Kesehatan mental di desa Banten

Published: Jul 24, 2020
English version
Memberdayakan masyarakat lokal merupakan kunci dalam meningkatkan kesehatan jiwa

Eunike Sri Tyas Suci

Suatu pagi di bulan Nopember, saya bergegas menuju stasiun untuk mengambil rute pertama KRL (Kereta Rel Listrik) menuju Rangkasbitung, ibukota Kabupaten Lebak, salah satu kabupaten di ujung barat pulau Jawa. Dalam waktu sekitar dua jam, saya berpindah dari satu pinggiran Jakarta. kota metropolitan paling modern di Indonesia, ke sebuah desa seperti yang biasa kita temukan di ujung negeri. Dalam gerbong saya beruntung bertemu Maria, seorang perawat jiwa, yang juga ikut dalam Pelatihan dan Penyuluhan Kesehatan Jiwa di hari kedua ini. Kegiatan hari pertama telah dilakukan di Puskesmas Mandala, Rangkasbitung, Banten. Hari ini adalah kegiatan lapangan di Desa Tambakbaya, sekitar lima kilometer dari puskesmas. Segera setelah tiba di stasiun Rangkasbitung, kami menuju desa Tambakbaya.

Kami adalah sebuah tim yang terdiri dari sekitar sepuluh orang dengan latarbelakang berbeda namun mempunyai misi sama untuk meningkatkan kesehatan jiwa di Kabupaten Lebak. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Bagus Utomo, pendiri dan ketua KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia); Novy Daulima, seorang perawat jiwa; dan saya sendiri, psikolog kesehatan. Kegiatan ini didukung oleh teman-teman KPSI dan Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indoensia dan didanai oleh KPSI.

Pada hari pertama, kami memberi materi kepada para kader tentang kesehatan jiwa, kebutuhan deteksi dini, keperawatan jiwa, dan konseling dasar berbasis empati. Novy Daulima memimpin pelatihan hari pertama, dimana Bagus Utomo memulainya dengan memberi pidato pembukaan dan menceritakan pengalamannya merawat kakak kandung yang menderita skizofrenia serta berbagai permintaan bantuan yang diajukan kepadanya sebagai ketua KPSI. Saya sendiri menyampaikan tentang konseling dasar.

Hari kedua ini kami awali dengan kegiatan kunjungan ke wilayah yang sudah disiapkan untuk mengidentifikasikan status kesehatan keluarga. Kami terbagi atas 10 kelompok kecil yang akan mengumpulkan data kesehatan 20 keluarga setiap kelompoknya. Ada tiga kategori status kesehatan, yaitu sehat, berisiko, dan mempunyai gangguan kejiwaan. Penduduk umumnya menyambut kami di beranda rumah dan kami duduk di lantai sambil mencatat. Beberapa rumah mempunyai lebih dari satu rumahtangga, dan kami membuat laporan secara terpisah. Di akhir pelatihan kami menghitung dan berhasil mengunjungi 200 keluarga. Kami berhasil mengidentifikasi status kesehatan 668 orang. Dari jumlah ini terdapat delapan orang berisiko dan lima mengalami gangguan jiwa. Selanjutnya kami sampaikan laporan tersebut ke Dinas Kesehatan dan kepala Puskesmas, dr. Riris Siahaan untuk ditindaklanjuti. 

Siapakah kader kesehatan dan apa yang dikerjakan?

Kader adalah voluntir yang dipilih dari dan oleh masyarakat untuk membantu puskesmas setempat dalam memonitor kesehatan masyarakat di sekitarnya. Tugas utamanya terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Menurut badan kesehatan dunia WHO, peningkatan kesehatan ibu dan anak bisa dicapai melalui tenaga kesehatan antara yang disebut sebagai “mid-level” or “lay” health workers.

Di Indonesia, setiap puskesmas melatih mereka tentang nutrisi, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, dan penyakit-penyakit infeksi. Diharapkan para kader kesehatan ini mampu memberi penyuluhan ke masyarakat dan mempromosikan perilaku sehat. Karena mereka adalah bagian dari masyarakat, umumnya kader mengenal siapa saja masyarakat yang ditemuinya. Dilain pihak, masyarakat juga menerima kehadiran kader dengan tangan terbuka. Banyak penelitian menujukkan peran penting mereka dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, dimana mereka menyelenggarakan pos pelayanan terpadu (posyandu) setiap bulan. Dalam kegiatan tersebut, kader memberi penyuluhan tentang kesehatan serta menimbang dan mengukur tinggi badan balita. Biasanya mereka disebut sebagai kader kesehatan atau kader posyandu. Karena posisinya yang strategis, kader diharapkan juga melakukan kegiatan pemerintah lainnya, termasuk memonitor penyakit tidak menular dan kesehatan lanjut usia (lansia) melalui posbindu (pos pembinaan terpadu).

Seorang kader sedang mewawancarai seorang ibu di beranda rumah (foto: penulis)

Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) telah menyusun modul pelatihan yang dinamai Community Mental Health Nursing (CMHN), termasuk peningkatan kemampuan kader yang nantinya disebut Kader Kesehatan Jiwa (KKJ). Pogram ini telah disusun dan disosialisasikan paska tsunami di Aceh tahun 2004. Perawat jiwa dan kader kesehatan jiwa di Aceh bekerja untuk mendeteksi masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan jiwa akibat trauma yang diderita baik karena tsunami maupun konflik bersenjata. Setelah berhasil di Aceh, direncanakan untuk melakukan pelatihan KKJ di seluruh Indonesia. Sejumlah penelitian menunjukkan perubahan yang signifikan setelah pelatihan. Oleh karena itulah, Novy Daulima mengusulkan untuk menggunakan modul tersebut di Banten.

Kesehatan Jiwa di Banten

Pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2015, Gubernur Banten, Rano Karno, mencanangkan gerakan Banten Bebas Pasung 2019. Namun sampai tahun tersebut berlalu, kasus pasung masih banyak ditemukan di beberapa wilayah Banten. Meskipun kasus pasung di Indonesia telah berkurang secara signifikan, sejumlah dinas kesehatan menyatakan tidak mempunyai cukup dana untuk melakukan pemberantasan pasung secara total. Sejumlah dinas kesehatan berharap melakukan pelatihan dan mendapat dukungan untuk melakukan hal ini. Dr Firman Rahmatullah, Kabid Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinkes Lebak, menyambut dengan antusias kedatangan kami yang pertama kalinya untuk membicarakan rencana kami. Beliau merekomendasikan Puskesmas Mandala dan satu puskesmas lain untuk melaksanakan pelatihan ini. Beliau langsung mengontak dr. Riris Siahaan yang merespon dengan sangat positif. Puskesmas Mandala mempunyai program unggulan untuk mempromosikan kesehatan jiwa salah satu alasannya mungkin rasa peduli yang besar karena anggota keluarganya sendiri juga mengalami gangguan jiwa.

Meningkatkan kesadaran tentang kesehatan jiwa di masyarakat

Pada siang harinya, kami melakukan penyuluhan tentang kesehatan jiwa kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat di wilayah tersebut. Pertemuan diadakan di Puskesmas Mandala, dimana semua kader juga menghadiri acara ini. Dengan demikian para tokoh masyarakat bisa mengetahui siapa saja kader di wilayahnya yang terlibat dalam pelatihan ini sehingga tahu kepada siapa nantinya meminta bantuan terkait kesehatan jiwa saat diperlukan. Bagus Utomo membuka acara dengan berbagi pengalamannya merawat kakak kandungnya yang menderita skizofrenia dan saya melanjutkan dengan penjelasan tentang kesejatan jiwa dan permasalahannya, serta bagaimana mengetahui seseorang mengalami gangguan kejiwaan. Kemudian kami menayangkan film dokumenter “Memory of my Face” yang menceritakan kisah hidup Bambang Rudjito yang didiagnosa mengalami gangguan skizoafektif dan dirawat di rumah sakit jiwa. Film ini berakhir dengan kehidupannya saat ini yang telah pulih dan menikah. Film ini sangat menggugah peserta, mereka menyadari bahwa gangguan jiwa bisa diobati.

Setelah itu, kami adakan diskusi untuk mendapatkan tanggapan peserta. Kami sangat terkesan karena ternyata mereka sangat peduli pada masalah kesehatan jiwa di lingkungannya. Di kursi paling depan duduk seorang tokoh agama yang berjanggut panjang, dengan celana panjang longgar sepanjang mata kaki dan memakai topi ikat hitam. Tampilannya nampak seorang Muslim yang sangat taat. Selama acara, beliau hanya diam saja, sehingga kami khawatir paparan tentang kesehatan jiwa tidak sesuai dengan keyakinannya. Saat kami minta pendapatnya, beliau menyatakan akan mengajak seluruh masyarakat dari bawah sampai ke atas mempunyai kesehatan jiwa. Untuk mencapai ini beliau menyatakan perlunya ikhlas, karena dengan belajar ikhlas maka individu tidak punya beban jiwa. Meski menjelaskan dengan cara berbeda, kami sepakat pada kesimpulan tentang pentingnya memelihara kesehatan jiwa.

Seorang tokoh masyarakat bertanya tentang perbedaan sakit syaraf dan sakit jiwa. Sebuah pertanyaan yang sangat bagus kerena masyarakat sering salah memahami sakit syaraf yang digunakan untuk menyebutkan orang dengan gangguan kejiwaan. Masyarakat tahu ada yang salah pada pikiran individu yang berperilaku aneh tersebut dan dianggap “gila.” Mereka menyebutnya sakit syaraf. Oleh karena perlu penjelasan medis, dr. Riris yang maju menjelaskannya. Setelah memahami kesehatan jiwa secara benar serta pentingnya pengobatan, bapak tokoh masyarakat tersebut menyampaikan kepada Bagus:

Jadi sekali lagi pak, tolong layani masyarakat yang mengalami gangguan jiwa sebaik-baiknya. Saya akan bawa ke Puskesmas. Dua orang sudah keluyuran di jalanan, tapi masih pakai pakaian. Satu lagi ada di rumah. Itu saja pak, mudah-mudahan ada Menteri Gangguan Jiwa pak …. Supaya ada yang menangani masalah gangguan jiwa.

Seorang kader sedang mewawancarai kepada keluarga di beranda (foto: penulis)

Saat beliau mengajukan usulan perlu adanya Menteri Gangguan Jiwa –maksudnya Menteri Kesehatan Jiwa, seluruh ruangan menjadi gegap gempita oleh sorakan persetujuan atas ide tersebut. Kami terpukau dengan kejadian ini karena tidak pernah membayangkan sejauh ini respon positif masyarakat pada masalah kesehatan jiwa.

Belajar dari pengalaman: kebutuhan melakukan follow-up

Berangkat dari pelatihan dan penyuluhan yang kami lakukan, ada tiga hal dapat ditarik sebagai pelajaran. Pertama, program kolaborasi yang terdiri dari lintas profesi dan melibatkan organisasi masyarakat akan bisa sangat efektif. Organisasi masyarakat yang aktif seperti KPSI merepresentasikan individu-individu target layanan kesehatan jiwa, sehingga kita perlu mendengar dan memahami kebutuhan mereka. Kedua, meningkatkan peran kader kesehatan untuk mengidentifikasikan masyarakat yang mengalami masalah kejiwaan serta mempromosikan kesehatan jiwa perlu selalu berkoordinasi dengan puskesmas. Umumnya mereka sudah cukup sibuk dengan tugas sebagai kader kesehatan yang selama ini sudah ditangani. Ketiga, follow-up merupakan hal yang amat penting untuk melakukan evaluasi efektivitas pelatihan dan penyuluhan, serta untuk mengetahui apakah ada hal lain yang perlu ditingkatkan.

Sayang sekali kami tidak berhasil melakukan follow-up atas kegiatan yang kami lakukan karena Kabupaten Lebak mengalami banjir bandang yang memporakporandakan wilayah tersebut pada musim hujan yang lalu. Wilayah Puskesmas Mandala dan desa Tambakbaya termasuk yang terdampak sangat serius sehingga membutuhkan waktu untuk menata kembali. Sementara kami menanti waktu yang tepat untuk kembali ke sana, terjadilah pandemi COVID-19. Maka kami harus menunda semua kegiatan di Kabupaten Lebak sampai keadaan mengijinkan.

Eunike Sri Tyas Suci (eunike.suci@atmajaya.ac.id) adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Saat ini ia menjabat sebagai ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia. Tyas telah menerbitkan buku dan artikel tentang napza dan isu-isu psikologi kesehatan.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020