Meng-queer-kan Kesalehan

Published: Jan 26, 2020
English version

Ferdiansyah Thajib

Di Indonesia, sering diasumsikan bawa orang yang Muslim dan queer terus menerus mengalami konflik batin. [Catatan penerjemahan: istilah bahasa Inggris queer di sini dipakai untuk menggambarkan subyektivitas, pengalaman dan praktik yang punya hubungan mendua - atau dianggap berseberangan­­­ - dengan normativitas hetero.]

Beredar pula anggapan bahwa Muslim queer rentan terhadap perasaan negatif dan tidak sehat, seperti membenci diri sendiri dan punya dorongan untuk menyakiti diri sendiri. Sebagaimana kita ketahui, yang namanya asumsi hanya menggambarkan sebagian kecil dari keseluruhan suatu cerita. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang punya pengalamannya masing-masing dan meskipun berat bagi Muslim yang berorientasi seksual dan ekspresi gender alternatif, selalu ada cara untuk tetap hidup positif di tengah semua tantangan tersebut. Beragam cerita yang saya dapatkan selama penelitian mengungkapkan proses yang dialami beberapa orang dalam menegosiasikan dan melakukan berbagai penyesuaian dalam menghidupi dan mendefinisikan ulang kesalehan dalam pengalaman keseharian.

Kembali ke cinta persaudaraan

Ketika saya berjumpa dengan Rizky di Jakarta, dia ini berusia paruh 30an. Meskipun berkali-kali ia menjalin hubungan dekat dengan sesama laki-laki, Rizky tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai gay. Baginya sebagai label, istilah gay cenderung mendikte siapa dirinya dan pada siapa ia harus tertarik. Yang terpenting menurut Rizky adalah untuk tetap membuka diri pada segala kemungkinan, termasuk jika kelak ia tertarik dengan perempuan. Rizky juga seorang Islam yang cukup taat. Ketaatannya ini lahir dari proses penemuan diri dan bukan karena bentukan keluarga atau tekanan lingkungan sekitar.

Salah satu ketegangan yang dialami Rizky ketika ia mencoba mendekatkan diri dengan ajaran agama adalah wacana yang biasanya menyatakan bahwa homoseksualitas dilarang di Al Qur’an. Jika bagi sebagian orang, menjadi Muslim yang taat sama dengan menghentikan praktik homoseksual, Rizky justru mencari cara untuk memadukan keduanya.

Sejatinya, kegelisahan Rizky juga dibebani oleh hubungan cinta yang ia sudah jalin selama tujuh tahun belakangan bersama Donny. Walaupun putus hubungan dengan Donny mungkin menjadi jawaban yang paling praktis untuk mengatasi kegundahannya, Rizky enggan mengambil keputusan tersebut. Berat bagi Rizky meninggalkan Donny sendirian, terutama karena Donny tidak punya sanak keluarga. Oleh karena itu Rizky mencoba mendamaikan kontradiksi antara hubungannya dengan Donny dan keyakinannya dengan kembali pada konsep tentang cinta sesama saudara dalam ajaran Islam. Secara khusus ia merujuk pada satu hadis yang menyatakan bahwa umat Islam harus mencintai sesamanya. Hadis ini membantunya memahami bahwa relasi sosial antar sesama jenis yang dilandasi kepedulian dan afeksi bukan hanya dibolehkan dalam Islam tapi juga dianjurkan. Alih-alih memahami relasi ini melulu sebagai hubungan seksual atau romantis, ia juga bisa dipahami sebagai kedekatan dan keintiman sebagaimana layaknya dalam hubungan persaudaraan. Langkah-langkah yang ditempuh Rizky untuk menjadi Muslim yang lebih baik di sini bersinggungan dengan upaya untuk menjembatani antara cinta, kasih sayang, kepedulian, keintiman dan keyakinan.

Spiritualitas yang liyan

Jika Rizky menuturkan tentang bagaimana homoseksualitas merumitkan proses menjadi Muslim yang lebih baik, Anna bercerita tentang pilihannya untuk menarik jarak dengan Islam begitu ia menempuh hidup sebagai queer. Hal ini mengemuka ketika saya berjumpa dengan Anna di Yogyakarta dan ia menyatakan bahwa dia seorang queer yang eks-Muslim. Anna lahir di keluarga religius di Sumatra Barat, dan sejak usia remaja ia mengenakan jilbab. Begitu pindah ke Yogya ia melepaskan jilbabnya dan sekarang, dalam usianya yang ke-30 tahun, Anna menganggap bahwa Muslim dan queer adalah dua hal yang tidak akan bisa disatukan.

Pilihan Anna untuk tidak lagi menunaikan perintah agama Islam, di antaranya karena terdorong rasa frustrasi setelah mengamati bagaimana ajaran agama tersebut sering disalahgunakan untuk mendiskriminasikan minoritas seksual dan gender. Namun keputusannya untuk tidak lagi menjalankan perintah agama juga dilatari alasan yang lebih personal. Ia mengenang saat ia berdoa agar bisa rujuk dengan pacar perempuannya tidak lama setelah mereka putus. Ketika akhirnya pasangan ini bersatu kembali, Anna justru merasakan suatu ketidaknyamanan. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin Allah yang sering digunakan namaNya untuk mempersekusi minoritas seksual, mengabulkan doanya: ‘Mengapa ya Allah mendengarkan doa yang kupanjatkan? Rasanya tidak pas.’ Kini Anna berhenti mempraktikkan ajaran Islam karena dengan demikian ia menjadi lebih nyaman dengan diri sendiri.

Sementara Anna tidak lagi mengidentifikasikan diri sebagai seorang Muslim, dia mengaku bahwa dia juga bukan seorang atheis. Alih-alih, ia terus berusaha agar relasi dengan apa yang disebutnya sebagai ‘energi yang lebih besar, yang mengatur segala sesuatunya’ tetap terjaga. Ini ia lakukan, misalnya, dengan cara mengunjungi berbagai tempat religius, seperti Gereja Kristen Jawa dan pura Hindu, untuk berdoa. Bagi Anna, meniti konflik batin adalah soal menumbuhkan kesejahteraan (wellbeing) spiritual dan personal, dan membebaskan diri dari doktrin agama yang ketat.

Sebisa mungkin taat

Sementara ada jarak perbedaan yang cukup signifikan dalam bagaimana Rizky dan Anna memahami silangan antara keIslaman dan queer, dalam kisah selanjutnya mengangkat sosok Maya yang menempuh rute berbeda dalam upaya mendamaikan ketegangan agama dan ekspresi gender yang nir-normatif. Ketika saya berjumpa pertama kalinya dengan Maya, seorang waria berusia 28 tahun dari Aceh, dia menyambut baik ajakan saya untuk menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus tentang religiositas bersama kawan-kawannya sesama waria. Katanya: ‘Aku selalu penasaran dengan bagaimana teman-teman di sini memandang Islam. Karena buatku, entah kenapa badanku selalu lemas kalau agama muncul sebagai topik bahasan.’

Di satu malam yang gerimis, saya bertemu dengan Maya di salon rambut milik Mami Yana, salah satu anggota paling senior di komunitas Maya. Ada 12 waria lainnya yang bergabung di pertemuan ini dan kami semua memenuhi ruangan di salon yang hanya berukuran kurang lebih empat meter persegi. Diskusi malam itu dimulai dengan pernyataan Mami Yana yang menjelaskan tentang posisi penting Islam bagi komunitasnya. ‘Semua dari kami di sini memegang teguh norma agama, dan sebisa mungkin selalu berusaha untuk mengikuti aturan Islam meski banyak orang yang menyangsikan kami,’ lanjut Mami Yana. Semua waria yang hadir menganggukan kepalanya tanda setuju. Tapi tidak lama kemudian diskusi mulai memanas, terutama ketika adab berpakaian saat shalat muncul sebagai topik diskusi.

Maya mengatakan bahwa seorang waria bebas untuk mengenakan pakaian apapun yang dirasakan paling nyaman ketika shalat, baik mengenakan sarung dan peci sebagaimana laki-laki, atau mukena. Salah seorang peserta diskusi segera menginterupsi pernyataan Maya ini dan berkata: ‘Tidak bisa, dosa hukumnya kalau mengenakan pakaian wanita [ketika shalat]. Kita harus berendah diri di hadapan Allah.’ Seorang waria lainnya berseru ‘Ya, itu sama saja dengan mempermainkan agama!’

Maya tetap bersikukuh dengan pendapatnya di awal: ‘Inilah persoalannya. Kita selalu mengeluh kalau ada yang mencap kita sebagai berdosa, tapi lihat sekarang, di antara kita sendiri saja kita sering mengatakan satu sama lain berdosa. Kenapa kita terus melakukan hal ini?’ Perdebatan ini berakhir tanpa kesepakatan. Yang saya mau garisbawahi dari percakapan ini adalah situasi di mana bahkan dalam komunitas yang sehati pun, makna kesalehan moral tidak dipahami sebagai sesuatu yang tunggal.

Cerita-cerita pengalaman menjadi Muslim dan queer yang disampaikan Rizky, Anna, Maya dan teman-temannya, sarat dengan ambivalensi moral. Kegelisahan moral bukanlah sesuatu yang asing bagi kebanyakan Muslim, apapun seksualitasnya maupun gendernya. Namun ia jadi punya makna berbeda dari sudut pandang queer di Indonesia, terutama ketika dilihat dari beragam refleksinya tentang cinta sesama jenis, pencarian spiritualitas, dan kebiasaan dalam praktik keagamaan. Bagi Muslim queer di Indonesia, pergulatan batin seputar seksualitas dan gender turut membentuk, membongkar dan membenahi apa yang dipahami sebagai kesalehan individu dan komunal.

Ferdiansyah Thajib (f.thajib@fu-berlin.de) adalah kandidat Doktor di Institut Antropologi Sosial dan Budaya, Freie Universität Berlin.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020