Kekuatiran tentang queer

Published: Jan 26, 2020
English version

Jeanna Nilsson & Kei Nilsson

Terlepas dari moto berbeda-beda tetapi tetap satu, kaum queer bukanlah bagian dari citra nasional bangsa Indonesia. Berikut ini, dua penulis berbagi pengalaman mereka tentang queer Indonesia. Pertama, Jeanna, yang lahir dan besar di Swedia, menulis tentang kesan-kesannya terhadap kaum queer Indonesia dari luar. Kemudian, istrinya Jeanna, Kei, lahir dan besar di Indonesia tetapi sekarang tinggal di Swedia, menulis tentang kaum queer Indonesia dari dalam.

Dari luar ke dalam

Berbeda-beda tetapi tetap satu. Kata-kata seperti itu memicu kebanggaan dan patriotisme pada masyarakat, terutama ketika kata-kata itu dicetak pada sebuah gulungan yang digenggam oleh cakar Garuda yang megah. Moto seperti itu menunjukkan bahwa setiap orang di Indonesia dihargai karena keunikannya sendiri. Tetapi, dalam banyak hal, moto ini hanyalah kata-kata belaka; banyak orang yang dikecualikan dari citra nasional Indonesia.

Kaum LGBT dikecualikan dari kepemilikan nasional di Indonesia. Pihak berwenang di tempat-tempat seperti Aceh dan Jakarta telah menyatakan kaum LGBT sebagai ancaman bagi bangsa dan menyebut merekalah yang semata-mata bertanggung jawab atas penyebaran HIV. Aceh bahkan memiliki ketentuan hukum yang melarang masyarakat untuk terlibat dalam hubungan seksual sesama jenis – hubungan yang bisa dihukum dengan hukuman cambuk. Ada juga banyak tindakan diskriminasi terhadap komunitas LGBT, termasuk penggerebekan polisi di berbagai lokasi di mana lelaki gay berkumpul dan waria (trans perempuan atau transpuan) dipermalukan di depan umum di mana polisi dan warga setempat main hukum sendiri dengan mencukur rambut mereka. Waria juga disiram dengan selang pemadam kebakaran dan dipaksa untuk menjalani ritual ‘pembersihan’. Tindakan-tindakan tersebut memiliki dua tujuan: mereka menghukum kaum LGBT di Indonesia, serta mendorong masyarakat yang lebih luas untuk memperlakukan kaum LGBT sebagai makhluk yang tidak berharga.

Diskriminasi ini bukanlah hal yang baru, tetapi telah merajalela dalam beberapa tahun terakhir dipimpin oleh lembaga negara dan kelompok-kelompok yang suka main hakim sendiri. Sekarang ini sudah ada beberapa tempat aman bagi kaum LGBT di Indonesia untuk berkumpul. Akan tetapi pelecehan ini menghambat kerja organisasi-organisasi hak asasi manusia (HAM) yang berusaha menjangkau kelompok-kelompok rentan ini. Pesannya lantang dan jelas, komunitas LGBT tidak diterima di Indonesia. Ulama Muslim garis keras Ma’ruf Amin, saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga wakil presiden Indonesia, telah menyatakan bahwa Indonesia harus mengeluarkan fatwa – dengan kata lain perintah eksekusi mati – terhadap orang yang melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang berjenis kelamin sama.

Melihat Indonesia dari Swedia, saya melihat sebuah bangsa di mana kaum LGBT tidak mempunyai tempat. Ini adalah kesan saya sebagai orang luar; istri sayalah yang telah hidup melalui pengalaman-pengalaman seperti neraka ini.

Pengunjuk rasa Muslim mengadakan demonstrasi anti-LGBT di luar sebuah masjid di ibukota provinsi Banda Aceh, provinsi Aceh, pada 2 Februari 2018 / Antara Foto/Irwansyah Putra

Dari dalam ke luar

Saya lahir dan besar di Indonesia dan saya keturunan Tionghoa. Tumbuh besar, saya menghadapi rasisme setiap hari. Pengalaman terburuk saya adalah menyaksikan dan menyelamatkan diri dari Kerusuhan Mei 1998, di mana ratusan anak perempuan dan perempuan Tionghoa diperkosa, dan banyak perempuan dan laki-laki Tionghoa dibunuh. Dibesarkan sebagai orang Kristen membuat hidup saya penuh ketakutan karena banyak gereja dibom di daerah tempat saya dibesarkan. Menjadi seorang perempuan juga berat. Saya terus-menerus diberitahu bahwa hal-hal yang ingin saya lakukan ketika saya tumbuh besar – menjadi ahli bedah jantung, bisa bermain drum – adalah kegiatan untuk laki-laki, bukan perempuan. Singkatnya, diidentifikasikan sebagai seorang perempuan Kristen Tionghoa di Indonesia sudah cukup sulit – apalagi untuk diidentifikasi sebagai lesbian membutuhkan keberanian yang sangat besar juga.

Tumbuh besar di Indonesia, tidak ada diskusi tentang apa pun seperti identitas lesbian. Tetapi saya ingat ada seorang remaja lelaki di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) saya yang berbicara dan berperilaku feminin. Dia dicemooh dan dijuluki ’gay’. Sementara itu, saya populer di sekolah dan unggul secara akademis dan tidak ingin mempermalukan diri saya sendiri dengan mengakui bahwa saya seorang lesbian. Selain itu, saya tidak ingin menempatkan diri saya dalam bahaya dengan membela orang-orang seperti remaja lelaki ini. Saya tahu saya seharusnya melakukan sesuatu, tetapi saya takut dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada saya apabila orang-orang tahu saya lesbian. Satu-satunya kata yang saya ketahui selain gay pada saat itu hanyalah waria. Saya tidak pernah memiliki keberanian untuk mengeksplorasi seksualitas saya di Indonesia; saya dilatih oleh masyarakat untuk meyakini bahwa seorang perempuan harus menikah dengan seorang laki-laki. Saya baru bisa pada akhirnya menerima seksualitas saya ketika saya berusia 27 tahun dan tidak lagi di Indonesia. Indonesia menolak saya habis-habisan; saya mencintai Tanah Air yang tidak akan pernah membalas cinta saya.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD ’45) mengatakan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. UUD ’45 mengatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat. UUD ’45 juga mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari diskriminasi. Indonesia mengatakan bangsa Indonesia itu bersatu dalam keanekaragamannya, tetapi komunitas LGBT-nya tidak termasuk di dalamnya. Tanpa persatuan ini, kita terpecah belah, dan kita akan tumbang – bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Jeanna Nilsson (isl12jni@student.lu.se) memiliki gelar S2 dalam Studi Asia. Kei Nilsson (yu0176bu-s@student.lu.se) memiliki gelar Sarjana Kedokteran dan gelar S2 dalam Antropologi Kedokteran.

Inside Indonesia 139: Jan-Mar 2020