Gerakan #MeToo Indonesia

Published: Jan 26, 2020
English version

Monika Winarnita, Nasya Bahfen, Gavin Height, Joanne Byrne & Adriana Rahajeng Mintarsih

Sebelum gerakan global #MeToo (#SayaJuga), para aktivis Indonesia telah meluncurkan kampanye (dalam jaringan) untuk mendorong para perempuan agar berani berbicara mengenai pelecehan dan kekerasan seksual yang pernah mereka alami. Pada bulan April tahun 2016, Lentera Sintas Indonesia—yang mengawali kegiatannya dengan membuat kelompok dukungan untuk para penyintas kekerasan seksual—dan Magdalene—yang merupakan majalah feminis berbasis daring—meluncurkan kampanye pendidikan mengenai kekerasan seksual melalui berbagai platform. Selain mempromosikan diskusi berbasis daring dengan menggunakan tagar #MulaiBicara (#TalkAboutIt), Lentera Sintas Indonesia bersama organisasi-organisasi lain bekerja sama mengadakan diskusi panel dan pemutaran film yang mengangkat isu kekerasan seksual.

Pertama kali diprakarsai oleh seorang perempuan Afrika Amerika kulit hitam bernama Tarana Burke pada tahun 2007, gerakan #MeToo (#SayaJuga) meluas pada bulan Oktober tahun 2017 sebagai tanggapan atas dugaan penyerangan dan pelecehan oleh produser Hollywood bernama Harvey Weinstein. Gerakan tersebut berkembang menjadi gerakan global dan banyak perempuan di seluruh dunia turut serta menggunakan media sosial untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual dan ketimpangan hubungan kekuasaaan berbasis gender. Meskipun diskusi #MulaiBicara mendahului #MeToo (#SayaJuga), salah satu pendiri dan editor pengelola Magdalene Hera Diani mencatat bahwa setelah gerakan global tersebut, Magdalene sekarang menerima lebih banyak kiriman artikel terkait kekerasan seksual.

Feminisme di Indonesia bukan merupakan sebuah fenomena baru, dengan aktivisme yang sudah mulai muncul menjelang akhir rezim Orde Baru. Misalnya, Suara Ibu Peduli (SIP) pada mulanya terbentuk atas dasar keprihatinan perempuan terhadap kenaikan besar harga susu formula bayi dan kemudian mereka memprotes rezim Orde Baru yang penuh dengan kolusi, nepotisme, dan korupsi dengan membawa agenda politik yang feminis, termasuk mengorganisir demonstrasi di jalan. Bahkan, SIP berhasil melakukan lobi dengan pemerintah pasca-Suharto untuk menyelidiki pemerkosaan dan penyerangan seksual terhadap banyak perempuan Indonesia etnis Tionghoa ketika kerusuhan Mei 1998.

Dua dekade kemudian, Women’s March Jakarta (Pawai Perempuan di Jakarta) tahun 2018—yang dimulai dan dimobilisasi oleh Jakarta Feminist Discussion Group (Kelompok Diskusi Feminis Jakarta)—berhasil mengumpulkan hingga empat ribu orang di tahun 2019 (jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan pawai perdana pada tahun 2017 yang berhasil mengumpulkan ratusan orang). Sejak pendiriannya di tahun 2014 di media sosial Facebook, kelompok diskusi Facebook mereka telah memiliki sekitar 2.000 anggota dan berkembang melampaui ranah diskusi daring (dalam jaringan). Pawai ini bersama dengan pawai serupa dengan skala lebih kecil di luar Pulau Jawa mengangkat berbagai isu, termasuk isu LGBT, hak-hak pekerja rumah tangga dan migran, perkawinan anak dan hak-hak reproduksi. Menanggapi positif pawai melalui media sosial, Presiden Joko Widodo memberi selamat kepada para pengunjuk rasa dan menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan ‘perempuan kuat,' meskipun ia berhenti berkomentar tentang masalah tertentu. Meskipun tidak ada reaksi negatif atau dukungan dari politisi lain yang ditemukan daring, beberapa meme negatif tentang Presiden Jokowi tersebar di Twitter sebagai bagian dari kampanye yang tersebar luas untuk menjatuhkannya menjelang pemilu 2019.

Lukisan dari serial Power Girls (2013-2017) tentang korban perkosaan dan kerusuhan Mei '98 yang dibuat oleh seniman dan akademisi Dewi Candraningrum. Dipamerkan dengan cermin di House of the Unsilenced / Adriana Rahajeng Mintarsih dengan izin

Kemajuan dari diskusi daring ke kegiatan di lapangan ini penting menurut Hera, yang menjelaskan: “Aktivisme media sosial hanya bisa melakukan beberapa hal. Jadi, harus dikombinasikan dengan aktivisme nyata di lapangan.” Salah satu kampanye seperti program House of the Unsilenced berhasil mempertemukan para penyintas kekerasan seksual dan seniman ‘untuk menciptakan karya-karya baru tentang ‘kehidupan’ para penyintas. Program seni ini mencakup lokakarya, diskusi panel, pertunjukan dan pameran di Jakarta, bersama dengan liputan atau pembahasan daring, dari 21 Juli hingga 2 September 2018. Subjek yang dieksplorasi sangat beragam, termasuk perlakuan media terhadap kasus pelecehan seksual, ejekan terhadap tubuh (body shaming), kekerasan seksual dalam keluarga, perspektif Islam tentang kekerasan terhadap perempuan dan kurangnya akses ke aborsi yang aman yang juga sama halnya dengan kekerasan seksual.

Mitra media utama program ini adalah Magdalene, tetapi Harper's Bazaar Indonesia dan Jakarta Post juga turut meliput program ini. Artikel Jakarta Post menyentuh isu-isu serius yang dihadapi House of the Unsilenced, namun artikel-artikel lain, seperti halnya kebanyakan artikel mengenai kekerasan seksual di Indonesia, kurang membahas kekerasan seksual secara mendalam selain hanya memberitakan program secara umum. Pembahasan kekerasan seksual secara serius dan mendalam masih cenderung tabu di media arus utama Indonesia.

Lokakarya House of the Unsilenced yang melibatkan sekitar 50 penyintas yang bekerja dengan lebih dari 30 seniman (seperti penulis, seniman visual, seniman pertunjukan dan musisi) menemukan cara untuk mengekspresikan cerita para penyintas dengan cara mereka sendiri. Penggagas program, penulis Eliza Vitri Handayani, mengatakan bahwa, “menceritakan kisah-kisah ini adalah bentuk pertempuran. Inilah bagaimana kami dapat membantu membuka mata publik tentang kekerasan seksual dan dampaknya. Dan betapa beratnya bagi korban untuk datang dan berani berbicara.” Selain berbagi cerita dan membuat karya seni, Eliza mengatakan program ini adalah tentang “menciptakan komunitas yang dapat saling mendukung.”

Eliza mengatakan gerakan #MeToo (#SayaJuga) mengilhami dia untuk membuat program House of the Unsilenced, namun hal ini nampaknya merupakan sebuah perkembangan alami baginya. Sejak 2015, Eliza telah mengorganisir InterSastra, sebuah usaha penerbitan independen yang memberikan platform bagi suara yang terpinggirkan. Pada bulan Maret 2017 (sebelum #MeToo menjadi viral), Eliza menerbitkan sebuah artikel di Magdalene yang merinci pengalamannya sendiri, mengungkap perilaku yang tidak pantas dan dinamika kekuasaan yang sering tidak seimbang antara laki-laki yang lebih tua dan perempuan yang lebih muda di tempat kerja di Indonesia. Eliza tidak menganggap dirinya sebagai seorang aktivis, tetapi ketika ditanya apakah tulisannya adalah aktivisme, dia berkata, "Saya pikir kita semua memiliki peran dalam menciptakan masyarakat yang lebih setara dan kita melakukan apa yang kita bisa. Dan apa yang saya lakukan adalah melalui tulisan dan seni.”

 

Sebuah lukisan karya seniman Molly Crabapple, dari serangkaian lukisan perempuan Amerika dan Indonesia yang pernah melakukan aborsi. Gaun dan kata-kata oleh Eliza Vitri Handayani / Jin Panji dengan izin

Eliza percaya bahwa manfaat media sosial terletak pada kelompok diskusi pribadi pada platform seperti Facebook dan WhatsApp. “Kelompok pribadi sangat baik dan membantu orang untuk dapat berbicara ... Saya menemukan bahwa perempuan yang pertama kali mulai berbagi atau berbicara adalah dalam kelompok yang lebih kecil dan lebih aman ini. Mereka menemukan dukungan dan kepercayaan yang mereka butuhkan, dan kemudian mereka mulai menciptakan sesuatu bersama dengan para perempuan lain di komunitas lokal mereka.”

Diskusi daring yang akhirnya berujung pada aktivisme di lapangan adalah jalan yang memungkinkan untuk sebuah perubahan. Jalur lain yang memungkinkan adalah kampanye daring yang disertai dengan lobi politik di lapangan. Sebuah petisi daring yang menyerukan reformasi hukum kekerasan seksual diluncurkan oleh Lentera Sintas Indonesia, dan memperoleh 100.000 tanda tangan sebelum diajukan ke parlemen. Petisi tersebut adalah elemen paling umum dari upaya lobi politik yang digerakkan bersama oleh sekelompok organisasi di bawah kampanye #GerakBersama (#MovingTogether), menyerukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dirumuskan pada tahun 2016, RUU tersebut masih terhenti di parlemen karena dianggap sebagai RUU yang mendukung LGBT. Misalnya, menurut berbagai sumber media, RUU tersebut memasukkan hak-hak kaum LGBT dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Aktivisme daring bukan merupakan sebuah hal yang mengejutkan mengingat penggunaan media sosial oleh orang Indonesia berkembang pesat dan berada pada urutan tiga besar di dunia. Platform media sosial memungkinkan peningkatan kesadaran dan perekrutan para aktivis baru, dan juga membantu aksi di lapangan. Namun, ketika mempromosikan House of the Unsilenced, Eliza merasa sulit untuk menjangkau mereka yang mungkin dapat mendapat manfaat paling besar. “Media sosial dapat memberikan rasa nyaman yang kurang sesuai. Karena betul, banyak orang menyukai unggahan ini, tetapi kami benar-benar berusaha untuk menembus hambatan kelas dan ada beberapa orang yang akan mendapat manfaat dari unggahan ini yang tidak ada di media sosial.”

Baik Hera dan Eliza tampaknya sepakat tentang manfaat dan keterbatasan platform daring. Meskipun media sosial sangat bagus untuk memicu percakapan dan berbagi pengetahuan, media sosial tidak menggantikan kegiatan di lapangan. Jika peningkatan jumlah peserta di beberapa pawai perempuan di Jakarta menjadi indikasi, kedua bentuk aktivisme ini dapat saling melengkapi dan memfasilitasi satu sama lain dengan baik.

Monika Winarnita (m.winarnita@latrobe.edu.au, @MonikaWinarnita) adalah seorang dosen di Fakultas Humaniora dan Ilmu Sosial, Universitas Deakin dan peneliti utama yang memimpin proyek yang didanai oleh Universitas La Trobe. Gavin Height (g.height@latrobe.edu.au, @gavinheight) adalah asisten peniliti dan Sarjana Politik di Universitas La Trobe. Salah satu minat penelitiannya adalah pemilihan umum nasional Indonesia. Adriana Rahajeng Mintarsih (adriana.rahajeng@gmail.com, @a_rahajeng) adalah seorang dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan kandidat doctor dengan program Fulbright. Joanne Byrne (j.byrne@latrobe.edu.au, @Byrne_JC) adalah seorang kandidat doktor and peneliti pascasajana di Departemen Ilmu Sosial, Universitas La Trobe. Nasya Bahfen (n.bahfen@latrobe.edu.au) adalah seorang dosen senior di Studi Jurnalistik, dan peneliti utama proyek yang didanai oleh Universitas La Trobe

Ucapan Terima Kasih: Artikel ini adalah bagian dari temuan penelitian Monika Winarnita yang mendapatkan hibah atau dana sebagai Peneliti Awal Karir Ilmu Humaniora dan Ilmu Sosial dan juga proyek bersama Nasya Bahfen dari dana Universitas La Trobe di dalam Fokus Penilitian Perubahan Sosial di Masyarakat.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020