasan dalam rumah tangga terjadi hampir di setiap masyarakat dan level sosial, tetapi terdapat beberapa perilaku dan justifikasi budaya yang dapat memfasilitasinya. Menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya sekedar proyek legislasi; masyarakat dapat berkontribusi dalam mencapai kehidupan berkeluarga yang sehat dengan mempromosikan nilai-nilai yang mengarah pada kesetaraan – meskipun hal ini akan memerlukan pergeseran yang signifikan dalam perilaku sosial terhadap perempuan. Berdasarkan hasil dari beberapa wawancara, berikut adalah perilaku dan ukuran yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga cukup sering terjadi:

Beberapa LSM perempuan sekuler telah berada di garis depan dalam mempromosikan kesadaran dan aksi nyata untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang ada di dalam CEDAW. Beberapa organisasi seperti Komnas HAM Perempuan, Rifka Annisa, Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, LBH Apik, Mitra Perempuan dan banyak lainnya tengah bekerja untuk menciptakan kesadaran publik terkait dengan topik ini, menyediakan perlindungan dan pelayanan, serta bantuan hukum dan psikologis. Pemimpin dan aktivis dari organisasi-organisasi ini menggunakan isu kekerasan dalam rumah tangga sebagai jalur masuk untuk mendiskusikan peran perempuan secara lebih luas di dalam ranah publik.

Perlindungan ideologi dan ide bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan seksual berada di ranah privat masih sangat umum. Aktivis perempuan sekuler menyatakan dalam wawancara bahwa khususnya di konteks masyarakat tradisional dan pedesaan, lobi untuk mempromosikan kesetaraan hak asasi untuk perempuan sangat sulit dilakukan. Ketika ditanya bagaimana ia menghadapi orang yang tidak mengakui masalah yang dipromosikan, Rita Kalibonso, mantan ketua dari Mitra Perempuan dan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children atau Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak-Anak menyatakan: ‘jika orang menolak fakta bahwa terdapat kekerasan dan menolaknya dengan alibi bahwa hal tersebut tidak ada di budaya kita, saya akan menentangnya dengan memberikan realitas dan fakta’. Adanya laporan-laporan (dan gambar yang dirahasiakan Namanya -anonim) tentang kekerasan dalam rumah tangga dari penyitas digunakan sebagai bukti dan biasanya cukup untuk meyakinkan orang.

Langkah selanjutnya

Beberapa LSM sekuler memandang bahwa UU tentang kekerasan dalam rumah tangga yang ada saat ini masih sangat lemah. Untuk itu, mereka telah melakukan advokasi untuk mengusulkan hukum yang lebih komprehensif dengan ‘mekanisme dan solusi yang efektif bagi perempuan yang telah dicederai hak asasinya’. RUU PKS menyentuh banyak permasalahan yang menjadi perhatian para aktivis. RUU ini dipandang sebagai instrumen yang baik untuk mendeteksi kasus untuk dilaporkan dan diajukan ke pengadilan. Saat ini, estimasi jumlah kasus yang diadili di pengadilan hanya sekitar kurang dari 10 persen sehingga pengesahan hukum yang lebih efektif makin penting untuk dilakukan.

Beberapa LSM dan pendukungnya merangkul metode-metode protes yang kreatif untuk mendukung RUU PKS dengan menggunakan tagar #sahkanruupks/ Instagram @thebodyshopindo.impact

Dukungan untuk mengesahkan RUU PKS telah dilakukan melalui aspek lain, termasuk oleh profesional legal seperti Nur Setia Alam Prawiranegara, yang menyatakan bahwa ham asas dari penyitas tidak terwakilkan secara representatif dalam kerangka hukum saat ini. Yohana Yambise, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Mahfud MD, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, keduanya mendukung RUU PKS.

Upaya-upaya ini telah digagalkan, paling tidak untuk saat ini, oleh penundaan pembahasan RUU PKS di tahun 2021. Penundaan ini dilakukan meskipun RUU PKS memiliki dukungan di dalam pemerintah, termasuk dari PDIP dan Partai Golkar. Akan tetapi, keengganan yang cukup santer dikemukakan oleh kelompok-kelompok agama dan sayap politik mereka, termasuk partai politik Islam seperti PKS dan kubu konservatif dari PKB. Mereka yang menolak RUU PKS menganggap bahwa beberapa pasal yang terkandung di dalamnya mendukung ‘seks bebas dan praktik LGBT’. Penyeimbangan pandangan politik yang berbeda dalam pemerintah akan membutuhkan negosiasi untuk meloloskan RUU PKS. Untuk mendukung disahkannya RUU PKS, dukungan yang lebih luas sangat dibutuhkan melalui upaya bersama. Hal ini akan membantu untuk memenangkan dukungan dari kelompok Islam yang lebih alim melalui program advokasi yang mendalam.

Ricarda Gerlach memiliki sertifikat dalam Hubungan Internasional dari SciencePo, Paris (IEP-France) dan dua gelar Magister dalam Ilmu Politik dan Ekonomi, Sastra Inggris, Psikologi dan Etnologi dari Universitas Heidelberg, Cologne dan Marburg (Jerman), dan gelar Doktoral dari Universitas Vienna (Austria). Artikel ini adalah lanjutan dari penelitian bertopik Gender di Indonesia kontemporer (2009-2010) di Universitas Frankfurt.

Inside Indonesia 142: Oct-Dec 2020