Model layanan kesehatan jiwa berfokus pada pemulihan untuk Indonesia?

Published: Jul 24, 2020
Tim peneliti internasional memetakan arah perubahan
English version

Byron J. Good, M. A. Subandi, Carla Raymondalexas Marchira, Fiddina Mediola, Tri Hayuning Tyas, Sandeep Nanwani, Ariana Marastuti, and Mary-Jo DelVecchio Good

Pada tahun 2013, dalam sebuah tulisan di Inside Indonesia yang diperuntukkan bagi Aceh, penulis senior makalah ini menjelaskan perkembangan layanan kesehatan jiwa di daerah pasca konflik dan pasca tsunami Aceh dan bertanya apakah Aceh akan menghasilkan ‘Sebuah model baru layanan kesehatan jiwa?’ bagi Indonesia secara keseluruhan. Kini kami kembali ke pertanyaan tersebut namun dalam konteks penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun di Yogyakarta. Secara khusus kami bertanya apakah model layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas dan berfokus pada pemulihan bisa dijalankan secara luas dalam skala nasional.

Selama satu dekade terakhir, para penulis artikel ini telah membentuk suatu kelompok kerja kesehatan jiwa, gabungan Fakultas Psikologi dan Departemen Psikiatri Universitas Gadjah Mada dan Departemen Kesehatan Global dan Kedokteran Sosial, Universitas Harvard, yang berkomitmen untuk melakukan penelitian tindakan yang bertujuan untuk memperkuat layanan kesehatan jiwa bagi para penyandang penyakit jiwa berat.

Standar perawatan

Sejak 2016, proyek ini telah memberikan respons secara terbuka terhadap mandat baru di mana pemerintahan daerah tingkat II (kabupaten) harus bertanggung-jawab terhadap layanan bagi para penderita gangguan jiwa berat. Pemerintah Pusat mengeluarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di mana pemerintah daerah tingkat II bertanggung-jawab atas penduduknya. Pemerintah daerah tingkat II diharuskan memberikan penjelasan atas penyediakan layanan ini, dan bukti bahwa mereka memenuhi setiap SPM menjadi syarat akreditasi institusi layanan kesehatan.

Survey awal/baseline pada keluarga orang dengan gangguan jiwa berat yang terdaftar di Puskesmas

Mandat baru ini memberikan kesempatan khusus bagi universitas dan LSM untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah tingkat II dan Provinsi untuk mengembangkan model-model layanan berbasis bukti (evidence-based) yang dapat diperluas melalui seluruh sistem kesehatan masyarakat. Namun demikian, sistem layanan yang seperti apa dan bagaimana layanan ini dapat dijalankan di semua Kabupaten dengan cara yang sama seperti vaksinasi dan layanan ibu dan anak yang dapat dilakukan secara rutin di pusat-pusat layanan kesehatan atau Puskesmas di seluruh negeri? Di satu sisi, hal ini memerlukan pembangunan suatu sistem terintegrasi dari Puskesmas ke kader desa, pada satu jalur, dan melalui rujukan ke rumah sakit daerah dan fasilitas kesehatan jiwa, yang semuanya didukung oleh Dinas Kesehatan tingkat Provinsi dan Kabupaten.

Pelaksanaan sistem semacam ini antara lain memerlukan protokol khusus untuk tiap pekerja layanan kesehatan, jenis permasalahan terkait (onset akut psikosis, pasung, akses ke obat-obatan dan asuransi, masalah-masalah kepatuhan atau kekambuhan). Di sisi lain, tim kami sudah mengajukan pertanyaan di sepanjang kegiatan ini tentang apakah yang seharusnya menjadi tujuan seluruh layanan ini. Apakah tujuan ini berupa akses terhadap layanan bagi semua orang yang menderita gangguan jiwa berat? Tentu saja! Atau juga kesinambungan layanan dengan akses ke obat-obatan sepanjang waktu? Tentu. Namun, bukankah tujuan secara keseluruhan adalah membuat orang-orang dengan gangguan jiwa berat untuk ‘pulih’? Apakah arti ‘pulih’ dalam konteks ini? Dan bagaimanakah ujud sistem layanan kesehatan jiwa yang berfokus pemulihan mengingat kondisi sumberdaya kesehatan jiwa yang terbatas? Hal-hal ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit, bukan saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.

Layanan terintegrasi

Dalam satu dekade terakhir, tim kami sudah memfokuskan perhatian pada dua permasalahan tersebut. Dengan bekerja sama secara langsung dengan sektor kesehatan masyarakat, dengan dukungan dana dari USAID dan Harvard Center for Global Health Delivery-Dubai, kami menemukan bahwa tidak ada satupun sistem layanan kesehatan jiwa yang terintegrasi murni di tingkat Kabupaten ataupun Provinsi, bahkan di provinsi Yogyakarta sekalipun. Memang ada beberapa contoh Puskesmas yang menyediakan layanan kesehatan jiwa yang prima dan layak dijadikan model di seantero negeri. Namun demikian kondisinya berbeda-beda di masing-masing Puskesmas. Dalam suatu penelitian yang melibatkan 5 Puskesmas, tim kami menemukan bahwa jumlah orang dengan skizofrenia yang tercatat di Puskesmas bervariasi antara 1.4 kasus hingga 15.4 kasus per seribu jumlah penduduk. Penelitian kami yang melibatkan 22 Puskesmas di Kotamadya Yogyakarta menemukan perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam pengobatan anti-psikotik yang tersedia di masing-masing Puskesmas, dan perbedaan yang signifikan dalam pelatihan kesehatan jiwa bagi dokter umum dan ‘programer jiwa’ (kepala program kesehatan jiwa di Puskesmas). Kami menemukan bahwa hampir tidak ada monitoring yang rutin terhadap orang-orang yang dirawat akibat gejala-gejala penyakit jiwa berat, efek samping pengobatan, dan fungsi sosial. Di dalam riset kami yang terdahulu, tim kami menemukan bahwa rumah sakit jiwa memiliki rencana pemulangan yang sangat terbatas, yang mengakibatkan komunikasi yang buruk antara rumah sakit-rumah sakit tingkat Provinsi dengan Puskesmas setelah pasien dipulangkan.

Kerja sama dengan Dr. Hasto Wardoyo, Bupati Kulon Progo saat itu, dalam progam Penguatan Layanan Kesehatan Jiwa di Puskesmas, di Kabupaten Kulon Progo

Tim kami menemukan konsekuensi serius akibat kurangnya layanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dan berkesinambungan. Salah satu riset kami mengevaluasi program bebas pasung di Rumah Sakit Jiwa Soerojo di Magelang untuk mengamati apa yang terjadi terhadap individu-individu yang dibebaskan dari pasung, dirawat di rumah sakit dan pulang ke rumah. Penelitian ini menemukan bahwa keluarga-keluarga sangat menghargai program bebas pasung ini namun 21% dari 63 individu yang menjadi subyek penelitian kembali dipasung setelah 2 tahun kembali dari perawatan di RS. (Hal ini berbeda dari program di China yang menunjukkan hanya 8% sampel yang dipasung kembali sesudah 7 tahun). Keprihatinan utama dari keluarga adalah kurangnya layanan lanjutan sesudah pasien dikembalikan ke keluarga. Program yang hanya sebatas membebaskan penyandang gangguan jiwa berat dai pasung, merawat mereka di RS, yang sering berhasil baik, kemudian mengembalikan mereka kepada keluarga tanpa benar-benar mengubah sistem layanan tidaklah cukup untuk menghasilkan outcome yang baik dalam jangka panjang bagi kebanyakan pasien yang dibebaskan dari pasung ini.

Oleh karena itu, tim kami telah bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Provinsi di Yogyakarta, serta rumah sakit dan puskesmas untuk mengembangkan perbaikan sistem layanan kesehatan jiwa dalam rangka memberikan asuhan terhadap orang-orang dengan gangguan jiwa berat. Hal ini mencakup penelitian mengenai kondisi layanan saat ini, melakukan proyek penelitian tindakan untuk merespons tantangan tertentu (seperti pemulangan dari rumah sakit), dan berkolaborasi untuk mengembangkan protocol atau SOP kesehatan untuk setiap tingkatan pekerja kesehatan sebagai respons terhadap permasalahan tertentu. Dengan mengembangkan indikator -- tentang pelayanan yang diberikan, perawatan individu, dan luaran -- kami dapat melaporkan penemuan-penemuan dan perkembangan sasaran untuk memperbaiki layanan. 

Bergerak menuju pemulihan

Kendati demikian, seiring dengan tim kami menjalankan proyek-proyek tersebut, pertanyaan tentang filosofi pelayanan menjadi lebih menonjol.

Dilihat sejarahnya, psikiatri memiliki pandangan pesimis megenai potensi kepulihan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat, terutama skizofrenia. Teori kolonial mengenai degenerasi, mengenai keluarga atau kelompok tertentu yang mengalami degenerasi secara genetik, telah memunculkan gagasan bahwa orang-orang dengan gangguan psikotik akan mengalami penurunan kondisi yang tidak terhindarkan. Apabila diasumsikan bahwa ODGJ berat akan mengalami penurunan kondisi di sepanjang kehidupan mereka, maka memberikan layanan jangka panjang kepada mereka merupakan hal yang tidak masuk akal. Sementara asumsi ini mengarah kepada pelayanan di rumah sakit jiwa yang besar dan klasik, pengembangan obat-obatan anti-psikotik pada 1950-an memungkinkan orang dirawat di masyarakat dan bukan di fasilitas hidup jangka panjang. Namun, terlalu sering, bahkan sistem kesehatan jiwa masyarakat memiliki fokus utama pada pemberian obat penenang dan terus beranggapan kalau kronisitas tidak bisa dihindari.

Pada akhir 1980-an dan 1990-an, kita menyaksikan munculnya 'gerakan pemulihan,' yang dipimpin oleh orang-orang yang hidup dengan gangguan jiwa ('konsumen,' 'penyintas') dan reformis kesehatan jiwa. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa walaupun penyakit psikotik sering memiliki efek yang panjang, penurunan fungsi setelah jangka waktu tertentu, seringkali lebih disebabkan oleh pengurungan, pengabaian, dan perawatan yang buruk dibanding oleh gangguan itu sendiri dan dengan seiring berlalunya waktu sekitar 60% orang dengan diagnosis skizofrenia pulih sepenuhnya dalam skala besar, dan seringkali pada akhirnya bisa hidup tanpa obat. Obat-obatan baru memiliki efek dramatis pada beberapa orang dan mengurangi efek samping pada penderita yang lain. Tetapi pengakuan bahwa pemulihan ini sering ditemui memainkan peran penting dalam pengembangan paradigma baru layanan kesehatan jiwa- yakni layanan yang didedikasikan untuk mendukung pemulihan.

Lokakarya Inisiasi Penguatan Program Kesehatan Jiwa Berorientasi Pemulihan di salah satu kabupaten di Yogyakarta (Kulon Progo)

Kelompok kami jadi bertanya, apa artinya ini semua, apabila Indonesia ingin membangun tidak hanya sistem pelayanan kesehatan mental yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan, tetapi juga berorientasi pada sistem menuju pemulihan. Sebagian dari jawabannya jelas. Evaluasi medis yang kompeten dan obat-obatan terbaik perlu disediakan. Keluarga dan para ODGJ perlu mendapatkan informasi tentang gangguan yang diderita dan pengobatan mereka. Tetapi obat-obatan dan edukasi saja tidaklah cukup. Rehabilitasi berbasis komunitas, yang menghubungkan staf kesehatan dan staf kesejahteraan sosial di masyarakat setempat, dan bukan rehabilitasi yang berpusat panti rehabilitasi, menjadi sangat penting. Kader desa perlu dilatih dan diberi peran khusus dalam sistem seperti itu. Penilaian dan layanan perlu difokuskan pada kekuatan dan kapasitas, tidak hanya pada gejala dan kecacatan/ketidak mampuan. Kelompok kami telah mengeksplorasi, misalnya, kemungkinan dibutuhkannya 'rencana pemulihan' untuk setiap ODGJ berat, dan bukannya sekadar diagnosis dan resep obat.

Keluarga yang memberikan rawatan membutuhkan pengakuan dan dukungan, termasuk dukungan finansial, karena penyakit jiwa merupakan penyebab umum pemiskinan. 'Pertemuan-pertemuan keluarga' (family gatherings) terbukti efektif untuk menumbuhkan harapan dan membangkitkan dukungan terhadap keluarga yang terbebani untuk memberikan perawatan.

Kelompok dukungan dan keluarga yang lebih formal - Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia [KPSI], Bipolar Care Indonesia - memainkan peran yang semakin meningkat. Dokter dan perawat di puskesmas perlu memiliki akses ke dukungan dan pengawasan rutin dari psikiater, mungkin menggunakan teknologi telemedicine. Psikolog klinis perlu diintegrasikan ke dalam Puskesmas dan diberi peran khusus dalam program semacam itu. Pengembangan program kesehatan jiwa berbasis sekolah, di satu sisi, dan layanan klinis intervensi dini yang ramah remaja dan spesialistik untuk orang-orang di fase awal gangguan merupakan hal yang sangat menentukan untuk agenda semacam itu. Dan semua ini perlu diintegrasikan ke dalam rawatan rutin.

Harapan

Ini bukan visi sederhana bagi negara yang memiliki jumlah spesialis kesehatan jiwa terendah di Asia Tenggara dan hanya mengalokasikan sekitar 1% dari anggaran kesehatan nasionalnya untuk layanan kesehatan jiwa. Tetapi ada alasan untuk berharap bahwa model seperti ini dapat dikembangkan dan diimplementasikan dalam konteks Indonesia. Walaupun stigma merupakan masalah penting di Indonesia, namun ide lokal tentang pemulihan - bangkit – merupakan hal yang umum dan memberikan harapan, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Prof. Subandi. Residen (dokter yang sedang mengambil pendidikan spesialisasi) psikiatri sering bersemangat untuk terlibat dalam pekerjaan di masyarakat, dan model-model psikoedukasi yang tepat secara budaya dapat diimplementasikan oleh staf puskesmas, seperti yang ditunjukkan oleh Dr. Carla Marchira.

Keluarga-keluarga Indonesia memiliki nilai-nilai kesabaran dan pelayanan yang kuat, dan masyarakat, LSM, serta kelompok agama membentuk basis yang kuat untuk layanan yang mendukung secara sosial. Menghubungkan universitas ke layanan publik memiliki potensi besar untuk membangun, mengevaluasi, dan memformalkan model layanan baru, dan ada semakin banyak staf muda di universitas yang tertarik dengan visi semacam ini. Pada saat ini, kebijakan nasional yang semakin mendukung layanan kesehatan jiwa memberikan peluang yang penting.

Dengan demikian kami yakin bahwa model layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang berorientasi pada pemulihan dapat dikembangkan di Indonesia, dan bahwa ini dapat disesuaikan dan dibawa ke skala yang lebih luas untuk mendukung ODGJ dan keluarga mereka. Visi inilah yang memotivasi pekerjaan yang dilakukan oleh 'geng kesehatan jiwa Jogya' selama bertahun-tahun.

Byron J. Good (byron_good@hms.harvard.edu) adalah seorang profesor antropologi medis dari Department of Global Health and Social Medicine di Harvard Medical School dan Harvard Department of Anthropology. M.A. Subandi (subandi@ugm.ac.id) adalah seorang profesor dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Carla Raymondalexas Marchira (cmarchira@ugm.ac.id) adalah kepala Departemen Psikiatri di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Fiddina Mediola (mediola.fiddina@googlemail.com) adalah seorang psikiater dan menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Jiwa Puri Nirmala di Yogyakarta. Tri Hayuning Tyas (t.h.tyas@ugm.ac.id) adalah seorang psikolog klinis dan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Sandeep Nanwani (nanwani91@gmail.com) adalah seorang dokter dan bekerja sebagai program officer untuk inisiatif Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja dari United Nations Population Fund. Ariana Marastuti (amarastuti@ugm.ac.id) adalah seorang peneliti di Center for Public Mental Health, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Mary-Jo DelVecchio Good (maryjo_good@hms.harvard.edu) adalah seorang profesor emeritus di bidang Kesehatan Global dan Kesehatan Sosial di Department of Global Health and Social Medicine di Harvard Medical School.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020