‘Indonesia Bebas Pasung’ satu dekade kemudian

Published: Jul 24, 2020
English version
Jalan masih panjang menuju penghapusan praktek pasung pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia

Irmansyah

Pasung adalah praktik membelenggu orang – terutama individu dengan gangguan jiwa berat – dengan menggunakan balok kayu atau rantai, atau mengurung mereka dalam kamar yang kecil. Semua ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang sama: agar tidak mungkin bagi orang tersebut untuk bergerak secara bebas. Sayangnya, praktik tidak manusiawi ini masih umum di Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan terpencil.

Pada 10 Oktober 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia menginisiasi sebuah gerakan nasional untuk mengakhiri pasung, yang dinamakan Indonesia Bebas Pasung, dan meminta seluruh sektor pemerintahan untuk berkomitmen kuat untuk bekerjasama dengan masyarakat di daerah untuk menghilangkan praktik ini. Indonesia menghadapi banyak masalah kesehatan jiwa, tetapi Kementerian Kesehatan memilih untuk berfokus pada pasung karena beberapa alasan. Yang paling utama, praktik ini sangat tidak manusiawi dan melibatkan hampir setiap anggota masyarakat – mustahil untuk membayangkan pengalaman orang dengan gangguan jiwa yang lebih buruk daripada ini. Yang kedua, adanya perlakuan ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan jiwa tidak berfungsi. Dalam usaha untuk mengentaskan pasung, Kementerian Kesehatan sekaligus berharap untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan jiwa Indonesia.

Tahun ini, satu dekade telah berlalu sejak dimulainya inisiatif Bebas Pasung. Saat ini waktu untuk merefleksikan apa yang telah tercapai sejauh ini.

Tentu telah ada perbaikan di beberapa situasi dan kondisi tertentu. Dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu, stigmatisasi pada gangguan jiwa sudah berkurang. Organisasi-organisasi konsumen saat ini telah terbentuk yang mencakup hampir semua isu kesehatan jiwa. Ada kelompok-kelompok yang khusus bergerak pada gangguan jiwa tertentu, contohnya Komunitas Peduli Skizofrenia (KPSI) dan Bipolar Care Indonesia (BCI). Kelompok lain berfokus pada edukasi dan advokasi, seperti Perhimpunan Jiwa Sehat, Yayasan Pulih (yang berfokus pada penyediaan layanan psikologis untuk korban kekerasan dan bencana), dan Into the Light Indonesia (untuk pencegahan bunuh diri). Organisasi-organisasi ini memainkan peran yang penting dalam meningkatkan kesadaran umum mengenai isu kesehatan jiwa. Mereka mengadvokasikan perbaikan dalam sistem layanan kesehatan jiwa Indonesia, dan untuk kebijakan kesehatan jiwa yang lebih baik. Kelompok-kelompok ini tidak hanya aktif di Jakarta, namun juga hadir di berbagai daerah.

Puskesmas di Uitao, Pulau Hala, Timor Barat. Foto: Irmansyah

Hari ini, pemerintah Indonesia sudah lebih memperhatikan isu kesehatan jiwa daripada sebelumnya. Kementerian Sosial juga telah menjadikan program Indonesia Bebas Pasung sebuah prioritas. Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM telah menerbitkan laporan khusus tentang isu kesehatan jiwa, yang memberi rekomendasikan agar pemerintah memimpin dalam memperbaiki sistem kesehatan jiwa. Juga, Kementerian Ketenagakerjaan sekarang memperhatikan isu kesehatan jiwa di tempat kerja, dan KOMNAS-HAM telah menginisiasi gerakan advokasi untuk melindungi hak-hak orang dengan gangguan jiwa. Perkembangan-perkembangan ini semua telah berkontribusi terhadap pengesahan Undang-Undang Kesehatan Jiwa di tahun 2014, yang merupakan alat penting untuk memperbaiki kesehatan jiwa di Indonesia.

Implementasi sistem asuransi kesehatan universal yang baru (BPJS-JKN) pada tahun 2014, dan diikuti oleh persyaratan akreditasi semua fasilitas kesehatan, telah meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan dan memperbaiki kualitasnya. Orang dengan gangguan jiwa dan keluarga mereka dapat menikmati manfaat ini, terutama di rumah sakit dimana mereka mendapatkan layanan dan obat-obatan yang lebih baik,mereka tidak lagi harus memikirkan biaya. Akan tetapi, untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa yang lebih baik di level komunitas, kebijakan dan layanan rumah sakit yang lebih baik saja tidak cukup. Butuh tambahan program nasional berskala besar.

Keberhasilan dalam pendekatan kesehatan masyarakat/komunitas

Untuk mencapai Inisiatif nasional ‘Mewujudkan Paradigma Sehat’ terdapat dari dua program kesehatan besar: Program Indonesia Sehat Melalui Pendekatan Keluarga (PIS-PK) dan sebuah kampanye masyarakat untuk mempromosikan hidup sehat yakni Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS). Kesehatan jiwa termasuk sebagai salah satu isu penting dalam kedua program di atas. PIS-PK, yang diluncurkan pada 2017 awal, adalah program yang mengharuskan setiap puskesmas untuk mengunjungi semua keluarga di wilayah cakupannya untuk mengevaluasi status kesehatan keluarga berdasarkan 12 indikator kesehatan. Indikator-indikator ini adalah; keluarga berencana, layanan antenatal, imunisasi dasar, ASI eksklusif, pemantauan pertumbuhan anak, pengobatan untuk tuberkulosis, hipertensi, gangguan jiwa, berhenti konsumsi rokok, memiliki asuransi kesehatan, akses terhadap air bersih dan sanitasi. GERMAS adalah kampanye mendorong setiap individu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, konsumsi makanan sehat, aktif secara fisik, tidak merokok, istirahat cukup, dan mengelola stress dengan baik. Jelas bahwa kesehatan jiwa adalah bagian dari kedua program berskala besar di atas. Kedua program , khususnya Program PIS-PK, telah memiliki pengaruh yang positif pada kesehatan jiwa.

Dahulu, puskesmas biasanya melayani masyarakat melalui posyandu atau pos pelayanan terpadu, sebuah pos kesehatan yang diadakan sebulan sekali di desa, yang utamanya berfokus pada kesehatan ibu dan anak. Posyandu ini dilaksanakan oleh kader kesehatan. Staf dari puskesmas mengunjungi posyandu dan memeriksa semua yang hadir. Sebagai hasil dari pendekatan ini, puskesmas tidak mengetahui status kesehatan masyarakat secara keseluruhan, karena banyak individu tidak pernah mengunjungi posyandu atau puskesmas itu sendiri.

Sekarang, melalui program PIS-PK, puskesmas wajib mengunjungi semua keluarga di wilayah cakupan mereka dan melaporkan temuan ke dalam database Kementerian Kesehatan. Sistem pelaporan ini membuat Kementerian Kesehatan mampu memantau status kesehatan keluarga-keluarga Indonesia sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih baik mengenai status Kesehatan termasuk kesehatan jiwa di tingkat nasional, provinsi, dan kecamatan.

Melalui analisis sistematik tentang pengukuran keluarga-keluarga pada 12 indikator tersebut, kita bisa melihat adanya perbaikan dalam indikator kesehatan jiwa. Ketika PIS-PK pertama kali diimplementasikan, nilai rata-rata pada indikator kesehatan jiwa mengecewakan, mereka tetap berada di urutan paling bawah dari daftar seluruh indikator kesehatan, dengan nilai sekitar 10 persen. Artinya, hanya 10 persen individu dengan kondisi kesehatan jiwa tertentu mendapatkan penanganan yang sesuai, sementara sekitar 90 persen tidak menerima penanganan kesehatan yang memadai atau tidak menerima penanganan sama sekali. Data konkrit pertama mengenai kesehatan nasional mengejutkan para pejabat kesehatan dan menggerakkan mereka untuk mencari cara memperbaiki skor pada indikator-indikator ini. Mereka menggunakan data PIS-PK untuk mengidentifikasi individu dengan gangguan jiwa yang belum tertangani dan memastikan bahwa mereka menerima pengobatan. Efek darinya segera terlihat jelas, terjadi peningkatan yang nyata pada skor yang relevan terhadap nilai kesehatan keluarga secara keseluruhan. Data terbaru memberikan harapan: indikator kesehatan jiwa saat ini berada di angkat 26,47 persen, dan telah berpindah dari posisi ke-12 menjadi ke-10. Saat ini posisinya lebih tinggi daripada hipertensi (24,36 persen, posisi ke-12).

Program PIS-PK dan GERMAS telah meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan jiwa, dan membuat keberadaan kasus gangguan jiwa di masyarakat lebih terlihat. Sebagai tambahan, kesehatan jiwa saat ini dilihat sebagai salah satu dari sekian masalah kesehatan yang menjadi tanggung jawab puskesmas.

Puskesmas di Waifoi, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat / Irmansyah

Program PIS-PK saat ini telah menjangkau lebih dari 47 juta rumah tangga atau mencakup 72 persen keluarga di Indonesia. Artinya, 72 persen individu dengan gangguan jiwa yang tinggal dengan keluarganya sekarang telah teridentifikasi. Idealnya, puskesmas harus menyediakan layanan untuk orang dengan gangguan jiwa. Kebanyakan profesional kesehatan sudah sadar akan hal ini sekarang, tetapi sayangnya, tidak semua puskesmas memiliki kemampuan atau cukup percaya diri untuk menyediakan pengobatan bagi orang dengan gangguan jiwa. Ada dua halangan utama: ketersediaan obat-obatan dan sumber daya manusia.

Kebutuhan tindak lanjut di masa depan

Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 dan kebijakan-kebijakan lainnya, serta perbaikan layanan kesehatan jiwa secara umum, telah berkontribusi untuk membuat kesehatan jiwa menjadi poin utama dalam agenda kesehatan nasional. Sayangnya, kebijakan yang lebih banyak dan lebih baik tidak cukup untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa untuk seluruh populasi, terutama di tingkat komunitas. Data dari RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) menunjukkan adanya peningkatan yang sangat kecil pada kesehatan jiwa di level komunitas. Terutama pada data life time prevalence pasung – individu dengan gangguan jiwa yang pernah mengalami pasung, minimal sekali dalam hidup mereka – menunjukkan adanya sedikit penurunan, dari 14,4 persen (2013) menjadi 14 persen (2018). Data dari RISKESDAS 2018 menunjukkan bahwa 31 persen dari semua individu ini telah mengalami pemasungan dalam tiga bulan terakhir.

Adanya inisiatif Mewujudkan Paradigma Sehat (terdiri dari program PIS-PK dan GERMAS), progres telah terjadi dalam hal kesehatan jiwa. Telah ada perbaikan dalam kesadaran mengenai kesehatan jiwa, dan literasi kesehatan jiwa telah meningkat. Hal ini memberikan fondasi yang bagus untuk layanan kesehatan jiwa. Tujuannya sekarang adalah untuk mengimplementasikan semua kebijakan dan mengerahkan seluruh sumber daya kesehatan jiwa di level komunitas untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan jiwa di daerah-daerah. Program tambahan berskala besar dibutuhkan, termasuk program untuk meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan jiwa. Hal ini bisa tercapai dengan menyediakan pelatihan tambahan untuk tenaga kesehatan. Sayangnya, sekolah untuk keperawatan jiwa telah ditutup beberapa tahun yang lalu, namun bisa dibuka lagi dan dapat memenuhi kebutuhan akan perawat jiwa komunitas di layanan primer. Pekerja sosial yang profesional dan terapis okupasional, yang saat ini terlibat sangat minim dalam layanan kesehatan jiwa, seharusnya didukung untuk berpartisipasi dalam menyediakan layanan kesehatan jiwa. Penyediaan obat-obatan Kesehatan jiwa untuk puskesmas juga sangat penting.

Irmansyah (irmansyah@gmail.com) terafiliasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes), yang merupakan bagian dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020