Kawan karib

Published: May 12, 2020
Apabila agama bertambah keras, teman atheis menjadi keluarga

Karina

Dilahirkan di keluarga Muslim dan di negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, tak kubayangkan bahwa tertanamnya bibit keraguan yang akhirnya membawaku meninggalkan agama Islam ternyata cukup mudah; semua agama tidak masuk akal, tuhan tidak ada. Sesederhana itu kan?

Oh well, mungkin tidak semudah itu. Terasa sederhana karena pada saat keputusan itu aku ambil, peerjalananku meninggalkan konsep Islam sudah terlampau jauh dan aku sudah sangat yakin dengan keputusanku.

Semua diawali dengan kebiasaanku membaca banyak hal sejak kecil. Aku belajar tentang dunia dari buku; betapa besar Bumi ini, serta betapa beragamnya orang-orang yang hidup di dalamnya. Ada begitu banyak kebudayaan, kepercayaan dan panduan hidup yang berbeda. Semua ini membuka mataku tentang banyak hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Tak ada yang pernah memberitahuku soal ini. Semua orang di sekitarku pada saat itu selalu menekankan didikan bahwa hanya ada satu panduan hidup yang benar dan harus kita ikuti. Semua panduan hidup lain salah, dan akan membawa pengikutnya ke neraka.

‘Tapi.. kenapa?’ Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mulai bergulir dikepalaku. ‘Kenapa ada banyak pilihan panduan hidup tapi hanya satu yang benar? Kenapa banyak yang merasa panduannya datang dari tuhan yang maha kuasa namun tidak bernilai sama? Kalau tuhan memang maha kuasa kenapa ada ribuan konsep dan panduan hidup yang membawa pertentangan?’. Pertanyaan – pertanyaan ini mengganggu, namun yang sangat menggangguku adalah pertanyaan ‘jika semua hal ini diciptakan dan penciptanya adalah Tuhan, lalu siapa yang menciptakan Tuhan? Siapa yang menciptakan Tuhannya Tuhan?’ Begitu seterusnya. Jika ada yang menyatakan bahwa Tuhan tidak diciptakan, maka argumen ini dengan mudah mematahkan premis pertama: tidak semua tuhan tidak diciptakan tuhannya, maka semua ini, dan konsep penciptaand dan Maha Pencipta menjadi tidak valid.

Begitulah. Otakku memulai satu kebiasaan baru: Mempertanyakan segalanya. Beberapa tahun kemudian, aku menyadari bahwa aku adalah seorang ateis. Sebuah proses yang panjang untuk sampai ke tahap itu tapi aku menikmatinya dan puas dengan hasil yang aku dapatkan.

Bagian tersulit menjadi seorang ateis di Indonesia adalah terbuka menjadi diri sendiri sambil tetap menjaga hubungan baik dengan semua kerabat. Kebanyakan orang di Indonesia menganggap bahwa orang yang tak beragama adalah orang yang tidak bermoral. Tidak hanya itu, beberapa dari mereka tidak sungkan untuk mengutuk kafir dan bahkan menggunakan kekerasan. Bukan lah hal yang mengejutkan jika ada yang mengutuk atau mengancamku setelah membaca artikel ini.

Kembali ke masa kecil, waktu itu aku berumur 10 tahun ketika menyadari bahwa aku adalah seorang anak yang ‘abnormal’. Aku merasa sendirian dan terlalu takut untuk terbuka soal pertanyaan-pertanyaan di benakku. Aku tahu bahwa sedikit saja keraguan soal agama akan menempatkanku di posisi yang sulit; mendapat kecaman dari orang tua, guru, teman-teman, semua orang di sekitarku. Aku sangat khawatir bahwa jika mereka tahu apa yang ada di pikiranku, semua orang akan meninggalkanku sebagaimana Al Qur’an menyerukan bahwa anak yang kafir harus ditinggalkan. Selama bertahun-tahun aku diam dan tidak menunjukkan keraguan-keraguan yang muncul di benakku. Tapi aku mengetahui satu hal; perilaku dan kecaman mereka bisa mencegahku untuk berbicara dan bertanya tentang keraguan di benakku, tapi tidak ada yang bisa mencegahku untuk terus berpikir dan belajar.

Setengah hidupku kujalani dengan penuh kebohongan. Aku berpura-pura menjadi seorang Muslimah dan bahkan memakai jilbab selama dua tahun ketika aku tinggal di kampung halamanku di Tasikmalaya, Kota Santri di Jawa Barat. Setelah reformasi, pemerintah lokal menganjurkan setiap perempuan untuk menggunakan jilbab saat ke sekolah dan kantor. Sekolahku pada saat itu mewajibkan para siswi untuk mengenakan jilbab, bahkan menjadikannya syarat utama untuk siswi yang ingin melanjutkan pendidikan di sana. Seperti banyak siswi lain, aku memakai jilbab hanya saat di sekolah, dan melepas jilbabku di luar sekolah. Namun perlahan, kebanyakan dari teman-temanku akhirnya menjadikan jilbab sebagai bagian yang lekat dengan identitas diri dan siapa pun yang melepas jilbab akan dianggap sebagai perempuan yang tidak baik.

Di usia 16 tahun, aku memulai masa SMA di sekolah yang baru, sekolah ini tidak mewajibkan pemakaian hijab, namun tetap menganjurkannya bahkan untuk para siswi yang non-Muslim dengan alasan: ‘Harus menghargai kaum mayoritas’. Aku memutuskan untuk tidak memakai hijab dan mulai tampil menjadi diri sendiri. Aku ingat bagaimana rasanya menjadi satu-satunya siswi beridentitas Muslim yang tidak memakai hijab dan seringkali mendapat pertanyaan yang sama dari para guru: ‘Karina, kapan kepalanya akan ditutup?’ yang biasanya hanya kujawab dengan senyuman.

Aku cukup pintar di bidang sains dan hal ini menjadi alat untuk memudahkanku menjalani keseharian tanpa kekangan, seperti pemaksaan untuk memakai hijab, terutama di sekolah. Aku menjadikan diriku sebagai aset yang penting, satu di antara beberapa siswa yang akan mewakili sekolah untuk berbagai kompetisi, seperti cerdas cermat dan olimpiade Matematika. Pada saat itu aku menyadari bahwa aku bisa membeli kebebasanku untuk berekspresi dan menjadi diri sendiri; dengan menjadi aset yang bernilai bagi sekolah, maka nilai tawarku akan bertambah dan sekolah akan membiarkanku leluasa mengekspresikan diri. Akhirnya, strategi ini juga yang aku terapkan di lingkungan keluarga.

Setelah lulus kuliah, aku mulai bekerja. Aku menjadi tulang punggung keluarga dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan finansial kedua orang tua dan tiga adikku. Bahkan dengan kondisi tersebut, aku masih tidak bisa terbuka mengenai jati diriku sebagai seorang ateis. Aku tahu bahwa hal ini akan sangat sulit diterima oleh orang tuaku.

Sampai suatu hari, melalui sebuah diskusi keluarga, secara tidak sengaja aku memberitahu orang tuaku bahwa aku bukan seorang Muslim dan bahkan tidak percaya mengenai keberadaan Tuhan. Ibuku menangis dan ayah mencoba memberikan argumentasi mengenai pentingnya beragama dan, tentu saja, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Pada akhirnya kami setuju untuk tidak setuju, kami bersepakat untuk berbeda pendapat mengenai hal ini. Walaupun terdengar baik-baik saja, ada yang berubah dalam hubungan kami dalam keluarga. Aku bukan lagi seorang anak yang bisa mereka banggakan. Untuk sementara waktu.

/ Twitter

Pada tahun 2011, aku memulai pertemuan – pertemuan untuk ajang kumpul-kumpul ateis di Jakarta. Kami saling mengenal melalui suatu grup Facebook. Pertemuan ini menghasilkan pertemanan, dan masih berjalan dengan baik bahkan sampai kini, meskipun aku sudah tidak lagi tinggal di Indonesia. Perkumpulan ini membuat kami, para ateis merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas, tidak lagi merasa sendiri dan terkucilkan lagi. Kami bisa saling mendukung satu sama lain, berbagi cerita, dan yang paling penting, menjadi diri sendiri. Kami tidak hanya membentuk sebuah komunitas, tetapi juga terasa seperti sebuah keluarga. Keluarga besar yang anggotanya berasal dari seluruh penjuru Indonesia.

Beberapa media mulai mempublikasikan soal komunitas ini, termasuk The New York Times. Tidak diragukan, aku mendapat beberapa ancaman dari teman-teman lama dan juga orang-orang yang tidak kukenal melalui Facebook dan Twitter. Beberapa keluarga jauh menghubungi orang tuaku, menekankan pada mereka bahwa jika aku tidak kembali ke jalan Islam, aku akan membawa seluruh keluarga ke neraka jahanam. Hubunganku dengan orang tua makin memburuk. Namun setidaknya kecanggungan ini hanya terjadi tiga atau empat kali dalam setahun ketika aku mengunjungi mereka karena aku sudah tinggal sendiri di kota yang berbeda sejak umur 17 tahun.

Situasi ini berubah membaik pada tahun 2015, ketika aku mengalami masa-masa terburuk. Pada saat itu, aku dirawat di Singapura dengan kondisi kritis, aku tidak mempunyai asuransi kesehatan dan keadaan finansialku pun sedang terpuruk karena aku baru saja kehilangan pekerjaan. Aku aku tidak mampu membayar biaya perawatan. Orang tuaku apa lagi. Tanpa diduga, puluhan bahkan mungkin ratusan teman-teman ateis di Indonesia menggalang dana dan mengumpulkan donasi untuk membantuku membayar biaya rumah sakit. Hasilnya, hingga hari ini aku masih hidup dan dalam kondisi sehat untuk berbagi cerita ini. Komunitas ateis Indonesia membantuku bangkit baik dari segi fisik maupun finansial.

Orang tuaku sangat berterima kasih atas bantuan tersebut. Aku memberitahu mereka: ‘Walaupun kami (ateis) tidak percaya adanya surga, kami selalu berusaha berbuat sebaik mungkin untuk orang-orang di sekitar. Bukankah ini yang disebut ketulusan? Altruisme tidak bergantung pada pahala dan dosa, kami berbuat baik untuk kebaikan orang lain, bukan semata untuk diri sendiri agar bisa masuk surga.’

Sejak saat itu, ayah dan ibuku menerimaku apa adanya sebagai seorang ateis. Mereka bahkan sangat senang berbincang dengan teman-teman ateis yang kadang berkunjung ke rumah ketika aku pulang ke Bandung. Mereka berpendapat bahwa teman-temanku ini sangat pintar dan baik, kemudian mengakui bahwa selama ini mereka telah berburuk sangka mengenai orang-orang yang tidak beragama. Semua ini karena hidup tanpa agama adalah suatu konsep yang sangat asing bagi mereka. Meskipun mereka tetap yakin dengan kebenaran Islam, sekarang mereka lebih terbuka tentang orang lain yang tidak sepaham.

Orang tuaku adalah satu contoh dari banyak orang-orang di Indonesia yang seringkali berprasangka buruk terhadap suatu komunitas tanpa mengenal lebih dekat terlebih dahulu. Aku punya pengalaman serupa dengan teman-teman lama atau rekan kerja yang sangat agamis ketika aku masih tinggal di Indonesia. Tentu saja beberapa dari mereka masih tidak menerima pilihanku dan aku sudah menganggapnya sebagai hal yang wajar.

Kami, komunitas ateis Indonesia, menyadari bahwa banyak kaum beragama yang merasa terancam dengan keberadaan kami dan aku hanya ingin menyampaikan, ini hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Ketika kami berkumpul, kami tidak membuat rencana untuk menyerang umat beragama atau mencoba membuat orang-orang di sekitar kami untuk meninggalkan agama mereka. Kami berkumpul hanya untuk mendukung satu sama lain karena banyak dari kami mengalami ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari karena pilihan hidup ini. Kebanyakan dari anggota komunitas ateis masih harus menjalani kehidupan ganda penuh ketakutan setiap harinya, terutama di lingkungan keluarga dan kantor. Indonesian Atheists adalah keluarga ke-dua bagi kami, dimana kami bisa 100 persen menjadi diri kami sendiri. Seperti komunitas lainnya, aktifitas kami juga mencakup seminar berbagi pengetahuan yang tidak ada hubungannya dengan ateisme.

Untuk kalian yang beragama, jangan takut. Jangan khawatir dengan ateisme.Jika pada akhirnya orang tuaku bisa menerima keberadaan kami walaupun mereka sangat yakin dengan kebenaran Islam, aku yakin kalian pun bisa melakukan hal yang sama.

Karina (karin.isme@yahoo.com) saat ini membangun karir di Singapura. Ia tetap aktif terlibat dalam kegiatan atheis Indonesia. Tulisan The New York Times adalah Sara Schonhardt, ‘For Indonesian atheists, a community of support amid constant fear’ (26 April 2013)

Read the English version