Masa depan layanan kesehatan jiwa di Indonesia

Published: Jul 24, 2020
English version
Pengantar edisi ini

Hans Pols

Indonesia menghadapi tantangan yang sangat besar di bidang kesehatan jiwa. Ada kekurangan parah akan ahli kesehatan jiwa, juga fasilitas pengobatan dan perawatan. Stigma terhadap gangguan jiwa dan disabilitas psikososial masih kuat. Untungnya, ada banyak psikiater, psikolog, perawat jiwa, pekerja sosial, advokat kesehatan jiwa, kelompok individu dengan pengalaman gangguan jiwa, pengasuh, dan relawan yang berkomitmen dan antusias, yang semua mendedikasikan diri demi perubahan. Edisi Inside Indonesia kali ini menginvestigasi kondisi layanan kesehatan jiwa saat ini di Indonesia, mengeksplorasi ide-ide mengenai bagaimana cara untuk mewujudkan perbaikan, dan melaporkan beberapa inisiatif inovatif yang berhasil.

Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, ada sekitar 450,000 keluarga di Indonesia dengan minimal satu anggota keluarga yang mengalami skizofrenia. Sementara dalam lebih dari empat juta keluarga Indonesia, minimal satu anggota keluarga mengalami depresi.

Untuk banyak individu dengan gangguan jiwa, akses terhadap layanan kesehatan masih sangat sulit, terutama di wilayah pedesaan dan terpencil.

Pemerintah Indonesia saat ini mengalokasikan sekitar satu persen dari total anggaran kesehatan untuk kesehatan jiwa; total anggaran kesehatan sekitar tiga persen dari PDB. Kapasitas dari 48 rumah sakit jiwa dan 269 bangsal jiwa di rumah sakit umum Indonesia jauh lebih rendah daripada kebutuhan. Di pusat perkotaan besar, hanya sebagian psikiater dan psikolog klinis yang memiliki praktik pribadi. Ada banyak institusi atau panti tidak formal dan tidak resmi, biasanya berbasis keagamaan, yang menyediakan layanan bagi individu dengan gangguan jiwa. Kondisi di institusi seperti ini biasanya sangat buruk. Saat ini sedang ada inisiatif untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa di puskesmas, sebuah kemajuan yang memberikan harapan, tapi inisiatif ini masih berada di tahapan awal. Delapan provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa dan tiga bahkan tidak memiliki satu psikiater-pun. Saat ini ada kurang dari 1,000 psikiater, 2,000 psikolog klinis terdaftar, dan kurang dari 7,000 perawat jiwa komunitas, untuk populasi hampir sejumlah 270 juta. Jika Indonesia memiliki jumlah psikiater per kapita yang sama dengan Australia, maka seharusnya tersedia hampir 38,000. Kementerian Kesehatan Indonesia memperkirakan bahwa sekitar 90% orang dengan gangguan jiwa atau disabilitas psikososial tidak menerima layanan kesehatan jiwa yang layak.

Kondisi orang dengan gangguan jiwa berat di Indonesia secara rutin menarik perhatian internasional. Pada tahun 2017, Human Rights Watch mempublikasi sebuah laporan yang mengkritik, berjudul Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia. Laporan ini menyoroti kondisi suram di panti sosial dan institusi-institusi informal, yang sering kali tidak higenis dan terlalu penuh. Para penghuni seringkali dipasung. Layanan medis hanya diberikan secara sporadis.

Di daerah pedesaan dan terpencil, beberapa keluarga membelenggu para individu dengan gangguan jiwa berat, mengurung mereka dalam kamar kecil atau gubuk, atau menggembok salah satu atau kedua kaki mereka dalam balok kayu yang berat. Praktik ini dikenal sebagai pasung. Keluarga melakukan hal ini untuk untuk mencegah pasien melakukan tindakan kekerasan dan kerusakan terhadap hewan ternak mereka dan properti tetangga. Lebih dari 57,000 orang Indonesia telah mengalami pasung paling tidak sekali dalam hidup mereka. Pada Juli 2018, angka individu yang masih dipasung diperkirakan sekitar 12,800 – berkurang 6,000 dari 2 tahun sebelumnya.

Pasung

Bagian pertama dari edisi ini membahas pasung dan inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan untuk menghilangkan praktek ini. Selama sepuluh tahun terakhir, jurnalis foto Andrea Star Reese telah mendokumentasikan kehidupan individu-individu dengan disabilitas psikososial, banyak dari mereka yang mengalami pemasungan. Diana Setiyawati melaporkan bagaimana aktivis kesehatan jiwa berhasil mengadvokasikan institusi alternatif untuk orang dengan gangguan jiwa yang ditemukan terpasung, dalam sebuah panti informal. Ade W. Prastyani, Diana Setiyawati dan Erminia Colucci membahas bagaimana pendeta Camillian di Flores membangun ‘Rumah Aman’ untuk orang dengan gangguan jiwa, sehingga menyediakan alternatif dari pasung. Di artikel terakhir bagian ini, Anke Felicitas Boeckenfoerde melaporkan karyanya dengan beberapa institusi Katolik di Flores.

Memperbaiki layanan kesehatan mental

Bagian kedua dari edisi ini mendiskusikan inisiatif-inisiatif untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan jiwa Indonesia. Irmansyah mengevaluasi kampanye Indonesia Bebas Pasung, yang sekarang memasuki tahun ke-sepuluh. Ia menekankan pentingnya sistem asuransi kesehatan terbaru Indonesia (JKN/BPJS), yang membuat layanan kesehatan dapat diakses oleh semua penduduk. Selama beberapa tahun terakhir, beberapa kebijakan memandatkan layanan kesehatan jiwa agar tersedia di puskesmas-puskesmas Indonesia, yang jumlahnya hampir sepuluh ribu. Eunike Sri Tyas Suci menggambarkan beberapa program pelatihan untuk profesional kesehatan dan relawan kesehatan yang arahnya memperbaiki layanan untuk orang dengan gangguan jiwa. Nova Riyanti Yusuf membahas Undang-Undang Kesehatan Jiwa Indonesia, yang ia bantu formulasikan dan sahkan pada 2014.  Byron J. Good, dengan tim Kesehatan Jiwa di Yogyakarta dan Mary-Jo Delvecchio Good, membahas tentang beberapa inisiatif untuk membangun sistem kesehatan jiwa yang berfokus pada pemulihan daripada hanya menyediakan obat-obatan atau perawatan sementara di rumah sakit jiwa atau bangsal jiwa. Santi Yuliani menceritakan bagaimana ia dan kolega-koleganya di Rumah Sakit Jiwa Magelang mengintegrasikan budaya Jawa dengan teknologi modern dalam penanganan yang mereka berikan. Dalam artikel terakhir bagian ini, Hervita Diatri membahas peran akreditasi rumah sakit dan kualitas layanan yang disediakan di bangsal jiwa rumah sakit umum.

Inisiatif-inisiatif  khusus

Bagian ketiga dari edisi ini membahas beberapa inisiatif yang spesifik dan khusus. Indonesia terletak pada lingkaran api; erupsi gunung berapi, gempa bumi, dan bencana alam terlalu sering terjadi. Albert Maramis menggambarkan bagaimana profesional kesehatan jiwa Indonesia telah mengembangkan keahlian khusus dalam menyediakan layanan pasca bencana alam. Aliza Hunt menganalisis bagaimana profesional kesehatan jiwa memandang depresi, sebuah masalah yang tidak mendapatkan cukup perhatian. Benny Prawira melaporkan bagaimana anggota Into the Light Indonesia, sebuah kelompok yang berfokus pada pencegahan bunuh diri pemuda, berpartisipasi dalam membuat pedoman pelaporan bunuh diri di media. Agus Sugianto membahas dua organisasi – Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia dan Bipolar Care Indonesia – ditambah dengan aktivitasnya sebagai advokat kesehatan jiwa. Aktivitas dari kelompok-kelompok orang dengan pengalaman hidup dengan gangguan jiwa dan pengasuh mereka telah menambahkan elemen yang signifikan dan dinamis dalam dunia kesehatan jiwa Indonesia, selama sepuluh tahun terakhir. Dalam artikel terakhir bagian ini, Retha Arjadi menggambarkan sebuah inisiatif untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa secara daring, yang dapat menjadi cara yang menjanjikan untuk memberikan layanan kesehatan jiwa di daerah pedesaan dan terpencil.

Refleksi

Bagian keempat dan terakhir dari edisi khusus mengenai layanan kesehatan jiwa di Indonesia menampilkan dua refleksi mengenai kondisi saat ini dan arah layanan kesehatan jiwa Indonesia di masa depan. Andrea Adhi, Marsha Habib, dan Widi Sari mendiskusikan pentingnya menyediakan layanan untuk kelompok rentan, seperti anak jalanan, kelompok agama minoritas, dan individu LGBTQ. Pada artikel terakhir, Theresia Citraningtyas merefleksikan kondisi inisiatif kesehatan jiwa di Indonesia saat ini dan perkembangan apa yang ia harapkan terjadi dalam waktu dekat.

Edisi Inside Indonesia ini muncul dari sebuah proyek penelitian yang didanai oleh ARC, berjudul Imagining Indonesia Psychiatry: Past Present and Future (DP140100517; 2014-2017), yang memungkinkan saya untuk bekerja dengan Byron J. Good dan Mary-Jo DelVecchio Good dari Harvard University. Selama empat tahun, kami melakukan perjalanan ke seluruh Indonesia dan mewawancarai psikiater, psikolog, perawat kesehatan jiwa, pekerja sosial, ahli dengan pengalaman hidup, relawan, dan advokat kesehatan jiwa. Kami mengorganisir beberapa pertemuan dan lokakarya untuk mendiskusikan masa depan kesehatan jiwa di Indonesia. Kami sangat senang bertemu dengan banyak orang yang berkomitmen, berdedikasi dan bersemangat, yang sebelumnya telah berhasil melakukan berbagai program yang inovatif dan orang-orang yang penuh dengan ide mengenai apa yang bisa dan seharusnya dilakukan di waktu dekat. Kami menyusun buku dua jilid yang disunting dengan kontribusi lebih dari lima puluh penulis Indonesia: Jiwa Sehat, Negara Kuat: Masa Depan Layanan Kesehatan Jiwa di Indonesia, Kompas, 2019. Saat ini kami sedang menyiapkan versi Bahasa Inggris untuk buku ini.

Tantangan dalam menyediakan layanan kesehatan jiwa yang layak untuk semua orang yang membutuhkannya sangatlah besar. Begitu juga tenaga dan kecerdasan orang-orang yang berdedikasi untuk mencapai tujuan ini.

Lokakarya ‘Membayangkan Masa Depan Layanan Kesehatan Jiwa di Indonesia’ diselenggarakan di Yogyakarta pada Novembre 2014 / Fiddina Mediola.

Dedikasi

Edisi Inside Indonesia ini didedikasikan bagi dua pelopor kesehatan jiwa Indonesia, Dr. Pandu Setiawan dan Dr. Laurentius Panggabean. Keduanya tidak lagi bersama kita.

Selama bertahun-tahun, almarhum Dr. Pandu telah memainkan peran utama dalam layanan kesehatan jiwa Indonesia. Beliau menjabat sebagai direktur di beberapa rumah sakit jiwa. Selama dekade terakhir kehidupannya, beliau memantik diskusi mengenai pengorganisasian layanan kesehatan jiwa dan tanpa lelah mengadvokasikan pengembangan sistem kesehatan jiwa yang komprehensif di mana layanan kesehatan jiwa akan tersedia di level primer, sekunder dan tersier. Beliau berharap bahwa layanan dan penanganan di rumah sakit jiwa akan dilengkapi dengan layanan di masyarakat. Selama beberapa tahun terakhir kehidupannya, beliau mempelopori inisiatif-inisiatif dalam rehabilitas psikososial, dan sangat mendorong dan mendukung kelompok-kelompok orang dengan gangguan jiwa. Kami kehilangan kehadirannya di komunitas kesehatan jiwa Indonesia.

Mengenang dr. Laurentius Panggabean, Sp.KJ, yang wafat pada tanggal 12 Maret 2020 sebagai Direktur Utama RS Jiwa Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta. Beliau juga mantan Dirut Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur dan RSJ Lawang, Jawa Timur. Beliau sungguh pahlawan kesehatan jiwa dan merupakan salah satu martir pertama COVID-19 di Indonesia. Sayangnya, keluarganya tidak diberitahu tentang diagnosis tersebut hingga sesudah pemakaman. Ratusan orang sempat datang untuk melayat, dan teramat disayangkan bahwa keluarga sempat mengalami stigma dan bahkan disalahkan karena dianggap membahayakan orang lain.

Terima kasih istimewa

Terima kasih kepada Chris Hesselbein atas bantuan salin-edit (copy-editing) edisi ini, dan Aliya Supriyadi untuk penerjemahan artikel-artikel di edisi ini, serta Nurul Fadhila Praharso, Anindita Gabriella, Ninik Supartini, dan Ade Prastyani sebagai asisten.

Hans Pols (hans.pols@sydney.edu.au) berafiliasi dengan School of History and Philosophy of Science di University of Sydney.

Dengarkan podcast dengan Hans Pols mengenai edisi khusus ini, yang dibuat oleh Sydney Southeast Asia Centre. 

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020