Pemberi harapan 

Published: Jan 26, 2020
English version

Benjamin Hegarty and Sandeep Nanwani

Jakarta sebagai ibukota Indonesia kadang menjadi tempat yang berbahaya bagi para migran muda yang kesepian dan sedang menghadapi tekanan karena kerentanan kondisi keuangan. Tantangan seperti ini sering dialami lelaki muda yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Petugas penjangkauan dari LSM (NGO) setempat memainkan peran penting dalam memberikan edukasi tentang manfaat terapi terhadap kelompok lelaki muda tersebut dengan cara menghubungkan mereka dengan layanan kesehatan yang dapat menyelamatkan dari epidemi HIV. Petugas penjangkauan tidak hanya memberi dukungan kepada migran muda LSL tetapi juga memberi kesan nyaman  di tempat mereka nongkrong hingga dinihari dan layanan whatsapp 24 jam serta membantu  yang memerlukan perawatan dalam menghadapi birokrasi kompleks.

Dalam konteks ini, kepanikan moral LGBT Indonesia membawa konsekuensi amat buruk terhadap kesehatan masyarakat. Sejak 2016, sejumlah politisi menyebut minoritas gender dan seksual sebagai ancaman bagi bangsa, asosiasi psikatri nasional telah mendefinisikan pikiran dan perilaku kaum LGBT sebagai gejala penyakit mental dantahun 2017, Mahkamah Konstitusi menolak – dengan selisih suara yang tipis -- usulan yang akan mengkriminalisasikan homoseksualitas. Draf revisi KUHP Indonesia, yang ditetapkan untuk disahkan oleh parlemen pada September 2019 tetapi kemudian ditunda oleh Presiden Jokowi setelah protes yang signifikan, akan melampirkan hukuman pidana pada konsep cabul, yang secara samar-samar didefinisikan.    

Ketika perhatian media internasional tertuju pada sejumlah menteri dan Mahkamah Konstitusi, kepanikan moral menjadi ancaman yang mengkhawatirkan. Baru-baru ini, polisi dan sekelompok ormas menyita sejumlah paket kondom yang belum terpakai sebagai bukti adanya prostitusi yang mengakibatkan penutupan sebuah LSM – yang sesungguhnya dibutuhkan - di Provinsi Riau, Sumatera.

Meskipun menghadapi berbagai masalah termasuk meningkatnya pengawasan oleh polisi dan kriminalisasi tersembunyi atas praktik seks sesama jenis, Petugas penjangkauan menjadi benteng paling penting melawan epidemi HIV di kalangan LSL di kota. Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) yang diakui secara internasional menunjukkan bahwa proporsi LSL yang terinfeksi HIV telah meningkat dari 5 persen  tahun 2007 menjadi hampir 1 dari 3 orang di wilayah perkotaan Bali dan Jakarta. Meskipun angka-angka tersebut menggambarkan meluasnya tes HIV, namun tajamnya peningkatan infeksi HIV sangat mengkuatirkan.

Petugas penjangkauan sudah bekerja sesuai kapasitasnya. Sebelum kepanikan moral LGBT, kelompok LSL muda tidak mengakses layanan pengobatan HIV meskipun adanya peningkatan ketersediaan tes dan obat. Dengan adanya kepanikan moral saat ini para petugas penjangkauan harus bekerja lebih keras daripada sebelumnya. Mereka memainkan peran yang vital dalam penanggulangan HIV, karena wabah tersebut bukan semata persoalan kurangnya pengetahuan tentang HIV atau rendahnya penggunaan kondom. Penelitian terbaru menunjukkan lebih banyak orang Indonesia sudah mengerti tentang HIV dan cara pengendalian, setidaknya mereka tahu bahwa obat bisa diperoleh dari Puskesmas di seluruh Indonesia. Walaupun ada tanda-tanda positif, sebagian LSL seringkali berhenti melanjutkan pengobatannya. Hanya satu dari tiga LSL yang telah HIV positif melakukan pengobatan yang efektif.

Dengan berbagai tantangan tersebut, diperlukan bentuk-bentuk kreatif kepedulian dan dukungan untuk migran muda miskin yang baru di kota seperti di Jakarta. Kurangnya jaringan dan kondisi hidup yang sulit adalah dua alasan utama LSL yang HIV positif  tidak melanjutkan pengobatannya. Namun ada pula kisah sukses LSL yang mengakses pengobatan dan perawatan dengan bantuan para petugas penjangkauan dengan cara membangun koalisi baru, berbagi pengetahuan birokrasi dan meningkatkan kemampuan mereka untuk membantu rekan sebayayang belum mendapat pengobatan. Namun di sisi lain para petugas penjangkauan masih berjuang membantu beberapa kelompok LSL untuk mendapatkan penanganan dan melanjutkan perawatan.

Berdasarkan pengalaman , kelompok LSL muda yang terlibat pekerjaan seks adalah yang paling  jarang melakukan pengobatan ataupun melanjutkan pengobatan setelah kunjungan pertama mereka ke dokter. Ini adalah faktor yang rumit di negara di mana asuransi kesehatan hanya berdasarkan tempat lahir. Kelompok pemuda LSL ini biasanya memilih pekerjaan bebas yang beragam dan rentan terhadap tekanan keuangan. Penyakit yang tidak terduga atau perubahan  kondisi hidup yang dialami biasanya menjadi kendala untuk melanjutkan pengobatan. Diagnosis HIV positif juga dapat menghentikan karir mereka sebagai pekerja seks jika status HIVnya diketahui umum.

Petugas penjangkauan yang selalu memenuhi kebutuhan kelompok LSL adalah elemen yang paling berharga sebagai respon terhadap penanggulangan HIV di Indonesia. Kriminalisasi bukan cara mengatasi masalah ini. Justru upaya keras para petugas penjangkauan dalam menjangkau LSL yang memberikan petunjuk tidak memburuknya pencegahan epidemi HIV  bahkan dalam konteks politik yang tidak simpatik. Harus diingat bahwa pekerjaan petugas penjangkauan tidak hanya penyediaan kondom dan informasi tentang penanganannya, tetapi juga menggerakkan sumber-sumber yang langka untuk membantu klien mereka dengan beragam bentuk perawatan.  

Luasnya pekerjaan dari petugas penjangkauan terlihat dalam waktu singkat di tempat kerjanya.  Mereka membuat sistem pemetaan yang dapat melacak adanya lonjakan infeksi HIV di beberapa lokasi di kota.  Mereka mendirikan gerai di mall untuk mencari LSL. Sambil bercanda dan dengan niat baik mereka bisa meyakinkan LSL yang bersikap alot untuk mau melakukan tes HIV dan memahami langkah selanjutnya untuk pengobatan jika diperlukan. Pekerjaan yang melelahkan dan sering tidak diakui ini merupakan sedikit peluang untuk membalikkan situasi epidemi.

Petugas penjangkuan sudah bekerja secara maksimal, tetapi mereka perlu menghubungkan LSL kepada petugas kesehatan di puskesmas yang terbukti lebih efektif mengarahkan LSL dari tes HIV ke pengobatan dari pada tempat-tempat tes insidental di klab malam atau pun jalanan. Kombinasi dengan meningkatnya sumber daya melalui skema jaminan kesehatan nasional (BPJS), hubungan antara petugas penjangkauan dan petugas kesehatan dapat menjadi kunci penting untuk mitigasi resiko kepanikan moral LGBT.

Kerjasama antara petugas penjangkauan dengan petugas kesehatan yang datang dari latar belakang yang berbeda bisa bersatu untuk memerangi wabah tersebut. Petugas penjangkauan yang menghubungkan LSL muda ke puskesmas melihat bahwa gaya khas LSL, ngondek, dan lelucon menghibur perawat dan dokter sehingga penanganan pasien yang beresiko menjadi lebih efisien. Kolaborasi seperti ini dapat ditemukan di seluruh Indonesia yang menunjukkan keberhasilan dari respon kreatif yang tidak mengandalkan pada hukuman dan retribusi.

Benjamin Hegarty adalah McKenzie Postdoctoral fellow di Sekolah Ilmu Sosial dan Politik di University of Melbourne. Sandeep Nanwani (nanwani91@gmail.com) sebagai Ketua Petugas Medis di Yayasan Kebaya di Yogyakarta. Penelitian ‘Demographic Dividends’ dilakukan dengan hibah dari UNAIDS Indonesia adalah kerjasama antara Dr Benjamin Hegarty, Dr. Sandeep Nanwani dan Dr. Yanri Subronto.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020