Sekutu-sekutu di Jawa

Published: Jan 27, 2020
English version

Diego Garcia Rodriguez

Malam Kamis, pada akhir September 2018 di Yogyakarta. Sekelompok masyarakat sipil, yang dipelopori oleh Aan Anshori, sekutu LGBT dan aktivis, menyelenggarakan sebuah kegiatan tentang seksualitas dan Islam. Sesaat menjelang kegiatan, kami menerima pesan Whatsapp bahwa lokasi kegiatan berubah karena alasan keamanan. Kami berkendara sekitar 30 menit untuk mencapai lokasi yang baru. GPS dan moda pesawat pada ponsel kami aktifkan. Kami diminta untuk tidak mengunggah foto-foto secara daring hingga diskusi selesai. Tidak seorang pun kami beritahu di mana kami berada. Diskusi dimulai dengan seorang pembicara yang mempresentasikan ‘Catatan Ringan Islam dan Seksualitas’.

Akhir-akhir ini, kita dapat menghadiri diskusi dan berkumpul seperti itu hanya melalui undangan. Data Wahid Foundation dan LSI memperlihatkan bahwa tahun 2016 komunitas LGBT adalah salah satu kelompok yang paling dibenci di Indonesia. Pada tahun 2018, LGBT paling dibenci setelah komunis. Sekalipun angka statistik tersebut mengkawatirkan, komunitas LGBT dan sekutunya bekerja aktif untuk membuat perubahan, berjuang untuk hak-hak mereka agar diterima sebagai warga negara Indonesia.

Gambaran media Barat mengenai LGBT Indonesia sebagai korban dari agama dan budayanya melanggengkan stereotip orientalis dengan menganggap Islam dan masyarakat Indonesia sebagai konservatif dan homofobik. Media Indonesia seringkali menggambarkan komunitas LGBT sebagai pedofil, pembawa penyakit dan/atau pendosa.

Dengan menelusuri kegiatan-kegiatan sekutu LGBT di Jawa, kita dapat memperoleh gambaran alternatif yang berbeda dengan representasi media. Selama satu tahun riset lapangan antara tahun 2017 dan 2018, saya melihat bahwa di luar sikap dan tindakan homofobik dari pejabat pemerintah dan kelompok konservatif, ada suara-suara lain yang mendukung hak-hak LGBT yang berdasarkan penafsiran keagamaan.

Di Indonesia sekarang, sejumlah besar aktivis LGBT dan non-LGBT bekerja sama untuk mempromosikan toleransi dan inklusi.

Mempromosikan toleransi

Dalam beberapa tahun terakhir, tokoh-tokoh Islam seperti Aan Anshori, Kyai Hussein Muhammad dan Abdul Muiz Ghazali berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempromosikan inklusi LGBT dalam Islam. Peranan mereka amat penting sebagai tokoh dan cendekiawan agama. Mereka bekerja dengan LSM yang memperjuangkan hak-hak LGBT untuk menghasilkan kisah-kisah tentang penerimaan queer. Penerimaan ini dipromosikan dengan mengembangkan penafsiran kontekstual dari teks-teks keagamaan yang menantang penafsiran teks-teks secara literal yang sering digunakan. Sebuah contoh penafsiran kontekstual adalah lokakarya yang diselenggarakan LSM GAYa Nusantara yang mengumpulkan tokoh-tokoh agama dari berbagai keyakinan (Budha, Kristen, Islam).

Seorang aktivis LSM menjelaskan,’Ini bukan diskusi seperti yang lalu-lalu yang lebih fokus pada kesehatan seksual dan HIV/AIDS, tetapi kami pelan-pelan mengembangkan diskusi tentang agama, gender dan seksualitas, bekerja sama dengan tokoh-tokoh agama.’ Sebelum terjadinya ‘serangan anti-LGBT’ tahun 2016 forum dan diskusi untuk isu-isu ini masih sedikit, sekarang kegiatan sejenis meningkat.

Antara tahun 2017 dan 2018 saya hadir dalam beberapa kegiatan di mana aktivis hak-hak LGBT berkumpul bersama tokoh-tokoh agama dan para anggota LSM yang menggeluti dialog antar keyakinan, gender dan seksualitas seperti Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS). YIFoS mendorong diskusi-diskusi penting melalui program Listening You pada tahun 2018. Sesi-sesi diskusi mengundang individu-individu yang bekerja pada organisasi seperti LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), GAYa Nusantara dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dengan tokoh-tokoh agama seperti pendeta Stephen Suleeman dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Mereka membahas isu-isu penting: SOGIESC (orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, dan karakteristik seks), HAM, LGBT dan kriminalisasi di Indonesia, agama dan seksualitas, serta diskusi LGBT di media.

Dalam salah satu sesi, ketua YIFoS dan pendeta Stephen Suleeman menyajikan penafsiran keagamaan yang inklusif terhadap LGBT dalam Islam dan Kristen. Ini dilakukan dengan mengenalkan beberapa ayat Al Qur’an yang paling kontroversial dan menyajikan makna yang beragam dari teks Bahasa Arab untuk mengilustrasikan kemungkinan penafsiran yang beragam pula. Mereka yang hadir juga berkesempatan untuk bertanya dan mendapatkan klarifikasi. Salah seorang peserta, seorang gay Muslim, berbagi pengalaman bahwa sukar bagi dia untuk menerima dirinya sebagai gay dan Muslim karena dia merasa bahwa agamanya menolak orientasi seksualnya. Reaksi hadirin lainnya adalah bertepuk tangan, beberapa memeluknya sebagai ekspresi dukungan. Pembicara menjawab bahwa Islam tidak menentang homoseksualitas dan ia kembali ke sumber-sumber keagamaan untuk memperkuat pernyataannya.

Ketua YIFoS menulis sebuah surat Al Qur’an / Diego Garcia Rodriguez

Berbagi kisah tentang menjadi LGBT dan Muslim menciptakan rasa kebersamaan. Peserta yang lain, seorang transpuan Katolik, membagi kisah transisinya dan menceritakan masa lalunya sebagai seorang pastur. Beberapa peserta tidak pernah menemukan bacaan progresif tentang kisah Luth atau Sodom dan Gomora yang mempertanyakan penafsiran konservatif. Meskipun tidak setiap peserta mengenal peserta lainnya sebelum kegiatan ini, berbagi ruang bersama dan memperoleh gagasan baru dipandang oleh beberapa peserta sebagai sumber pengakuan diri. Perasaan sekomunitas di antara peserta yang sebagian merasa ditinggalkan oleh agama mereka karena penafsiran heteronormatif yang dominan, juga meningkatkan ketertarikan mereka untuk ikut dalam sesi-sesi mendatang untuk belajar lebih banyak tentang penjelasan keagamaan yang progresif.

GAYa Nusantara

Sekutu keagamaan yang progresif dari berbagai keyakinan bersama-sama LSM membuat beragam tulisan. Kerja sama antara sekutu keagamaan yang progresif dan LSM hak-hak queer tidak berjalan satu arah dari tokoh-tokoh agama kepada anggota-anggota LSM. Aktivis queer juga melakukan pengarusutamaan gender dan keragaman seksual kepada komunitas-komunitas keagamaan. Misalnya Dede Oetomo, pendiri GAYa Nusantara, menjelaskan wacana SOGIESC kepada tokoh-tokoh agama di Jawa Timur sejak tahun 2017.

Kegiatan GAYa Nusantara terfokus pada Surabaya, Mojokerta, Jombang dan Malang melalui tiga tujuan:

Pertama, menyebarluaskan pengetahuan tentang gender dan keragaman seksual di kalangan tokoh dan komunitas keagamaan. Kedua, mempertemukan kelompok keagamaan dan individu LGBT untuk saling mengenal. Ketiga, memperluas penerimaan LGBT pada berbagai tingkat, khususnya di antara anggota komunitas keagamaan.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut,GAYa Nusantara membentuk komite pengarah yang terdiri dari individu queer yang religious dan tokoh-tokoh agama. Hal ini dilakukan setelah melalui proses identifikasi dan berjejaring dengan tokoh-tokoh agama lokal melalui pembicaraan tatap muka. Seminar publik dilakukan di universitas Islam seperti Universitas Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang; Universitas Islam Malang dan IAI Uluwiyah di Mojokerto; dan the Gereja Kristen Merisi di Surabaya.

GAYa Nusantara juga menyelenggarakan kursus singkat gender dan seksualitas dengan individu queer yang religius dan anggota komunitas keagamaan untuk berbagi pengalaman hidup beragama serta mendiskusikan teks-teks agama. Dalam proses ini, kampanye media sosial dengan materi tertulis, video, dan meme di Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube menjadi cara utama untuk menyebarkan informasi. GAYa Nusantara merupakan contoh proses dua arah yang muncul dari sekutu LGBT dan aktivis hak LGBT dengan tujuan menyebarkan pesan toleransi melalui pendidikan tentang agama, keyakinan dan spiritualitas. Tambahan pula, karya-karya Aan Anshori dan Musdah Mulia yang tersedia secara daring menawarkan penafsiran alternatif atas sumber-sumber Islam yang ramah LGBT.

Tanpa berkoar-koar, aktivitis hak LGBT dan sekutunya bekerja keras untuk mempromosikan hak-hak mereka melalui agama. Ketika wacana dominan seringkali merepresentasikan agama berkonflik dengan minoritas seksual, kegiatan-kegiatan ini mencerminkan penafsiran keagamaan kontekstual yang potensial untuk membangun agensi LGBT. Lebih dari itu, mereka merupakan ilustrasi bahwa ada alternatif di luar konservatisme yang dibangun melalui dialog dan materi keagamaan yang ramah LGBT.

Diego Garcia Rodriguez (diego.rodriguez.16@ucl.ac.uk) adalah kandidat doktor dalam kajian Gender dan Seksualitas di Universitas College London yang sedang meneliti tentang gender, seksualitas dan Islam di Indonesia.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020