Nitis, pengalaman hidup waria

Published: Jan 26, 2020
English version

Irmia Fitriyah

Waria atau saat ini dikenal pula istilah transpuan, berasal dari kata wanita dan pria. Indonesia, meskipun secara kultural kaya akan keberagaman gender, tetapi menjadi waria tidaklah mudah. Pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) misalkan, hanya diakui dua jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki. Maka, ketika lahir, seseorang hanya diidentifikasikan sebagai perempuan atau laki-laki. Tidak ada identifikasi sebagai waria, dan ini membuat mereka kerap menemui kesulitan dalam hidupnya.

Menjadi waria

Saya mengenal istilah nitis dari Denok, seorang waria berusia sekitar 40an. Ia menggunakan istilah nitis untuk menjelaskan perjalanan keberadaan waria, bahwa meski tidak dilahirkan, waria selalu ada. Secara lebih spesifik, saya menemukan bahwa konsep nitis mengacu pada proses menjadi waria, yang di dalamnya melibatkan hubungan antara waria lebih senior dengan lebih yunior. Mendukung konsep nitis, Feby, seorang waria berusia di akhir 20an menjelaskan nitis sebagai berikut:

‘Waria itu selalu punya mbok (ibu). Untuk jadi waria butuh seseorang untuk mendampingi, untuk memberi nasihat. Setidaknya hal kecil pasti dilakukan oleh mbok-nya. Entah diajari dandan. Entah dipinjami beha.’

Ketertarikan saya pada konsep nitis berlatar dari gagasan bahwa konsep ini menandingi model penciptaan dan reproduksi yang heteronormatif. Dalam konsep nitis, waria bertransformasi melalui serangkaian petunjuk/nasihat yang melibatkan hubungan antara waria yang lebih tua dengan lebih muda. Tidak ada proses kelahiran sebagaimana dalam gagasan heteronormatif.

Pada nitis, hal utanmanya adalah mempelajari modifikasi tubuh dari waria yang lebih senior. Kulit halus yang tidak menunjukkan tonjolan-tonjolan otot merupakan hal penting, sebagaimana yang diungkapkan oleh Feby:

‘Bagian tubuh paling penting waria itu kulit dan wajah. Aku gak bisa ngasih prosentasenya ya, tapi tiga dari lima waria pasti perawatan kulit/muka. Walaupun bagi waria yang gak punya tetek, perawatan kulit sama muka itu pasti. Dia pingin kulitnya bersinar’

Selain perawatan tubuh, mbok juga mengajarkan untuk membentuk tubuh seperti perempuan; dan cara populer yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan kontrasepsi, baik berupa pil maupun suntik. Menggunakan kontrasepsi dipercaya dapat membuat tubuh menjadi seperti perempuan dan mengurangi ciri fisik maskulin.

Maka, menjadi waria itu adalah sebuah proses. Ada seseorang yang mendampingi, memberitahu/ menasihati untuk melalui proses nitis. Seorang waria membutuhkan dukungan waria lain.

Disalahpahami

Melalui proses nitis, banyak waria kemudian mengembangkan karakteristik feminin, sehingga mereka pun sering dianggap sebagai perempuan. Linda, seorang waria berusia 20 tahunan mengisahkan pada saya tentang pengalamannya saat hendak memperpanjang KTP.

‘Kalo ngurus KTP, orang-orangnya itu ngeliatin ya aneh gitu, kayak mikir, “Ini perempuan apa laki?” Trus aku bilang dengan tegas, “Ya, itu saya yang di foto!” Tapi, petugasnya kayak nggak percaya gitu loh. Dia bilang, “Rambutnya panjang kok jenis kelaminnya laki-laki”.’

Perwakos merayakan ulang tahunnya yang ke-36 16 November 2014 di kantornya. Waria berkerudung merah adalah salah seorang pendiri Perwakos. Beliau baru saja meninggal beberapa bulan lalu (di tahun 2019) karena sakit

Irma, seorang waria paruh baya, juga mengalami hal yang sama ketika ia sedang berada di suatu klinik kesehatan.

‘Suatu hari saya pergi ke klinik dokter untuk periksa. Saya mendaftarkan diri atas nama Imam sesuai KTP. Asumsi petugas kliniknya saya ini laki-laki. Ketika saya berdiri, dia bertanya, “Loh ini siapa? Saya panggil atas nama Saudara Imam.” Trus, saya bilang, “Oh ya itu saya”. Saya tuh nggak enaknya di situ.’

Sedangkan, seorang waria paruh baya lainnya, Sonya, mengatakan pada saya: ‘Kalo di mall, masih ada aja orang bisik-bisik. “Oh ada waria ada waria.”. Menjadi waria, masih belum seratus persen nyaman.’

Lantas, untuk bertahan hidup di dunia yang heteronormatif, waria pun menjalin hubungan pertemanan dengan sesama waria. Banyak waria juga lebih memilih tinggal dengan sesama waria. Sania, seorang waria muda mengatakan pada saya: ‘Kalau aku nyari tempat kos, aku pasti nyari yang ada warianya.’

Selain itu, agar bisa diterima, waria juga membangun hubungan dengan lingkungan di mana mereka tinggal. Namun, hal ini menjadi sulit sejak LGBT dipandang sebagai momok. Pada tahun 2016, bermunculan pernyataan politik yang menyudutkan LGBT di kampus-kampus.

Pernyataan-pernyataan yang menyudutkan LGBT itu juga berpengaruh pada organisasi waria seperti Perwakos. Meski tidak pernah mendapatkan keluhan dari warga sekitar tempat kantor mereka berada, Perwakos (Persatuan Waria Kota Surabaya) kemudian harus berganti nama menjadi Yayasan Ekspresi Warna Surabaya. Hal ini disebabkan karena kata waria tidak boleh digunakan untuk kepentingan mendaftarkan organisasi secara legal.

Melalui ikatan yang kuat, mbok membimbing waria yang lebih yunior dalam proses transformasi mereka, dan dengan segala macam tantangan yang harus dihadapi waria setiap harinya, kultur mbok – hubungan antara waria yang lebih senior dengan yang lebih yunior menjadi vital. Dengan demikian lah mereka saling menemukan kenyamanan.

Irmia Fitriyah (irmia.fitriyah@outlook.com) memiliki gelar Master dalam Kajian Sastra dan Budaya dari Universitas Airlangga dan menaruh perhatian pada isu gender dan seksualitas di Indonesia.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020