Perubahan wajah kesehatan jiwa di Indonesia

Published: Jul 24, 2020
English version
Kesadaran mengenai kesehatan jiwa semakin berkembang di Indonesia, namun stigma dan pelanggaran hak asasi manusia masih menjadi masalah besar

Theresia Citraningtyas

Pandangan masyarakat di Indonesia tentang ‘kesehatan jiwa’ terus berkembang. Secara umum, telah terjadi peningkatan kesadaran tentang kesehatan jiwa, baik akibat dari berbagai upaya peningkatan kesadaran publik, perkembangan masyarakat, maupun terkait beberapa kejadian tertentu. Saat ini, semakin banyak orang mengakses layanan kesehatan jiwa. Meskipun demikian, kita masih menghadapi tantangan untuk mengatasi stigma, dan membutuhkan pendekatan kesehatan jiwa yang komprehensif seiring dengan munculnya berbagai masalah kesehatan jiwa yang baru.

Stigma dan gangguan jiwa

Jika mendengar kata-kata ‘kesehatan jiwa’, apa yang muncul di benak orang? Dalam berbagai percakapan, orang sering mengidentifikasi istilah tersebut dengan orang yang menderita skizofrenia hebefrenik yang tidak terobati dan seringkali terlantar di jalanan tanpa busana. Beberapa dari mereka, bersama dengan orang yang ditemukan tidak memiliki KTP, ditempatkan di panti-panti di bawah naungan Dinas Sosial. Di sana, rambut mereka dicukur untuk mengurangi penularan kutu rambut, dan mereka tidur berjajar di atas tikar lantai sembari menunggu waktu makan, kegiatan seni, olahraga dan bernyanyi, beribadah, maupun pemeriksaan kesehatan.

Yang lebih disayangkan, akibat kurangnya pemahaman dan akses terhadap sumber daya, banyak keluarga yang melakukan pemasungan-yakni tipe pengekangan fisik dan pengurungan terhadap orang dengan gangguan jiwa berat. Banyak individu juga mengalami berbagai perlakuan yang tidak manusiawi, mulai dari disiram air dingin tengah malam hingga pemukulan berkedok praktik penyembuhan tradisional. Selama bertahun-tahun, Gerakan Bebas Pasung berusaha untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa yang memadai agar korbannya dapat dibebaskan dari pemasungan dan diintegrasikan dengan lebih baik dalam masyarakat.

Bermula dari diri sendiri: Seorang dokter umum dan psikolog belajar untuk saling mendengarkan / PRH Indonesia

Oleh karena itu, layanan kesehatan jiwa sering dipandang sebagai sebuah upaya kemanusiaan untuk memenuhi hak asasi manusia bagi orang-orang yang tidak berdaya, dibandingkan diposisikan secara lebih luas dalam kerangka kerja kesehatan dan kesejahteraan bagi semua orang. Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa meluas hingga layanan kesehatan jiwa dan tenaga kesehatan jiwa profesional pun ikut mengalaminya. Baik pasien dan tenaga kesehatan dianggap ‘gila’ karena berasosiasi dengan satu sama lain. Seseorang dianggap gila bila bertemu psikiater, dan tenaga kesehatan yang mau mendedikasikan dirinya untuk melayani orang dengan gangguan jiwa juga dianggap kurang waras.

Perubahan: apa yang terjadi?

Hal ini mulai berubah pasca kerusuhan Mei 1998, yang diikuti dengan gerakan untuk menyediakan layanan untuk perempuan penyintas kekerasan. Awalnya gerakan ini berfokus pada kekerasan politik, namun seiring berjalannya waktu, semakin jelas bahwa lebih banyak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak. Apa yang sebelumnya dianggap ‘urusan keluarga’ akhirnya diakui sebagai tindakan kriminal. Undang-undang, layanan dan wacana di media membawa kesadaran mengenai isu kesehatan jiwa yang semakin meningkat. Penggunaan bahasa ‘trauma’ menjadi umum. Konsep kesehatan jiwa mulai menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Pada waktu yang sama, kesehatan jiwa masih dibayangi dengan stigma, sama dengan bagaimana kekerasan di rumah tangga dan pelecehan seksual dianggap sebagai hal yang ‘memalukan’ dan perlu untuk disembunyikan dari pandangan publik.

Pada tahun 2004, tsunami samudera Hindia menghancurkan Aceh dan berbagai tempat lain di dunia. Tiba-tiba, ratusan ribu orang mengalami secara langsung kejadian traumatis. Selain itu, banyak orang dari seluruh penjuru negeri yang terdampak oleh traumatisasi sekunder melalui rekaman kejadian yang menakutkan dan mengerikan yang disiarkan berulang-ulang. Masyarakt menjadi lebih terbuka untuk berbicara tentang rasa takut, cemas, duka, dan sedih yang luar biasa. Empati dirasakan di mana-mana. Konsep ‘trauma healing’ atau penyembuhan luka trauma menjadi populer, dengan konselor relawan berjaga di tenda-tenda atau shelter untuk mendengarkan, menggambar bersama anak-anak, dan terlibat dalam berbagai aktivitas. Hal ini meningkatkan penerimaan terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa, namun masih ada kecenderungan untuk melihat layanan kesehatan jiwa sebagai aktivitas dalam kelompok (seperti pelatihan) dan upaya untuk ‘menguatkan iman’. Tenaga kesehatan jiwa masih dipandang sebagai pekerja kemanusiaan dibandingkan sebagai profesional yang dapat memberikan penanganan khusus, seperti contohnya, dokter bedah.

Era milenial membawa gelombang informasi dan kesadaran mengenai isu kesehatan jiwa. Masyarakat tergoncang oleh kejadian bunuh diri selebriti seperti Robin Williams pada tahun 2014, Chester Bennington pada 2017, dan Goo Ha-ra pada 2019. Pada tahun 2017, seorang laki-laki Indonesia gantung diri secara live di Facebook. Artis-artis Indonesia mulai lebih terbuka tentang perjuangan mereka dengan kondisi kejiwaan tertentu, seperti Marshanda dan gangguan bipolarnya, maupun Mey Chan yang mengalami serangan panik. Kelompok-kelompok advokasi bermunculan, seperti Komunitas Peduli Skizofrenia (KPSI), Bipolar Care Indonesia (BCI), dan Into the The Light Indonesia (yang berfokus pada pencegahan bunuh diri). Para mahasiswa menyelenggarakan berbagai acara untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan jiwa di berbagai kampus. Ada acara siaran radio yang khusus membahas kesehatan jiwa, yang sekarang juga dapat diakses online, seperti Klinik RPK di Radio Pelita Kasih 96.3 FM.

Cara pengembangan diri, profesional, dan komunitas pra-Covid-19: Pelatihan dalam rangka mendirikan Pusat Krisis untuk Perempuan dan Anak yang pertama di Aceh, 2005 / Yayasan Pulih 

Bersamaan dengan hal-hal tersebut, terjadi perubahan dalam sistem kesehatan yang membuat layanan kesehatan jiwa lebih mudah diakses. Sejak 2014, Indonesia meluncurkan pembiayaan kesehatan untuk seluruh masyarakat, yang dikelola oleh Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS). Klinik kesehatan mulai mengurus akreditasi yang menuntut standar layanan yang lebih tinggi. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) juga sekarang diharapkan menyediakan layanan kesehatan jiwa bersama layanan kardiovaskular dan penyakit tidak menular (PTM) lainnya. Beberapa puskesmas di Jakarta bahkan mempekerjakan psikolog. Consultation Liaison Psychiatry (CLP) semakin umum di rumah sakit, untuk menyediakan dukungan kesehatan jiwa kepada pasien dengan HIV, delirium (mengigau), maupun berbagai komorbiditas. Penyalahgunaan zat sudah lebih mudah disadari merupakan isu kesehatan jiwa. Psikiatri forensik dan psikogeriatri mulai berkembang. Upaya untuk memastikan hak asasi manusia bagi orang dengan gangguan jiwa kini juga dipandang sebagai upaya menerapkan quality rights (hak bagi orang dengan gangguan jiwa untuk menentukan nasibnya) dalam praktik sehari-hari, sekaligus menyadari bahwa layanan kesehatan jiwa sebagai bagian dari layanan hesehatan juga merupakan hak asasi manusia.

Generasi milenial dan kesehatan jiwa

Generasi muda pada intinya hidup dalam dunia yang berbeda. Ketika dicengkram oleh perasaan atau pemikiran yang tidak nyaman, mereka dengan cepat dapat mencari di internet dan berbagi perasaan secara online. Orang mulai mendiagnosis dirinya sendiri dan mencari informasi mengenai berbagai modalitas pengobatan. Pasien banyak yang datang dengan daftar pertanyaan, termasuk tentang trauma masa kecil, perilaku menyakiti diri, terapi kognitif-perilaku, dan seterusnya. Para orang tua mengkhawatirkan adiksi internet dan gawai pada anak remaja maupun anaknya yang sudah dewasa. Indonesia sudah memiliki Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) dengan situs web dan aplikasi untuk smartphone.

Namun, sekalipun kesadaran sudah semakin meningkat, masih ada stigma terhadap kesehatan jiwa. Di masa lalu, anggota keluarga adalah pihak yang memaksa orang terdekatnya untuk mencari penanganan dan mengkonsumsi obat, sekarang kita menghadapi tren sebaliknya. Orang yang menderita karena masalah kejiwaan seringkali mencari layanan kesehatan jiwa secara diam-diam, karena takut dihakimi oleh atau tidak mendapat persetujuan dari orang-orang terdekat. Karena itu, usaha untuk menjangkau masyarakat membutuhkan pendekatan yang berbeda, contohnya dengan menyediakan layanan kesehatan jiwa di klinik yang terletak di mal dan dengan menyediakan informasi secara online.

Dalam berbagai hal, pandemi Covid-19 memungkinkan kita untuk mendapatkan pencerahan untuk berempati terhadap apa yang dialami oleh pasien gangguan jiwa, terutama pemasungan dan stigma. Kita diajak untuk turut merasakan seperti apa stres dikurung dan terisolasi. Pasien yang terinfeksi Covid-19, keluarga yang kehilangan, maupun orang yang berisiko terpapar di tempat kerja merasakan sendiri stigma dijauhi oleh masyarakat. Tenaga kesehatan tidak hanya paling rentan terhadap penularan covid-19, melainkan juga rentan terhadap dampak kesehatan jiwa, sebagai garda terdepan.

Cara pengembangan diri, profesional, dan komunitas pra-Covid-19: Dokter menemukan jati dirinya, untuk dapat lebih membantu orang lain melalui PRH, 2019 / PRH Indonesia

Stres menjadi isu rumah tangga, sehingga masyarakat mulai menyadari kebutuhan akan layanan kesehatan jiwa, yang sekarang lebih tersedia secara online, melalui telpon, dan bahkan melalui chat WhatsApp. Laman web Perhimpunan Dokter Spesialis kesehatan Jiwa Indonesia menyediakan alat asesmen diri untuk kecemasan, depresi dan trauma. Organisasi-organisasi mulai mencari program manajemen stres untuk dapat mengatasi gaya hidup baru bekerja dari rumah.

Di saat yang bersamaan, akses terhadap layanan masih menjadi masalah. Saat ini, Indonesia menghadapi berbagai macam kebutuhan kesehatan jiwa. Sebagian mungkin kesulitan untuk mencari tempat pribadi di rumahnya untuk melakukan konseling online. Sebagian pasien dengan gangguan jiwa berat merasa kesulitan untuk mengakses layanan seperti biasanya dan mendapat obat-obatan. Dengan kurang lebih seribu psikiater untuk jumlah populasi lebih dari 270 juta, kita sangat membutuhkan tenaga dan layanan kesehatan jiwa yang lebih banyak. Lebih dari itu, saat ini waktunya untuk merangkul perspektif kesehatan jiwa positif – daripada menunggu masalah, kita dapat melakukan usaha preventif dan promotif kesehatan jiwa untuk meningkatkan resiliensi dan kesejahteraan untuk semua.

Masa depan

Melihat ke masa depan, seperti halnya seharusnya kita tidak perlu menunggu krisis penyakit menular untuk belajar mencuci tangan dengan benar, seharusnya kita tidak perlu menunggu krisis kesehatan jiwa untuk memastikan bahwa semua orang belajar bagaimana mengenali dan mengelola emosi. Idealnya, kesadaran tentang kesehatan jiwa seharusnya terintegrasi dalam sistem pendidikan. Sebuah hal yang ironis ketika siswa saat ini diminta untuk menghafalkan berbagai kondisi genetika yang langka, tetapi tidak memiliki cukup informasi mengenai depresi, kecemasan, dan serangan panik – sesuatu yang lebih mungkin untuk mereka jumpai dalam kehidupan mereka. Kita semua dapat memperoleh manfaat dari belajar mindfulness dan psikologi positif untuk menemukan dan mengembangkan kekuatan diri. Kita semua dapat lebih mengembangkan kepribadian dan relasi antar manusia. Semua orang seharusnya memiliki keterampilan dasar seperti cara mendengarkan secara efektif dan menerima perbedaan. Daripada mengandalkan coba-coba dan pendidikan informal untuk mengajarkan hal-hal tersebut, kita dapat memberikan pendidikan yang membekali generasi muda Indonesia dengan keterampilan-keterampilan ini. Ini bisa jadi merupakan revolusi mental yang sebenarnya, dalam semangat gotong royong, bukan saling mengalahkan.

Mungkin krisis ini sedang mengajarkan sebuah pelajaran menyakitkan bagi kita tentang apa artinya menjadi manusia, agar dapat membangunkan kita untuk lebih manusiawi dengan sesama. Sementara dunia berusaha untuk mengendalikan Covid-19 melalui jarak fisik atau physical distancing, penting bagi kita untuk memulai diskusi yang serius mengenai cara untuk menjangkau satu sama lain secara psikologis. Mengatasi stigma berarti mengakui bahwa kita semua sama. Apa yang diinginkan oleh semua orang, dan apa yang semua orang berpotensi untuk memberikan kepada satu sama lain, adalah penerimaan dan dukungan.

Theresia Citraningtyas (citra@wicaksana.org) adalah seorang dosen di Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta. Ia berpraktik sebagai psikiater dan edukator program untuk pengembangan diri PRH (Personality and Human Relations) di Ciputra Medical Center. Citra bergelut di bidang psikiatri komunitas dan juga merupakan Ketua Divisi Penelitian dan Pelatihan PDSKJI Jaya.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020