Ibu rumah tangga dan HIV

Published: Jan 26, 2020
English version

Najmah, Sharyn Graham Davies & Sari Andajani

Menjadi ibu rumah tangga masih menjadi idaman kebanyakan perempuan di Indonesia. Meskipun memiliki jabatan dan kekuasaan, satu-satunya presiden perempuan Indonesia, Megawati Sukarnoputri, percaya bahwa tugas utamanya adalah ibu rumah tangga, mendahulukan melayani suami dan anak-anaknya, sebelum masalah-masalah bangsanya.

Masalah yang muncul dengan membuat posisi ibu rumah tangga sebagai status sosial yang paling ideal, bahwa ibu rumah tangga pasti dan selalu menjadi seorang istri yang setia dan ibu yang taat pada suami. Penggambaran ibu layaknya malaikat, dipercaya ibu secara otomatis ‘tidak mungkin’ terinfeksi HIV, penyakit yang hanya diderita mereka yang tidak ‘bermoral’.

Penggambaran ibu ideal ini juga diasumsikan bahwa perempuan baik-baik tidak akan pernah berpikiran untuk menikah dengan lelaki pengguna obat-obatan terlarang atau narkoba, apalagi menjadi pengguna obat-obatan terlarang untuk diri mereka sendiri. Penggambaran ibu ideal ini, secara tidak langsung berakibat sangat sedikitnya program-program kepedulian HIV yang menyasar ibu-ibu rumah tangga di Indonesia.

Fantasi ibu rumah tangga kebal dan bebas HIV, adalah sebuah kesalahan besar. Kenyataannya hampir setengah dari kasus HIV baru di Indonesia, ditemukan di kelompok perempuan usia subur, yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga.

Ibu rumah tangga terinfeksi HIV melalui beragam cara penularan, termasuk transfusi darah, hubungan seksual tidak aman (tanpa kondom) dan penggunaan narkoba suntik. Mayoritas kasus HIV yang menyasar kelompok ibu rumah tangga adalah tertular dari suami (dalam ikatan perkawinan resmi). Berikut contoh kasus seorang Ibu rumah tangga yang bernama ibu Boninta bisa terinfeksi HIV.

Kisah Ibu Bonita

Tahun 2009, saat berusia 36 tahun, ibu Bonita menikah dengan pak Budi. Ini adalah pernikahan kedua ibu Bonita, pernikahan pertamanya berakhir dengan perceraian beberapa tahun sebelumnya. Selang satu tahun pernikahan dengan pak Budi, ibu Bonita melahirkan anak pertamanya, seorang bayi perempuan bernama Ani. Saat ibu Bonita sedang merasakan kebahagiaan di tahun pertama pernikahan kali keduanya, mendadak pak Budi jatuh sakit yang mengharuskan dirinya dirawat di rumah sakit. Pak Budi dinyatakan menderita penyakit paru-paru saat buah hatinya, Ani, berusia menjelang dua tahun. Di akhir tahun 2011, beberapa bulan setelah dirawat di rumah sakit, pak Budi meninggal dunia.

Dalam suasana berkabung keluarga besar, saudara lelaki pak Budi menghampiri ibu Bonita untuk berbicara empat mata. Saudara lelaki pak Budi kemudian menceritakan beberapa rahasia yang tidak diketahui perlu ibu Bonita selama ini. Pertama, ibu Bonita adalah istri kelima pak Budi, bukan istri pertama dan satu-satunya istri pak Budi, seperti yang ibu Bonita percayai selama ini. Kedua, anak ibu Bonita, Ani, adalah anak ke sembilan pak Budi. Ketiga, ibu Bonita dianjurkan untuk melakukan cek kesehatan rutin. Ibu Bonita menganggap tes kesehatan yang dimaksud hanyalah semacam cek kesehatan rutin biasa. Selang beberapa tahun kemudian, ibu Bonita menyadari bahwa cek yang dimaksud iparnya (saudara lelaki pak Budi) itu adalah cek kesehatan serius dan penting (tes HIV).

Walau menjanda, Ibu Bonita ingin menjadi orang tua terbaik untuk buah hatinya. Kemudian pada tahun 2013, Ibu Bonita mulai sakit-sakitan yang dia tidak tahu apa penyebab pasti sakitnya. Ibu Bonita sering kali mengalami demam, gatal-gatal di sekujur tubuhnya (infeksi jamur), serta sariawan di mulutnya. Dia teringat apa yang dialaminya ini, memiliki kesamaan dengan penyakit yang dialami mantan suaminya.

Satu hari, saat menonton televisi, Ibu Bonita menyaksikan acara tentang HIV. Ketika gejala-gejala HIV dijelaskan, Ibu Bonita dicekam ketakutan, mungkinkah dia terinfeksi HIV? Dia ragu untuk datang ke klinik, namun demi bayi Ani yang sayangnya, ibu Bonita menguatkan diri, dia harus melakukan tes HIV. Tidaklah mudah melangkahkan kaki ke klinik. Setelah menitipkan Ani pada tetangga, bergegas, dengan angkutan kota, ibu Bonita berangkat ke layanan konseling dan tes HIV atau VCT (Voluntary Counselling and Testing) yang diinformasikan di televisi tadi.

Dengan diliputi rasa was-was dan ragu, ibu Bonita mendatangi klinik. Tiba di klinik, dia melirik ke kanan dan ke kiri dan merasa takut bila sekiranya menemui orang yang dia kenal atau mungkin ada pekerja klinik yang mengenalinya. Dia menguatkan diri dan “berkata aku harus berani, demi anakku”. Ibu Bonita membuat poster di bawah ini bersama sekelompok ibu positif di kota Palembang dengan dengan pesan “Tes HIV tidak menakutkan” untuk mengajak ibu-ibu lainnya berani menjalani tes HIV.

Hasil tes HIV Ibu Bonita dinyatakan positif, dengan kadar CD4 yang sangat rendah. CD4 test berguna untuk mengukur tingkat kekebalan tubuh manusia. CD4 membantu daya imunitas seseorang melawan penyakit dan infeksi. Mereka yang sehat dan memiliki imunitas baik, memiliki CD4 antara 500- 1400 per millimeter kubik. Seseorang dengan CD4 dibawah 200 sel/mm biasanya dinyatakan mengalami kerusakan imunitas tubuh dan memungkinkan terjangkit AIDS, atau fase akhir dari HIV, yang bila tanpa terapi dan pengobatan, akan menyebabkan kematian lebih cepat. Bagaimana dengan CD4 Ibu Bonita? Ibu Bonita memiliki hitungan CD4 40 sel/mm, yang berarti Ibu Bonita sakitnya sangat parah dan rentan untuk terinfeksi berbagai macam penyakit (seperti TBC/Tuberkulosis, infeksi otak, tumbuhnya infeksi jamur di tubuh etc).

Dokter juga menganjurkan supaya Ani yang saat itu berusia balita, untuk test HIV. Beruntung sekali, Ani bebas dari HIV. Ibu Bonita yakin sekali bahwa Ani terlundingi dari HIV karena doa-doanya saat shalat malam (Shalat Tahajud) di waktu kehamilanya. Ibu Bonita menghubungkan kejadian dimana dia memutuskan untuk melahirkan dengan operasi sesar dan tidak memberikan ASI, tapi susu formula untuk bayi Ani, dengan perjalanan spiritual dan perlindungan dari Tuhan. Di lain sisi, fakta medis juga menyebutkan bahwa operasi sesar dan tidak menyusui ASI kemungkinan besar menjadi penyebab Ani terlindungi dari penularan HIV.

Bagaimana Ibu Bonita sampai tertular HIV? Ibu Bonita yakin sekali bahwa dia tertular HIV dari suaminya, mendiang pak Budi. Tapi dia tidak tahu pasti bagaimana caranya mendiang suaminya bisa terinfeksi HIV. Bu Bonita berpikir ada dua kemungkinan penyebab Pak Budi terinfeksi HIV: pertama, Pak Budi mungkin tertular HIV dari istri ke empatnya, yang diduga pekerja seksual komersial (PSK). Kedua, pak Budi menjalin hubungan khusus dengan beberapa perempuan lainnya, selain istri-istrinya. Pak Budi dulunya berkerja sebagai sopir truk dan sering meninggalkan keluarganya dalam jangka waktu lama. Ibu Bonita mengutarakan suaminya mungkin melepaskan kebutuhan biologisnya dengan kupu-kupu malam (PSK) yang mungkin sudah terinfeksi HIV. Ibu Bonita, bersama rekan-rekan ibu positif HIV lainnya, membuat koalase (lihat image artikel) yang menceritakan sebagaimana rumit dan kompleksnya jalan penularan HIV pada ibu-ibu rumah tangga.

Penggambaran ideal seorang perempuan dan ibu

Sebagai seorang ibu rumah tangga, mayoritas masyarakan percaya dia adalah perempuan baik-baik, tidak pernah mempunyai hubungan seksual diluar ikatan pernikahan atau menggunakan narkoba suntik. Ibu Bonita mewakili gambaran ideal ini dimana sangat mustahil untuk bisa terinfeksi HIV. Namun, kenyataannya ibu Bonita hidup dengan virus HIV seumur hidupnya.

Penggambaran ibu rumah tangga sebagai malaikat yang bersih tanpa dosa (perempuan baik-baik), tidak serta merta menghindarkan ibu rumah tangga dari penularan HIV. Sebaliknya, penggambaran ini makin meningkatkan resiko penularan HIV pada ibu rumah tangga, dan selanjutnya bisa tertular kepada anaknya dan bahkan berisiko kematian.

Penggambaran ibu ideal justru meningkatnya resiko penularan HIV, karena beberapa alasan. Pertama, ibu rumah tangga, sangat mungkin, tidak pernah terpikirkan akan terinfeksi HIV dan berpikiran untuk apa tes HIV? Parahnya, jika masyarakat terus dikaburkan dengan penggambaran yang ideal ini, akan sedikit sekali upaya untuk menyediakan tes HIV untuk ibu rumah tangga, dan tidak ada upaya motivasi atau keharusan seorang ibu untuk melakukan tes HIV.

Kedua, jika ibu rumah tangga dianggap tidak mungkin tertular HIV, tidak ada kewajiban bagi seorang suami yang tidak setia untuk berterus terang tentang perilaku seksualnya yang mungkin beresiko terinfeksi HIV. Penggambaran istri ideal, senantiasa di gambarkan sebagai seorang sebuah ‘jimat keberuntungan’ yang mampu melindungi suami dari perilaku bercela. Masalah ini semakin rumit, dengan gambaran ibu ideal sebagai istri penurut, dan tidak pernah melawan. Bahkan meski seorang istri mencurigai suaminya berselingkuh, istri takut dan merasa tidak pantas untuk meminta suami menggunakan kondom.

Ketiga, jika ibu rumah tangga dipercaya kebal HIV, tidak ada keharusan bagi orang-orang sekitar sang ibu yang mengetahui perilaku beresiko suaminya, seperti pengguna narkoba suntik atau melakukan perselingkuhan, untuk berterus terang kepada sang istri tentang riwayat kesehatan suaminya. Sikap terus terang dapat mengakhiri ikatan pernikahan dan pada akhirnya orang berpikir apa perlu mengambil resiko sebesar itu, sementara orang beranggapan seorang istri tidak mungkin terinfeksi HIV (dari suami seperti itu).

Penggambaran ibu rumah tangga sebagai perempuan ideal, meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi yang dikandungnya. Jika ibu hamil tidak mengetahui status HIV-nya, kepada ibu ini, tidak akan ditawarkan layanan operasi kelahiran sesar, atau anjuran untuk memberikan susu formula. Operasi sesar dan pemberian susu formula dapat mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke anak hingga dibawah 5 % (dari resiko 40-50 %).

Penggambaran Ibu rumah tangga bagai malaikat yang suci, juga meningkatkan risiko kematian ibu karena Aids. Bayangkan, jika seorang perempuan dengan sadar meminta tes HIV, dia mungkin dianggap ‘tidak bermoral,’ Kenapa ibu ini minta tes HIV kalo dia perempuan setia dan bukan pengguna narkoba? Untuk menutupi malu, seorang perempuan mungkin tidak akan meminta tes HIV sejak awal, tapi akhirnya mengetahui status HIV-nya terlambat, setelah sang suami atau anak atau dirinya sendiri sakit-sakitan atau setelah sang suami dan anak meninggal dunia. Lebih jauh lagi, jika ibu tidak terbuka akan status HIV-nya ke keluarga dan teman dan mencoba bertahan hidup dalam fantasi ibu ideal yang tidak realistis, akan makin sulit baginya untuk mengakses layanan kesehatan dan pengobatan gratis, tapi memilih pengobatan yang sangatlah mahal.

Lalu, bagaimana resiko penularan HIV dapat dikurangi dan akses pelayanan HIV ditingkatkan?

Untuk mengurangi penularan HIV, kita semua di Indonesia harus menyadari bawah ibu rumah tangga beresiko tertular HIV. Ibu rumah tangga juga memiliki kehidupan yang kompleks di kehidupan sosialnya; promosi kesehatan, kampanye HIV dan pengobatan harus memprioritaskan ibu rumah tangga. Jika perempuan Indonesia tahu status HIV-nya sedini mungkin, mereka akan segera memeriksakan diri, menjalani pengobatan dan mencegah penularan HIV pada anak-anak mereka.

Untuk meningkatkan akses kesehatan. Stigma, budaya malu dan diam terhadap HIV harus diminimalisir. Misalnya, dengan merubah gambaran ibu rumah tangga ideal dan bahwa ibu rumah tangga juga manusia biasa yang bisa tertular HIV. Menjalani tes HIV dan pelayanan pengobatan tidaklah akan merusak gambaran ibu dan istri yang penuh cinta terhadap keluarga. Sebaliknya, dengan melakukan test HIV dini meningkatkan peran ibu dalam menjaga kesehatan keluarganya. Seperti poster yang dibuat ibu Bonita; bahwasanya seorang ibu menemukan cinta dan kekuatan melalui upaya hidup sehat (gambar 3).

Penggambaran istri dan ibu yang kebal terhadap terjangkitnya HIV berkonsekuansi fatal. Bukan tidak mungkin istri dan ibu tertular HIV. Komunikasi tentang resiko HIV ini justru akan memberdayakan perempuan untuk melakukan tes HIV dan mencari upaya pengobatan, yang pada akhirnya akan berdampak sangat penting dalam memerangi HIV di Indonesia.

Seandainya ipar lelaki ibu Bonita yang menyarankan ibu Bonita untuk melakukan tes kesehatan rutin, bisa sejujurnya memberitahu ‘suamimu terinfeksi HIV, kamu harus tes HIV juga’. Seandainya dokter yang merawat suami ibu Bonita menginformasikan bahwa pak Budi menderita Aids dan menyarankan ibu Bonita melakukan tes yang sama. Seandainya, Ibu Bonita telah memiliki pengetahuan yang benar dan sadar akan kemungkinan terinfeksi HIV, meski dalam pernikahan monogami, dan menjalani tes HIV, dan mendapatkan pengobatan dini. Barangkali akhir ceritanya akan sangatlah berbeda.

Meskipun Ibu Bonita bertahan kuat, meski dibayangi stigma, rasa malu, dan kebisuan terhadap HIV, namun di luar sana masih banyak ibu rumah tangga lainnya yang memiliki nasib lebih menyakitkan

Najmah (najem240783@gmail.com) adalah kandidat PhD di Auckland University of Technology and dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya. Sharyn Davies (sharyn.davies@aut.ac.nz) adalah associate professor di Auckland University of Technology. Sari Andajani (sari.andajani@aut.ac.nz) adalah dosen senior di Fakultas Ilmu Kesehatan dan Lingkungan di Auckland University of Technology.

*Nama-nama di cerita dalam tulisan ini bukan nama sebenarnya.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020