Pengawasan seksual di luar negeri

Published: Jan 26, 2020
English version

Alexandra Lloyd

Lola, seorang perempuan berusia 34 tahun dari pinggiran sebuah kota besar di Indonesia, sedang kuliah di Melbourne ketika ia pertama kali berhubungan seks. Seperti partisipan lain yang terlibat dalam penelitian yang saya lakukan tentang seksualitas perempuan Indonesia yang belum menikah yang menempuh pendidikan di luar negeri, Lola merasa berdaya dengan perjalanan dan kuliah di luar negeri, tetapi terkendala oleh pengawasan seksual yang intens dari jauh. Meskipun ia jauh dari rumah, ia merasa terus diawasi oleh keluarga dan masyarakat, baik di Melbourne maupun Indonesia. Ia pernah mengalami diskriminasi dan gosip yang menandainya sebagai ’terlalu tua’ untuk menikah dan tanpa anak dan ’terlalu berjiwa bebas’. Namun sekarang ia kuatir jika ibunya, keluarga, tetangga, gereja dan komunitas mengetahui rahasia kehidupan seksnya. Pengawasan, termasuk persepsi akan pengawasan, membatasi kebebasan dan otonomi seksualnya sekalipun di Australia.

Pada musim panas tahun 2017, saya bergaul dekat dengan 16 perempuan lajang yang berusia antara 18 dan 34 tahun dari berbagai tempat di Indonesia yang sedang kuliah di Melbourne. Penelitian saya berfokus pada pengalaman mobilitas, seksualitas dan keperempuanan. Komunitas perempuan ini, seperti Lola, merasa secara terus menerus dipantau, diselidiki, dan diawasi oleh pihak-pihak lain dan merasa mereka seakan dikepung oleh kamera keamanan. Walaupun hanya 5 perempuan yang mengaku pernah berhubungan seks, pengawasan mempunyai pengaruh yang mendalam pada cara mereka menjalani kehidupannya.

Pengawasan bekerja dalam beberapa cara. Media di Indonesia mencurahkan perhatian untuk menyoroti berbagai ‘subkultur seksual’ seperti musik rock dan tren fesyen untuk mendorong masyarakat umum menstigmakan penyimpangan seksual. Salah satu contoh, di Banten para tetangga menggerebek sebuah rumah dan menuduh sepasang anak muda heteroseksual melakukan hubungan seks. Pasangan tersebut disergap, ditelanjangi dan diarak ke jalan sementara para tetangga menghina dan melempari makanan terhadap mereka. Contoh-contoh lainnya, tetangga sekitar memergoki pasangan anak muda yang sedang duduk terlalu dekat, orangtua menyelidiki akun media sosial anak perempuannya, atau orang tak dikenal menguntit dan menggosip tentang perempuan di mal-mal.

Satu hal yang menonjol dalam cerita-cerita perempuan adalah pengelolaan pengawasan seksual yang intens yang mereka rasakan dengan cara-cara yang strategis dan bernuansa. Ketika norma-norma gender dan kesalehan seksual bertahan dalam kehidupan sehari-hari komunitas Indonesia di Melbourne, para perempuan menjadi berhati-hati dan berhitung dengan seksualitasnya. Mereka menyembunyikan kehidupan romantis dari teman dan keluarga, membedakan pakaian untuk acara-acara Indonesia dan Australia, memanipulasi media sosial, dan bermain dengan visibilitas kehidupan pribadi dan sosial di luar negeri. Beberapa perempuan berhubungan seksual namun menyembunyikannya dari setiap orang. Meskipun banyak perempuan merasa lebih bebas di negeri orang untuk mengambil keputusan atas tubuh, kehidupan romantis, lingkaran sosial dan aspirasi sendiri, mereka juga mengakui kekuatiran akan penghakiman mendikte kehidupan mereka.

‘Ini soal takut dihakimi’

Penghakiman dan gunjingan tentang seksualitas perempuan menyebar cepat dalam komunitas-komunitas Indonesia dan seringkali berakibat buruk. Perempuan dapat dicap ‘bukan perempuan baik-baik’ jika dianggap tidak mematuhi ekspektasi seksual dan gender. Sukma, 34 tahun, mengatakan “bukan perempuan baik adalah mereka yang bepergian dengan teman-temannya sepanjang waktu, menghabiskan uang untuk pakaian, merias wajah dengan menor dan mewarnai kuku. Jika warnanya mencolok, kamu disebut pelacur.”

Semua perempuan menyebut ‘digunjingkan’ atau dihakimi. Agnes, 27 tahun, berkata “Tetangga atau komunitas akan tahu kamu belum menikah dan kamu akan digunjingkan” jika mereka mencurigai ketidakpatutan seksual. Agnes, Lola dan lainnya mengutip kisah-kisah yang dipublikasikan secara luas tentang perempuan yang dicambuk, dipukuli oleh kerabat laki-laki, diperkosa oleh laki-laki tak dikenal, diarak telanjang melalui jalan-jalan kota, target ‘tes keperawanan’, dan disiram air comberan setelah dituduh melakukan ketidaksenonohan seksual.

Muhammad Pascal Fajirin @Flickr Creative Commons

Murni, seperti Lola, berusia awal 30-an dan kuliah di Melbourne. Ia seorang Kristen yang berpacaran dan berhubungan seks dengan lelaki Afrika Selatan yang agnostik. Bagi Murni dan Lola, perbedaan etnis dan kebangsaan antara mereka dan pasangan seksualnya adalah tantangan karena mereka diharapkan untuk berkencan dan menikahi laki-laki Indonesia yang seagama. Meskipun demikian, Murni merasa pacarnya adalah ‘orang yang tepat’ tetapi ia merasa ‘pertentangan batin’. Murni menggambarkan dirinya dan perempuan lajang yang aktif secara seksual sebagai ‘barang bekas’ yang tidak lagi ‘pantas menjadi seorang istri’. Hal ini membuatnya takut. Pada usia 32 tahun, ia berada di bawah tekanan serius untuk menikah dan memiliki anak. Ia berkata, ‘apa yang saya rasakan bahwa perempuan selalu yang disalahkan, bukan? Ini tidak adil.’

Lola dan Murni tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang hubungan seksual mereka, kecuali kepada saya. Lola bahkan takut mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi karena kawatir seseorang akan melihatnya mendatangi klinik atau membeli kondom di toko. Hal ini membuat dirinya berisiko mengalami kehamilan tidak dikehendaki atau infeksi menular seksual. Ia merasa, risiko penghakiman dan gosip lebih besar dari pada risiko kesehatannya.

Lola menceritakan kekawatian mengggunakan pil KB: ‘Aku tahu kamu bisa minum pil atau apapun, tapi memikirkannya aku masih merasa dicap buruk oleh diri sendiri. Seperti, karena aku pakai pil apakah orang akan menganggap aku seks bebas? Kamu tahu, aku takut orang akan menghakimi. Aku tahu orang tidak tahu jika saya tidak mengatakan ke mereka, tapi karena kamu harus minum pil tiap hari, aku pikir praktisnya. Seperti, aku harus minum pil teratur, apakah orang akan melihatnya?’ Ia berkata, ‘karena kita tidak bicara tentang seks (di Indonesia), rasanya kita yang menanggungnya’.

‘Kamu harus jaga diri’

Takut dipandang sebagai perempuan nakal memaksa perempuan untuk mengelola gosip dan judgment dengan hati-hati untuk melindungi reputasi mereka. Kerahasiaan adalah senjata pamungkas. Untuk beberapa perempuan, kerahasiaan adalah hal yang membuncah dan memberdayakan. Mereka menghubungkan kerahasiaan dengan otonomi dan kebebasan. Rhea, 29 tahun, berkata, ‘Aku merasa punya kontrol atas hidupku. Aku dapat melakukan hal-hal yang aku suka’. Bagaimanapun, beban membuka rahasia merupakan tantangan.

Lola menggambarkan tantangan tersebut dalam cerita tentang ibunya. Suatu hari fitur keamanan Facebooknya terbuka dan ‘secara sembrono’ menampilkan sebuah fotonya yang mengenakan celana pendek. Adik laki-lakinya menyampaikan hal itu kepada ibunya yang kemudian menegur dirinya secara keras melalui telpon. Setelah kejadian itu, Lola ‘memblok seluruh keluarganya’ dari akun-akun media sosialnya dan ‘menyaring’ Facebook dengan lebih berhati-hati: ‘Keluargaku menegur cukup keras tentang pakaianku, jadi aku unggah foto-foto di mana aku berpakaian ‘sopan’… atau menyaring hal-hal yang menunjukkan aku punya pacar.’ Ia melanjutkan, ‘sulit untuk menjadi diri sendiri dalam situasi itu…di sini (di Australia) aku punya kebebasan seksual untuk mengekspresikan diri dengan pacarku. Tetapi di rumah (di Indonesia), berbeda. Kamu harus jaga diri.’

Murni setuju dengan Lola, ‘Aku tidak percaya orang lain. Teman-teman dan keluarga di Indonesia tidak tahu (kehidupan seksku) karena kalau aku beritahu mereka akan menghakimiku. Mereka akan bilang “kamu seperti pelacur, kamu lonte” […] dan ini pilihanku, bukan? Terserah padaku.’ Ia tetap merahasiakan kehidupan seksnya.

Banyak perempuan merasa malu dan bersalah karena rahasia dirinya; mereka ingin bebas menentukan pilihan tentang cinta, berbagi pengalaman dengan yang dicintai dan merasakan dukungan. Pengawasan, ketakutan dan kewajiban membatasi perempuan untuk memutuskan kehidupan seksualnya secara bebas. Batasan-batasan ini berdampak buruk pada kebahagiaan mereka. Ketika banyak perempuan melawan harapan-harapan dan memiliki otonomi seksual, mereka juga menutupi perilaku mereka dan merasa tidak aman menghadapi kekuatan yang lebih besar yang membatasinya. ‘Kehidupan ganda’ Lola di Melbourne yang bebas dan nyata, tetapi sekaligus terkucil dan tidak jujur. Perempuan Indonesia, seperti semua perempuan, punya hak untuk memiliki apa yang terbaik bagi mereka tanpa takut akan kekerasan dan diskriminasi.

Alexandra Lloyd (alexc@outlook.com) belum lama menyelesaikan gelas magister dalam Antropologi di Universitas Victoria, British Columbia, Kanada. Sekarang ia bekerja di hak-hak dan pengelolaan adat. Penelitian ini sebagian didanai oleh program riset Southeast Asian Women, Family and Migration in the Global Era (SSHRC Insight Grant 435-2013-0079), Dewan Riset Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada, Pusat Inisiatif Asia-Pasifik (Universitas Victoria), Pusat Kajian Global (Universitas Victoria) dan Fakultas Pascasarjana (Universitas Victoria).

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020