Patah hati namun sedikit berharap

Published: Jul 24, 2020
Undang-undang kesehatan jiwa Indonesia tak akan berhasil tanpa adanya peraturan pendukung
English version

Nova Riyanti Yusuf

Pendidikan dan pelatihan yang saya terima selama menjalani spesialisasi sebagai psikiater di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, merupakan momen yang krusial dalam hidup saya. Pada saat itulah saya menyaksikan kondisi riil orang dengan masalah kesehatan jiwa di Indonesia – baik dari bertemu pasien, maupun mendengar permintaan tolong keluarga yang merawat orang dengan gangguan jiwa. Pada sekitar waktu itulah, saya juga menyadari bagaimana media internasional melaporkan kondisi layanan kesehatan jiwa di Indonesia yakni: salah satu yang terburuk di Asia. 

Tak lama, saya merasa lelah mencoba membuat perubahan dari dalam sistem kesehatan. Saya tidak ingin menjadi praktisi kesehatan yang kehilangan harapan dan hanya menangani gejala saja. Saya tergugah dan bersikeras ingin mengatasi permasalahan dari akarnya. Saya menyadari bahwa untuk mewujudkan perubahan yang nyata, saya perlu menjalani karir yang sangat berbeda. Saya menyadari bahwa, suka atau tidak, saya harus menyingsingkan lengan baju, terjun ke dalam politik, dan berusaha membuat perubahan dari pusat kekuasaan.

Saat itu, saya tidak tahu cara melakukan hal ini, tetapi tanpa diduga saya mendapatkan tawaran untuk memasuki arena politik. Pada tahun 2005, saya menerima sebuah ajakan untuk menjadi anggota Partai Demokrat, partai yang berkuasa antara 2004-2014. Setelah banyak keragu-raguan, saya menerima undangan untuk maju sebagai calon anggota DPR pada pemilu 2009. Saya mengindahkan nasihat seorang rekan residen psikiatri yang memperingatkan saya untuk tidak menjadi gila jika tidak terpilih menjadi anggota. Sudah umum diketahui, namun sulit untuk diakui, bahwa jika seseorang masuk dalam dunia politik, maka orang itu akan berusaha untuk mencapai posisi yang berkuasa. Dan kekecewaan yang datang apabila tidak berhasil bisa sangat menghancurkan.

Halaman depan majalah TIME ini mengubah saya yang semula bermimpi menjadi klinisi, menjadi bermimpi menjadi politisi yang dapat memberikan Indonesia Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Halaman depan majalah TIME, 10 November 2003

Saya dipilih oleh konstituen DKI II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan penduduk Indonesia yang tinggal di luar negeri) dengan jumlah pemilih tertinggi ke-dua. Pada tahun yang sama dengan kelulusan saya sebagai psikiater, saya terpilih menjadi anggota DPR untuk tahun 2009-2014. Pada tahun yang sama di mana saya terpilih menjadi anggota dewan, saya menginisiasi apa yang kemudian dikenal dengan Undang-undang Kesehatan Jiwa di komisi yang ditugaskan oleh fraksi. Dikenal sebagai Komisi IX, kami bertugas dalam bidang kesehatan, ketenagakerjaan dan transmigrasi, pangan dan obat-obatan, keluarga berencana dan kependudukan. 

Mengawal sang undang-undang

Pada tahun 2009, sebagai anggota dewan yang bersemangat namun masih baru dan belum berpengalaman, saya menginisiasikan Undang-undang Kesehatan Jiwa dan berhasil memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas untuk 2010-2014. Saya terdorong oleh keinginan untuk mewujudkan keadilan kepada 18,000 orang dengan gangguan jiwa yang terampas hak asasinya, baik dengan dikurung, dirantai, dikunci dan/atau dibatasi gerak fisiknya oleh keluarga mereka, masyarakat atau panti di mana mereka tinggal. Akan tetapi, mengusulkan UU hanyalah langkah awal. Saya butuh kegigihan dan tekad yang luar biasa untuk apa yang akan saya hadapi setelahnya. RUU memang dapat merubah hidup seseorang, tetapi agar dapat disahkan, kita perlu tahu jalan panjang dan berliku perpolitikan di Indonesia.

Dalam peran saya sebagai legislator, Komisi Kesehatan mendukung saya untuk meningkatkan anggaran kesehatan jiwa dalam Kementerian Kesehatan dari 9.5 triliun (sekitar 100 juta USD) pada 2009 menjadi 45 triliun rupiah (sekitar 4,5 miliar USD) pada 2012. Peningkatan ini masih tidak sebanding dengan anggaran kesehatan nasional, namun kami menerima berapapun anggaran yang diberikan oleh Menteri.

Pada tahun 2010, terjadi serangkaian kejadian bunuh diri dengan cara melompat dari bangunan tinggi. Pada waktu itu, saya mempertanyakan adanya rencana untuk meniadakan Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan. Hasilnya, Menteri tidak hanya membatalkan rencana tersebut, beliau juga menginisiasi sebuah layanan Hotline Bantuan Psikososial (500-545) untuk layanan psikososial. Ini merupakan inisiatif yang bagus, meski masih memiliki berbagai kekurangan. Hotline ini pada akhirnya lama-kelamaan menghilang, dengan alasan sedang melakukan perbaikan. Baru-baru ini layanan tersebut baru kembali tersedia.

Buku ke-sepuluh saya, A Rookie & the Passage of the Mental Health Law: The Indonesian Story, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2014. Foto Nova Riyanti Yusuf

Untuk memastikan bahwa RUU Kesehatan Jiwa tetap menjadi prioritas untuk Komisi Kesehatan, saya harus menginisiasi proyek model untuk menunjukkan bahwa UU ini tidak sebatas nilai sentimental. Saya harus memberikan contoh berbasis bukti ilmiah mengenai praktik terbaik dalam layanan kesehatan jiwa. Salah satu proyek percontohan yang saya kembangkan adalah layanan kesehatan jiwa mobile. Fungsi utamanya sebagai kegiatan penjangkauan sekaligus usaha promosi di daerah-daerah urban, tetapi juga dapat digunakan sebagai fasilitas pertolongan pertama psikologis di wilayah yang terdampak bencana.                                                                                                                                                                                                                      

Untuk mempersingkat cerita, butuh dukungan seluruh jagad raya untuk membantu saya di setiap langkah. Setelah itu, sebuah penerbit nasional yang tersohor meminta saya untuk menuliskan pengalaman saya sebagai politisi. Sebagai jawaban, saya menulis A Rookie & the Passage of the Mental Health Law: The Indonesian Story.

Pengesahan Undang-undang Kesehatan Jiwa pada tahun 2014, lima tahun setelah saya menginisiasi prosesnya, terasa sebagai sebuah kemenangan. Dengan dukungan rekan legislator dan staf ahli, saya berhasil membuat RUU tersebut disahkan dan menjadi UU pada 18 Juli 2014. Ketika rancangan undang-undang disahkan, staf dari Kementerian Kesehatan dan beberapa orang dengan gangguan jiwa lainnya bersama-sama dengan saya merayakannya di kolam depan gedung DPR. Kami begitu lega bahwa RUU telah disetujui dan dikodifikasi menjadi UU.

Kejadian di mana saya terjun ke kolam DPR membuat saya dianggap sebagai anggota DPR yang keren bagi sebagian orang. Kecuali satu orang yang menuduh saya mencari perhatian dan melarang saya untuk mengutip emailnya kepada saya. Saya masih sakit hati karena ia menyindir bahwa perayaan ini hanyalah upaya nekat untuk mendapat sorotan media bagi diri saya sendiri, daripada untuk menyoroti kerja dan penderitaan begitu banyak orang. 

Sang Undang-undang

Lalu UU Kesehatan Jiwa ini, yang juga dikenal dengan UU Nomor 18 Tahun 2014, membahas tentang apa? UU ini jelas terinspirasi oleh ruh pembaharuan untuk reformasi kebijakan, inklusi sosial, perjuangan melawan stigma dan diskriminasi, dan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia. UU ini merupakan dokumen yang ambisius dengan sepuluh bab yang membahas segala hal, mulai dari ketentuan umum, hingga pendirian Institut Kesehatan Jiwa Nasional. Ketentuan umum memberikan definisi yang, antara lain, membedakan antara orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Terminologi ini sekarang digunakan secara luas untuk mendestigmatisasi individu yang sebelumnya dikenal dengan ‘gila’.

Menceburkan diri ke kolam di depan Gedung DPR beberapa menit setelah Undang-Undang Kesehatan Jiwa disahkan (Juli 2014). Foto Nova Riyanti Yusuf

Usaha saya untuk mendestigmatisasi permasalahan dan gangguan jiwa dimaksudkan untuk meringankan beban  stigmatisasi yang sehari-hari sering dialami oleh para individu, dan menghalangi kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Stigma ini juga menghalangi akses mereka terhadap layanan kesehatan serta terlihat jelas dalam laporan berita, di media massa dan media sosial. Stigma dan diskriminasi juga terlihat pada bagaimana orang dengan gangguan jiwa seringkali ditahan atau ditangani dengan kekerasan.

Undang-Undang Kesehatan Jiwa mewajibkan terciptanya sistem layanan kesehatan jiwa yang meliputi empat aspek layanan kesehatan jiwa. Empat aspek tersebut meliputi promosi kesehatan, layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan serta rehabilitasi. Undang-undang Kesehatan Jiwa memprioritaskan baik upaya promosi maupun prevensi.  Upaya promotif dilakukan di berbagai macam lingkungan, termasuk media massa. Upaya preventif diimplementasikan terutama dalam lingkungan keluarga. Tak kalah penting, adalah upaya rehabilitasi, yang mempersiapkan orang dengan gangguan jiwa untuk menjadi anggota masyarakat secara utuh dan berpartisipasi aktif. Hal yang menjadi sangat penting dalam undang-undang ini adalah sejumlah larangan, terutama bagi tenaga kesehatan untuk melakukan segala bentuk tindakan kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa untuk menahan mereka dengan cara apapun.

Ketentuan-ketentuan lain tentang koordinasi upaya kesehatan jiwa menyatakan bahwa upaya tersebut seharusnya diintegrasikan, komprehensif dan berkelanjutan; hal ini telah dimandatkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Namun Peraturan Presiden ini bukan satu-satunya hukum yang seharusnya mengikuti Undang-undang Kesehatan Jiwa. Undang-undang, sebagaimana hukum lainnya, juga membutuhkan peraturan lanjutan yang terbit di tingkat kementerian, dan memberikan pedoman jelas dan praktis yang menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dari UU seharusnya diimplementasikan. Di saat yang bersamaan, dana dialokasikan untuk menutupi biaya yang terkait dengan implementasi UU. Peraturan seperti itu seharusnya terbit tidak lebih dari satu tahun setelah pengesahan UU, yang berarti seharusnya hal ini sudah tercapai pada tahun 2015. Saat ini sudah tahun 2020 dan masih belum ada peraturan lanjutan yang telah diterbitkan secara formal.

Momen realisasi yang pahit

Setelah menyelesaikan masa bakti pertama di DPR RI, saya jadi tahu betapa sulitnya untuk mengimplementasikan Undang-Undang Kesehatan Jiwa pasca pengesahannya. Hal ini membuat saya sangat frustrasi, tetapi saya tetap berusaha untuk mempertahankan adanya rasa urgensi di antara seluruh pemangku kepentingan, untuk membangun Institut Kesehatan Jiwa Nasional. Sandiaga Uno – saya bertemu dengannya di sebuah acara televisi pada 2007 – tidak lama yang lalu terpilih menjadi Wakil Gubernur Jakarta pada 2017. Selama kampanye pemilihannya, saya berhasil menjelaskan kepadanya mengenai mandat untuk mendirikan sebuah institut di Indonesia yang setara dengan American National Institute of Mental Health. Ia sangat mendukung dan meminta saya untuk mengembangkan rencana konsep dengan stafnya. Kami telah mengerjakannya selama hampir enam bulan ketika tiba-tiba ia mengumumkan pencalonannya sebagai Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden di tahun berikutnya. Harapan saya, sekali lagi, remuk. Tanpa kepemimpinan beliau, sepertinya proyek ini tidak akan berlanjut. 

/ Halaman depan Jakarta Globe

Setelah berbagai usaha gagal, saya mulai menerima bahwa UU Kesehatan Jiwa tidak akan pernah diformalkan menjadi peraturan yang praktis, dengan dukungan dana yang sesuai. Dan ini tetap terjadi meskipun dengan fakta bahwa Indonesia memiliki populasi terbesar ke-empat di dunia dan bahwa negara ini menghadapi banyak permasalahan kesehatan jiwa, termasuk angka bunuh diri yang meningkat, bencana alam, dan belum lagi, beban kesehatan jiwa dari pandemi COVID-19. Masalah ini juga telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 14 Mei 2020, ketika mereka menerbitkan seruan untuk melindungi orang-orang yang paling rentan terhadap masalah kesehatan jiwa selama dan setelah pandemi COVID-19. Puluhan tahun membengkalaikan dan rendahnya investasi untuk menanggapi kebutuhan kesehatan jiwa penduduk telah disingkap oleh pandemi ini. Bagian penting dari seruan PBB adalah agar semua pemerintahan memasukkan perawatan kesehatan jiwa ke dalam strategi menghadapi COVID-19, yang sangat penting karena rata-rata pengeluaran nasional untuk kesehatan jiwa hanya dua persen. Alokasi dana untuk kesehatan jiwa di Indonesia kurang dari 2%, bukan persentase dari anggaran belanja nasional keseluruhan, namun hanya dari anggaran kesehatan nasional.

Seruan PBB sungguh menggarisbawahi masalah nasional kita, ketika berkaitan dengan memprioritaskan kebutuhan kesehatan jiwa Indonesia. Indonesia – lagi-lagi – tidak memasukkan kesehatan jiwa ke dalam rencana pembangunan nasional jangka menengah, yang terbaru. Dan pencegahan bunuh diri lagi-lagi tidak dimasukkan dalam cetak biru nasional untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) WHO.

Jujur, saya tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan, tetapi saya akan tetap berusaha untuk melakukan apa yang menjadi keahlian saya. Dan saya, seperti kita semua, berusaha untuk menjaga kesehatan jiwa selama pandemi ini. UU Kesehatan Jiwa bukan topik yang baik untuk diingat-ingat selama pandemi. Mungkin sebaiknya saya berhenti di sini. Mari kita mengharapkan keajaiban, bagaimana?

Nova Riyanti Yusuf (noriyu.md@gmail.com) adalah seorang psikiater, penginisiasi Undang-Undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Associations.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020