Lebih dari memberi obat

Published: Jul 24, 2020
English version
Terapi budaya dan neuroterapi membantu pemulihan kesehatan jiwa

Santi Yuliani

Pada tahun 1916, J Scholtens – seorang dokter dari rumah sakit jiwa tertua di Hindia Belanda di dekat Bogor – menyerahkan sebuah laporan kepada pemerintah kolonial mengenai kebutuhan untuk menambah rumah sakit jiwa. Ada dua rumah sakit jiwa di Hindia Belanda pada saat itu: satu di dekat Bogor dan satu di dekat Lawang. Ia juga menyerahkan rencana arsitektur yang konkrit untuk rumah sakit jiwa yang diusulkan, yang dahulu umum dikenal sebagai insane asylum (panti gangguan jiwa atau krankzinningengesticht dalam bahasa Belanda), untuk berlokasi dekat Magelang di Jawa Tengah. Butuh waktu tujuh tahun untuk meyakinkan pemerintah kolonial bahwa lokasi tersebut sesuai dan agar biaya pendiriannya disetujui. Akhirnya, pada 1923, sebuah rumah sakit jiwa baru dibuka.

Lokasi rumah sakit jiwa ini empat kilometer dari kota Magelang, dekat dengan jalan raya yang menghubungkan kota-kota Yogyakarta, Semarang dan Purworejo. Daerah tersebut dikelilingi oleh gunung api Merapi yang masih aktif sampai saat ini, Merbabu dan Telomoyo, i, gunung Andong di sisi timur, gunung berapi tidak aktif Ungaran di sisi utaranya, dan gunung berapi Sumbing dan gunung Menoreh di sisi barat. Bukit Tidar terletak di sebelah selatannya. Bukit ini disebut dengan pakunya Jawa; legenda mengatakan bahwa pulau Jawa ‘dipaku’ ke bumi di lokasi ini. Candi Borobudur terletak tak jauh dari situ. Institusi ini awalnya diberi nama Krankzinningengesticht Kramat. Setelah beberapa kali berganti nama, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan, saat ini dikenal sebagai Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr Soerojo Magelang. Riwayat sejarahnya yang panjang menjadikannya sebuah peninggalan budaya yang harus dilestarikan.

Pemulihan melalui budaya

Budaya Indonesia sangat berbeda dengan budaya Barat. Ada perbedaan dalam kehidupan sehari-hari, norma-norma budaya, spiritualitas, kepercayaan agama, hirarki sosial, pengertian waktu, hubungan spasial, dan banyak lainnya. Bahkan, dalam Indonesia sendiri ada banyak budaya yang berbeda. Hal ini membuat Indonesia negara yang sangat kompleks, namun juga unik. Menurut pendapat saya, setiap orang Indonesia seharusnya mengapresiasi perbedaan ini dan menghargai kesenian dan budaya dari seluruh kelompok etnis dari seluruh penjuru negeri. Keberagaman ini merupakan sumber kekayaan orang Indonesia yang harus dilestarikan. Akan tetapi, melestarikan budaya Indonesia tidak bisa dibatasi pada struktur kelompok umur tertentu atau praktik-praktik yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu.

Pasien terlibat dalam jathilan, sebuah tarian tradisional Jawa dimana pada penari membawa kuda-kudaan dari bambu / Santi Yuliani

Budaya Indonesia memberikan pengaruhnya dalam berbagai cara yang berbeda. Di rumah sakit jiwa Magelang, ia mempengaruhi pelaksanaan kegiatan terapeutik di didalamnya. Pasien diajak untuk berpartisipasi dalam kesenian tradisional seperti jathilan (tarian Jawa yang menggambarkan sekelompok penunggang kuda dimana para penari membawa sebuah kuda pipih terbuat dari bambu), topeng tembem, dan buto (tarian Jawa dengan topeng). Kami percaya bahwa kegiatan ini mendukung proses kesembuhan dan pemulihan. Berpartisipasi dalam tarian tradisional Jawa meningkatkan kepercayaan diri para pasien. Suara musik gamelan mengurangi rasa tegang, yang membuat pasien merasa lebih mudah untuk mengekspresikan diri. Dengan berpartisipasi dalam tarian tradisional dan berbagai bentuk kesenian tradisional Jawa lainnya, para pasien menjadi lebih terbuka kepada para dokter, keluarga dan masyarakat sekitar mereka. Terapi seni membantu memperbaiki keterampilan sosial pasien yang sedang melalui proses pemulihan, yang juga akan membantu dalam interaksi mereka dengan masyarakat di kemudian hari. Dan sebaliknya, terapi seni memudahkan penerimaan mantan pasien ke dalam masyarakat. Meskipun ada banyak testimoni pasien mengenai pentingnya terapi berbasis budaya untuk proses penyembuhan mereka, belum pernah ada penelitian yang menguji efektivitasnya.

Neuroterapi

Pada tahun 2006, rumah sakit jiwa Magelang memberi respon terhadap permintaan masyarakat untuk menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif. Rumah sakit saat ini memiliki tenaga kesehatan yang bervariasi, mencakup spesialis medis seperti ahli bedah, ahli penyakit dalam, spesialis anak, ahli kebidanan dan kandungan, ahli saraf, ahli radiologi, dan ahli anestesi. Rumah sakit ini sekarang memiliki ruang operasi, tempat tidur untuk rawat inap jangka pendek, dan ruang bersalin. Layanan kesehatan jiwa tambahan dan alat canggih yang baru juga ditambah ke dalam layanan rumah sakit seperti teknologi neurofeedback, yang mulai beroperasi pada tahun 2014.

Neurofeedback juga dikenal dengan EEG biofeedback atau neuroterapi. Terapi ini merupakan teknik canggih yang bertujuan untuk melatih otak agar berfungsi dengan lebih baik. Melalui neurofeedback, otak dapat dilatih untuk berfungsi dan beroperasi pada kapasitas maksimal sekaligus melatih pembentukan jalur saraf agar berbagai area otak berfungsi secara lebih baik. Pelatihan neurofeedback saat ini merupakan salat satu opsi yang paling menjanjikan untuk mengelola berbagai gangguan jiwa, seperti kecemasan, depresi, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), gangguan perilaku, insomnia, sakit kepala, migrain, premenstrual syndrome (PMS), dan gangguan emosional lainnya. Selama pelatihan neurofeedback, pasien dapat melihat visualisasi dari aktivitas otak mereka melalui tampilan gelombang otak mereka, yang diperlihatkan pada layarkomputer seiring dengan game yang mereka mainkan.

Pasien terlibat dalam pelatihan biofeedback / Rumah Sakit Jiwa Magelang

Agar dapat menggunakan alat baru ini dengan efektif, penelitian perlu dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan efikasinya. Dengan mempertimbangkan jumlah pasien kronis yang sedang ditangani dan jumlah individu yang mengalami depresi pasca skizofrenia, kami melakukan sebuah penelitian menggunakan neurofeedback pada individu dengan depresi pasca skizofrenia. Sudah diketahui sebelumnya bahwa depresi merupakan kondisi dengan level risiko yang tinggi karena dapat mengarahkan pada ide dan perilaku bunuh diri. Penanganan pasien dengan depresi pasca skizofrenia berbeda dengan penanganan individu dengan depresi; obat untuk kelompok pertama sangat berbeda dengan obat untuk kelompok kedua. Tentu memungkinkan untuk memberi obat anti-depresan untuk individu dengan skizofrenia dan depresi sebagai tambahan dari obat-obatan yang sudah mereka konsumsi. Akan tetap hal ini tidak selalu diinginkan karena kebanyakan pasien seperti ini sudah minum beberapa macam obat yang berbeda. Terlebih lagi, masih sedikit yang diketahui mengenai interaksi antar obat-obatan ini. Sehingga, lebih baik untuk memilih terapi yang tidak melibatkan obat untuk menangani depresi. 

Hasil penelitian 

Kami melibatkan 100 partisipan dalam penelitian kami, dan membagik mereka ke dalam tiga kelompok: kelompok satu diberikan obat anti-depresan; kelompok dua berpartisipasi dalam tari tradisional Jawa; kelompok tiga menggunakan pelatihan neurofeedback. Hasilnya cukup mengejutkan; ketiga kelompok tersebut menunjukkan progress/perkembangan yang signifikan untuk mengurangi angka depresinya. Akan tetapi, ada perbedaan yang signifikan dalam laporan kualitatif yang diberikan oleh partisipan. Mereka yang berada dalam kelompok anti-depresan melaporkan bahwa mereka tidak merasa bersemangat dengan terapi yang diberikan, sementara baik pada kelompok neurofeedback maupun tarian tradisional, partisipan melaporkan perasaan senang saat dilakukan terapi. 

Pasien sedang berlatih untuk pentas tari / Rumah Sakit Jiwa Magelang

Ada alasan untuk menjelaskan mengapa kelompok neurofeedback dan tarian tradisional lebih menikmati terapi yang diberikan. Neurofeedback dilakukan secara individual; keberhasilan terapi terindikasikan dalam bentuk diagram nilai. Tarian tradisional merupakan kegiatan berkelompok; kesuksesannya ditentukan oleh rasa kekompakan kelompok, dan umpan balik diberikan dalam bentuk tepuk tangan dan respon penonton. Berpartisipasi dalam aktivitas kelompok melatih keterampilan sosial pasien dan memperbaiki kemampuan mereka dalam komunikasi; dan saling melihat ekspresi masing-masing sembari menari membuat perasaan kesepian mereka berkurang. Ketika partisipan penelitian kami mampu menampilkan tarian tradisional Jawa dengan baik, mereka menerima tepuk tangan dan apresiasi dari penonton. Hal ini membuat mreka merasa dihargai dan diterima oleh masyarakat. 

Jadi, terapi mana yang terbaik? Tentunya teknologi dan obat-obatan dibutuhkan untuk layanan kesehatan jiwa. Banyak penelitian ilmiah telah dilakukan untuk menciptakan alat terapeutik dan pengobatan; keduanya berbasis bukti ilmiah. Akan tetapi, kita perlu tetap ingat bahwa kesehatan jiwa meliputi aspek biologis, psikologis, sosial dan budaya; kita tidak boleh melupakan pentingnya menggabungkan elemen budaya dalam terapi kita. Dari penelitian yang telah saya tunjukkan disini, memanfaatkan praktik budaya setempat menghasilkan manfaat terapeutik yang signifikan untuk depresi pasca skizofrenia. Pasien melaporkan bahwa mereka sangat menikmati keterlibatan mereka dalam tarian-tarian ini. Hal ini berhasil mencapai salah satu dari tujuan utama terapi kesehatan jiwa, yakni tidak hanya berupa remisi gejala, namun juga untuk membantu individu dalam pemulihan dan mendukung kesejahteraan mereka.

Santi Yuliani (doktersanti@gmail.com) adalah psikiater konsultasi-liaison yang terasosiasi dengan Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr Soerojo di Magelang.