Ujaran kebencian di media daring

Published: Jan 25, 2020
English version

Dina Listiorini

Antara Januari 2016 dan Desember 2018, media daring (online) di Indonesia menjadi saksi peningkatan luar biasa ujaran kebencian anti-LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) dan liputan tentang isu-isu LGBT yang lebih luas—tanda dari intensnya debat mengenai topik tersebut. Selama waktu ini, pencarian sederhana mengungkapkan bahwa situs berita detik.com telah memposting tidak kurang dari 1025 menyebutkan LGBT. Sementara itu, dalam rentang waktu yang sama, sumber berita arus-utama lain, Kompas.com, mengunggah sebanyak 6.730 berita.

Sebelum Januari 2016, hanya sedikit orang Indonesia yang pernah mendengar akronim LGBT, apalagi mengetahui maksudnya. Realitasnya, jumlah media arus-utama yang meliput isu-isu LGBT sangat terbatas, dan topik ini hanya menarik bagi media ketika ada ajang seperti program kesadaran HIV atau penggunaan kondom. Namun, pada Desember 2018, media mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketertarikan orang untuk mengklik berita-berita tentang LGBT. Alhasil, dewasa ini semakin sedikit orang Indonesia yang belum pernah mendengar istilah LGBT.

Meskipun demikian, sebelum Januari 2016 media di Indonesia sebenarnya sudah meliput isu-isu queer. Sebagai contoh, diskusi-diskusi tentang transpuan atau waria (transwomen) dan pekerjaan mereka di dunia hiburan, entah sebagai aktor, penyanyi, atau model, kerap diberitakan. Ujaran kebencian juga telah dilancarkan pada waria, namun tidak semasif pasca-Januari 2016. Ada pula lelucon-lelucon di media tentang orang-orang tertentu yang menjadi gay—bahkan muncul usulan bahwa gay tidak punya tempat di Indonesia—namun tidak ada tekanan besar-besaran untuk menyerang atau mengkriminalisasi komunitas-komunitas LGBT. Sayangnya, pada Januari 2016, media mulai dipenuhi ujaran kebencian yang menyerang kaum LGBT Indonesia.

Adalah mengejutkan bahwa kemunculan ujaran kebencian anti-LGBT terjadi semasa kepresidenan Jokowi yang semestinya reformis. Masa sebelumnya, penilaian moral yang kejam itu biasanya hanya tercetus dari organisasi-organisasi Islam konservatif, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia (sebuah majelis ulama Islam yang didukung oleh pemerintah). Faktanya, Jokowi tidak berusaha membatasi ujaran kebencian yang didukung oleh organisasi-organisasi keagamaan berpengaruh tersebut adalah petaka bagi kehidupan LGBT Indonesia.

Dalam menelusuri peran media dalam krisis LGBT, saya menemukan lima cara utama media membingkai diskusi-diskusi tentang LGBT.

Imoralitas

Cara pertama adalah dengan membingkai kaum LGBT sebagai manusia-manusia yang tak bermoral. Frasa-frasa seperti “Perilaku LGBT melanggar nilai-nilai agama,” dan “LGBT membahayakan bangsa,” secara konsisten digunakan dalam pemberitaan media. (Catatan: di Indonesia, istilah “LGBT” digunakan sebagai kata benda untuk memaknai komunitas tersebut, identitas mereka, dan/atau topik-topik yang lebih umum.) “LGBT adalah musuh bersama yang harus dikalahkan”, dan “LGBT tak punya hak untuk hidup di Indonesia” juga lazim dipakai.

Banyak media menggunakan kepala berita (headline) yang menghasut seperti itu, termasuk Detik.com, Tribunnews.com, Okezone.com, Viva.co.id, Kapanlagi.com, dan berita daring Antara. Yang mengkhawatirkan, penyiar radio publik nasional (RRI) juga menggunakan berita tersebut melalui RRI.co.id. Tentu saja portal berita daring berbasis agama seperti Arrahmah.co.id, Eramuslim.com, VOA-islam.com, dan Hidayatullah.com juga menggunakan judul-judul provokatif dan mempublikasikan cerita-cerita anti-LGBT yang kurang dalam hal substansi.

Bahasa yang merendahkan

Cara kedua adalah melalui penggunaan kata-kata dan frasa-frasa yang merendahkan kaum LGBT dan aksi-aksi mereka. Sebagai contoh, pemberitaan media secara berulang-ulang menggunakan kata-kata seperti “berbahaya,” “menyerang,” “tak bermoral,” “bukan manusia,” dan “harus dilarang.” Pada 24 Januari 2016, sebagai contoh, Republika.co.id merilis berita dengan judul besar “LGBT adalah ancaman serius.” Meskipun hal tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik, tidak ada sanksi yang diberikan. Media juga mempublikasikan cerita tentang (atau sekurang-kurangnya menggunakan istilah) “pesta seks gay” untuk semakin mendiskreditkan komunitas LGBT di mata para pembaca.

Gambar-gambar

Cara ketiga adalah lewat penggunaan gambar. Media sering kali menghias berita-berita yang merendahkan LGBT dengan foto-foto pengunjuk rasa yang sedang memegang poster anti-LGBT. Sebagai contoh, Tribunnews.com, Republika.co.id, Detik.com, dan Liputan6.com mengunggah foto-foto kelompok Islam memegang poster yang mendukung kebencian terhadap individu dan komunitas LGBT.

Bencana alam

Cara keempat adalah dengan mengklaim kaum LGBT sebagai penyebab bencana-bencana alam. Sebagai contoh, setelah gempa bumi Sulawesi Tengah pada 2018 silam yang berujung pada tsunami yang meluluhlantakkan Palu dan Donggala, banyak media yang melaporkan bahwa bencana tersebut disebabkan oleh LGBT. Demi mendukung pernyataan menggelikan tersebut, banyak media mengundang pembicara internasional untuk berkomentar. Media-media tersebut meliputi Newsokezone.com yang mewawancarai pemimpin agama dari Ghana, Mallam Abbas Mahmud; CNN Indonesia yang mengundang mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi; dan BBC Indonesia yang mewawancarai pendeta Amerika, Tony Perkins, yang semuanya mendukung anggapan bahwa komunitas LGBT menyebabkan gempa bumi dan tsunami. Ketika wawancara-wawancara itu viral lewat WhatsApp, banyak orang Indonesia yang percaya dengan pernyataan-pernyataan para pembicara tersebut.

Satu sisi

Cara kelima media membingkai isu-isu LGBT untuk secara sengaja memancing krisis adalah dengan menyeleksi orang-orang tertentu untuk berbicara tentang isu ini. Media secara khusus memilih mewawancarai orang-orang dengan perspektif mengerikan dan negatif tentang kaum LGBT demi memancing kontroversi dan meningkatkan rating. Mereka tahu bahwa para komentator yang mereka undang akan mengatakan hal-hal yang mengobarkan kebencian—dan itulah alasan mereka untuk mengundang orang-orang tersebut.

Antara 2016 dan 2018, media kerap mewawancarai orang-orang dari partai-partai politik beraliran Islam, seperti Tifatul Sembiring dan Jazuli Juwaini dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Arsul Sani dan Romahurmuziy dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan para politikus parlemen seperti Zulkifli Hasan dan Marwan Dasopang. Mereka menuding kaum LGBT sebagai segalanya, dari mulai penyebar tindak kriminal dan penyakit berbahaya sampai penyebab bencana, terorisme, dan epidemi narkoba. Politikus Aboe Bakar Alhabsy bahkan berkata bahwa kaum LGBT lebih berbahaya bagi Indonesia daripada terorisme dan narkoba. Ma’ruf Amin, wakil presiden Joko Widodo yang terpilih pada pemilu 2019, di tahun 2016 mengatakan bahwa dibutuhkan hukum baru untuk mengkriminalisasi LGBT.

Dengan media-media tak kritis mendominasi pemberitaan di Indonesia adalah wajar jika masyarakat awam Indonesia mulai percaya dengan klaim-klaim berbahaya tentang individu-individu dan komunitas LGBT. Kita harus terus berjuang untuk memastikan bahwa kaum LGBT diterima di Indonesia.

Namun ada optimisme dalam situasi ini karena ada gerakan kritis literasi media yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk). Kedua organisasi tersebut mencoba memberikan pelatihan dengan materi bagaimana seharusnya media memberitakan minoritas seksual LGBT dan materi tentang SOGIESC kepada jurnalis media daring di berbagai daerah. Gerakan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada jurnalis daring bagaimana memberitakan minoritas seksual secara lebih komprehensif, tidak melakukan stigma atau penghakiman.

Saat sedang mengecek ulang data dari Tempo.co untuk penelitian saya, ternyata Tempo.co telah mengubah moda pencarian artikel yang berkaitan dengan LGBT. Saya menghubungi Tempo.co secara langsung pada November 2019 dan diberi tahu bahwa sekarang tidak mungkin untuk mencari artikel menggunakan kata kunci “LGBT” sebagai tag umum.

Dina Listiorini adalah kandidat doktor. di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020