Tidak beragama di antara orang-orang beragama

Published: May 12, 2020

Budi Hartono

Ini adalah cerita pendek tentang perjalanan kehidupan sehari-hari seorang yang diam-diam tidak beragama di dunia orang-orang beragama.

Suatu hari biasa di suatu kantor. Saya sedang mengerjakan laporan, memastikan semua angka yang diketik sesuai dengan yang ada di sumber data. Kemudian terdengar suara azan, panggilan untuk para muslim untuk menjalankan ibadah sholat. Mulanya sayup-sayup, kemudian menjadi semakin jelas. Rekan-rekan kerja di sekitar meja kerja saya menghentikan apa yang sedang mereka kerjakan dan bersiap-siap untuk sholat. Mereka akan pergi ke masjid di luar gedung kantor namun masih di dalam lingkungan perkantoran. Kolega saya yang duduk tiga kubikel dari meja saya berjalan menghampiri kolega yang duduk dekat saya dan berkata kepadanya ‘sholat, yuk’ walaupun dia juga sudah beranjak untuk pergi sholat. Kolega yang mengajak tidak lupa memastikan ajakan itu terdengar saya juga. Dulu ajakan tersebut ditujukan langsung untuk saya. Ajakan yang tidak lagi saya indahkan karena diam-diam, saya sudah bukan lagi seorang muslim. Sejak saya berhenti mengindahkan, cara mereka mengajak pun berubah.

Dulu, ketika saya masih beragama, saya terbiasa menerima ajakan sholat seperti itu. Waktu itu bahkan saya tidak pernah memikirkan, betapa merupakab sebuah kebebasan untuk mengekspresikan kepercayaan saya. Namun, jika waktu dimajukan kedepan, ke masa dimana saya tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap suatu agama, saya bahkan tidak memiliki kebebasan untuk tidak beribadah.

Saya terlahir di keluarga muslim, dan masa kecil saya diisi dengan pembelajaran bagaimana menjadi seorang muslim. Sampai dengan sembilan tahun yang lalu, ketika saya memutuskan untuk berhenti memegang kepercayaan suatu agama, Islam bukan hanya agama yang saya imani, Islam adalah bagian besar dari identitas saya. Saya sholat lima waktu dengan teratur, saya selalu puasa sebulan penuh di bulan Ramadan. Saya diajarkan membaca Al Qur’an sewaktu kecil dalam bahasa Arab, yang kemudian saya biasakan membaca, sering dengan terjemahannya juga. Saya bukan hanya beribadah seperti muslim-muslim lainnya, saya juga merasakan apa yang saya pikir muslim lain rasakan. Pada waktu itu, saya senang jika mendengar kisah tentang mualaf (orang yang berpindah keyakinan menjadi pemeluk agama Islam). Saya nyaman membaca berita baik dari negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Saya mengalami pembenaran mendengar cerita yang membuktikan agama lain salah, atau membaca teori-teori yang mengkonfirmasi kepercayaan saya.

Melihat ke belakang, tidak pernah ada sesuatu yang istimewa dalam perjalanan saya yang berasal dari latar belakang Islam menjadi saya yang sekarang ini. Sampai dengan suatu titik dalam hidup saya, tidak ada satu pun pemikiran untuk meninggalkan agama terbersit dalam pikiran. Kadang ada suara-suara kecil yang bertanya: bagaimana kalau ternyata Islam bukan agama yang benar? Tapi pertanyaan itu tidak pernah serius; mereka hanya pikiran intrusif yang muncul tiba-tiba tanpa ada niat. Bukan pemikiran sejenis itu yang memulai. Saya suka membaca. Rasa keingintahuan saya memang besar. Saya tidak asing dengan cerita dan peristiwa, bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri. Hal itu mungkin yang menjadi jendela yang mengawali ketidakpercayaan saya. Tidak semua hal dapat saya setujui, tapi saya mulai sedikit dapat menerima perspektif yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mula-mula saya selalu berhasil mendapatkan penjelasan dari inkonsistensi yang saya temukan. Penjelasan-penjelasan yang memungkinkan saya menjaga iman saya. Namun semakin banyak saya belajar, beberapa ajaran semakin sulit untuk dipertahankan. Saya mulai mengakui bahwa jawaban-jawaban belum tentu berada di agama, bahkan dunia pun belum tentu punya. Suatu hari pada akhirnya pencerahan tersebut tiba dan saya memutuskan untuk tidak beragama lagi.

Kewenangan atas hidup saya

Itu bukan keputusan mudah. Saya telah menyebutkan sebelumnya tentang kadang pemikiran intrusi tentang tuhan dan agama muncul begitu saja di kepala saya. Setelah muncul, saya sering merasa takut. Bagaimana jika tuhan sudah menganggap pemikiran tersebut sebagai bentuk penistaan? walaupun tidak ada niat saya untuk mempertanyakan kuasa beliau?. Saya terus terayun di antara perasaan bersyukur dan takut. Bersyukur terlahir di keluarga muslim, takut atas kemungkinan terlahir di keluarga non-Muslim. Perasaan tersebut lahir karena pikiran tentang surga dan neraka. Muslim diajarkan bahwa dunia ini sementara, dan akhirat itu selamanya. Kemungkinan menjalani siksa abadi tidak pernah pergi dari pikiran saya. Dengan konsekuensi sebesar itu, keputusan untuk meninggalkan jalan hidup yang dulu sangat saya imani, hanya dapat terjadi setelah pertimbangan yang matang. Penjelasan ini ditujukan untuk menjawab persepsi keliru di kalangan umat beragama terhadap orang-orang yang tidak beragama, bahwa mereka tidak bermoral atau malas menjalankan ibadah. Keputusan saya meninggalkan agama bukan karena saya menjadi tidak bermoral atau menjalankan ibadah. Dengan penuh rasa hormat, saya merasa saya juga belajar agama dengan benar, seperti umat beragama lainnya. Saya juga telah melakukan kajian. Saya hanya tiba di kesimpulan yang berbeda.

@Flickr Creative Commons

Dari luar, tidak ada perbedaan mencolok di antara saya ketika muslim dan saya yang sekarang. Saya masih tinggal di kediaman yang sama, saya masih bagian dari keluarga yang sama, latar belakang pendidikan saya tetap sama. Saya juga masih bekerja untuk kantor yang sama, yang, seperti kebanyakan kantor di Indonesia, memiliki mayoritas pegawai beragama muslim. Namun, terlepas dari agama telah membuka banyak perspektif baru. Kediaman, keluarga, dan tempat kerja yang sama, mulai terasa menjadi dunia yang berbeda. Saya merasa lebih berwenang terhadap hidup saya. Seiring saya meninggalkan hal-hal yang dulu saya pelajari dan mendapatkan pemahaman-pemahaman baru, saya mulai melihat dunia dengan perspektif yang lebih cerah. Saya merasa saya telah maju selangkah dalam kebebasan berpikir.

Setelah berdamai dengan diri sendiri untuk tidak beragama, berterus terang mengenai hal ini di muka umum tidak pernah menjadi bagian dari rencana saya dalam waktu dekat. Saya bekerja di lingkungan dengan pegawai mayoritas muslim, terbuka tentang posisi keyakinan saya bukanlah pilihan. Hanya setelah saya berhenti beragama, saya menyadari seberapa bebas saya dulu ketika menjalankan apa yang saya percaya. Salah satu kewajiban utama muslim adalah sholat. Wajib dilaksanakan lima kali dalam sehari. Ketika itu, tidak pernah ada situasi yang tidak bisa diterima untuk saya menjalankan sholat. Ketika saya sedang berselisih dengan teman, saya bisa sholat. Ketika atasan saya bergantung pada saya untuk suatu tugas mendesak, saya masih bisa memprioritaskan waktu untuk sholat. Bahkan ketika tidak ada ruang khusus untuk sholat, saya bisa menggunakan ruang kosong yang layak mana pun untuk sholat. Dulu sebagai muslim, saya bisa sholat kapan pun, di mana pun, dan dengan cara apa pun.

Saya merasa dimudahkan juga sewaktu bulan puasa. Berpuasa adalah ibadah muslim lainnya. Muslim diperintahkan untuk menahan hawa nafsu mereka, tidak terbatas tapi sebagai contoh adalah, dalam makan dan minum. Pada bulan puasa, ibadah ini menjadi wajib. Kewajiban dimulai dengan sarapan sebelum subuh yang dinamakan sahur. Pada bulan lain, saya jarang sekali bangun pada jam itu, tapi sepanjang bulan puasa hal itu mudah. Ada sekelompok orang yang akan mengitari kompleks perumahan mengumumkan dengan suara jelas bahwa sudah waktunya sahur, sering diiringi taburan alat musik perkusi untuk memastikan warga mendengar panggilan. Masjid di lingkungan perumahan juga memberitahu waktunya sahur melalui speaker mereka. Kemudian waktu kerja disesuaikan – pegawai dibolehkan pulang lebih awal untuk memastikan berbuka puasa dilakukan di rumah. Kinerja tidak seproduktif bulan lainnya dimaklumi selama bulan puasa. Banyak daerah melarang rumah makan berbuka selama waktu ibadah puasa. Satu bulan itu terasa benar-benar diatur untuk mengakomodir orang-orang berpuasa.

Menahan pemikiran

Mendiskusikan ketidakpercayaan saya di ruang publik juga tidak termasuk dalam rencana. Dulu sebagai umat beragama, saya bisa menyampaikan interpretasi saya tentang nilai-nilai agama, saya bisa bertanya, saya bahkan bisa menyatakan tidak setuju di ruang publik. Saya punya waktu dan ruang untuk mengekspresikan dan menjalankan kepercayaan saya dengan cara yang saya pikir benar. Namun setelah tidak memiliki kepercayaan, saya memiliki ruang terbatas untuk terbuka tentang hal-hal yang saya yakini. Rekan kerja saya melihat ketekunan mereka dalam mengajak saya sebagai sebuah bentuk kebajikan. Sementara, saya yang terus mengabaikan ajakan mereka dapat terlihat asosial atau bahkan tidak bermoral. Kolega-kolega saya sering meneruskan video khotbah tentang bahaya menagih bunga pada pinjaman uang atau barang (riba). Jika saya menawarkan pendapat yang menyeimbangkan, akan menyinggung mereka. Beberapa laki-laki di tempat kerja suka mempromosikan praktek poligami. Saya pernah sekali menawarkan ide bahwa hal tersebut tidak adil bagi wanita, tapi ini membuat marah mereka. Makan di lingkungan kantor sewaktu bulan puasa tidak leluasa, jika terlihat oleh orang yang berpuasa dapat dianggap tidak menghormati. Semua pembicaraan menyangkut agama cenderung berjalan satu arah. Setelah menjadi tidak beragama, saya telah sering merasa terpaksa untuk diam. Saya juga merasa perlu menahan pikiran selagi di kantor.

Saya berharap segala sesuatu bisa berbeda. Datang dari latar belakang Islam sendiri, saya tidak lupa perasaan ketika saya mengingatkan muslim lain untuk tetap berada di jalan Islam yang saya yakini. Islam mewajibkan pemeluknya untuk senantiasa mengingatkan pemeluk lain dalam menjalankan ibadah dan menjauhi larangan. Yang rekan-rekan kerja saya lakukan mungkin datang dari niat baik mereka supaya saya dapat menjalani hidup dengan lebih baik sesuai dengan keyakinan mereka dan dari ketakutan mereka meninggalkan kewajiban mengingatkan sesame. Tidaklah cukup bagi muslim untuk menjalankan ibadah bagi diri sendiri; mereka juga harus memastikan sesame muslim untuk menjalankan kewajiban juga. Terkadang saya berpikir bisa sejauh apa praktek mengingatkan sesame ini.

Setelah menjadi seseorang yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan agama untuk sekian lama, saya masih menganggap Islam sebagai bagian dari diri saya. Bagaimanapun, saya tumbuh dengan menjalankan ajaran Islam. Pengalaman memeluk agama menjadikan saya sebagai diri saya yang sekarang dan saya senang dapat memahami rekan-rekan kerja saya dengan lebih baik karenanya. Saya benar-benar menganggap kemampuan memahami tersebut sebagai kelebihan saya. Oleh karena itu, saya berharap suatu hari umat beragama di sekitar saya juga bisa mendapat manfaat dari memahami semua orang di sekitar mereka, bukan hanya memahami orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan. Orang yang tidak beragama memahami orang yang beragama, pemeluk agama memahami mereka yang tidak memiliki agama, bersama kita dapat menciptakan pengertian yang berbalas.

Kebebasan beragama adalah bagian penting dari itu. Kebebasan itu dimiliki semua orang. Termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Keyakinan pribadi saya adalah setiap kita membatasi kebebasan beragama seseorang, sebenarnya kita memenjarakan diri kita sendiri, karena kita menyangkal diri kita kesempatan untuk memahami orang tersebut dengan lebih baik. Kehadiran orang-orang yang tidak beragama, tidak mengurangi kebebasan umat beragama untuk menjalankan ibadah. Kebabasan beragama bukanlah zero-sum game. Semua orang sebenarnya bisa memiliki kebebasan beragama yang sama. Ada ruang yang cukup untuk semua orang bisa mengekspresikan keyakinannya, selama itu tidak mencelakakan orang lain. Saling pengertian itu menyebar – itu bisa menjadi awal dari saling pengertian yang lebih banyak lagi. Dampak dari saling pengertian yang terus bertambah dan terus digabungkan itu bisa menjadi besar sekali. Hal ini bisa dimulai dari tempat sesederhana lingkungan kantor.

Budi Hartono adalah nama samaran.

Read the English verison

Inside Indonesia 140: Apr-Jun 2020